Pagi-pagi sekali, Daniel sudah bangun. Hari ini ia akan mencoba untuk hidup tanpa bantuan Ayana. Setelah seharian kemarin merengek pada asistennya itu untuk menikah, pada akhirnya ia menyerah juga.
Lagian Ayana itu songong banget nolak seorang CEO seperti dirinya. Perempuan yang tidak ada syukurnya sama sekali, apa coba kurangnya Daniel? Ganteng? Iya.Tajir? Uh, jangan dibilang. Baik hati? Tentu saja.
Dasar memang Si Ayana pemikirannya dangkal. Tidak bisa membedakan mana berlian, mana perhiasan hadiah kerupuk.
Maka dari itu, dengan tekad yang bulat. Daniel segera bangun untuk menuju kamar mandi. Sekitar lima menit, ia memandangi kakinya secara bergantian dengan sendal kamarnya. Pikirannya berkecamuk, apakah ia sanggup mengayunkan kaki ke kamar mandi yang mungkin jaraknya seperti ia mendaki gunung.
Itu hanya tebakan Daniel saja, jangan, kan, mendaki gunung. Menggerakkan kaki saja ia sungguh mager.
"Daniel, kamu pasti bisa!" Ia meyakinkan dirinya sendiri.
Perlahan kakinya memakai sendal. Lalu tangannya ditumpukan pada kasur agar ia bisa berdiri.
Setelah berhasil berdiri, terdengar helaan napas lega dari bibirnya. Daniel tentu tidak langsung berjalan, terlebih dulu lelaki itu menarik napas kemudian membuangnya. Ia harus mengumpulkan energi sebanyak mungkin. Agar nanti tidak kelelahan ketika perjalanan menuju kamar mandi.
Merasa energi yang sudah dikumpulkan cukup, dengan pelan Daniel mulai melangkahkan tungkainya. Tiga langkah lelaki itu berjalan, ia berhenti sejenak mengambil napas.
"Astaga, kenapa kamar mandinya jauh sekali?!" Ia merasa dongkol.
Sementara Ayana yang baru saja selesai membuat sarapan di dapur dan bermaksud ingin membangunkan majikannya dibuat tersentak.
Kemarin, lelaki itu sibuk mengajaknya menikah sampai rasanya telinga Ayana ingin pecah mendengarnya. Sekarang, Daniel kembali bertingkah aneh. Entah drama apa yang sedang dimainkan majikannya itu?
Merasa khawatir dengan Daniel. Ayana cepat-cepat mendekat dan langsung memegang lengan lelaki itu. "Tuan Besar. Kenapa kau berjalan sendiri?"
Ayana kaget saat melihat wajah Daniel yang pucat pasi. Berbeda dengan sang asisten yang panik. Lelaki itu hanya diam seraya memandangi wajah Ayana.
"Lepas!" Daniel menarik tangannya.
"Tuan, ada apa? Kau marah padaku?" tanya Ayana.
Melihat raut wajah Tuan Besarnya yang tidak bersahabat membuat Ayana sedikit takut. Bagaimana jika Daniel memecatnya? Astaga, mencari pekerjaan sekarang sangat susah.
Tanpa ingin menjawab, Daniel mengabaikan pertanyaan Ayana dan lebih memilih melanjutkan perjalanannya.
"Tuan, aku tidak bermaksud menolakmu. Tapi—"
Daniel tiba-tiba berhenti membuat Ayana juga ikut berhenti. Lelaki itu menatap penuh selidik pada asistennya itu. "Jadi, kau setuju menikah denganku?"
Tentu Ayana langsung menggeleng. "Sudahlah. Kau tidak akan mengerti rasanya ditolak," sedih Daniel.
Akhirnya setelah lelaki itu mengerahkan segala tenaganya, ia pun bisa duduk anteng pada kloset. Dilapnya keringat yang menempel di dahinya seraya matanya mengarah pada Ayana yang masih mengintilinya.
"Tuan, aku akan menyiapkan air hangat untukmu," tawar Ayana
"Tidak perlu, aku tidak butuh bantuanmu," tolak Daniel.
"Tapi, Tuan Besarku... kamu yakin bisa melakukan semuanya sendiri? Menyalakan keran, menyiapkan bunga mawar, dan juga busa-busa?" tanya Ayana.
Daniel sontak meneguk ludahnya. Ya Lord! Apa seribet itu hanya untuk mandi? Lelaki itu mulai berpikir tentang yang dikatakan Ayana. Pasti akan sangat melelahkan jika ia mengerjakannya sendiri. Tapi, meminta bantuan Ayana pun rasanya ia gengsi. Daniel sudah bertekad dan ia harus menyelesaikannya sampai titik darah penghabisan.
"Tuan?" panggil Ayana karena melihat majikannya itu hanya terdiam saja.
"Aku bisa melakukannya, jadi silakan kau keluar sekarang," usir Daniel.
Meski berat hati, Ayana mau tidak mau pun keluar dari kamar mandi.
"Tuan—"
"Aku bisa melakukannya, Ayana!"
***
Ayana mondar-mandir di depan kamar mandi. Tentu saja, rasa khawatirnya semakin bertambah sepuluh kali lipat. Sudah hampir lima jam majikannya di dalam kamar mandi dan tidak ada sama sekali tanda ia akan keluar.
Ia sudah mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban dari Daniel. Ia takut lelaki itu malah pingsan di dalam toilet.
"Tuan, Tuan Besarku. Apa kau baik-baik saja?" seru Ayana seraya tangannya mengetuk pintu kamar mandi.
Masih sama, Daniel belum juga menyahut. Karena rasa khawatir Ayana sudah kepalang tanggung, maka dengan kekuatannya ia langsung mendobrak pintu.
Dan sungguh Ayana terkejut saat melihat Daniel masih terduduk di atas kloset dengan pakaian sama, juga wajahnya yang tidak menunjukkan ia sudah selesai mandi.
"Tuan, kau baik-baik saja? Apa kau sudah mandi?" Ayana mendekati Daniel kemudian berjongkok di depan lelaki itu.
"Tuan Besar?"
Dipanggil seperti itu, Daniel yang semula menunduk langsung menengadahkan kepalanya. Bulir air mata langsung mengenai pipinya.
"Tuan, kenapa kau menangis?" Ayana mengusap air mata yang membasahi pipi majikannya itu.
"Ayana...." Daniel sesenggukan.
"Iya, Tuanku. Ada apa?"
Ayana merasa iba melihat Daniel menangis. Bagaimana pun jengkelnya gadis itu pada Daniel. Ia tidak akan tega jika majikannya itu terlihat sedih seperti sekarang.
"Ay, aku sudah mencoba untuk melakukan semuanya tanpamu, tapi sungguh aku tidak bisa. Maka dari itu, kau harus menikah denganku dan merawatku seperti bayi Malika," jelasnya.
"Menikah itu harus saling mencintai, Tuan. Tidak bisa asal menikah saja. Kau juga tidak tertarik padaku. Bagaimana mungkin kita akan menikah?" Ayana mencoba memberikan pengertian pada Daniel.
Suara tangisan lelaki itu semakin kencang. "Aku akan mencoba tertarik padamu, aku tidak masalah dengan wajah jelekmu itu. Yang penting kita bisa menikah," rengeknya.
Rasa iba Ayana pada Daniel seketika menghilang begitu saja. Dalam kondisi seperti ini, masih saja lelaki itu mengejeknya.
"Tuan, bagaimana kalau aku mencarikanmu seorang perempuan yang cantik? Yang sesuai tipemu?" tawar Ayana.
"Tidak! Aku hanya akan menikahimu. Aku tidak mau perempuan yang lain," kukuh Daniel.
Ayana menghela napas kasar. Majikannya memang benar-benar sudah tidak waras. Lagian kenapa juga tiba-tiba lelaki itu ingin menikah? Lebih baik ia terus menerus memerintah Ayana. Dibanding gadis itu harus mendengar rengekannya untuk menikah
Daripada lelaki itu tidak berhenti merecokinya, mungkin ia sebaiknya menenangkan Daniel terlebih dahulu.
Ayana tersenyum lembut. "Baiklah Tuan. Kita akan menikah," putusnya.
Jangan salah paham, bukan berarti ia berkata seperti itu. Ayana benar-benar akan menikah dengan Daniel. Hanya untuk menenangkan lelaki itu. Seperti seorang anak kecil yang ditenangkan ibunya—dijanjikan akan dibelikan permen.
Tentu saja, mata Daniel berbinar-binar. "Benarkah? Kau akan menikah denganku?" yakinnya.
Ayana mengangguk. "Iya, Tuan. Kita akan menikah. Tapi sebelum itu, kau harus mandi terlebih dahulu lalu memakan sarapanmu."
Daniel tersenyum semringah. Ia mengangguk-angguk patuh pada Ayana. "Aku akan mandi sekarang. Siapkan semuanya, Ay."
"Baik, Tuan." Ayana balas tersenyum.
"Aku akan menelpon Ayah, Ayana sudah setuju menikah denganku."
Ayana mendengus mendengar perkataan Daniel. Siapa juga yang mau menikah dengan Bayi Besar seperti Daniel? Aku tidak yakin dia bisa menghasilkan seorang bayi.
"Ay, cepat-cepat sedikit. Aku harus segera mandi dan menikah denganmu!"
“Ay, kau di mana? Kapan kita nikah?”Matilah Ayana kalau begini, di mana lagi ia harus bersembunyi demi menghindari kegilaan majikannya itu. Entah alasan apalagi yang harus ia katakan agar Daniel tidak terus mengajaknya menikah.“Ay....”Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ayana membuat jantungnya berdetak kencang. Namun, ia sedang berada di ruang bawah tanah. Tidak mungkin, kan, Daniel menyusulnya? Berjalan saja dua langkah lelaki itu sudah ngos-ngosan.“Ay, apa yang kau lakukan di situ?”Ayana hampir terjengkang ke belakang jika saja Daniel tidak memegang tangannya. Mata gadis itu membulat sempurna, benarkah yang dilihat di hadapannya kini adalah Tuan Besarnya? Tidak! Matanya pasti bermasalah.Demi meyakinkan dirinya jika apa yang dilihatnya itu tidak benar, Ayana segera berdiri dan mengucek-ngucek kedua matanya.“Tuan—“ Ayana mem
Dering alarm ponsel membuat Ayana tersentak dari lamunannya. Sang gadis segera meraih benda pipih itu, lalu mematikan alarmnya. Hari masih gelap, jam menunjukkan pukul 5 pagi saat Ayana sudah bersiap-siap dengan kopernya.Dia sudah berpikir semalaman untuk kabur dari Daniel. Ayana tidak bisa menikah dengan majikannya itu, seberapa keras pun ia mencoba menerima rencana pernikahan ini, tetap saja hatinya menolak.Maka dari itu sebelum Daniel terbangun, ia harus sudah tidak ada di kamar atau pun di rumah mewah ini. Setelah memastikan semua bajunya masuk dalam koper, Ayana pun berdiri, dilihatnya terlebih dahulu ruangan yang sudah menampungnya hampir puluhan tahun.Jika mengingat apa saja yang telah ia lakukan di kamarnya itu, rasanya Ayana sangat sedih bila harus meninggalkan tempat ia menghabiskan seluruh kegiatannya. Sejujurnya ia tidak ingin pergi secepat ini kalau saja majikannya itu tidak berencana menikah
Ayana sudah pasrah jika hari ini adalah akhir dari perjalanan kisahnya yang penuh lika-liku ala sinetron yang sering ia tonton. Niat ingin kabur dari kuasa Daniel Hamilton seketika kandas begitu saja saat dua Bodyguard bertubuh kekar menangkapnya ketika ia berhasil menyetop taksi.Layaknya karung yang dipanggul, begitulah tubuh gadis mungil itu dibawa dengan entengnya oleh Sang Bodyguard. Meski mencoba melawan dan meronta-ronta, nyatanya tenaga Ayana tidak cukup kuat untuk meloloskan diri dari kungkungan pria bertubuh besar itu.Berkat ketidakberdayaannya itulah membuat Ayana kini tengah duduk di kursi kebesaran Daniel dengan tangan dan kaki terikat layaknya tawanan. Keringat dingin mulai menguasai tubuh Ayana, gadis itu bergerak gelisah dengan kepala yang celingak-celinguk mencari keberadaan Tuannya.Sejak ia tiba di kamar mewah itu, ia sama sekali tidak melihat keberadaan Daniel. Seolah-olah lelaki i
Jika ingin mager, maka jadilah orang sugih terlebih dahulu. -Mas CEO MagerTidak ada yang berubah dari hidup Ayana setelah ia mencoba kabur dari Daniel dan akhirnya harus tertangkap oleh Bodyguard lelaki itu. Hanya hari itu, sang majikan bersikap seperti malaikat. Sangat penurut dan santun padanya. Namun, lewat dari hari itu Daniel kembali berulah. Suka mengejek Ayana dan menjadi lebih mager dari hari sebelumnya.Jika biasanya ia masih ingin dipapah untuk melakukan ritual membunuh kuman di tubuhnya, tapi berbeda kali ini. Ia menolak ke kamar mandi dan hanya menyuruh Ayana melap tubuhnya dengan kain yang dibasahi air hangat.Sungguh Ayana jengkel sekali. Bahkan saking parahnya, saat Ayana membasuh tubuh polos lelaki itu. Dengan santainya ia tertidur dengan dengkuran halus. Padahal gadis itu sudah setengah mati menahan hasrat untuk tidak membelai dada
Pikirkanlah dengan matang tentang yang akan kalian ucapkan. Jika tidak ingin menyesal dikemudian hari. -Puteri AyanaGedung pencakar langit memang selalu membuat takjub bagi mata-mata yang melihatnya. Begitu juga yang kini Ayana rasakan saat kakinya dengan sempurna menginjak kantor milik Tuan Besarnya.Disambut oleh beberapa pria berjas hitam elegan, Ayana tampak canggung dan merasa tidak nyaman. Namun, saat tungkainya mengayun memasuki kantor besar itu, ia seperti tersihir dan tidak berhenti berdecak kagum.Baru kali ini ia bisa memasuki gedung bertingkat, melihat interior dan beberapa robot pajangan seketika membuat Ayana seperti gadis udik yang baru masuk kota.Ia tidak tahu seberapa kaya Daniel hingga memiliki gedung yang luar biasa seperti ini. Para karyawan yang tampak sedang berlalu lalang, menunduk dan memberi hormat pada Ayana.
Ayana tidak paham dengan Daniel yang senyam-senyum tidak jelas saat ia baru saja masuk ke dalam kamar mewah lelaki itu. Wajah gadis itu sudah tidak karuan dengan rambut acak-acakan dan bajunya yang keluar. “Aku sudah pulang, Tuan.” Meski moodnya sangat buruk sekarang, ia tetap harus menyapa Daniel dengan penuh kelembutan.Sementara Ayana berjalan dengan langkah berat, Daniel menghentikannya. “Ayku sudah pulang ternyata,” senyumnya dengan manis dan wajah tak berdosa.Ayku? Entah kesambet apa lagi Tuan Besarnya hingga sikapnya sangat manis. Terlalu capek untuk meladeni Daniel, Ayana hanya balas tersenyum lalu berniat untuk segera ke ruang bawah tanah. Badannya seperti ingin
Silau cahaya menerpa wajahnya, ia mengangkat tangan dan menghalau cahaya itu. Ayana masih bergelung di tempat tidurnya saat ayam sudah bersahut-sahutan di luar sana. Ia terlalu malas untuk bangun pagi ini dan mengerjakan pekerjaan yang setiap hari membuat tubuhnya letih.Masih tidak ingin membuka mata, namun otaknya mulai bekerja. Sebentar! Ayana ingat, ia sedang berada di ruang bawah tanah dan seingatnya tidak ada jendela yang membebaskan matahari masuk ke dalam kamarnya.Bukan berarti juga ia tidak bisa menghirup udara, namun terpaan cahaya itu terlalu besar hingga mampu menembus kulit-kulitnya yang tidak terawat dengan baik.Merasa aneh dengan sinar yang entah datangnya dari mana, Ayana perlahan membuka kelopak matanya."Tuan?! Kau sedang apa di sini?" Alangkah terkejutnya Ayana mendapati Majikannya tengah berbaring di sampingnya dengan posisi menyamping dan tangan kirinya menumpu di kepala.
Berpikir keras adalah salah satu bukti bahwahidup Daniel juga memiliki keseriusan. Kali ini bukan tentang Ayana yang ingin dinikahinya, bukan juga tentang Ayana yang ingin diciuminya. Tapi ini tentang seorang wanita berambut blonde dengan syal merah di lehernya yang sekarang tengah duduk santai di ruang tamu kamarnya.Ia tidak habis pikir, setelah bertahun-tahun menghilang dari kehidupan Daniel. Kini wanita itu kembali dengan mudahnya setelah menghancurkan mimpi-mimpi lelaki itu. Tidak ada raut penyesalan ataupun sekedar mengucapkan permintaan maaf. Dan hal itu membuat amarah Daniel rasanya ingin meledak.Benarkah yang di hadapannya ini adalah ibu kandungnya? Cih, jika saja Daniel bisa memilih, ia tidak ingin dilahirkan dari rahim Bellavira Cathleen.Wanita berkebangsaan Belanda itu benar-benar tidak cocok menjadi seorang ibu. Ia hanya wanita berengsek yang sibuk bersenang-senang tanpa ingin memedulikan anaknya.
"Yang, paku!"Aku mengulurkan tangan ke belakang dengan posisi sedikit menyamping, sementara pandanganku tetap lurus pada dinding. Entah penglihatanku yang miring, atau memang pigura ini yang ingin kupasang sengaja ingin membuat tandukku naik.Astaga, malah lupa aku. Sebenarnya sudah seminggu aku dan Daniel menempati rumah baru kami. Mungkin kalian masih ingat, setahun lalu Daniel memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari rumah ibuku.Awalnya aku bersikeras menolak, untuk apa coba ia membangun rumah mewah lagi. Sementara ada rumah ayahnya yang kelak akan menjadi miliknya. Bukankah Daniel terlalu membuang-buang uang? Aku menyetujui ia membangun rumah dan pindah ke rumah ibu karena aku kasihan melihatnya memasang tenda di depan rumah demi membujukku. Mungkin jika hanya Daniel yang ada di tenda itu, aku tidak masalah. Biarkan saja suamiku itu merasakan penderitaan. Tapi aku khawatir pada Mark.Dasar memang
Mark benar-benar geram, diturunkannya Ardila yang digendong layaknya karung besar di kursi kayu. Tepatnya di bawah pohon yang ada di depan rumah gadis itu. Matanya menyorot tajam, membuat Ardila yang dihempas seperti barang menjadi ciut nyalinya.Sakit tapi tidak berdarah. "Kenapa? Mas kok ngeliatin aku kayak gitu?" Meski takut, namanya juga Ardila gadis barbar tak berakhlak. Mulutnya tetap akan terus mengoceh tanpa henti.Mark menyunggingkan bibirnya, ia tidak menyangka wajah sepolos bayi, kulit seputih susu dan senyum manis yang bikin diabetes bisa berubah menjadi zombie ganas. Ardila memang bukan gadis remahan biasa. Ia harus waspada, perawakan gadis itu saja yang kalem. Tapi di dalamnya, sungguh terlala kata Bang Haji Rhoma."Kamu tau nggak yang kamu jambakin tadi siapa?"Ardila bingung. "Teteh Ayana!"Lagi, bibir Mark tersungging diikuti matanya yang memutar malas
Waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan lebih ia menjalani hari-harinya tanpa Daniel. Oh iya, apa kabar dengan lelaki itu? Pertemuan terakhirnya hanya saat di rumah sakit itu saja. Setelahnya, sang suami tidak pernah lagi mengunjunginya. Sekedar telpon, atau bahkan mengirim pesan pun tidak ada sama sekali.Apa suaminya itu sudah melupakannya? Atau mungkin kini Daniel telah menemukan penggantinya.Ayana merasa rindu pada Daniel, terlihat jelas air matanya mengenang di pelupuk. Ketika ia sendiri, perasaannya benar-benar kacau. Jujur, Ayana ingin kehidupannya seperti dulu. Setiap pagi terbangun untuk membereskan kamar mewah sang suami. Memasak makanan favorit Daniel, dan mengurus lelaki itu dengan baik.Dulu saat masih menjadi pesuruh Daniel, ia sangat ingin bebas, tidak terikat oleh lelaki itu. Tapi sekarang saat semua sudah ia capai, ia jadi ingin kembali menjadi pesuruh. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Dikasih A, m
"Maaf Pak, Bu Ayana tidak hamil. Ia hanya kelelahan dan masuk angin."Terngiang-ngiang, terbayang-bayang, berputar-putar bagaikan kaset rusak. Perih, hati seakan tersayat-sayat. Bagaimana bisa derita ini menimpa Daniel? Ia sudah mengerahkan segala tenaga, waktu dan pikiran.Terus Dokter seenak jidat mengatakan Ayananya tidak hamil. Dimana hati nurani dokter itu?"Huaa...." Daniel menangis pilu, meraung-raung di lantai kamarnya.Haruskah ia bunuh diri? Loncat dari lantai 15 kantornya? Atau minum racun tikus? Hancur sekali perasaannya. Lesu, kepala Daniel menoleh pelan. Napasnya terasa berat. Kereta bayi, pakaian bayi, buket bunga mawar putih untuk Ayana tertata rapi di meja.Mark, bawahannya tetap setia menemaninya. Tidak sedikitpun lelaki itu beranjak dari samping Daniel yang selonjoran di lantai.Mark pernah membaca sebuah buku, dalam buku itu mengatakan; bahagia b
Kuping Margaret hampir saja pecah jika Daniel tidak menghentikan teriakannya. Bagaimana tidak? Ia baru saja masuk ke kamar tuannya itu dengan niat mengantarkan makanan, namun baru saja selesai meletakkan makanan.Entah kerasukan apa? Tuannya itu loncat kegirangan dengan lengkingan suara seperti tikus kejepit."Tuan!" Terpaksa Margaret bernada tinggi memanggil Daniel. Lagian ada apa dengan lelaki itu yang tersenyum semringah sembari mencium ponselnya bertubi-tubi. Sakit jiwa!"Margaret, Margaretku." Daniel menyimpan ponselnya di meja, lalu menghampiri Margaret. Meraih kedua tangan wanita itu kemudian mengayunkannya ke kiri dan ke kanan.Belum sampai disitu keterkejutan Margaret akan tingkah Daniel yang seperti teletubies. Tubuhnya diputar-putar, mirip film India. Rani Mukherjee mungkin tahan jika diputar seperti itu, tapi Margaret tentu saja tidak. Kepalanya sungguh pusing.Beberapa menit setela
Pagi yang buruk untuk Ayana hari ini. Mual-mual, kepala pusing, tubuh meriang dan pegal-pegal. Ia seperti sangat kelelahan, padahal seingatnya yang ia lakukan hanya pergi ke kampus dan membantu ibunya memasak. Itu saja ia hanya mencuci sayuran.Matanya masih sangat mengantuk, tapi subuh-subuh sudah harus terbangun karena perutnya yang kesakitan. Tenggorokannya sangat kering akibat terlalu banyak memuntahkan isi perut. Ayana benar-benar sakit.Di saat ia sedang meringkuk di kasurnya seperti bayi, Ayana mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan suara berat, perempuan itu menyuruh sang pengetuk masuk."Masuk saja, tidak dikunci."Pintu dibuka, Ario sudah berdiri dengan gagahnya lengkap seragam sekolah—putih abu-abu.Melihat sang kakak yang tak menyambutnya dengan baik, Ario langsung saja menghampiri Ayana."Loh Teteh kenapa?" Ia khawatir dengan kakaknya yang tengah memegangi perutny
Jika tak ada makanan di meja, mejanya yang kau makan. Bukan lagu Bunda Rita Sugiarto, hanya mirip saja. Baru diciptakan dari perasaan lelaki yang baru terbangun dari tidurnya. Berniat mengisi perut yang kosong melompong, cacing menari-nari, tenggorokan seret.Mark merasakan kekecewaan saat menghampiri meja makan, namun yang ia temukan hanya kekosongan. Mirip sekali dengan perasaan hampa di hatinya tanpa sosok mahluk dengan lekuk tubuh indah.Hidup sendiri, meski dulu ada sang adik yang menemaninya. Mila bersikeras untuk melanjutkan pendidikannya di Aussie, katanya ia bosan berada di Indonesia. Ingin mempelajari budaya berbeda daripada mengurusi perjaka tingting yang gila kerja seperti kakaknya.Berusia 16 tahun, Mark sudah ditinggalkan oleh sang ayah karena sel kanker yang menyerangnya. Lalu setahun kemudian, ibunya menyusul sang ayah.Mark benar-benar terpuruk saat itu, perusahaan ay
Lesu, lemah, lunglai, mungkin itu gejala anemia. Minum sangobion, salah satu vitamin dan zat besi penambah darah yang sering nongkrong di layar televisi.Cerita ini bukan sedang disponsori oleh obat sangobion, namun gejala yang sedang dialami lelaki bernama Daniel sama persis dengan sakit anemia.Wajah Daniel pucat tak karuan, kantung mata melebar. Rambut acak-acakan dan baju yang tak serapi seperti biasanya. Tidak terurus, lelaki itu lebih cocok menjadi gembel yang berkeliaran di jalan.Berjalan dengan langkah malas dan sedikit terseok-seok. Daniel memasuki kediaman mewahnya, disambut dua asisten rumah tangga berpakaian seragam hitam putih. Suami Ayana itu seakan abai saat keduanya tertunduk memberi hormat."Tuan, Anda sudah pulang?" Kepala pelayan, Margaret datang menghampiri Daniel membuat lelaki itu menghentikkan langkahnya dan berbalik pada Margaret."Ayahku di mana?" Daniel memang datang
Hujan di luar sedang sangat deras, jika biasanya bintang masih terlihat dari jendela kaca kamar Ayana. Benda angkasa itu harus tertutup awan gelap. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, seharusnya ia sudah tidur sekarang. Namun nyatanya, keberadaan Daniel di kamarnya membuat gadis itu harus menahan rasa kantuknya.Ia tidak habis pikir dengan suaminya itu, kenapa berkunjung ke rumahnya harus selarut itu? Padahal ia bisa datang saat sore tadi dan tidak harus terjebak di kamarnya dengan dalih bahwa hujan menahan lelaki itu."Jadi, kau tidak akan pulang?" tanya Ayana dengan mata memicing.Daniel nampak acuh, bahunya terangkat. Seolah ia mengatakan, 'aku sedang tidak ingin pulang'."Hujan terlalu deras!" Akhirnya lelaki itu bersuara. Ia tidak melihat ke arah Ayana. Karena posisi mereka yang saling berjauhan.Daniel rebahan di kasur Ayana, sementara istrinya itu berdiri di dekat jendela. Sungg