Galih mencari di mana lokasi mereka. Dia akan mencari sampai kemana Tias berada. Sampai ke ujung langit pun tidak akan dibiarkan lolos. Dia melihat bahwa lokasinya ada di pulau seribu. Dia dan anak buahnya langsung meringsek menuju ke lokasi tersebut. Padahal sekarang sudah sangat malam.
Galih membawa pasukan berjumlah dua puluh lima orang. Namun, dia lupa bahwa akses menuju ke pulau itu hanya dapat di lewati oleh akses prahu pribadi. Mereka kini berada di pintu masuk. Di jaga oleh para petugas.
“Mohon maaf. Kalian mau ke mana?” tanya petugas.
“Kami mau ke pulau.” Galih menjawab dengan suara setengah bergetar karena menahan marah.
“Kalian tidak bisa.” Akan tetapi mereka tidak peduli. Galih menembak dua petugas itu, hingga mereka terkapar. Seluruh orang masuk ke dermaga. Akan tetapi, mereka harus menelan pil pahit, ketika tidak ada satu pun kendaraan bertengger di s
“Tidak usah. Biarkan saja. Sudah ada yang mengurus. Nanti tinggal dilaundri saja.” Tias lupa, jika suaminya ini sultan. Dia tidak perlu mencuci sendiri. Tias mengangguk. Ilham mengajak istrinya untuk bersiap pulang saja. Untuk sarapan, mungkin di luar pulau lebih banyak varian piliahan. Lagi pula, masih terlalu dini untuk sarapan. Mereka akhirnya menyeberang, untuk pulang ke rumah. Perjalanan sedikit lama, karena nanti akan langsung ke kantor yang ada di Bogor. Sekitar dua jam lebih mungkin hampir tiga jam.Mereka sudah menyebrang menggunakan perahu kecil, karena memang hanya perlu untuk dua orang. Biasanya malah dia menggunakan speed boat untuk menyebrang. Semburat kuning terlihat sangat cantik menerpa air yang bergejolak karena terbelah oleh dasar perahu.Tias tersenyum melihat indahnya pemandangan itu. Ilham memeluk dari samping, untuk merespon senyum istrinya itu.“Terima kasih, Pak.” Tias men
Cukup siang mereka sampai di kantor. Pukul sembilan lebih sepuluh. Ilham langsung menuju ke ruangannya , melewati lift. Mereka berpisah di lobi, dengan Ilham mengedrop Tias di lobi dan mencium keningnya sebelum dia memarkirkan mobil di basement.“Hati-hati. Aku parkir mobil dulu.” Satpam yang melihat senyam-senyum. Untuk pertama kalinya, dia melihat Ilham bucin seperti itu. Ah, tapi Tias ‘kan sudah punya suami. Seluruh kantor tahunya bahwa suami Tias adalah Galih bukan Ilham.“Pagi, Mbak.” Satpam menyapa Ilham dengan sangat santai.“Pagi pak Yanto.” Tias langsung meringsek memasuki kubikelnya. Namun, di depan dia bertemu dengan Ajeng yang memang sudah mengawasinya.“Heh, tukang selingkuh! Masih berani kamu masuk kantor ini. Kok ya masih di biarkan orang sebejad kamu menjadi pegawai negeri, ya?” Tias hanya tersenyum menanggapi celoteh Ajeng. Dia su
Ilham duduk di dermaga setelahnya. Dia begitu memikirkan hubungan antara memiliki Tias dengan memuluskan segala bentuk usaha Galih untuk posisinya di tubuh Mafia itu. Ilham memang bukan dari kepolisian atau yang berwenang. Namun ketika berhubungan dengan sang istri, mau tidak mau dia harus turun tangan. “Hai, kok malah melamun?” Tias menyusulnya, padahal tadi jelas—jelas sudah tertidur.“Hai, maaf, ya? Banyak yang aku pikirkan sehingga tidak maksimal bulan madu kita.” Ilham berbalik badan agar dapat berhadapan dengan sang istri.“Tidak masalah. Maukah kamu jujur, apakah itu ada hubungannya denganku?” Mereka saling berhadapan.“Hus, jangan pikirkan itu. Aku tidak mau kamu banyak berpikir.” Ilham menghabisi bibir mungil milik sang istri. Semakin lama semakin dalam, dengan meraih tengkuknya. Mereka sudah larut dalam buaian malam di ditepian laut dengan debur ombak
“Ah ... ternyata benar lebih asik. Semoga tidak ada yang mengintip.” Ilham mencabut miliknya. Mereka bermandikan keringat malam ini. Ilham memakai celana kolornya kembali dan meletakkan tubuh sang istri di dadanya. Mereka saling mengatuir napasnya sebelum pembicaraan berlanjut.“Kau masih tidak mau berbagi? Apa aku hanya pajangan saja? Lupakan kalau begitu! Kita pulang besok!” Ilham menepuk jidadnya. Dia meraup wajahnya kasar, menyaksikan punggung sang istri pergi meninggalkannya. Dia mengangkat tangannya kemudian mengejar sang istri. Dia dapat meraihnya sebelum sampai ke pintu resort.“Hai, kenapa jadi marah? Tapi sepertinya makin cantik kalau marah,” goda Ilham. Dia memeluk sang istri dari dalam.“Nggak usah mengalihkan pembicaraan!” Ilham membimbingnya untuk sampai pada kursi dan menariknya agar duduk di pangkuannya. Mereka saling menatap. Ilham tidak melewatkan kesempat
Pagi menjelang. Tias sudah mengenakan baju santai karena hari ini mereka akan terbang pulang. Tias sudah di depan kaca dengan sisir di tangannya. Rambutnya yang panjang dan lurus sedikit menyusahkannya. Tapi itu menjadi daya tarik untuk suaminya. Harumnya semerbak shampo membuat Ilham mengulat. Tapi hanya terpejam saja. Rasanya sangat damai mencium bau semerbak itu. “Mas, bangun, ih. Udah setengah enam. Nggak salat?” Tias sudah lebih dulu salat karena memang sudah kesingan.“Sun dulu sekali. Baru aku bangun.” Ilham masih memejamkan matanya.“Berkali-kali juga boleh setelah salat. Buruan, Ih.” Tias masih menyiri rambutnya yang sedikit kusut karena lupa membawa conditioner. Ilham langsung semangat. Dia mandi secepat kilat karena memang sudah lewat banget waktunya. Setelah itu salat dua rokaat dan bergabung dengan istrinya yang sejak tadi kesusahan menyisir rambut.“Aku bantuin.&rdq
“Lepaskan saja!” Tias melepas sarangnya dan keluarlah penghuninya. Ilham menuntun sang istri untuk melakukannya. Padahal dia seorang janda sebelumnya. Tapi pengalaman-pengalaman berbagai gaya adegan ranjang tidak sebanyak yang diketahui Ilham. Tias mulai naik dan di bantu oleh Ilham agar memposisikan diri pas pada tempatnya.“Ah, ini sakit.” Tias mengeluh karena memang terasa sedikit nyeri.“Pelan-pelan saja. Berhenti dan diam dulu. Biar kenalan.” Tias mengikuti intruksi.“Sudah lebih baik?” Tias mengangguk. Selalu tidak bisa dideskripsikan hubungan ranjang antara suami dan istri.“Kau bisa mulai beraksi kalau terasa sudah nyaman.” Tias mengigit bibir bawahnya. Dia memegang dan menggenggam jemari suaminya, kemudian meliuk bagai seorang biduan dangdut. Dengan seluruh hasratnya menjerit memekakan telinga. Kemudian ambruk ke dada sang suami set
Tias dan Ilham sudah sampai di rumah. Tias merasa remuk redam. Suaminya menggempurnya habis-habisan. Dia bahkan tidak mencuci wajahnya terlebih dahulu. Langsung saja tertidur dengan pulas. Galih hanya tersenyum melihatnya. Ilham maklum, libidonya memang sangat tinggi sekarang. Bagai tidak makan selama setahun. Dia langsung maruk. Ilham mencuci wajahnya setelah itu ke ruangannya. “Bagaimana hasilnya?” tanya Ilham. Dia duduk dengan mengangkat satu kaki.“Menurut data, dia dan Ajeng terlibat dalam satu tim dengan Galih sebagai ketuanya. Ada satu temuan yang tidak boleh dianggap remeh,Bos. Bahwa ternyata memang Galih ada maksud tersembunyi. Tugas dari ayah angkatnya atau lebih tepatnya ayah tiri, karena mamanya menjadi pelacurnya papanya itu. Ternyata diluar dugaan. Mamanya Tias adalah mantan kekasih papanya tersebut. Jadi sebenarnya tugas Galih membunuh Tias dan keluarganya. Tapi karena Galih benar-benar jatuh cinta pada Tias maka eksekusi diundur
“Masak apa?” Cukup seperempat jam.“Bikin salad sama roti bakar. Mandi dulu, ah. Kita sarapn setelahnya.” Tias mengikuti snag suami masuk ke kamar untuk berganti baju. Dia langsung mengenakan blezer dengan warna abu-abu senada dengan jas milik suaminya. Ilham sudah selesai mandi juga, ketika Tias memberikan sentuhan akhir pada bibirnya.“Terima kasih, Sayang.” Tias tersenyum dan keluar terlebih dahulu untuk menyiapkan susu hangat. Sedangkan Ilham sudah selesai dengan kemeja dan celananya. Dia menyususl istrinya.“Kemarikan dasinya.” Tias dengan jinjit menggapai leher suaminya. Tingginya yang jenjang membuat dirinya kesusahan. Dia mengikatkannya. Ilham mencium keningnya setelah Tias selesai.