Bumi terasa hangat, ruangan kerja yang sunyi membuat sang tuan tampak tenang dan fokus. Mata hitamnya bergerak dari kiri ke kanan mengikuti panjang kalimat hitam di kertas putih.
Postur tegak dan elegan itu tidak berubah meski sudah lama duduk dalam fokus. Ian seolah mengangkat satu telinganya saat mendengar suara ketukan di pintu.Matanya tetap membaca dan membiarkan orang di luar masuk seperti biasa. Orang yang masuk tidak mengatakan apa-apa sampai mata hitam berhenti dan menutup dokumen."Jadi?" tanya Ian setelah menaruh dokumennya ke samping, benar-benar rapi dan aman. Matanya lalu bergerak ke atas menatap Suhan yang menunggunya selesai membaca.Suhan memberikan sebuah undangan ke atas meja. "Damian Entertainment mengirimkan undangan untuk pesta ulang tahun perusahaan.""Jadwalnya?""Ada pertemuan dengan chairman Elvano di siang hari, malamnya tidak ada jadwal!" jelas Suhan cepat. Pesta dilaksanakan pada malam hari, sangat paMendengar namanya dipanggil, Karen yang sedang membuat kopi segera menoleh dan mendapati Ian tangan berdiri menatapanya.Karen terpaku sesaat, matanya seketika bergerak melihat kondisi ruangan yang tiba-tiba menjadi sunyi. Pandangan mata mereka terpusat pada seorang pria gagah yang baru saja memanggil namanya.Tangannya bergerak cepat menyelesaikan pesanan, mengantarkannya lalu kemudian menghampiri Ian.Mereka terpisahkan oleh sekat coffee station yang berwarna emas dan putih. "Selamat datang. Emm... ada apa?" tanya Karen. Dia tidak yakin Ian datang untuk memesan kopi atau bukan."Aku belum mendapat jawaban!" jawab Ian.Mulut Karen sedikit terbuka. Suara para pengunjung yang mulai berbisik-bisik, terdengar seperti suara dari ribuan nyamuk yang siap masuk ke telinganya. Badannya sedikit lemas."Tunggu sebentar!" ucap Karen kemudian pergi ke dalam, bertepatan dengan itu Sonia baru saja keluar dan melihat kondisi dengan cepat.
"Tolong diingat! Jangan sampai Anda tertipu, meski saya yakin dia belum melupakan anak saya. Dan mohon rahasiakan tentnag pernikahan anak saya dengan gadis mandul itu. Sampai jumpa!"Ian membatu. Suara pintu yang tertutup masih bengema di dalam telinganya, matanya menatap esspreso yang ada di tangannya dengan tajam. Perasaan murka benar-benar meledak di dalam dirinya.Suhan yang baru masuk setelah melihat Nonya Daya turun, terkejut. Di hadapannya sudah ada serpihan kaca yang tercerai-berai dari bentuk aslinya. Pecahannya bahkan sampai ke pintu.Matanya kemudian tertuju pada lengan Ian yang meneteskan darah. Alirannya menggenang di telapak sepatu pria itu. Suhan dengan cepat mengeluarkan sapu tangan dan menutupi luka tersebut.***Karen dan Ian tiba di pesta ulang tahun perusahaan Damian dengan elegan. Karen memakai gaun panjang berwarna navy yang indah menutupi tubuhnya yang langsing. Rambut pendeknya dibiarkan tergerai dengan lembut, dan
Karen menatap tajam mata Damian yang masih setia membentuk bulan sabit. "Kau bilang dia sehabatnmu, tapi kau malah berbicara buruk di belakangnya. Kau bahkan tidak pantas mengatakan hal itu.""Kau juga bisa marah? Kau tahu? Wajah marahmu itu lebih menarik daripada wajahmu saat tersenyum!" Damian tidak menanggapi komentar Karen mengenai hubungannya dengan Ian. Lagipula dia tidak pernah menganggap serius kata 'sahabat' selama ini."Berhentilah tersenyum, senyum palsumu itu sangat jelek!"Mendengar perkataan itu Damian menurunkan sudut bibirnya. Urat di dahinya muncul dengan cepat. Mata cerahnya berubah tajam, menusuk mata persik cantik yang memerah di hadapannya itu. Dia ingin segera membungkam bibir tipis itu. Mengurungnya sampai dia tidak akan di temukan oleh Ian, dengan seperti itu mungkin dia akan melihat pria itu menderita.Karen baru saja ingin mengatakan sesuatu sebelum akhirnya dia bertemu dengan tatapan mata khawatir dari Ian yan
Karen terlihat tidak peduli. "Tentu saja agar dia tidak khawatir," jawabnya ringan.Ian menggelengkan kepala dan melangkah masuk. Matanya merasa nyaman, saat menatap warna ruangan yang begitu sejuk dan tenang itu, warna sage mengingatkannya terhadap matcha yang karen pesan waktu dulu."Di mana senter mu? Mungkin saja nanti mati lampu!" ucap Ian setelah mengintip di balik tirai, angin kencang diliat terlihat sangat tidak bersahabat.Karen yang mendengar itu segera berlari ke kamar dan kembali dengan sepuluh senter di tangannya. Napasnya cepat, setelah menaruh senter ke atas meja, dia memperhatikan jam dinding yang menunjukan pukul setengah sepuluh malam."Aku akan mandi! Kau juga akan mandi kan?" tanya Karen santai. Dia berdiri setelah merasa nyaman. Matanya masih menatap Ian yang duduk di sofa seberangnya.Ian yang awalnya mematikan telepon dengan cukup lama segera menoleh dan mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya dengan senyuman."Kau sangat aneh akhir-akhir ini!" balas Karen seraya meny
Karen hampir saja tertipu. Tidak, lebih tepatnya dia menipu perasaannya sendiri dengan cara meyakini jika Ian hanya bercanda dan tidak serius.Dia berjalan dan memukul bahu Ian. "Berhenti menggodaku, kau seperti anak kecil!" ejeknya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.Ian memeganggi bahunya, seolah rasa sakit setelah pukulan pelan Karen itu berefek fatal meski sebenarnya dia bahkan tidak merasa kesakitan sama sekali, matanya menatap Karen yang sedikit kesal karena perkataannya. "Aku hanya anak kecil jika bersamamu," belanya cepat.Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak bersikap dingin kepada Karen, bukan karena terpaksa, tapi dia suka sifat Karen yang perhatian dan pemarah. Sangat original namun penuh rahasia dan kewaspadaan.Semakin hari hubungan mereka semakin membaik, Karen terus mengirimkan bekal makam siang untuk Ian, sedangkan Ian sering meluangkan waktu untuk mengantar Karen pulang.Bekal yang diberikan Karen menjadi topik hangat di perusahaan Shambara, ha
Mendengar itu seketika kaki Karen di ambang batasnya, saat tubuhnya akan menyusut ke lantai sebuah tangan tiba-tiba melingkari pinggang tipisnya.Bukannya tenang Karen justru semakin panik karena jarak antara badan mereka hanya tersisa kurang dari sejengkal. Dia berusaha mendorong tangan itu untuk menjauh, tetapi dia merasa seperti mendorong tembok besi yang tidak akan bergerak seidkitpun.Melihat Karen yang terus mendorong meski tidak dapat terlepas darinya, membuat Damian tersenyum penuh kemenangan, "Aku sangat mencintaimu! Kenapa kau tidak meninggalkannya dan datang kepadaku!" bisiknya senang.Karen segera mengangkat wajahnya. "Aku tidak tertarik denganmu, lepaskan aku!" ucap Karen bergetar, matanya sedikit basah. Emosi bercampur takut dan kemarahan meluap di wajah pucatnya.Pemandangan itu membuat Damian semakin bahagia, dia sangat yakin wajah marah Karen adalah yang tercantik di antara perempuan yang pernah dia temui."Aku semakin ingin memilikimu!"Karen segera memberontak tanga
Beberapa waktu lalu Ian baru sampai ke kantor. Dia tetap kembali ke kantor meski tidak ada jadwal lqin di tenpat kerjanya itu.Setelah kembali dari luar kota. Dia mungkin sangat kelelahan tetapi nyatanya dia sudah terbiasa, jadi kesibukannya tidak pernah membuatnya mengeluh berlebihan.Dia ingin segera masuk ke kantornya dan memesan kopi, setelah itu dia berniat menghantarkan Karen pulang. Jadi dia senang karena jadwalnya tidak padat."Selamat malam, Tuan Damian sudah menunggu di dalam," ucap Sisil yang berdiri setelah membungkuk sedikit. Kali ini dia tampak tegap dan sangat menghormati Ian. Dia juga melupakan ada Karen di dalam sana.Ian mengangguk tanpa ekspresi, melewati Sisil seperti biasa. Saat sampai di pintu dia mencoba membuak pintu tersebut, tetapi itu di kunci dari dalam.Merasa menunggu cukup lama, dia segera mengeluarkan smartphonenya dan membuka kunci pintu tersebut menggunakan aplikasi yang sudah tertaut dengan smart lock pintu tersebut.Dia membuka pintu seperti biasa,
Siang yang sedikit cerah, langit-langit ditutupi awan kelabu, angin dingin bertiup kencang di luar jendela, tirai-tirai hitam dan tebal sedikit bergoyang, sesekali juga terbuka memperlihatkan cahaya redup dari matahari.Mata bengkak Karen awalnya tidak terganggu dengan cahaya tersebut, tetapi kemudian bulu matanya bergetar dikala telinganya menangkap suara pintu yang diketuk singkat.Matanya terasa berat saat dibuka, rambutnya yang lurus terlihat sedikit berantakan, Karen memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.Hari indah yang seharusnya dipenuhi dengan kegiatan biasa, seketika hilang tepat saat otaknya mengingat kembali perlakuan kasar Damian, dia menekuk lututnya di dalam selimut, membenamkan kepalanya di sana dan benar-benar lupa dengan ketukan di pintu."Karen, boleh aku masuk?" tanya Ian dari liar pintu.Karen segera menghapus air matanya, menepuk-nepuk pipi dan bibirnya yang terasa bengkak.Dia tidak membalas melainkan segera berdiri dan berjalan untuk memebukakan pintu. "Maaf
Suatu hari di saat matahari sudah mulai menghilangkan keganasan suhunya, Ian dan seorang anak kecil tengah berjalan santai di tepi laut.Pasir putih dan lembab kadang menempel di telapak kaki mungil anak kecil tersebut. Ian yang melihat itu segera tersenyum dan berjongkok."Kyle. Kemari!" panggilnya pada Anak laki-laki tersebut.Kyle yang awalnya asik berlarian segera berbalik dan berlari cepat ke arah Ian."Papa ada kerang di sana!" teriak Anak umur 5 tahun tersebut.Ian menggosok-gosokkan rambut Kyle lembut. "Mau ambil dan berikan ke mama?" tanyanya sembari melipat celana Kyle agar tidak basah."AMBIL...." Kyle segera mengambil kerang putih di pantai dengan cepat.Wajah tembem dan putihnya terlihat menyatu dengan warna pasir. Matanya yang hitam pekat menatap kerang yang tidak berawak tersebut dengan rasa penasaran. Tetapi dia segera kembali dan memegang tangan ayahnya."Kyle rindu mama!"Ian tertawa. "Kau yang menangis minta keluar dan sekarang sudah rindu mama.""Kyle tidak akan kel
Karen merasakan telapak tangannya dibanjiri oleh keringat, bukan karena takut tetapi karena malam ini adalah malam pertama pernikahan mereka. Bahkan saat berjalan menuju kamar hotel kakinya tidak berhenti bergetar.Sementara itu Ian masih menggenggam tangannya dengan erat, membimbing jalan menuju ruangan besar yang sudah ada di depan matanya saat ini.Saat melihat ruangan yang cantik itu sungguh membuatnya merasa akan segera meledak dan jatuh ke lantai, tetapi saat dia tidak fokus Ian segera mengangkat seluruh badanya di depan dada kokoh tersebut."Kau sangat gugup ha?" Ian melihat ke atas di mana dia mengangkat Karen lebih tinggi dari biasanya.Wajah Karen sepenuhnya memerah, wajah tampan Ian yang tengah mengangkat badannya saat ini benar-benar diluar nalar. Sangat-sangat tampan bak pangeran dari kerajaan fantasy."Ian... kita lakukan lain kali saja en. Aku pikir aku akan gila-- Aaa?" Karen merosot sampai ke pinggang Ian."Aku akan berhati-hati!" Ian menatap mata Karen dalam. Menungg
Sore hari di rumah Ian yang sunyi. Ruang besarnya terasa kosong bahkan saat dua manusia berlawanan jenis tengah duduk berseberangan. Sementara seorang pria duduk di kamarnya sambil menghadap cctv yang menyoroti kedua lawan jenis tersebut.Dia melihat kedua orang tersebut berbicara meski dia tidak bisa mendengarnya. Hatinya tidak bisa tenang, dia benar-benar fokus untuk siap mengirim kematian jika pria di ruangan sana berani maju selangkah.Dia sangat menghormati keputusan Karen. Senyum di wajah gadis itu saat ini membuatnya sadar jika gadis itu membuatnya semakin terinspirasi untuk lebih kuat dan kuat.Di ruang lain. Karen dan Jones duduk berseberangan. Sebuah meja kaca hitam memisahkan mereka.Karen merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena dia masih mencintai Jones ataupun takut padanya, tetapi karena keberaniannya saat ini membuatnya seolah-olah bisa menyeberangi lautan seorang diri.Jones mengamati tampilan Karen yang hangat, tetapi mata gadis itu tampak layu, syal yang t
Ian dan Karen sama-sama mempersiapkan beberapa keperluan untuk pindah ke Negara tempat perusahaan cabang Shambara berada. Jadwal penerbangan tinggal 2 hari lagi, tidak terlalu mendadak sehingga Karen masih dapat meyakinkan diri untuk pergi."Karen, Ibuku sebentar lagi sampai. Aku pergi dulu ya!" ucap Ian segera mengecup dahi Karen dan pergi.Karen hanya melambai di depan pintu mengantarkan Ian. Tepat saat Ian pergi sebuah mobil putih yang Karen tau masuk ke halaman rumahnya.Dia menaikkan bibirnya beberapa kali, memastikan senyumnya lebih baik dan terlihat tulus."Karen! Ayo masuk." Nyonya Abel dengan cepat membawa Karen ke meja makan. Dia mengeluarkan semua makanan yang dia bawa dari rumah."Berat badanmu turun lagi! Ck ck ck, kau harus banyak makan!" Nyonya Abel memberikan semangkuk nasi ke hadapan Karen.Karen melihat nasi putih dan hangat itu dengan tatapan tidak berselera. Tetapi setelah beberapa menit dia akhirnya mengambil sendok dan nasi."Karen. Ayo keluar!" Tanpa persetujuan
Karen merasa badannya akan remuk jika Ian tidak melonggarkan pelukannya. Dia mengambil napas dalam agar badannya dapat membesar untuk menciptakan sedikit ruang.Matanya memerah, namun air matanya tampak kering dan tertahan, hidungnya memancarkan asam yang membuat Karen mengigit bibir lebih kuat."Ian...." Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hatinya semakin berat dan berat, hanya nama Ian yang akhirnya keluar dari bibir kecilnya."Apa ini perbuatan Jones?" Ian bertanya dengan suara rendah, setenang apapun dia berusaha mengontrol suaranya agar tidak menyakiti Karen, dia pasti akan membuat Karen mengeluarkan reaksi jujur dari tubuhnya.Mendengar nama itu. Tubuh Karen yang awalnya lemah kembali bergetar, kesadarannya menipis sementara tangannya menggenggam baju Ian dengan sangat kuat.Di balik pikirannya yang kacau, dia masih memperhatikan perilaku Ian. Tidak ingin pria ini pergi dan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.Ian merasakan rahangnya menjadi keras, bahkan tanpa Karen mengadu
"Karen! Aku akan pergi, jangan lakukan oke?"Karen membuka mata dan melihat jelas jika Jones sedang menangis. Melihat pria itu menangis dan pergi membuat Karen merasa dapat sedikit bernapas lega. Dia segera turun dan mengunci pintu kamar, masuk ke bathubnya dan memendam seluruh badannya.'Aku memang seharusnya tidak dilahirkan, maaf Ibu... seharusnya aku tidak mengatakan ini, seharusnya bukan aku yang jadi anakmu, dengan begitu aku tidak perlu membuat janji yang tidak bisa aku tepati!'***Ian memutar balik arah mobilnya tepat saat Karen menutup telpon, dia tidak tahu kenapa, yang pasti dia harus memastikan jika Karen baik-baik saja.Kewaspadaannya meningkat tepat saat matanya dengan jelas melihat gerbang dan pintu depan rumah Karen yang terbuka lebar. Dia segera masuk ke halamam dan memarkir mobil.Dia masuk ke rumah dengan harapan tidak ada hal buruk yang terjadi. Rumah itu tampak sunyi dan sofanya sedikit berantakan, Ian menggelngkan kepalanya sembari berjalan cepat menuju kamar Ka
Karen mematung kehabisan bahasa. Bibirnya tampak bergetar, bukan karena rasa sakit di bahunya tetapi karena kenyataan bahwa Jones membuangnya dengan kejam beberapa bulan lalu.Dia bahkan tidak mendengarkan penjelasannya, tidak sedikitpun membelanya saat di cemooh oleh ibunya. Bahkan mengatakan cerai tepat di depan selingkuhannya.Menawarkan kontrak untuk dimadu saja sudah membuatnya menyesali kehidupannya 24 tahun ini. Namun kini dengan mudah dia menawarkan neraka kembali padanya. Apakah dia tidak memikirkan perasaannya selama ini."Lepaskan!" Karen berkata dengan dingin.Jones menatap mata Karen yang kosong seolah tidak memiliki jiwa di tubuhnya. Dia ingat sekeretarisnya mengatakan Karen menjalani operasi yang memungkinkan dia untuk hamil.Mengetahui itu tentu saja dia sangat terkejut sekaligus menyesal. Karena dulu dia bahkan tidak membawa Karen melakukan pemeriksaan dengan benar, alih-alih langsung percaya pada ibunya yang mengatakan Karen mandul."Tidak! Karen kembali padaku!""Ak
"Karen!" panggil Ian yang baru saja keluar dari lift.Matanya memancarkan tatapan tajam ketika melihat karyawan pria di perusahaannya tengah mengerumuni Karen dengan wajah bersemu.Hari ini mereka berencana pulang ke rumah Karen bersama-sama. Jadi dia segera turun karena tidak ingin membuat Karen menunggu lama, sebearnya dia akan menjemput Karen di kafe tetapi dia malah melihat tunangannya itu di lobi."Ian?" Karen memperlihatkan senyuman yang lebih terang."Direktur Yan!" Para Karyawan itu segera mundur dan pamit. Mereka terlihat sedih Karena tidak bisa berbicara lebih banyak dengan Karen. Pasalnya tatapan tajam Ian benar-benar menusuk keberanian mereka."Aku baru saja akan ke atas." Karen menghadap penuh ke arah Ian yang sedang kesal.Ian tidak membalas dan langsung merangkul Karen. Membawanya keluar dan masuk ke dalam mobil dalam keheniangan.Karen tampak berpikir. "Apa kau sakit?"Ian membuang napas dan menjawab, "Tidak.""Apa aku melakukan kesalahan?"Ian melajukan mobilnya denga
Karen menatap Ian. "Bisakah aku membaca berita lainnya?" tanyanya. Dia merasa takut, tetapi ingin tahu lebih jelas tentang berita tersebut."Lakukan apa yang kamu mau!" Ian bersandar di kepala Karen yang bersandar di bahumu. Matanya mengikuti pandangan Karen yang fokus pada layar HP.[Kisah Kontroversial CEO J: Cerai dari Istri untuk Memperoleh Hak Warisan][Skandal CEO J: Memutuskan Cerai dan Menikahi Wanita Lain demi Warisan Keluarga]Karen terus menggerakkan jarinya, membaca setiap headline dengan jantung yang berdegup kencang.Dia mencoba membuka beberapa komentar di situs web dengan tangan yang berkeringat. Ian yang menyadari itu segera mengambil tisu dan mengeringkan tangan Karen."Tarik napas, Karen. Kamu tidak salah apa-apa!" ucap Ian sambil menarik Karen untuk duduk menghadap samping sofa. Kedua kakinya berada di atas sofa, dan tangan kanannya dapat bersandar ke punggung sofa.Ian menyisir rambut Karen dengan hati-hati, lalu mengikat rambut Karen yang tadinya terlihat menggang