“Siapa dia?” Karen berkata dengan lembut meski getaran pada suaranya terdengar cukup jelas.
Matanya mencuri pandang pada seorang wanita yang duduk di sofa, sedangkan mata wanita itu tengah sibuk menelusuri setiap inci rumah mereka. Perhatian Karen kemudian berpusat pada perut buncit wanita itu.Jones tidak menjawab pertanyaannya, dia malah sibuk memastikan perempuan itu dapat duduk dengan nyaman di rumah mereka. Karen masih berpikir positif terhadap tingkah laku Jones. Setelah memastikan orang itu duduk nyaman, suaminya menarik tangannya dan melangkah menjauh dari perempuan itu. Sungguh karen mulai merasa takut akan apa yang dikatakan Suaminya. Karen memegang tangan Jones yang hangat, bertumpu di sana karena kakinya yang mulai lemas.“Siapa dia? Jangan menakuti-ku!” gumam nya sekali lagi, Karen berusaha menyunggingkan senyum kecil, meskipun disisi lain dia tak siap mendengarnya. Dia yang paling tahu jika suaminya tidak suka dimarahi, apalagi jika Karen berprasangka buruk dalam hubungan mereka.Jones menatap mata Karen dingin sambil berkata, “Dia calon istriku!”Pernyataan itu membuat Karen mendadak lemas bal kerupuk di ruangan terbuka, jantungnya meraung hebat, tangan kurusnya meremas kuat tangan Jones, darah-darah tampak membuat telinganya memerah, air matanya keluar tanpa hambatan sehingga membasahi lehernya yang putih.“Kau bercanda kan? Iya… kau hanya bercanda.” Tawa kecil keluar di sela-sela nafasnya yang kacau.“Aku tidak bercanda, dia mengandung anakku!” Anakku? Satu kata yang membuat matanya membulat sempurna. Dia menatap perut buncit wanita itu dengan pandangan kosong. Karen menjambak rambutnya sendiri, tidak bisa mempercayai perkataan yang dilontarkan suaminya.“Kau selingkuh?”“Pernikahan kita tidak pernah dipublikasikan, kita akan bercerai! Jangan membuat pernyataan konyol!”“Konyol? Ka-” Mulutnya tertutup rapat, matanya menatap tak percaya. Bagaimana suami yang begitu mencintainya tiba-tiba melontarkan kata cerai seringan dan sedingin itu. “Aku tidak mau.” Suara rendah dan bulatnya menarik perhatian seisi rumah yang tenang.“Kami akan menikah, kau hanya akan jadi pengganggu. Karen. Jadilah baik dan penurut!”'Pengganggu?' Otaknya tidak dapat mengidentifikasi maksud perkataan itu. Dia pengganggu? Apa pernyataan itu dapat diterima? Selama ini dia adalah istri sah dari orang yang sedang bicara di hadapannya saat ini. Bagian mana dari statusnya yang dapat dikatakan sebagai pengganggu?"Aku sangat baik dan aku juga selalu menuruti semua yang kau mau. Aku selalu menjaga emosiku demi kenyamananmu, karena aku sangat-sangat menyayangimu."Wanita di kursi tampak hendak berdiri mendekati mereka, namun sebelum dia berdiri Jones sudah mendekat dan menyuruhnya untuk duduk kembali.“Jangan banyak bergerak!” Jones menyikap rambut panjang wanita itu ke belakang telinganya, wajah tampan dan dingin nya memandang perut wanita itu dalam diam. “Maaf! Sepertinya dia haus,” ucap wanita itu tersenyum lembut sembari mengelus perut besarnya, iris matanya menatap lekat wajah tampan di depannya.Kuku-kuku tajam Karen menerobos masuk ke dalam daging telapak tangannya sendiri, darah segar mulai menggenang di dalam genggaman sesak itu. Kebiasaannya dalam menahan amarah seolah sudah mengakar di dalam alam bawah sadarnya. Mata basahnya memperhatikan bagaimana suaminya menuangkan air putih ke dalam gelas diatas meja dengan gerakan yang lihai.“Ini!” Jones memberikan segelas air pada wanita itu.“Kau….” Kata-kata berikutnya tidak berhasil keluar dari bibir merah muda Karen. 'Kau seharusnya tidak menggunakan gelas itu. Gelas itu tidak pernah dipakai oleh orang lain'. “Kenapa kau lakukan ini?” tanyanya dengan penuh penekanan. Semua mungkin masih bisa berubah, setidaknya Karen masih mengharapkan itu.Jones menatapnya dengan begitu tajam, tatapan itu menembus matanya dan masuk langsung ke hati kecilnya. Rasa sakit itu sukses membuat Karen kehilangan keberanian yang dia miliki sebelumnya.Karen menoleh ke belakang dan menatap lurus celah pintu dapur yang tengah menyembunyikan kue ulang tahun pernikahan mereka, dia sangat jelas mengingat betapa bahagianya menanti Suaminya pulang untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka bersama-sama, kemudian mereka duduk dan berdoa bersama untuk kebahagiaan di hari-hari seterusnya. Lagi-lagi itu telah menjadi bayangan semata.“Kau tidak bisa memberikanku anak, oleh karena itu aku tidak perlu mempertahankanmu.”Hatinya bak teriris pisau tumpul, Karen yang sudah lemah mulai melangkah maju dan memeluk Jones dengan lembut. Menarik jaket yang dikenakan pria itu serta perlahan mencari tempat bersembunyi di sana. “Kita masih bisa mencobanya, kenapa kau begitu terburu-buru!”Jones mendorong Karen dan melebarkan jarak diantara mereka. “Aku tidak punya banyak waktu, segera selesaikan ini dan pergi! Setelah bercerai kau tidak perlu khawatir tentang uang atau masalah hidup lainnya.” Jones memberikan amplop yang berisikan surat cerai mereka.Karen menggeleng cepat. “Aku mencintaimu. Aku tidak memerlukan itu.” Dia bahkan tidak dapat menghitung berapa kali dia sudah mengatakan itu. “Apa kau tidak mencintaiku?” sambungnya, tetapi Karen merasa itu tidak mungkin.“Di dunia ini aku tidak memerlukan omong kosong itu.” Jones sangat tenang dan cepat dalam menanggapi setiap perkataan Karen.Karen terduduk di lantai dengan air mata yang belum kering, dia merasa malu akan dirinya sendiri, dihadapkan dengan berbagai perasaan campur aduk. Dia tidak pernah berpikir untuk hidup tanpa Jones atau bahkan sampai bercerai dengannya. Tanpa dukungan pria itu hidupnya hanya akan memandang masa lalu, namun wanita itu tengah mengandung anak suaminya, dia adalah calon ratu yang akan mendampingi seorang raja. Karen bahkan tidak tahu sebagai apa dia dalam hubungan itu.“Celin? Kau sudah datang!” Suara kencang dan hangat datang mendekat. Ibu mertua Karen yang baru saja datang segera langsung mendekat, sebelum mendekati Celin wanita itu lebih dulu memandang Karen dengan tatapan jijik. Setelah melihat ke arah Celin, bibirnya langsung membentuk senyuman, mengabaikan Karen yang seolah tidak ada di sana.Rasa sakit sudah tidak dapat dia katakan. Bahkan harapannya untuk dibantu dalam situasi ini sirna tepat saat Ibu mertuanya sendiri tampak sangat tahu menahu tentang persoalan wanita itu. Dia merasa hampa karena menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu dengan hal itu, perut wanita itu terlihat sudah membesar. Jelas sekali Jones sudah mengkhianatinya sejak lama, serasa kembali dijatuhi batu, Karen mulai merasa sedikit demi sedikit kehilangan identitasnya sendiri.“Jadi kapan kalian akan bercerai?” tanya ibu Jones dengan senyum cerah, terlukis jelas di wajahnya yang sudah lama menantikan hari ini tiba.“Jones sudah mengatakan untuk bercerai, tapi dia menolak.” Bukan Jones atau Karena yang menjawab, melainkan Celin dengan wajah cemberutnya. Dia memasang wajah kelelahan karena bayi yang ada di perutnya tersebut. Melihat itu membuat Ibu Jones tidak tega dan berakhir memaki Karen.“Kau ini kenapa, kau itu mandul dan menjijikan. Cepat tinggalkan anakku sekarang. Kau mau harta? Katakan saja berapa, aku akan memberikannya tapi setelah itu jangan ganggu keluarga kami lagi!”Karen berdiri dengan tubuh gemetar. Dia memang tidak bisa marah di hadapan suaminya tapi dia ingin haknya kembali, dia ingin keluarganya kembali padanya.“Jones adalah keluargaku begitu juga dengan Ibu. Kalian keluargaku yang berharga, seharusnya yang tidak mengganggu keluarga kita itu, dia.” Karen berkata dengan isak tangis yang semakin menjadi.“Ibu… aku anakmu juga. Aku sudah bersama kalian lebih lama darinya, sejak SMA kami selalu bersama, kami menikah dan hari ini ulang tahun pernikahan pertama kami, Ibu! Tolong terima aku apa-adanya!”Ibu mertuanya menepis kasar tangan dingin Karen, hal itu meninggalkan bekas darah Karen di pakaian wanita itu. “Dia sudah menjadi keluarga kami, dia memiliki cucu ku, dia akan menjadi nyonya keluarga ini dan pernikahan akan segera diumumkan, kau tidak akan mendapatkan pengakuan apa-apa. Karen… pergi dan jangan kembali!”“Tap–”“Karen!” suara dingin itu membius badan Karen. Karen ingin pemilik suara itu memanggil namanya dengan lembut seperti dulu. Dia muak dengan suara dingin itu, dia merindukan suaminya bukan pria gila di hadapannya.“Kau tidak bisa jadi istriku, tapi kau bisa jadi maduku. Bagaimana?”Madu? Pertanyaan itu sontak membuat seisi ruangan itu sunyi. Karen sungguh tidak paham dengan perkataan itu, kenapa dia harus menjadi madu dari suaminya sendiri. Tetapi disisi lain, sulit baginya untuk pergi tanpa membawa Jones bersamanya.“Madu? Ken–”“Kau ini terlalu baik, tapi ibu akan mengizinkanmu asal kau tetap menjadikan Celin ratu di dalam maupun di luar rumah ini, dan jangan biarkan masalah itu menyebar sampai keluar!”Jones mengangguk paham. “Kau bilang tidak ingin berpisah kan, jika kau mau menjadi maduku, aku akan membiarkanmu tetap tinggal.” Kata-kata yang begitu ringan saat diucapkan oleh seorang Jones. Kata 'maduku' menggenang di hatinya seperti air di dalam gelas yang tenang.Karen yang tidak kunjung menjawab membuat kesabaran Jones semakin tipis, dia tidak punya banyak waktu untuk urusan wanita-wanita di rumahnya, dia harus segera kembali ke perusahaan dan menyelesaikan pekerjaannya.“Ikut aku!” perintahnya pada Karen."Jones?"Karen meringis akibat cengkraman kuat dar
Karen membayangkan bagaimana jika dia melompat dari balkonnya sendiri. Mungkin dia akan mematahkan kakinya atau yang terburuk dia akan koma dan bangun lagi, hanya memikirkannya saja sudah membuatnya tertawa sendiri.“Huh… aku pasti sudah gila.”Karen duduk di balkon dan menikmati sinar matahari menghangatkan tubuhnya yang kurus, tulang-tulangnya terlihat, membuatnya tampak seperti orang yang belum pernah makan. Dia menarik napas dan melihat jauh ke jalan yang sepi. Gerbang rumahnya memotong kebisingan jalan, menyebabkan kesunyian yang tak tertahankan di hatinya.Karen tidak tahu apakah dia bisa menerima itu semua, dia setuju dengan kontrak untuk menikah, tapi hatinya tidak bisa menerimanya, apa yang akan terjadi padanya lusa.“Saya ingin kembali dan mengubah segalanya? Tapi aku tidak sempurna.” Air mata yang terus mengalir di pipi kurus Karen membuatnya kehilangan kekuatannya. Sekali lagi, tubuhnya yang lelah secara fisik dan mental tertidur lelap.***Karen membuka matanya yang bengk
Duduk selama satu setengah jam perjalanan ke Kota B, mata bengkak Karen menatap keluar jendela di sampingnya. Pemandangan laut sunyi membentang luas jauh di hadapannya, . “Hotel Seaside Lodge?” ejanya saat melewati papan petunjuk arah raksasa di pinggir jalan. “Anda ingin ke sana?” tanya supir yang mendengarnya dengan baik. “Apa laut di sana bisa dinikmati lewat hotel itu?” Sopir tertawa riang dan menjawab, “Laut yang sepi dan cantik, tentu anda dapat menikmatinya di sana.” Karen menutup matanya sejenak, merenungkan apa yang dia inginkan sebelum akhirnya membuka mata dan menatap mata sopir, melalui kaca depan mobil. “Aku akan turun di sana!” *** Karen menaruh tas yang dia gunakan dengan baik di sofa Hotel sederhana itu, Hotel kecil itu bukan berupa gedung-gedung tinggi melainkan ruma-rumah kecil yang berjajar rapi, dengan desain menyerupai gubuk, namun kokoh, bersih dan berkelas. Karen membuka jendela kayu dengan pelan, kembali terpaku pada cahaya bulan yang memberikan warna bir
"Hubungi Saya jika Nona memerlukan bantuan, rumah sakit ini pasti akan membantu!" Ucap Dokter Bahar yang mengantar Karen. Setelah yakin Karen dapat pulang hari ini, dia juga berniat mengantar pasiennya sampai ke depan lobby. Karen tersenyum tipis. "Tentu. Terima kasih banyak untuk semuanya. " Dokter tua itu mengangguk sambil melambai-lampai kecil sampai mobil hitam itu menghilang di balik tembok rumah sakit. Dia mengambil HP nya dan memanggil seseorang. "Nona itu sudah pulang," jelasnya singkat. Di sebuah rumah putih bertingkat dua, dengan desain minimalis dan sederhana. Karen masuk dan menaruh kopernya di samping sofa. Ruang tamu sederhana yang berdekatan dengan dapur tampak didominasi warna putih dan sage. Dia tampak senang karena rumah yang dibeli sudah rapi dan sesuai dengan keinginannya. "Hah… aku tidak menyesal, sepertinya aku hanya tinggal menaruh baju dan melihat halaman luar." Karen mengangkat tas dan kopernya ke lantai dua melalui tangga di belakang dapur, dia membuka
"Baik... " Karen menerima box yang berisi satu espresso dingin.Saat keluar dari kafe Karen lagi-lagi membuka sedikit mulutnya. Melihat gedung raksasa itu membuat badannya merinding. Beralih ke lampu zebracroos yang berubah hijau dia berjalan mendekati pintu masuk gedung Shambara."Selamat pagi! Ada yang bisa Saya bantu?" Satpam berwajah ramah itu sedikit mengagetkan Karen. Meski begitu Karen tetap tersenyum manis seperti biasanya."Pagi. Saya mau mengantarkan kopi pesanan Tuan Ian Shambara," jawabnya lembut meski dia sedikit takut karena badan tinggi si Satpam."Direktur Yan ada di atas, Nona bisa langsung naik lift yang ada di tengah."Karen mengangguk dan berterima kasih. "Direktur Yan? Ian? Haruskah aku memanggilnya seperti itu juga?" batinnya.Sepanjang perjalanan ke atas, Karen terus bergelayutan dalam pikirannya sendiri. Sementara orang-orang di sana sesekali melihat ke arahnya.Saat sampai di atas, pintu lift terbuka lebar memperlihatkan ruangan dengan dinding berwarna coklat m
Pertanyaan itu membuat Karen menjauhkan HP-nya. Membaca nama pemilik nomor. Nama Jessica termampang jelas di layarnya, dia segera menjawab, ["I- Iya maaf aku terlambat."] Meski menjawab cepat Karen tidak bisa menyembunyikan suara seraknya.["Kau yakin?"]["Iya...."]Suara serak dan tarikan napas yang tersumbat-sumbat, membuat Jessica memerlukan waktu untuk berkata, ["Kau sedang sakit. Kau boleh izin selama seminggu. Pastikan kau minum obat dan istirahat yang cukup."]["Ta-tapi ak-"]Kata 'aku baru saja bekerja' terpotong segera.["Tidak usah memikirkan itu, bagaimanapun kesehatan karyawan kami lebih penting. Istirahat lah dan jangan sungkan menghubungi kami kalau kau perlu bantuan."]Setelah sambungan telepon itu terputus, Karen menerima pesan dari Jessica.[Ini nomor-nomor karyawan Buzz Bean Caffe, jangan sungkan meminta bantuan. Aku beri tahu satu rahasia karyawan kita, mereka suka libur:)]Membaca i
Wanita licik itu terkejut dan kesal, tetapi akhirnya mengalah dan pergi dengan wajah yang merah padam, sementara situasi kembali berubah seperti semua."Maaf sudah menyebabkan kekacauan," kata Ian sambil berdiri tegap namun tetap sopan."Tidak apa-apa. Apa itu pacarmu?" tanya Jessica tanpa basa basi. Mendengar itu Sonia dan Karen segera pamit undur diri. Mereka sama sekali tidak tertarik mendengar percakapan itu. "Tidak, dia rekan kerja." Matanya masih menempel pada Karen yang masuk ke Coffee station.Bagaimana dia bisa kencan. Ibunya saja sering marah karena dia lebih mementingkan pekerjaannya. Ibunya pernah mengomeli dan menyuruhnya menikahi pekerjaannya karena tidak mau kencan buta."Hah... Kau ini, lain kali jangan diam saja!" Jessica berbicara santai setelah mengehembuskan napas kasar. "Sudahlah," lanjutnya pergi menyusul Karen dan Sonia. Jessica terlalu lelah untuk mencampuri urusan teman lamanya itu.Ian bangkit dan pergi keluar dengan tangan yang di masukan ke dalam Saku. "Lag
Senyum itu memang menawan, tetapi di mata Karen itu hanyalah sebuah seringai yang di palsukan menjadi senyuman cerah, secerah mentari pagi. Mengerikan dan membuatnya tidak nyaman."Ini pesanan Anda," ucapnya memasang senyum terpaksa. Tangan putihnya menjulurkan dua kopi yang dipesan Ian.Pria itu tidak mengambil minumannya, dia malah menatap Karen dengan sudut mata yang menyempit dan mengintimidasi.Mendapat tekanan itu Karen mengepalkan satu tangannya di belakang, berusaha menguasai diri agar tetap terlihat santai."Siapa namamu?" tanyanya kembali tersenyum, namun mata itu menatap lurus dan dalam ke arahnya."Karen.""Damian Valo, panggil saja Damian!"Damian merupakan pengusaha muda yang terkenal memiliki citra luar yang baik. Keluarga Valo menjadi bagian dari bisnis Shambara Global. Mereka sudah menjalin kerja sama selama dua tahun."Em... Baik tuan Damian."Karen kemudian mendapati Damian yang bergerak mundur memberikan ruang untuk Karen. Dengan tangan mengepal kuat Karen masuk ked
Suatu hari di saat matahari sudah mulai menghilangkan keganasan suhunya, Ian dan seorang anak kecil tengah berjalan santai di tepi laut.Pasir putih dan lembab kadang menempel di telapak kaki mungil anak kecil tersebut. Ian yang melihat itu segera tersenyum dan berjongkok."Kyle. Kemari!" panggilnya pada Anak laki-laki tersebut.Kyle yang awalnya asik berlarian segera berbalik dan berlari cepat ke arah Ian."Papa ada kerang di sana!" teriak Anak umur 5 tahun tersebut.Ian menggosok-gosokkan rambut Kyle lembut. "Mau ambil dan berikan ke mama?" tanyanya sembari melipat celana Kyle agar tidak basah."AMBIL...." Kyle segera mengambil kerang putih di pantai dengan cepat.Wajah tembem dan putihnya terlihat menyatu dengan warna pasir. Matanya yang hitam pekat menatap kerang yang tidak berawak tersebut dengan rasa penasaran. Tetapi dia segera kembali dan memegang tangan ayahnya."Kyle rindu mama!"Ian tertawa. "Kau yang menangis minta keluar dan sekarang sudah rindu mama.""Kyle tidak akan kel
Karen merasakan telapak tangannya dibanjiri oleh keringat, bukan karena takut tetapi karena malam ini adalah malam pertama pernikahan mereka. Bahkan saat berjalan menuju kamar hotel kakinya tidak berhenti bergetar.Sementara itu Ian masih menggenggam tangannya dengan erat, membimbing jalan menuju ruangan besar yang sudah ada di depan matanya saat ini.Saat melihat ruangan yang cantik itu sungguh membuatnya merasa akan segera meledak dan jatuh ke lantai, tetapi saat dia tidak fokus Ian segera mengangkat seluruh badanya di depan dada kokoh tersebut."Kau sangat gugup ha?" Ian melihat ke atas di mana dia mengangkat Karen lebih tinggi dari biasanya.Wajah Karen sepenuhnya memerah, wajah tampan Ian yang tengah mengangkat badannya saat ini benar-benar diluar nalar. Sangat-sangat tampan bak pangeran dari kerajaan fantasy."Ian... kita lakukan lain kali saja en. Aku pikir aku akan gila-- Aaa?" Karen merosot sampai ke pinggang Ian."Aku akan berhati-hati!" Ian menatap mata Karen dalam. Menungg
Sore hari di rumah Ian yang sunyi. Ruang besarnya terasa kosong bahkan saat dua manusia berlawanan jenis tengah duduk berseberangan. Sementara seorang pria duduk di kamarnya sambil menghadap cctv yang menyoroti kedua lawan jenis tersebut.Dia melihat kedua orang tersebut berbicara meski dia tidak bisa mendengarnya. Hatinya tidak bisa tenang, dia benar-benar fokus untuk siap mengirim kematian jika pria di ruangan sana berani maju selangkah.Dia sangat menghormati keputusan Karen. Senyum di wajah gadis itu saat ini membuatnya sadar jika gadis itu membuatnya semakin terinspirasi untuk lebih kuat dan kuat.Di ruang lain. Karen dan Jones duduk berseberangan. Sebuah meja kaca hitam memisahkan mereka.Karen merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena dia masih mencintai Jones ataupun takut padanya, tetapi karena keberaniannya saat ini membuatnya seolah-olah bisa menyeberangi lautan seorang diri.Jones mengamati tampilan Karen yang hangat, tetapi mata gadis itu tampak layu, syal yang t
Ian dan Karen sama-sama mempersiapkan beberapa keperluan untuk pindah ke Negara tempat perusahaan cabang Shambara berada. Jadwal penerbangan tinggal 2 hari lagi, tidak terlalu mendadak sehingga Karen masih dapat meyakinkan diri untuk pergi."Karen, Ibuku sebentar lagi sampai. Aku pergi dulu ya!" ucap Ian segera mengecup dahi Karen dan pergi.Karen hanya melambai di depan pintu mengantarkan Ian. Tepat saat Ian pergi sebuah mobil putih yang Karen tau masuk ke halaman rumahnya.Dia menaikkan bibirnya beberapa kali, memastikan senyumnya lebih baik dan terlihat tulus."Karen! Ayo masuk." Nyonya Abel dengan cepat membawa Karen ke meja makan. Dia mengeluarkan semua makanan yang dia bawa dari rumah."Berat badanmu turun lagi! Ck ck ck, kau harus banyak makan!" Nyonya Abel memberikan semangkuk nasi ke hadapan Karen.Karen melihat nasi putih dan hangat itu dengan tatapan tidak berselera. Tetapi setelah beberapa menit dia akhirnya mengambil sendok dan nasi."Karen. Ayo keluar!" Tanpa persetujuan
Karen merasa badannya akan remuk jika Ian tidak melonggarkan pelukannya. Dia mengambil napas dalam agar badannya dapat membesar untuk menciptakan sedikit ruang.Matanya memerah, namun air matanya tampak kering dan tertahan, hidungnya memancarkan asam yang membuat Karen mengigit bibir lebih kuat."Ian...." Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hatinya semakin berat dan berat, hanya nama Ian yang akhirnya keluar dari bibir kecilnya."Apa ini perbuatan Jones?" Ian bertanya dengan suara rendah, setenang apapun dia berusaha mengontrol suaranya agar tidak menyakiti Karen, dia pasti akan membuat Karen mengeluarkan reaksi jujur dari tubuhnya.Mendengar nama itu. Tubuh Karen yang awalnya lemah kembali bergetar, kesadarannya menipis sementara tangannya menggenggam baju Ian dengan sangat kuat.Di balik pikirannya yang kacau, dia masih memperhatikan perilaku Ian. Tidak ingin pria ini pergi dan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.Ian merasakan rahangnya menjadi keras, bahkan tanpa Karen mengadu
"Karen! Aku akan pergi, jangan lakukan oke?"Karen membuka mata dan melihat jelas jika Jones sedang menangis. Melihat pria itu menangis dan pergi membuat Karen merasa dapat sedikit bernapas lega. Dia segera turun dan mengunci pintu kamar, masuk ke bathubnya dan memendam seluruh badannya.'Aku memang seharusnya tidak dilahirkan, maaf Ibu... seharusnya aku tidak mengatakan ini, seharusnya bukan aku yang jadi anakmu, dengan begitu aku tidak perlu membuat janji yang tidak bisa aku tepati!'***Ian memutar balik arah mobilnya tepat saat Karen menutup telpon, dia tidak tahu kenapa, yang pasti dia harus memastikan jika Karen baik-baik saja.Kewaspadaannya meningkat tepat saat matanya dengan jelas melihat gerbang dan pintu depan rumah Karen yang terbuka lebar. Dia segera masuk ke halamam dan memarkir mobil.Dia masuk ke rumah dengan harapan tidak ada hal buruk yang terjadi. Rumah itu tampak sunyi dan sofanya sedikit berantakan, Ian menggelngkan kepalanya sembari berjalan cepat menuju kamar Ka
Karen mematung kehabisan bahasa. Bibirnya tampak bergetar, bukan karena rasa sakit di bahunya tetapi karena kenyataan bahwa Jones membuangnya dengan kejam beberapa bulan lalu.Dia bahkan tidak mendengarkan penjelasannya, tidak sedikitpun membelanya saat di cemooh oleh ibunya. Bahkan mengatakan cerai tepat di depan selingkuhannya.Menawarkan kontrak untuk dimadu saja sudah membuatnya menyesali kehidupannya 24 tahun ini. Namun kini dengan mudah dia menawarkan neraka kembali padanya. Apakah dia tidak memikirkan perasaannya selama ini."Lepaskan!" Karen berkata dengan dingin.Jones menatap mata Karen yang kosong seolah tidak memiliki jiwa di tubuhnya. Dia ingat sekeretarisnya mengatakan Karen menjalani operasi yang memungkinkan dia untuk hamil.Mengetahui itu tentu saja dia sangat terkejut sekaligus menyesal. Karena dulu dia bahkan tidak membawa Karen melakukan pemeriksaan dengan benar, alih-alih langsung percaya pada ibunya yang mengatakan Karen mandul."Tidak! Karen kembali padaku!""Ak
"Karen!" panggil Ian yang baru saja keluar dari lift.Matanya memancarkan tatapan tajam ketika melihat karyawan pria di perusahaannya tengah mengerumuni Karen dengan wajah bersemu.Hari ini mereka berencana pulang ke rumah Karen bersama-sama. Jadi dia segera turun karena tidak ingin membuat Karen menunggu lama, sebearnya dia akan menjemput Karen di kafe tetapi dia malah melihat tunangannya itu di lobi."Ian?" Karen memperlihatkan senyuman yang lebih terang."Direktur Yan!" Para Karyawan itu segera mundur dan pamit. Mereka terlihat sedih Karena tidak bisa berbicara lebih banyak dengan Karen. Pasalnya tatapan tajam Ian benar-benar menusuk keberanian mereka."Aku baru saja akan ke atas." Karen menghadap penuh ke arah Ian yang sedang kesal.Ian tidak membalas dan langsung merangkul Karen. Membawanya keluar dan masuk ke dalam mobil dalam keheniangan.Karen tampak berpikir. "Apa kau sakit?"Ian membuang napas dan menjawab, "Tidak.""Apa aku melakukan kesalahan?"Ian melajukan mobilnya denga
Karen menatap Ian. "Bisakah aku membaca berita lainnya?" tanyanya. Dia merasa takut, tetapi ingin tahu lebih jelas tentang berita tersebut."Lakukan apa yang kamu mau!" Ian bersandar di kepala Karen yang bersandar di bahumu. Matanya mengikuti pandangan Karen yang fokus pada layar HP.[Kisah Kontroversial CEO J: Cerai dari Istri untuk Memperoleh Hak Warisan][Skandal CEO J: Memutuskan Cerai dan Menikahi Wanita Lain demi Warisan Keluarga]Karen terus menggerakkan jarinya, membaca setiap headline dengan jantung yang berdegup kencang.Dia mencoba membuka beberapa komentar di situs web dengan tangan yang berkeringat. Ian yang menyadari itu segera mengambil tisu dan mengeringkan tangan Karen."Tarik napas, Karen. Kamu tidak salah apa-apa!" ucap Ian sambil menarik Karen untuk duduk menghadap samping sofa. Kedua kakinya berada di atas sofa, dan tangan kanannya dapat bersandar ke punggung sofa.Ian menyisir rambut Karen dengan hati-hati, lalu mengikat rambut Karen yang tadinya terlihat menggang