Karen kembali ke caffe station dengan cepat. Matanya yang tidak seceria saat dia pergi membuat Sonia menyilangkan tangan dan lanjut memarahinya."Sudah ku katakan tadi, jangan pergi ke seberang." Sonia mengeleng dua kali sebelum akhirnya berjalan pergi dengan kesal.Karen hanya membalas dengan senyuman tipis. Mengingat berita pernikahan Jones dan Celina yang baru muncul setelah sekian lama, membuat Karen yang mengingat kembali hari di mana keluarga Elvano tanpa ampun memojokannya untuk berpisah dengan Jones.Di kota ini akhirnya dia sedikit demi sedikit menyembuhkan pikirannya. Berusaha menanamkan sugesti jika dia perempuan yang layak mencintai dan dicintai meski tidak dapat mengandung bayi kecil sebagaimana mestinya.Tetapi saat dia mulai merasakan kembali kepercayaan dirinya dan menemukan kehangatan baru di hatinya, dengan kejam alam bawah sadarnya memberi ribuan rasa yang menjatuhkan kepercayaan itu.'Apa aku pantas mencintai orang lain?'***Ian membaca beberapa berkas yang menump
30 Menit Sebelumnya.Di villa pribadi yang megah dan nyaman, seorang Pria dengan mata tajam dan dingin keluar dari kamar mandi. Handuk yang terlilit di pinggang sempitnya terlihat basah oleh aliran air yang membasahi kedelapan roti sobeknya.Setelah berolahraga dan mandi. Dia membaca pesan dari ibu yang memaksanya untuk ikut makan malam.'Lagi?' Ian melempar telponnya ke kasur dengan sangat gusar. Sudah berapa kali ibunya mengajak makan malam dan berakhir menjodohkannya. Wanita-wanita yang mekiriknya dengan pandangan kagum dan mata penuh nafsu membuatnya ingin memuntahkan muka kedua mereka.Demi uangnya mereka bahkan bersikap seperti serigala lapar yang hendak kawin, setelah memberikan uang dan membuat mereka untuk diam pergi jauh, wanita-wanita kelelawar itu segera pergi dengan penuh kebahagian seperti penjilat handal.Bahkan jika mereka kembali mengemis dan memperlakukannya seperti pengusaha mesum, dia tidak segan-segan menyelidiki semua keburukan mereka dan mengancam akan menyebark
Keesokan harinya Karen bekerja seperti biasa. Saat sampai dia segera menganti baju dan tidak lupa menutupi bekas luka di dahinya dengan headscarf coklat.Matanya terlihat sedikit membengkak. Bibirnya memerah secara alami juga terlihat membengkak. Bukannya membuat dia terlihat jelek hal itu justru membuatnya tampak lebih mempesona.Karena yang lain belum datang dia mengambil berinisiatif untuk menyiapkan segala keperluan dibagian caffe station."Selamat pagi!" sapa Karen kepada pelanggan pertama yang masuk dengan terburu-buru. Sebenarnya mereka belum buka, tetapi melihat wajah cemas pelanggan itu, Karen memutuskan untuk mendengar pesanannya."Maaf mengganggu... padahal kafenya belum buka. Tapi bisa saya memesan ini, kami sangat memerlukannya," ucap seorang wanita tua dengan wajah yang kusam.Melihat itu Karen tidak dapat menolak. Dia segera menjawab dan menyuruh Ibu itu untuk duduk dan menunggu.Jari-jari beningnya bergerak rapi m
Damian berbalik dan melambai-lambaikan tangannya sedikit. "Kenapa?" tanyanya setelah mendapat penegasan tidak beralasan dari Ian."Cari saja perempuan lain!" Ian berkata dengan mengontrol emosinya. Napas panjang dikeluarkan dari bibir tipisnya.Damian menasukan tangannya ke kantong celana, berdiri tegap, bahu lebar dan pinggang sempit membuat posturnya begitu kekar, seolah tidak nyata."Karena dia milikmu?" godanya yang langsung mendapat tatapan tajam dari Ian.Damian tidak memberikan kesempatan untuk lawannya berbicara. Sebelum pergi dia mengucapkan, "Sampai jumpa!"'Aku akan datang padanya ketika dia berguna.'***Di Buzz Bean Caffe. Karen membersihkan peralatan dengan hati yang gembira. Hari ini mereka tutup lebih awal karena malam nanti akan ada pesta kecil yang di adakan oleh Jessica.Semua karyawan sangat senang, mereka bergegas pulang untuk bersiap-siap. Karen yang terakhir membersihkan caffe st
Ian duduk dengan nyaman. Mata tajamnya melihat sekeliling dengan cepat. Suasana restoran yang sedikit ramai membuat kepalanya berdenyut. Dia benar-benar tidak suka keramaian."Direktur Yan. Ini minumannya!"Ian mengangkat matanya, menatap mata Yura yang penuh make up dengan perasaan bosan, lalu beralih pada minuman merah yang diletakkannya ke atas meja."Setelah ini kau bisa pergi!" Usir Ian terus terang. Tajam dan berat.Yura tersenyum kikuk, sudut bibirnya berkedut beberapa kali demi mempertahankan senyum palsunya. "Tentu! Setelah minumannya habis," jawabnya centil. Matanya memandang lembut pria beraura dominant di hadapannya ini.Senyum licik terpampang jelas di wajahnya. Disembunyikan dengan elok di balik gelas kaca yang berisi anggur merah, senada dengan lipsticknya."Hmm." Suara singkat itu terdengar sebagai jawaban.Ian menatap gelas kaca itu dengan malas. Jika bukan karena menghormati pertemuan terakhir yang mere
Kenapa? Karen juga tidak tahu harus menjawab apa, dia seharusnya tidak berbalik dan menolong orang di hadapannya sekarang.Seharusnya dia diam dan kembali ke tempatnya, dan kenapa dia marah? Dia juga tidak tahu."Karena hanya badanmu saja yang besar!" ejek Karen. Menurutnya itu cocok, karena Ian sangat keras kepala dan menilai orang kain berdasarkan egonya, mirip orang yang berpikiran sempit.Dia tidak ingin berdebat lebih jauh karena sejak awak dia tidak ingin berlama-lama dengan orang yang membencinya. Jadi dia berbalik sambil mengabaikan Ian yang masih berbicara dengannya.***Dua minggu berlalu setelah kejadian di restoran hotel hari itu. Karen masih tidak mengantar kopi ke tempat Ian.Meskipun Jessica yang meminta, Karen hanya meminta maaf, dia tahu dia tidak profesional, tapi dia benar-benar tidak ingin terlibat lebih jauh, karena semakin dia mulai terbiasa dengan seseorang, semakin banyak pula kesalahpahaman setelahnya.
Karen berhenti sesaat ketika sampai di zebracroos, sambil menunggu lampu berubah hijau dia mengernyitkan dahinya.'Kopinya?' batinnya seraya mengangkat tangan kanannya yang sudah kosong.Melihat itu dia menghela napas kasar sembari memijat ruang di antara kedua alisnya. Dia merasa baru saja melompat waktu karena lupa bagaimana proses mengantar kopi tadi.Lampu sudah hijau dan dia segera menyeberang bersama angin kencang yang bising. Tetapi sekali lagi itu bahkan tidak mengusiknya.Dia merasa Ian mengatakan sesuatu padanya, tapi dia benar-benar tidak menangkap perkataan orang tersebut. Karen menggeleng cepat dan masuk ke kafe dengan setengah fokus."Karen, Jessica menunggumu!" jelas seorang karyawan kafe laki-laki dengan santai. Karen menganguk dan berterima kasih.Sementara kakinya berjalan ke ruangan Jessica, tangannya mulai berkeringat dan gelisah. Dia takut Jessica akan memarahinya karena sikap buruknya, tetapi di sisi lain di
Beberapa waktu lalu, Ian menerima panggilan dari Jessica yang mengatakan Karen pulang seorang diri. Suara rendah itu bercampur dengan kekhawatiran yang jelas.Karena itu dia segera mengambil payung dan keluar, rapat pada malam itu segera diundur menjadi besok pagi. Saat gelap Ian berjalan dengan cepat sesuai arahan peta di telponnya. Melihat jarak yang cukup jauh membuat Ian memiliki banyak pertanyaan, tetapi itu hanya sampai hujan deras turun.Dia segera menerawang jalan yang sunyi dan gelap, meski lampu-lampu kecil menyala, hal tersebut tidak dapat mengusir kegelapan. Dia langsung berlari kencang menerobos hujan dengan pakaian yang basah.'Di mana dia?' Ian terus mencari ke sekitar sambil mengikuti arahan peta, kakinya berhenti tepat saat melihat gadis perambut pendek menatap gang gelap dengan tangan mengepal.'Kenapa dia tidak berlari melewati gang itu?' Punggungnya berkontraksi dan segera memakai payung, entah di mana dia l
Suatu hari di saat matahari sudah mulai menghilangkan keganasan suhunya, Ian dan seorang anak kecil tengah berjalan santai di tepi laut.Pasir putih dan lembab kadang menempel di telapak kaki mungil anak kecil tersebut. Ian yang melihat itu segera tersenyum dan berjongkok."Kyle. Kemari!" panggilnya pada Anak laki-laki tersebut.Kyle yang awalnya asik berlarian segera berbalik dan berlari cepat ke arah Ian."Papa ada kerang di sana!" teriak Anak umur 5 tahun tersebut.Ian menggosok-gosokkan rambut Kyle lembut. "Mau ambil dan berikan ke mama?" tanyanya sembari melipat celana Kyle agar tidak basah."AMBIL...." Kyle segera mengambil kerang putih di pantai dengan cepat.Wajah tembem dan putihnya terlihat menyatu dengan warna pasir. Matanya yang hitam pekat menatap kerang yang tidak berawak tersebut dengan rasa penasaran. Tetapi dia segera kembali dan memegang tangan ayahnya."Kyle rindu mama!"Ian tertawa. "Kau yang menangis minta keluar dan sekarang sudah rindu mama.""Kyle tidak akan kel
Karen merasakan telapak tangannya dibanjiri oleh keringat, bukan karena takut tetapi karena malam ini adalah malam pertama pernikahan mereka. Bahkan saat berjalan menuju kamar hotel kakinya tidak berhenti bergetar.Sementara itu Ian masih menggenggam tangannya dengan erat, membimbing jalan menuju ruangan besar yang sudah ada di depan matanya saat ini.Saat melihat ruangan yang cantik itu sungguh membuatnya merasa akan segera meledak dan jatuh ke lantai, tetapi saat dia tidak fokus Ian segera mengangkat seluruh badanya di depan dada kokoh tersebut."Kau sangat gugup ha?" Ian melihat ke atas di mana dia mengangkat Karen lebih tinggi dari biasanya.Wajah Karen sepenuhnya memerah, wajah tampan Ian yang tengah mengangkat badannya saat ini benar-benar diluar nalar. Sangat-sangat tampan bak pangeran dari kerajaan fantasy."Ian... kita lakukan lain kali saja en. Aku pikir aku akan gila-- Aaa?" Karen merosot sampai ke pinggang Ian."Aku akan berhati-hati!" Ian menatap mata Karen dalam. Menungg
Sore hari di rumah Ian yang sunyi. Ruang besarnya terasa kosong bahkan saat dua manusia berlawanan jenis tengah duduk berseberangan. Sementara seorang pria duduk di kamarnya sambil menghadap cctv yang menyoroti kedua lawan jenis tersebut.Dia melihat kedua orang tersebut berbicara meski dia tidak bisa mendengarnya. Hatinya tidak bisa tenang, dia benar-benar fokus untuk siap mengirim kematian jika pria di ruangan sana berani maju selangkah.Dia sangat menghormati keputusan Karen. Senyum di wajah gadis itu saat ini membuatnya sadar jika gadis itu membuatnya semakin terinspirasi untuk lebih kuat dan kuat.Di ruang lain. Karen dan Jones duduk berseberangan. Sebuah meja kaca hitam memisahkan mereka.Karen merasakan jantungnya berdetak kencang, bukan karena dia masih mencintai Jones ataupun takut padanya, tetapi karena keberaniannya saat ini membuatnya seolah-olah bisa menyeberangi lautan seorang diri.Jones mengamati tampilan Karen yang hangat, tetapi mata gadis itu tampak layu, syal yang t
Ian dan Karen sama-sama mempersiapkan beberapa keperluan untuk pindah ke Negara tempat perusahaan cabang Shambara berada. Jadwal penerbangan tinggal 2 hari lagi, tidak terlalu mendadak sehingga Karen masih dapat meyakinkan diri untuk pergi."Karen, Ibuku sebentar lagi sampai. Aku pergi dulu ya!" ucap Ian segera mengecup dahi Karen dan pergi.Karen hanya melambai di depan pintu mengantarkan Ian. Tepat saat Ian pergi sebuah mobil putih yang Karen tau masuk ke halaman rumahnya.Dia menaikkan bibirnya beberapa kali, memastikan senyumnya lebih baik dan terlihat tulus."Karen! Ayo masuk." Nyonya Abel dengan cepat membawa Karen ke meja makan. Dia mengeluarkan semua makanan yang dia bawa dari rumah."Berat badanmu turun lagi! Ck ck ck, kau harus banyak makan!" Nyonya Abel memberikan semangkuk nasi ke hadapan Karen.Karen melihat nasi putih dan hangat itu dengan tatapan tidak berselera. Tetapi setelah beberapa menit dia akhirnya mengambil sendok dan nasi."Karen. Ayo keluar!" Tanpa persetujuan
Karen merasa badannya akan remuk jika Ian tidak melonggarkan pelukannya. Dia mengambil napas dalam agar badannya dapat membesar untuk menciptakan sedikit ruang.Matanya memerah, namun air matanya tampak kering dan tertahan, hidungnya memancarkan asam yang membuat Karen mengigit bibir lebih kuat."Ian...." Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hatinya semakin berat dan berat, hanya nama Ian yang akhirnya keluar dari bibir kecilnya."Apa ini perbuatan Jones?" Ian bertanya dengan suara rendah, setenang apapun dia berusaha mengontrol suaranya agar tidak menyakiti Karen, dia pasti akan membuat Karen mengeluarkan reaksi jujur dari tubuhnya.Mendengar nama itu. Tubuh Karen yang awalnya lemah kembali bergetar, kesadarannya menipis sementara tangannya menggenggam baju Ian dengan sangat kuat.Di balik pikirannya yang kacau, dia masih memperhatikan perilaku Ian. Tidak ingin pria ini pergi dan melakukan sesuatu yang tidak diharapkan.Ian merasakan rahangnya menjadi keras, bahkan tanpa Karen mengadu
"Karen! Aku akan pergi, jangan lakukan oke?"Karen membuka mata dan melihat jelas jika Jones sedang menangis. Melihat pria itu menangis dan pergi membuat Karen merasa dapat sedikit bernapas lega. Dia segera turun dan mengunci pintu kamar, masuk ke bathubnya dan memendam seluruh badannya.'Aku memang seharusnya tidak dilahirkan, maaf Ibu... seharusnya aku tidak mengatakan ini, seharusnya bukan aku yang jadi anakmu, dengan begitu aku tidak perlu membuat janji yang tidak bisa aku tepati!'***Ian memutar balik arah mobilnya tepat saat Karen menutup telpon, dia tidak tahu kenapa, yang pasti dia harus memastikan jika Karen baik-baik saja.Kewaspadaannya meningkat tepat saat matanya dengan jelas melihat gerbang dan pintu depan rumah Karen yang terbuka lebar. Dia segera masuk ke halamam dan memarkir mobil.Dia masuk ke rumah dengan harapan tidak ada hal buruk yang terjadi. Rumah itu tampak sunyi dan sofanya sedikit berantakan, Ian menggelngkan kepalanya sembari berjalan cepat menuju kamar Ka
Karen mematung kehabisan bahasa. Bibirnya tampak bergetar, bukan karena rasa sakit di bahunya tetapi karena kenyataan bahwa Jones membuangnya dengan kejam beberapa bulan lalu.Dia bahkan tidak mendengarkan penjelasannya, tidak sedikitpun membelanya saat di cemooh oleh ibunya. Bahkan mengatakan cerai tepat di depan selingkuhannya.Menawarkan kontrak untuk dimadu saja sudah membuatnya menyesali kehidupannya 24 tahun ini. Namun kini dengan mudah dia menawarkan neraka kembali padanya. Apakah dia tidak memikirkan perasaannya selama ini."Lepaskan!" Karen berkata dengan dingin.Jones menatap mata Karen yang kosong seolah tidak memiliki jiwa di tubuhnya. Dia ingat sekeretarisnya mengatakan Karen menjalani operasi yang memungkinkan dia untuk hamil.Mengetahui itu tentu saja dia sangat terkejut sekaligus menyesal. Karena dulu dia bahkan tidak membawa Karen melakukan pemeriksaan dengan benar, alih-alih langsung percaya pada ibunya yang mengatakan Karen mandul."Tidak! Karen kembali padaku!""Ak
"Karen!" panggil Ian yang baru saja keluar dari lift.Matanya memancarkan tatapan tajam ketika melihat karyawan pria di perusahaannya tengah mengerumuni Karen dengan wajah bersemu.Hari ini mereka berencana pulang ke rumah Karen bersama-sama. Jadi dia segera turun karena tidak ingin membuat Karen menunggu lama, sebearnya dia akan menjemput Karen di kafe tetapi dia malah melihat tunangannya itu di lobi."Ian?" Karen memperlihatkan senyuman yang lebih terang."Direktur Yan!" Para Karyawan itu segera mundur dan pamit. Mereka terlihat sedih Karena tidak bisa berbicara lebih banyak dengan Karen. Pasalnya tatapan tajam Ian benar-benar menusuk keberanian mereka."Aku baru saja akan ke atas." Karen menghadap penuh ke arah Ian yang sedang kesal.Ian tidak membalas dan langsung merangkul Karen. Membawanya keluar dan masuk ke dalam mobil dalam keheniangan.Karen tampak berpikir. "Apa kau sakit?"Ian membuang napas dan menjawab, "Tidak.""Apa aku melakukan kesalahan?"Ian melajukan mobilnya denga
Karen menatap Ian. "Bisakah aku membaca berita lainnya?" tanyanya. Dia merasa takut, tetapi ingin tahu lebih jelas tentang berita tersebut."Lakukan apa yang kamu mau!" Ian bersandar di kepala Karen yang bersandar di bahumu. Matanya mengikuti pandangan Karen yang fokus pada layar HP.[Kisah Kontroversial CEO J: Cerai dari Istri untuk Memperoleh Hak Warisan][Skandal CEO J: Memutuskan Cerai dan Menikahi Wanita Lain demi Warisan Keluarga]Karen terus menggerakkan jarinya, membaca setiap headline dengan jantung yang berdegup kencang.Dia mencoba membuka beberapa komentar di situs web dengan tangan yang berkeringat. Ian yang menyadari itu segera mengambil tisu dan mengeringkan tangan Karen."Tarik napas, Karen. Kamu tidak salah apa-apa!" ucap Ian sambil menarik Karen untuk duduk menghadap samping sofa. Kedua kakinya berada di atas sofa, dan tangan kanannya dapat bersandar ke punggung sofa.Ian menyisir rambut Karen dengan hati-hati, lalu mengikat rambut Karen yang tadinya terlihat menggang