Karen menatap tajam mata Damian yang masih setia membentuk bulan sabit. "Kau bilang dia sehabatnmu, tapi kau malah berbicara buruk di belakangnya. Kau bahkan tidak pantas mengatakan hal itu."
"Kau juga bisa marah? Kau tahu? Wajah marahmu itu lebih menarik daripada wajahmu saat tersenyum!" Damian tidak menanggapi komentar Karen mengenai hubungannya dengan Ian. Lagipula dia tidak pernah menganggap serius kata 'sahabat' selama ini."Berhentilah tersenyum, senyum palsumu itu sangat jelek!"Mendengar perkataan itu Damian menurunkan sudut bibirnya. Urat di dahinya muncul dengan cepat. Mata cerahnya berubah tajam, menusuk mata persik cantik yang memerah di hadapannya itu.Dia ingin segera membungkam bibir tipis itu. Mengurungnya sampai dia tidak akan di temukan oleh Ian, dengan seperti itu mungkin dia akan melihat pria itu menderita.Karen baru saja ingin mengatakan sesuatu sebelum akhirnya dia bertemu dengan tatapan mata khawatir dari Ian yanKaren terlihat tidak peduli. "Tentu saja agar dia tidak khawatir," jawabnya ringan.Ian menggelengkan kepala dan melangkah masuk. Matanya merasa nyaman, saat menatap warna ruangan yang begitu sejuk dan tenang itu, warna sage mengingatkannya terhadap matcha yang karen pesan waktu dulu."Di mana senter mu? Mungkin saja nanti mati lampu!" ucap Ian setelah mengintip di balik tirai, angin kencang diliat terlihat sangat tidak bersahabat.Karen yang mendengar itu segera berlari ke kamar dan kembali dengan sepuluh senter di tangannya. Napasnya cepat, setelah menaruh senter ke atas meja, dia memperhatikan jam dinding yang menunjukan pukul setengah sepuluh malam."Aku akan mandi! Kau juga akan mandi kan?" tanya Karen santai. Dia berdiri setelah merasa nyaman. Matanya masih menatap Ian yang duduk di sofa seberangnya.Ian yang awalnya mematikan telepon dengan cukup lama segera menoleh dan mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya dengan senyuman."Kau sangat aneh akhir-akhir ini!" balas Karen seraya meny
Karen hampir saja tertipu. Tidak, lebih tepatnya dia menipu perasaannya sendiri dengan cara meyakini jika Ian hanya bercanda dan tidak serius.Dia berjalan dan memukul bahu Ian. "Berhenti menggodaku, kau seperti anak kecil!" ejeknya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.Ian memeganggi bahunya, seolah rasa sakit setelah pukulan pelan Karen itu berefek fatal meski sebenarnya dia bahkan tidak merasa kesakitan sama sekali, matanya menatap Karen yang sedikit kesal karena perkataannya. "Aku hanya anak kecil jika bersamamu," belanya cepat.Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak bersikap dingin kepada Karen, bukan karena terpaksa, tapi dia suka sifat Karen yang perhatian dan pemarah. Sangat original namun penuh rahasia dan kewaspadaan.Semakin hari hubungan mereka semakin membaik, Karen terus mengirimkan bekal makam siang untuk Ian, sedangkan Ian sering meluangkan waktu untuk mengantar Karen pulang.Bekal yang diberikan Karen menjadi topik hangat di perusahaan Shambara, ha
Mendengar itu seketika kaki Karen di ambang batasnya, saat tubuhnya akan menyusut ke lantai sebuah tangan tiba-tiba melingkari pinggang tipisnya.Bukannya tenang Karen justru semakin panik karena jarak antara badan mereka hanya tersisa kurang dari sejengkal. Dia berusaha mendorong tangan itu untuk menjauh, tetapi dia merasa seperti mendorong tembok besi yang tidak akan bergerak seidkitpun.Melihat Karen yang terus mendorong meski tidak dapat terlepas darinya, membuat Damian tersenyum penuh kemenangan, "Aku sangat mencintaimu! Kenapa kau tidak meninggalkannya dan datang kepadaku!" bisiknya senang.Karen segera mengangkat wajahnya. "Aku tidak tertarik denganmu, lepaskan aku!" ucap Karen bergetar, matanya sedikit basah. Emosi bercampur takut dan kemarahan meluap di wajah pucatnya.Pemandangan itu membuat Damian semakin bahagia, dia sangat yakin wajah marah Karen adalah yang tercantik di antara perempuan yang pernah dia temui."Aku semakin ingin memilikimu!"Karen segera memberontak tanga
Beberapa waktu lalu Ian baru sampai ke kantor. Dia tetap kembali ke kantor meski tidak ada jadwal lqin di tenpat kerjanya itu.Setelah kembali dari luar kota. Dia mungkin sangat kelelahan tetapi nyatanya dia sudah terbiasa, jadi kesibukannya tidak pernah membuatnya mengeluh berlebihan.Dia ingin segera masuk ke kantornya dan memesan kopi, setelah itu dia berniat menghantarkan Karen pulang. Jadi dia senang karena jadwalnya tidak padat."Selamat malam, Tuan Damian sudah menunggu di dalam," ucap Sisil yang berdiri setelah membungkuk sedikit. Kali ini dia tampak tegap dan sangat menghormati Ian. Dia juga melupakan ada Karen di dalam sana.Ian mengangguk tanpa ekspresi, melewati Sisil seperti biasa. Saat sampai di pintu dia mencoba membuak pintu tersebut, tetapi itu di kunci dari dalam.Merasa menunggu cukup lama, dia segera mengeluarkan smartphonenya dan membuka kunci pintu tersebut menggunakan aplikasi yang sudah tertaut dengan smart lock pintu tersebut.Dia membuka pintu seperti biasa,
Siang yang sedikit cerah, langit-langit ditutupi awan kelabu, angin dingin bertiup kencang di luar jendela, tirai-tirai hitam dan tebal sedikit bergoyang, sesekali juga terbuka memperlihatkan cahaya redup dari matahari.Mata bengkak Karen awalnya tidak terganggu dengan cahaya tersebut, tetapi kemudian bulu matanya bergetar dikala telinganya menangkap suara pintu yang diketuk singkat.Matanya terasa berat saat dibuka, rambutnya yang lurus terlihat sedikit berantakan, Karen memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.Hari indah yang seharusnya dipenuhi dengan kegiatan biasa, seketika hilang tepat saat otaknya mengingat kembali perlakuan kasar Damian, dia menekuk lututnya di dalam selimut, membenamkan kepalanya di sana dan benar-benar lupa dengan ketukan di pintu."Karen, boleh aku masuk?" tanya Ian dari liar pintu.Karen segera menghapus air matanya, menepuk-nepuk pipi dan bibirnya yang terasa bengkak.Dia tidak membalas melainkan segera berdiri dan berjalan untuk memebukakan pintu. "Maaf
Pertama-tama Karen memuat adonan kue sesuai resep yang sering dia pakai, lalu Ian membantunya untuk menakar gula, margarin, air, tepung, bubuk matcha dan beberapa mentega putih untuk membuat krim kue. Karen tersenyum 45 menit kemudian, saat kue besar dikeluarkan dari oven, terlihat coklat, bulat dan tidak ada cacat sama sekali, wanginya sangat menggoda, menambah rasa lapar di setiap perut yang ada di ruangan."Wah... aku ingin memakannya sekarang!" ucap Ian tiba-tiba berdiri di dekat Karen.Karen menghadap Ian. "Kau mau? Kita bisa membuat satu lagi." Karen memasang raut wajah kasihan, dia senang Ian ingin memakan kue yang mereka buat, tetapi kue ini harus sempurna untuk besok.Ian menepuk-nepuk pelan Kepala Karen, dia tersenyum. Jika bukan karena mereka sedang membuat kue dia ingin mengacak-acak rambut Karen sampai sang awak marah."Jangan khawatir, aku bisa menunggu. Apa kau tidak lapar?" tanya Ian.Hari ini mereka langsung membuat Kue, itu karena Karen menolak makan, jadi Ian memes
Karen bertanya dengan suara yang serak, dia putus asa, penolakan dari dalam dirinya terus membuat hatinya terluka. Dia bersikap dan membuat dirinya percaya pada keyakinan yang dia buat sendiri, tetapi kebaikan Ian berulang kali menghancurkan aturan di dalam dirinya.Ian sedikit panik saat melihat wajah Karen yang begitu kebingungan dan panik, dia segera mendekat dan akhirnya ikut berbaring sambil memeluk Karen."Shht.... Tenanglah, jika kau tenang aku akan memberitahumu!" ucap Ian seraya menepuk-nepuk punggung Karen, sambil memastikan ada jarak yang cukup untuk Karen.Karen merasa aneh, di dalam pelukan pria ini dia merasa aman dan dia tidak ketakutan, rasa memeberontak jika bersama pria asing tidak ada saat bersama Ian, dia semakin tidak memahami dirinya sendiri.Tepukan demi tepukan ringan di punggung membuatnya rileks, napasnya dalam dan teratur, tenang dan santai, satu-dua matanya terasa berat, satu-dua matanya benar-benar tertutup dan pergi ke alam mimpi.***"Karen, bagaimana kab
Air mata Karen berhenti. Matanya menatap cincin cantik dengan berlian indah di atasnya. Tampak bersinar saat memantulkan cahaya ruangan kembali ke iris mata.Mata Ian yang terlihat sangat penuh dengan ketulusan, pipi dan telinganya bereaksi alami dengan cara berubah warna menjadi merah. Ian yang berwajah kaku tampak begitu lucu dengan tampang pemalunya."Maaf Ian, aku tidak bisa menikah denganmu!" Setelah mengatakan itu Karen mengalihkan pandangannya, hidungnya terasa asam dan menyengat sampai ke mata.Ian masih tersenyum, dia tidak menutup cincin, hanya meletakkannya di atas meja. Dia berjalan mendekati Karen yang duduk di sofa, lalu duduk ke lantai di antara kedua paha Karen. Dia mendapati kegelisahan gadis itu, jadi dia memeluk kedua kaki Karen dan merebahkan kepalanya di lutut yang tertekuk itu."Aku tidak akan meminta apapun darimu, hanya biarkan aku tetap di sisimu .... Berikan aku kesempatan untuk menyembuhkanmu!" Pernyataan Ian seperti alat kejut yang membuat jantungnya meleda