"Baik... " Karen menerima box yang berisi satu espresso dingin.
Saat keluar dari kafe Karen lagi-lagi membuka sedikit mulutnya. Melihat gedung raksasa itu membuat badannya merinding. Beralih ke lampu zebracroos yang berubah hijau dia berjalan mendekati pintu masuk gedung Shambara."Selamat pagi! Ada yang bisa Saya bantu?" Satpam berwajah ramah itu sedikit mengagetkan Karen. Meski begitu Karen tetap tersenyum manis seperti biasanya."Pagi. Saya mau mengantarkan kopi pesanan Tuan Ian Shambara," jawabnya lembut meski dia sedikit takut karena badan tinggi si Satpam."Direktur Yan ada di atas, Nona bisa langsung naik lift yang ada di tengah."Karen mengangguk dan berterima kasih. "Direktur Yan? Ian? Haruskah aku memanggilnya seperti itu juga?" batinnya.Sepanjang perjalanan ke atas, Karen terus bergelayutan dalam pikirannya sendiri. Sementara orang-orang di sana sesekali melihat ke arahnya.Saat sampai di atas, pintu lift terbuka lebar memperlihatkan ruangan dengan dinding berwarna coklat muda, saat dia berbelok ke kanan dia melihat seseorang yang duduk di sisi dalam meja panjang.Di atas mejanya terdapat kaca bertulisan Sekretaris 2, Sisil . Perempuan itu berambut coklat, diikat rendah kebelakang dengan sangat rapi. Dia kemudian menatap Karen setelah mengetahui pergerakannya."Hallo...." sapa perempuan itu ramah, kacamatanya terlihat sangat bening dan cocok di wajah bulatnya."Iya. Saya Karen, saya ingin mengantar-""Oiya, silakan masuk saja, Direktur Yan ada di dalam!" potong Perempuan itu sembari menunjuk jalan di sebelah kirinya."Terima kasih."Karen menuju lorong besar itu dan melihat pintu hitam di ujungnya. Dengan berani dia menekan bel pintu di samping kanannya, tidak lupa dia berdiri di depan kamera pintu supaya orang di dalam dapat melihatnya dengan jelas. Beberapa detik kemudian pintu hitam itu terbuka otomatis.Saat masuk matanya langsung menangkap sesosok pria yang terlihat sangat mirip dengan manekin. Sudut mata tajam pria itu masih fokus pada lembaran dokumen di tangannya. Sisi-sisi bibirnya yang secara alami melengkung ke atas tampak membuatnya semakin tampan.Kemeja putih yang sangat pas di badannya merenggang kuat karena otot-otot lengannya. Rambut hitamnya disisir ke belakang dengan rapi. Jas formal berwarna hitam tergeletak rapi di sisi lain sofa yang dia duduki."Selamat pagi!" Karen menyapa dengan sopan.Pria itu seketika mengalihkan pandangannya pada Karen yang memasang senyum ramah. Namun seketika itu pula kopi yang Karen pegang bergetar hebat, matanya beralih pada ruang yang minim cahaya itu. Tidak ada orang lain di ruangan itu kecuali mereka.Keringat dingin membanjiri badannya. Perasaan mual menguasai perutnya. Tanpa pikir panjang Karen segera meletakkan kopi itu sembari menunduk."Silakan nikmati kopi Anda, terima kasih sudah memesan," ucapnya terbata-bata. Setelah itu tanpa menoleh kebelakang Karen pergi dengan tergesa-gesa. Sesampainya di lift Karen terduduk dengan memegang kepalanya kuat-kuat.'Sadarlah Karen! Itu sudah sembilan tahun.'Tidak bisa dipungkiri jika dia masih takut dengan masa lalunya. Sampai sekarang dia masih tidak bisa mengendalikan ketakutannya saat bersama seorang pria di ruangan yang sama.Sementara itu Ian menikmati kopinya dengan pelan. Dia mengingat kejadian barusan sambil menghela napas lega. "Dia terlihat lebih baik," batinnya saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu.***Karen berjalan pelan dengan handback putih di tangan kirinya. Menuju rumah dengan perasaan gelisah. Tangannya mengepal kuat mengingat bagaimana dia kurang professional saat menghantarkan kopi pelanggannya. Terutama jika mereka laki-laki."Kepalaku sakit!" desahnya pelan. Dengan tangan kanan dia memijat kulit di antara kedua matanya.Dia lalu beralih menarik sedikit bagian dari rambutnya lama-lama agar sakit kepalanya teralihkan. "Aku harus terbiasa. Jika tidak aku bisa dipecat," pikirnya.Sesampainya di rumah. Matanya menelusuri ruang kosong dan sepi itu, lampu-lampunya menyala terang, cat putih dan sage membuat rumah itu terasa luas dan tak berpenghuni.Karen menempelkan telapak tangannya di dada, merasakan perasaan hampa di sana, rasa sunyi yang membuatnya terisolasi dari dunia liar.Karen menghela napas panjang berkali-kali, menarik rasa negatif itu untuk diam dan menghilang. Dia memutuskan naik ke atas dan memutar musik ringan, menaruh tasnya ke dalam lemari dan membuka tirai kamar yang langsung menuju arah kota."Awannya berwarna ungu." Karen keluar dan berdiri di balkon selama beberapa saat, sebelum duduk dan menatap kosong awan sore yang berwarna warni itu. Pemandangan yang sangat menenangkan itu membantu melepas rasa gelisah di dalam dirinya"Jam 17:40? Aku ingin istirahat sebentar," janjinya pada diri sendiri. Di balkon itu dia duduk bersandar nyaman, menutup mata dan tertidur karena rasa kantuk yang sangat kuat.Karen terbangun tiba-tiba dengan mata yang basah. "Lagi-lagi mimpi itu!" gusarnya sedikit putus asa. Meski begitu dia tau mimpinya bukan sesuatu yang bisa dia kontrol.Matanya menatap jam yang menunjukkan pukul 21.16, mulutnya terdiam. Lagi-lagi dia lupa waktu, pikirannya yang kosong membuat wanita malang itu melupakan kondisi tubuhnya yang tengah kedinginan.Karen masuk dan menutup pintu dan tirai balkon rapat-rapat. Dia masuk ke kamar mandi dan melepas semua pakaiannya, setelah membersihkan diri, dia menyetel suhu air menjadi hangat dan berendam ke bathubnya."Aku harus bangun lebih awal besok!"Suhu hangat air di dalam bathtub itu membuat Karen nanyam dan melamun, kepalanya menghadap ke langit-langit kamar mandi yang putih bersih. Wangi sabun membantunya terus melamun dalam pikiran kosong."Hari ini berjalan baik? Mungkin, besok bagaimana?"Suara musik di liar tidak sampai ke telinganya, di sana hanya ada kekosongan dan kesunyian."Ku pikir aku benar-benar cengeng, pantas saja mereka membenciku!"Air bening dari matanya jatuh ke dalam bathtub hangat itu, menyisakan rasa hangat di mata dan pipinya, beberapa menit kemudian dia mulai lupa dan tidak fokus.***Suara berisik dari smartphonenya membuat Karen bangun dengan pelan. Matanya turun ke bawah dan melihat genangan air dingin di badannya. Dengan pikiran kosong Karen beralih menatap telapak tangannya yang berkeriput hebat.Dia berdiri dengan langkah gontai mengambil handuk dan keluar dari kamar mandi. Sambil mengigil dia mengambil smartphonenya dan mengangkat telpon itu."Hallo Karen? Apa kau sakit?"Holaa... Di BAB ini aku pengen sedikit berbagai informasi melalui cerita, di mana depresi itu kadang gak cuma teriak-teriak di luar kendali, tapi juga kadang bisa gak sadar sama waktu. terima kasih sudah baca. thank you so much readersssss
Pertanyaan itu membuat Karen menjauhkan HP-nya. Membaca nama pemilik nomor. Nama Jessica termampang jelas di layarnya, dia segera menjawab, ["I- Iya maaf aku terlambat."] Meski menjawab cepat Karen tidak bisa menyembunyikan suara seraknya.["Kau yakin?"]["Iya...."]Suara serak dan tarikan napas yang tersumbat-sumbat, membuat Jessica memerlukan waktu untuk berkata, ["Kau sedang sakit. Kau boleh izin selama seminggu. Pastikan kau minum obat dan istirahat yang cukup."]["Ta-tapi ak-"]Kata 'aku baru saja bekerja' terpotong segera.["Tidak usah memikirkan itu, bagaimanapun kesehatan karyawan kami lebih penting. Istirahat lah dan jangan sungkan menghubungi kami kalau kau perlu bantuan."]Setelah sambungan telepon itu terputus, Karen menerima pesan dari Jessica.[Ini nomor-nomor karyawan Buzz Bean Caffe, jangan sungkan meminta bantuan. Aku beri tahu satu rahasia karyawan kita, mereka suka libur:)]Membaca i
Wanita licik itu terkejut dan kesal, tetapi akhirnya mengalah dan pergi dengan wajah yang merah padam, sementara situasi kembali berubah seperti semua."Maaf sudah menyebabkan kekacauan," kata Ian sambil berdiri tegap namun tetap sopan."Tidak apa-apa. Apa itu pacarmu?" tanya Jessica tanpa basa basi. Mendengar itu Sonia dan Karen segera pamit undur diri. Mereka sama sekali tidak tertarik mendengar percakapan itu. "Tidak, dia rekan kerja." Matanya masih menempel pada Karen yang masuk ke Coffee station.Bagaimana dia bisa kencan. Ibunya saja sering marah karena dia lebih mementingkan pekerjaannya. Ibunya pernah mengomeli dan menyuruhnya menikahi pekerjaannya karena tidak mau kencan buta."Hah... Kau ini, lain kali jangan diam saja!" Jessica berbicara santai setelah mengehembuskan napas kasar. "Sudahlah," lanjutnya pergi menyusul Karen dan Sonia. Jessica terlalu lelah untuk mencampuri urusan teman lamanya itu.Ian bangkit dan pergi keluar dengan tangan yang di masukan ke dalam Saku. "Lag
Senyum itu memang menawan, tetapi di mata Karen itu hanyalah sebuah seringai yang di palsukan menjadi senyuman cerah, secerah mentari pagi. Mengerikan dan membuatnya tidak nyaman."Ini pesanan Anda," ucapnya memasang senyum terpaksa. Tangan putihnya menjulurkan dua kopi yang dipesan Ian.Pria itu tidak mengambil minumannya, dia malah menatap Karen dengan sudut mata yang menyempit dan mengintimidasi.Mendapat tekanan itu Karen mengepalkan satu tangannya di belakang, berusaha menguasai diri agar tetap terlihat santai."Siapa namamu?" tanyanya kembali tersenyum, namun mata itu menatap lurus dan dalam ke arahnya."Karen.""Damian Valo, panggil saja Damian!"Damian merupakan pengusaha muda yang terkenal memiliki citra luar yang baik. Keluarga Valo menjadi bagian dari bisnis Shambara Global. Mereka sudah menjalin kerja sama selama dua tahun."Em... Baik tuan Damian."Karen kemudian mendapati Damian yang bergerak mundur memberikan ruang untuk Karen. Dengan tangan mengepal kuat Karen masuk ked
'Copat?' Mata jelinya segera memantau dan menilai situasi. Jauh di belakangnya ada seorang ibu yang berlari mengejar pria bermasker.Wajah Karen memucat. Jantungnya berdetak cepat menimbulkan rasa tidak pasti di hatinya. Tangannya yang kecil menggenggam kuat-kuat tas di tangannya. Hatinya dapat merasakan bagaimana Ibu itu berusaha keras mengambil tasnya, saat pencuri itu semakin dekat dengan segenap keberanian dia menyandung kaki pencuri itu."WANITA SIALAN!" maki Pria itu setelah tersungkur jauh, terlihat jelas bagaimana sikunya terkikis oleh aspal trotoar yang kasar.Bergulat dengan ketakutannya sendiri Karen mengambil tas itu dengan cepat. Tetapi ternyata tidak segampang yang dia kira. Hanya perlu beberapa detik sebelum penjahat itu menarik kembali tas merah itu dari tangannya.Orang-orang yang berusaha membantu terlambat membantu Karen. Pencuri itu tampak lihai mencari tempat untuk kabur. Karen melihat kukunya yang patah karena berusaha mempertahankan tas itu.Rasa sakit yang begi
Aliran dingin dan gelap terasa merembes dari kepala ke pipinya. Kesadarannya menurun drastis, meski begitu tangannya yang kurus tetap memeluk erat tas merah itu sekuat tenaga.Badannya tergeletak tak berdaya di tembok. Matanya tertutup tepat saat darah dingin di kepalanya masuk ke matanya. Hal yang terakhir dia dengar adalah suara ramai dari sebelah kanannya. Orang-orang yang datang segera menghubungi ambulance. Pencuri berhasil diserahkan ke pihak berwajib tanpa ada cedera--akibat main hakim sendiri.15 menit kemudian Karen berhasil di bawa ke rumah sakit terdekat. Sekantong darah dimasukan ke pembuluh darahnya secara perlahan melalui infus."Apa dia terluka parah?" tanya Wanita tua pemilik tas merah itu. Matanya memandang gadis malang yang terluka karenanya."Hasil tesnya baik. Tidak ada luka dalam. Hanya perlu 3 jahitan di kepalanya."Setengah jam berlalu. Wanita tua masih tengah memegang tas merahnya sambil duduk menunggu gadis kurus itu bangun. Mata wanita itu kemudian beralih ke
Karen kembali ke caffe station dengan cepat. Matanya yang tidak seceria saat dia pergi membuat Sonia menyilangkan tangan dan lanjut memarahinya."Sudah ku katakan tadi, jangan pergi ke seberang." Sonia mengeleng dua kali sebelum akhirnya berjalan pergi dengan kesal.Karen hanya membalas dengan senyuman tipis. Mengingat berita pernikahan Jones dan Celina yang baru muncul setelah sekian lama, membuat Karen yang mengingat kembali hari di mana keluarga Elvano tanpa ampun memojokannya untuk berpisah dengan Jones.Di kota ini akhirnya dia sedikit demi sedikit menyembuhkan pikirannya. Berusaha menanamkan sugesti jika dia perempuan yang layak mencintai dan dicintai meski tidak dapat mengandung bayi kecil sebagaimana mestinya.Tetapi saat dia mulai merasakan kembali kepercayaan dirinya dan menemukan kehangatan baru di hatinya, dengan kejam alam bawah sadarnya memberi ribuan rasa yang menjatuhkan kepercayaan itu.'Apa aku pantas mencintai orang lain?'***Ian membaca beberapa berkas yang menump
30 Menit Sebelumnya.Di villa pribadi yang megah dan nyaman, seorang Pria dengan mata tajam dan dingin keluar dari kamar mandi. Handuk yang terlilit di pinggang sempitnya terlihat basah oleh aliran air yang membasahi kedelapan roti sobeknya.Setelah berolahraga dan mandi. Dia membaca pesan dari ibu yang memaksanya untuk ikut makan malam.'Lagi?' Ian melempar telponnya ke kasur dengan sangat gusar. Sudah berapa kali ibunya mengajak makan malam dan berakhir menjodohkannya. Wanita-wanita yang mekiriknya dengan pandangan kagum dan mata penuh nafsu membuatnya ingin memuntahkan muka kedua mereka.Demi uangnya mereka bahkan bersikap seperti serigala lapar yang hendak kawin, setelah memberikan uang dan membuat mereka untuk diam pergi jauh, wanita-wanita kelelawar itu segera pergi dengan penuh kebahagian seperti penjilat handal.Bahkan jika mereka kembali mengemis dan memperlakukannya seperti pengusaha mesum, dia tidak segan-segan menyelidiki semua keburukan mereka dan mengancam akan menyebark
Keesokan harinya Karen bekerja seperti biasa. Saat sampai dia segera menganti baju dan tidak lupa menutupi bekas luka di dahinya dengan headscarf coklat.Matanya terlihat sedikit membengkak. Bibirnya memerah secara alami juga terlihat membengkak. Bukannya membuat dia terlihat jelek hal itu justru membuatnya tampak lebih mempesona.Karena yang lain belum datang dia mengambil berinisiatif untuk menyiapkan segala keperluan dibagian caffe station."Selamat pagi!" sapa Karen kepada pelanggan pertama yang masuk dengan terburu-buru. Sebenarnya mereka belum buka, tetapi melihat wajah cemas pelanggan itu, Karen memutuskan untuk mendengar pesanannya."Maaf mengganggu... padahal kafenya belum buka. Tapi bisa saya memesan ini, kami sangat memerlukannya," ucap seorang wanita tua dengan wajah yang kusam.Melihat itu Karen tidak dapat menolak. Dia segera menjawab dan menyuruh Ibu itu untuk duduk dan menunggu.Jari-jari beningnya bergerak rapi m
Suatu hari di saat matahari sudah mulai menghilangkan keganasan suhunya, Ian dan seorang anak kecil tengah berjalan santai di tepi laut.Pasir putih dan lembab kadang menempel di telapak kaki mungil anak kecil tersebut. Ian yang melihat itu segera tersenyum dan berjongkok."Kyle. Kemari!" panggilnya pada Anak laki-laki tersebut.Kyle yang awalnya asik berlarian segera berbalik dan berlari cepat ke arah Ian."Papa ada kerang di sana!" teriak Anak umur 5 tahun tersebut.Ian menggosok-gosokkan rambut Kyle lembut. "Mau ambil dan berikan ke mama?" tanyanya sembari melipat celana Kyle agar tidak basah."AMBIL...." Kyle segera mengambil kerang putih di pantai dengan cepat.Wajah tembem dan putihnya terlihat menyatu dengan warna pasir. Matanya yang hitam pekat menatap kerang yang tidak berawak tersebut dengan rasa penasaran. Tetapi dia segera kembali dan memegang tangan ayahnya."Kyle rindu mama!"Ian tertawa. "Kau yang menangis minta keluar dan sekarang sudah rindu mama.""Kyle tidak akan kel
Karen merasakan telapak tangannya dibanjiri oleh keringat, bukan karena takut tetapi karena malam ini adalah malam pertama pernikahan mereka. Bahkan saat berjalan menuju kamar hotel kakinya tidak berhenti bergetar.Sementara itu Ian masih menggenggam tangannya dengan erat, membimbing jalan menuju ruangan besar yang sudah ada di depan matanya saat ini.Saat melihat ruangan yang cantik itu sungguh membuatnya merasa akan segera meledak dan jatuh ke lantai, tetapi saat dia tidak fokus Ian segera mengangkat seluruh badanya di depan dada kokoh tersebut."Kau sangat gugup ha?" Ian melihat ke atas di mana dia mengangkat Karen lebih tinggi dari biasanya.Wajah Karen sepenuhnya memerah, wajah tampan Ian yang tengah mengangkat badannya saat ini benar-benar diluar nalar. Sangat-sangat tampan bak pangeran dari kerajaan fantasy."Ian... kita lakukan lain kali saja en. Aku pikir aku akan gila-- Aaa?" Karen merosot sampai ke pinggang Ian."Aku akan berhati-hati!" Ian menatap mata Karen dalam. Menungg
Sore hari di rumah Ian yang sunyi. Ruang besarnya terasa kosong bahkan saat dua manusia berlawanan jenis tengah duduk berseberangan. Sementara seorang pria duduk di kamarnya sambil menghadap cctv yang menyoroti kedua lawan jenis tersebut.Dia melihat kedua orang tersebut berbicara meski dia tidak bisa mendengarnya. Hatinya tidak bisa tenang, dia benar-benar fokus untuk siap mengirim kematian jika pria di ruangan sana berani maju selangkah.Dia sangat menghormati keputusan Karen. Senyum di wajah gadis itu saat ini membuatnya sadar jika gadis itu membuatnya semakin terinspirasi untuk lebih kuat dan kuat.Di ruang lain. Karen dan Jones duduk berseberangan. Sebuah meja kaca hitam memisahkan mereka.Karen merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena dia masih mencintai Jones ataupun takut padanya, tetapi karena keberaniannya saat ini membuatnya seolah-olah bisa menyeberangi lautan seorang diri.Jones mengamati tampilan Karen yang hangat, tetapi mata gadis itu tampak layu, syal yang t
Ian dan Karen sama-sama mempersiapkan beberapa keperluan untuk pindah ke Negara tempat perusahaan cabang Shambara berada. Jadwal penerbangan tinggal 2 hari lagi, tidak terlalu mendadak sehingga Karen masih dapat meyakinkan diri untuk pergi."Karen, Ibuku sebentar lagi sampai. Aku pergi dulu ya!" ucap Ian segera mengecup dahi Karen dan pergi.Karen hanya melambai di depan pintu mengantarkan Ian. Tepat saat Ian pergi sebuah mobil putih yang Karen tau masuk ke halaman rumahnya.Dia menaikkan bibirnya beberapa kali, memastikan senyumnya lebih baik dan terlihat tulus."Karen! Ayo masuk." Nyonya Abel dengan cepat membawa Karen ke meja makan. Dia mengeluarkan semua makanan yang dia bawa dari rumah."Berat badanmu turun lagi! Ck ck ck, kau harus banyak makan!" Nyonya Abel memberikan semangkuk nasi ke hadapan Karen.Karen melihat nasi putih dan hangat itu dengan tatapan tidak berselera. Tetapi setelah beberapa menit dia akhirnya mengambil sendok dan nasi."Karen. Ayo keluar!" Tanpa persetujuan
Karen merasa badannya akan remuk jika Ian tidak melonggarkan pelukannya. Dia mengambil napas dalam agar badannya dapat membesar untuk menciptakan sedikit ruang.Matanya memerah, namun air matanya tampak kering dan tertahan, hidungnya memancarkan asam yang membuat Karen mengigit bibir lebih kuat."Ian...." Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hatinya semakin berat dan berat, hanya nama Ian yang akhirnya keluar dari bibir kecilnya."Apa ini perbuatan Jones?" Ian bertanya dengan suara rendah, setenang apapun dia berusaha mengontrol suaranya agar tidak menyakiti Karen, dia pasti akan membuat Karen mengeluarkan reaksi jujur dari tubuhnya.Mendengar nama itu. Tubuh Karen yang awalnya lemah kembali bergetar, kesadarannya menipis sementara tangannya menggenggam baju Ian dengan sangat kuat.Di balik pikirannya yang kacau, dia masih memperhatikan perilaku Ian. Tidak ingin pria ini pergi dan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.Ian merasakan rahangnya menjadi keras, bahkan tanpa Karen mengadu
"Karen! Aku akan pergi, jangan lakukan oke?"Karen membuka mata dan melihat jelas jika Jones sedang menangis. Melihat pria itu menangis dan pergi membuat Karen merasa dapat sedikit bernapas lega. Dia segera turun dan mengunci pintu kamar, masuk ke bathubnya dan memendam seluruh badannya.'Aku memang seharusnya tidak dilahirkan, maaf Ibu... seharusnya aku tidak mengatakan ini, seharusnya bukan aku yang jadi anakmu, dengan begitu aku tidak perlu membuat janji yang tidak bisa aku tepati!'***Ian memutar balik arah mobilnya tepat saat Karen menutup telpon, dia tidak tahu kenapa, yang pasti dia harus memastikan jika Karen baik-baik saja.Kewaspadaannya meningkat tepat saat matanya dengan jelas melihat gerbang dan pintu depan rumah Karen yang terbuka lebar. Dia segera masuk ke halamam dan memarkir mobil.Dia masuk ke rumah dengan harapan tidak ada hal buruk yang terjadi. Rumah itu tampak sunyi dan sofanya sedikit berantakan, Ian menggelngkan kepalanya sembari berjalan cepat menuju kamar Ka
Karen mematung kehabisan bahasa. Bibirnya tampak bergetar, bukan karena rasa sakit di bahunya tetapi karena kenyataan bahwa Jones membuangnya dengan kejam beberapa bulan lalu.Dia bahkan tidak mendengarkan penjelasannya, tidak sedikitpun membelanya saat di cemooh oleh ibunya. Bahkan mengatakan cerai tepat di depan selingkuhannya.Menawarkan kontrak untuk dimadu saja sudah membuatnya menyesali kehidupannya 24 tahun ini. Namun kini dengan mudah dia menawarkan neraka kembali padanya. Apakah dia tidak memikirkan perasaannya selama ini."Lepaskan!" Karen berkata dengan dingin.Jones menatap mata Karen yang kosong seolah tidak memiliki jiwa di tubuhnya. Dia ingat sekeretarisnya mengatakan Karen menjalani operasi yang memungkinkan dia untuk hamil.Mengetahui itu tentu saja dia sangat terkejut sekaligus menyesal. Karena dulu dia bahkan tidak membawa Karen melakukan pemeriksaan dengan benar, alih-alih langsung percaya pada ibunya yang mengatakan Karen mandul."Tidak! Karen kembali padaku!""Ak
"Karen!" panggil Ian yang baru saja keluar dari lift.Matanya memancarkan tatapan tajam ketika melihat karyawan pria di perusahaannya tengah mengerumuni Karen dengan wajah bersemu.Hari ini mereka berencana pulang ke rumah Karen bersama-sama. Jadi dia segera turun karena tidak ingin membuat Karen menunggu lama, sebearnya dia akan menjemput Karen di kafe tetapi dia malah melihat tunangannya itu di lobi."Ian?" Karen memperlihatkan senyuman yang lebih terang."Direktur Yan!" Para Karyawan itu segera mundur dan pamit. Mereka terlihat sedih Karena tidak bisa berbicara lebih banyak dengan Karen. Pasalnya tatapan tajam Ian benar-benar menusuk keberanian mereka."Aku baru saja akan ke atas." Karen menghadap penuh ke arah Ian yang sedang kesal.Ian tidak membalas dan langsung merangkul Karen. Membawanya keluar dan masuk ke dalam mobil dalam keheniangan.Karen tampak berpikir. "Apa kau sakit?"Ian membuang napas dan menjawab, "Tidak.""Apa aku melakukan kesalahan?"Ian melajukan mobilnya denga
Karen menatap Ian. "Bisakah aku membaca berita lainnya?" tanyanya. Dia merasa takut, tetapi ingin tahu lebih jelas tentang berita tersebut."Lakukan apa yang kamu mau!" Ian bersandar di kepala Karen yang bersandar di bahumu. Matanya mengikuti pandangan Karen yang fokus pada layar HP.[Kisah Kontroversial CEO J: Cerai dari Istri untuk Memperoleh Hak Warisan][Skandal CEO J: Memutuskan Cerai dan Menikahi Wanita Lain demi Warisan Keluarga]Karen terus menggerakkan jarinya, membaca setiap headline dengan jantung yang berdegup kencang.Dia mencoba membuka beberapa komentar di situs web dengan tangan yang berkeringat. Ian yang menyadari itu segera mengambil tisu dan mengeringkan tangan Karen."Tarik napas, Karen. Kamu tidak salah apa-apa!" ucap Ian sambil menarik Karen untuk duduk menghadap samping sofa. Kedua kakinya berada di atas sofa, dan tangan kanannya dapat bersandar ke punggung sofa.Ian menyisir rambut Karen dengan hati-hati, lalu mengikat rambut Karen yang tadinya terlihat menggang