Jika biasanya Daniel berpikir keras tentang mengembangkan ide-ide game untuk perusahaannya. Namun yang dipikirkan sekarang bukan itu, karena ia sedang mencoba menelaah nasehat yang diberikan ayahnya tadi pagi. Sebelum pria paruh baya itu berangkat menuju bandara, ia menghampiri Daniel terlebih dahulu meski anaknya itu masih dalam kondisi mengantuk berat.
"Daniel, Ayah pagi ini akan berangkat ke Paris," ucap Hamilton.
Daniel hanya mengangguk sebagai tanda iya. Sebab kesadarannya belum sepenuhnya pulih, ini masih jam 5 belum waktunya ia terbangun dari tidur tampannya. Apalagi saat Ayana membangunkannya, sangat kasar dan tidak berperikeayanaan.
"Daniel Anakku. Anak Ayah yang paling Ayah sayangi. Kau tidak bisa terus menerus mengandalkan Ayana. Kau harus belajar untuk mandiri mulai sekarang. Bagaimana pun juga, jika Ayana menemukan seseorang yang akan menikahinya. Ia pasti akan berhenti bekerja dan ikut pada suaminya," jelas Hamilton sembari tangannya mengusap lembut tangan Daniel.
Mata yang semula terpejam seketika membelalak. Daniel mengucek matanya beberapa kali hingga penglihatannya terasa jelas.
Lelaki itu memasang tampang tidak suka. "Maksud Ayah apa? Ayana ingin menikah? Apa dia memberitahumu?"
"Bukan begitu, Daniel. Ayana tidak mengatakan akan menikah. Hanya saja, Ayah ingin kau bisa mempersiapkan diri sebelum ia menemukan pendamping hidupnya," ucap Hamilton
"Tidak! Aku tidak ingin Ayana menikah, ia tidak boleh ke mana-mana. Ayana harus tetap mengurusku," tekan Daniel.
Hamilton menggeleng lemah, ia ikut merasa bersalah anaknya bersikap egois. Karena dirinyalah yang membawa Ayana ke dalam kehidupan putra satu-satunya itu. Semenjak ada Ayana, lelaki itu sudah enggan keluar dari rumah. Bahkan dari kamarnya sekalipun, ia menjalankan semua perusahaannya tanpa ingin bertatap muka pada bawahannya.
"Kau tidak boleh egois, Nak. Masa depan Ayana masih panjang. Kau tidak bisa terus menerus mengekangnya," nasehat Hamilton.
"Aku tidak egois Ayah, aku memberikan segalanya untuk Ayana. Aku tidak mau Ayana menikah dengan siapapun." Daniel tetap mempertahankan egonya.
Hamilton semakin mendekat, lalu ia tersenyum lembut pada anaknya itu. "Aku paham, Anakku. Tapi, Ayana itu perempuan yang perlu kasih sayang dan dilindungi oleh seorang lelaki. Ia tidak bisa terus bekerja hanya untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Suatu saat ia pasti ingin ada yang menafkahinya."
Raut wajah Daniel seketika berubah murung. Ia tidak suka ayahnya mengatakan seperti itu. Ayana miliknya, tidak ada yang boleh memiliki gadis itu selain dia.
"Tidak Ayah! Jika hanya seperti itu yang diinginkan Ayana. Aku yang akan menikahinya, aku yang akan menghidupinya," putus Daniel.
Hamilton terkejut, lalu terkekeh kecil. Kenapa anaknya ini masih saja berpikiran seperti anak kecil? Ia paham jika selama ini waktunya tidak banyak untuk Daniel. Ditambah lagi Daniel sama sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu. Namun, karena ada Ayana. Ia merasa Daniel telah mendapatkan kasih sayang dari seorang perempuan hingga sulit melepaskannya.
"Pernikahan terjadi bukan hanya karena kau ingin menafkahi sang perempuan, Anakku. Di dalam pernikahan itu harus ada cinta. Apa kau mencintai Ayana?" tanya Hamilton.
Daniel berpikir. Cinta? Ayana tidak semenarik itu untuk dicintai. Aku bahkan tidak tertarik melihatnya.
"Bisakah aku menikahi Ayana saja tanpa mencintainya? Ayana itu jelek Ayah. Dia bukan tipeku. Tapi jika dia mau jadi istriku, aku akan membuatnya menjadi cantik. Seperti Upik Abu yang menjadi seorang Putri cantik. Bagaimana?" tawar Daniel.
Lagi, Hamilton terkekeh sehingga membuat Daniel memasang tampang cemberut.
"Tanyakan saja pada Ayana, sungguh Ayah tidak bisa mengerti tentang pikiranmu itu. Ayah harus berangkat sekarang. Jaga kesehatanmu dan jangan terlalu membuat Ayana kelelahan." Hamilton mencium kening Daniel lalu pergi dari kamar anaknya itu.
***
"Tuan Besarku!"
Daniel tersentak dari lamunannya. Lelaki itu melotot tajam karena Ayana berteriak sangat keras di dekat telinganya.
Dasar Pesuruh Gila!
"Ayana Marimar! Kau ini apa-apaan. Apa Majikanmu tidak pernah mengajarimu sopan santun?" kesalnya.
Ayana menggeleng. "Majikanku memang tidak pernah mengajariku sopan santun, Tuan Besarku!"
Daniel yang mendengar balasan perkataan dari Ayana langsung berpikir. Astaga, Bukankah ia adalah majikan Ayana? Bodoh!
"Maksudku bukan begitu. Apa kau tidak membaca buku tentang tata krama? Sangat tidak berperikesopanan kau Ayana!" judes Daniel.
Ayana yang dikatai seperti itu hanya bersikap acuh. "Tuan Besar, saatnya mandi. Aku sudah menyiapkan air hangat di bak, bunga mawar dan busa-busa melimpah ruah," beritahunya.
Daniel cemberut, helaan napasnya terdengar sangat berat. Ia menatap nanar ke arah Ayana. "Bisakah hari ini aku libur mandi saja? Hatiku sedang tidak terlalu baik hari ini Ayana."
Ayana menatap curiga pada Daniel. Kenapa lagi dia? Apa sahamnya turun lagi?
"Tidak bisa, Tuan Besarku. Kau harus mandi. Jika tidak kuman akan menempel di tubuhmu dan menggerogoti kulit mulusmu." Ayana menakut-nakuti Daniel.
Namun berbeda dari sebelumnya jika Ayana menakuti Daniel. Lelaki itu pasti sudah berteriak dan meminta Ayana segera memandikannya. Tapi sekarang, lelaki itu malah terlihat tidak bereaksi dan hanya memandang Ayana sedih.
"Tuan, kau baik-baik saja?" Ayana khawatir.
"Kau tidak mendengarnya tadi, aku sudah bilang hatiku tidak dalam kondisi yang baik Ayana," ucapnya dengan suara lemah.
Ayana yang kepo langsung mendekati majikannya itu. "Apa sahammu turun lagi? Atau seseorang menolakmu? Mmm... yang kedua tidak mungkin. Jadi?"
"Aku orang yang kaya Ayana. Sahamku turun tidak akan membuatku jatuh miskin." Jiwa kesombongan Daniel mulai keluar. Ayana yang mendengarnya seketika mendengus.
Dasar orang sugih songong!
"Wajahku ini tampan Ayana, tidak akan ada gadis yang mampu menolakku. Kau saja tidak akan sanggup," lanjut Daniel.
Sungguh, rasanya Ayana ingin mencekik leher Daniel saat ini juga. Tidak tahukah Daniel jika berkata seperti itu membuat jiwa kemiskinan Ayana meronta-ronta? Sabar Ayana, sebentar lagi kau akan dilamar oleh orang sugih.
"Tuan Besarku, jika semua itu tidak menjadi alasan tentang ketidakbaikan hatimu hari ini. Lalu alasannya apa? Tolong, jelaskan pada rumput yang bergoyang," jengah Ayana.
Daniel memperbaiki posisinya, digenggamnya kedua tangan Ayana seraya menatapnya lekat. "Ayana, bisakah kita menikah sekarang?" pinta Daniel.
Ayana yang dicecar pertanyaan seperti itu seketika memundurkan kepalanya. Kegilaan apa lagi ini?
"Ayana, kau harus menikah denganku. Ayana, kau tahu, aku tanpamu hanyalah butiran emas," paksa Daniel.
Ayana menarik tangannya, namun Daniel tidak ingin melepasnya. "Tuan, kau harus mandi sekarang. Kepalamu harus disiram. Kau sudah tidak waras?"
"Tidak Ayana. Kumohon, aku ingin menikahimu. Aku tidak bisa seperti ini. Aku harus menikahimu!" Daniel bersikukuh.
Merasa posisi Ayana tidak aman lagi, gadis itu kembali menarik keras tangannya hingga terlepas.
Ayana harus menjauh dari majikan gilanya itu sekarang. Jika tidak, ia pasti akan ikut gila.
"Ayana, jangan pergi Ayana. Kita harus menikah!" Daniel berteriak seakan kerasukan.
Ayana tidak peduli, ia cepat-cepat meninggalkan Daniel. "Daniel sudah gila! Dia benar-benar harus dibawa ke Psikiater." Ia bergidik ngeri.
"Ayah, aku ingin menikah dengan Ayana." Daniel menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merengek meminta permen.
"Ayana, Ayana. Menikahlah denganku!" Daniel tidak berhenti berteriak.
"Daniel Sontoloyo. Bisakah kau diam saja?!"
Pagi-pagi sekali, Daniel sudah bangun. Hari ini ia akan mencoba untuk hidup tanpa bantuan Ayana. Setelah seharian kemarin merengek pada asistennya itu untuk menikah, pada akhirnya ia menyerah juga.Lagian Ayana itu songong banget nolak seorang CEO seperti dirinya. Perempuan yang tidak ada syukurnya sama sekali, apa coba kurangnya Daniel? Ganteng? Iya.Tajir? Uh, jangan dibilang. Baik hati? Tentu saja.Dasar memang Si Ayana pemikirannya dangkal. Tidak bisa membedakan mana berlian, mana perhiasan hadiah kerupuk.Maka dari itu, dengan tekad yang bulat. Daniel segera bangun untuk menuju kamar mandi. Sekitar lima menit, ia memandangi kakinya secara bergantian dengan sendal kamarnya. Pikirannya berkecamuk, apakah ia sanggup mengayunkan kaki ke kamar mandi yang mungkin jaraknya seperti ia mendaki gunung.Itu hanya tebakan Daniel saja, jangan, kan, mendaki gunung. Menggerakkan kaki saja ia sungguh mager.
“Ay, kau di mana? Kapan kita nikah?”Matilah Ayana kalau begini, di mana lagi ia harus bersembunyi demi menghindari kegilaan majikannya itu. Entah alasan apalagi yang harus ia katakan agar Daniel tidak terus mengajaknya menikah.“Ay....”Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ayana membuat jantungnya berdetak kencang. Namun, ia sedang berada di ruang bawah tanah. Tidak mungkin, kan, Daniel menyusulnya? Berjalan saja dua langkah lelaki itu sudah ngos-ngosan.“Ay, apa yang kau lakukan di situ?”Ayana hampir terjengkang ke belakang jika saja Daniel tidak memegang tangannya. Mata gadis itu membulat sempurna, benarkah yang dilihat di hadapannya kini adalah Tuan Besarnya? Tidak! Matanya pasti bermasalah.Demi meyakinkan dirinya jika apa yang dilihatnya itu tidak benar, Ayana segera berdiri dan mengucek-ngucek kedua matanya.“Tuan—“ Ayana mem
Dering alarm ponsel membuat Ayana tersentak dari lamunannya. Sang gadis segera meraih benda pipih itu, lalu mematikan alarmnya. Hari masih gelap, jam menunjukkan pukul 5 pagi saat Ayana sudah bersiap-siap dengan kopernya.Dia sudah berpikir semalaman untuk kabur dari Daniel. Ayana tidak bisa menikah dengan majikannya itu, seberapa keras pun ia mencoba menerima rencana pernikahan ini, tetap saja hatinya menolak.Maka dari itu sebelum Daniel terbangun, ia harus sudah tidak ada di kamar atau pun di rumah mewah ini. Setelah memastikan semua bajunya masuk dalam koper, Ayana pun berdiri, dilihatnya terlebih dahulu ruangan yang sudah menampungnya hampir puluhan tahun.Jika mengingat apa saja yang telah ia lakukan di kamarnya itu, rasanya Ayana sangat sedih bila harus meninggalkan tempat ia menghabiskan seluruh kegiatannya. Sejujurnya ia tidak ingin pergi secepat ini kalau saja majikannya itu tidak berencana menikah
Ayana sudah pasrah jika hari ini adalah akhir dari perjalanan kisahnya yang penuh lika-liku ala sinetron yang sering ia tonton. Niat ingin kabur dari kuasa Daniel Hamilton seketika kandas begitu saja saat dua Bodyguard bertubuh kekar menangkapnya ketika ia berhasil menyetop taksi.Layaknya karung yang dipanggul, begitulah tubuh gadis mungil itu dibawa dengan entengnya oleh Sang Bodyguard. Meski mencoba melawan dan meronta-ronta, nyatanya tenaga Ayana tidak cukup kuat untuk meloloskan diri dari kungkungan pria bertubuh besar itu.Berkat ketidakberdayaannya itulah membuat Ayana kini tengah duduk di kursi kebesaran Daniel dengan tangan dan kaki terikat layaknya tawanan. Keringat dingin mulai menguasai tubuh Ayana, gadis itu bergerak gelisah dengan kepala yang celingak-celinguk mencari keberadaan Tuannya.Sejak ia tiba di kamar mewah itu, ia sama sekali tidak melihat keberadaan Daniel. Seolah-olah lelaki i
Jika ingin mager, maka jadilah orang sugih terlebih dahulu. -Mas CEO MagerTidak ada yang berubah dari hidup Ayana setelah ia mencoba kabur dari Daniel dan akhirnya harus tertangkap oleh Bodyguard lelaki itu. Hanya hari itu, sang majikan bersikap seperti malaikat. Sangat penurut dan santun padanya. Namun, lewat dari hari itu Daniel kembali berulah. Suka mengejek Ayana dan menjadi lebih mager dari hari sebelumnya.Jika biasanya ia masih ingin dipapah untuk melakukan ritual membunuh kuman di tubuhnya, tapi berbeda kali ini. Ia menolak ke kamar mandi dan hanya menyuruh Ayana melap tubuhnya dengan kain yang dibasahi air hangat.Sungguh Ayana jengkel sekali. Bahkan saking parahnya, saat Ayana membasuh tubuh polos lelaki itu. Dengan santainya ia tertidur dengan dengkuran halus. Padahal gadis itu sudah setengah mati menahan hasrat untuk tidak membelai dada
Pikirkanlah dengan matang tentang yang akan kalian ucapkan. Jika tidak ingin menyesal dikemudian hari. -Puteri AyanaGedung pencakar langit memang selalu membuat takjub bagi mata-mata yang melihatnya. Begitu juga yang kini Ayana rasakan saat kakinya dengan sempurna menginjak kantor milik Tuan Besarnya.Disambut oleh beberapa pria berjas hitam elegan, Ayana tampak canggung dan merasa tidak nyaman. Namun, saat tungkainya mengayun memasuki kantor besar itu, ia seperti tersihir dan tidak berhenti berdecak kagum.Baru kali ini ia bisa memasuki gedung bertingkat, melihat interior dan beberapa robot pajangan seketika membuat Ayana seperti gadis udik yang baru masuk kota.Ia tidak tahu seberapa kaya Daniel hingga memiliki gedung yang luar biasa seperti ini. Para karyawan yang tampak sedang berlalu lalang, menunduk dan memberi hormat pada Ayana.
Ayana tidak paham dengan Daniel yang senyam-senyum tidak jelas saat ia baru saja masuk ke dalam kamar mewah lelaki itu. Wajah gadis itu sudah tidak karuan dengan rambut acak-acakan dan bajunya yang keluar. “Aku sudah pulang, Tuan.” Meski moodnya sangat buruk sekarang, ia tetap harus menyapa Daniel dengan penuh kelembutan.Sementara Ayana berjalan dengan langkah berat, Daniel menghentikannya. “Ayku sudah pulang ternyata,” senyumnya dengan manis dan wajah tak berdosa.Ayku? Entah kesambet apa lagi Tuan Besarnya hingga sikapnya sangat manis. Terlalu capek untuk meladeni Daniel, Ayana hanya balas tersenyum lalu berniat untuk segera ke ruang bawah tanah. Badannya seperti ingin
Silau cahaya menerpa wajahnya, ia mengangkat tangan dan menghalau cahaya itu. Ayana masih bergelung di tempat tidurnya saat ayam sudah bersahut-sahutan di luar sana. Ia terlalu malas untuk bangun pagi ini dan mengerjakan pekerjaan yang setiap hari membuat tubuhnya letih.Masih tidak ingin membuka mata, namun otaknya mulai bekerja. Sebentar! Ayana ingat, ia sedang berada di ruang bawah tanah dan seingatnya tidak ada jendela yang membebaskan matahari masuk ke dalam kamarnya.Bukan berarti juga ia tidak bisa menghirup udara, namun terpaan cahaya itu terlalu besar hingga mampu menembus kulit-kulitnya yang tidak terawat dengan baik.Merasa aneh dengan sinar yang entah datangnya dari mana, Ayana perlahan membuka kelopak matanya."Tuan?! Kau sedang apa di sini?" Alangkah terkejutnya Ayana mendapati Majikannya tengah berbaring di sampingnya dengan posisi menyamping dan tangan kirinya menumpu di kepala.
"Yang, paku!"Aku mengulurkan tangan ke belakang dengan posisi sedikit menyamping, sementara pandanganku tetap lurus pada dinding. Entah penglihatanku yang miring, atau memang pigura ini yang ingin kupasang sengaja ingin membuat tandukku naik.Astaga, malah lupa aku. Sebenarnya sudah seminggu aku dan Daniel menempati rumah baru kami. Mungkin kalian masih ingat, setahun lalu Daniel memutuskan untuk membangun rumah tidak jauh dari rumah ibuku.Awalnya aku bersikeras menolak, untuk apa coba ia membangun rumah mewah lagi. Sementara ada rumah ayahnya yang kelak akan menjadi miliknya. Bukankah Daniel terlalu membuang-buang uang? Aku menyetujui ia membangun rumah dan pindah ke rumah ibu karena aku kasihan melihatnya memasang tenda di depan rumah demi membujukku. Mungkin jika hanya Daniel yang ada di tenda itu, aku tidak masalah. Biarkan saja suamiku itu merasakan penderitaan. Tapi aku khawatir pada Mark.Dasar memang
Mark benar-benar geram, diturunkannya Ardila yang digendong layaknya karung besar di kursi kayu. Tepatnya di bawah pohon yang ada di depan rumah gadis itu. Matanya menyorot tajam, membuat Ardila yang dihempas seperti barang menjadi ciut nyalinya.Sakit tapi tidak berdarah. "Kenapa? Mas kok ngeliatin aku kayak gitu?" Meski takut, namanya juga Ardila gadis barbar tak berakhlak. Mulutnya tetap akan terus mengoceh tanpa henti.Mark menyunggingkan bibirnya, ia tidak menyangka wajah sepolos bayi, kulit seputih susu dan senyum manis yang bikin diabetes bisa berubah menjadi zombie ganas. Ardila memang bukan gadis remahan biasa. Ia harus waspada, perawakan gadis itu saja yang kalem. Tapi di dalamnya, sungguh terlala kata Bang Haji Rhoma."Kamu tau nggak yang kamu jambakin tadi siapa?"Ardila bingung. "Teteh Ayana!"Lagi, bibir Mark tersungging diikuti matanya yang memutar malas
Waktu cepat sekali berlalu, sudah sebulan lebih ia menjalani hari-harinya tanpa Daniel. Oh iya, apa kabar dengan lelaki itu? Pertemuan terakhirnya hanya saat di rumah sakit itu saja. Setelahnya, sang suami tidak pernah lagi mengunjunginya. Sekedar telpon, atau bahkan mengirim pesan pun tidak ada sama sekali.Apa suaminya itu sudah melupakannya? Atau mungkin kini Daniel telah menemukan penggantinya.Ayana merasa rindu pada Daniel, terlihat jelas air matanya mengenang di pelupuk. Ketika ia sendiri, perasaannya benar-benar kacau. Jujur, Ayana ingin kehidupannya seperti dulu. Setiap pagi terbangun untuk membereskan kamar mewah sang suami. Memasak makanan favorit Daniel, dan mengurus lelaki itu dengan baik.Dulu saat masih menjadi pesuruh Daniel, ia sangat ingin bebas, tidak terikat oleh lelaki itu. Tapi sekarang saat semua sudah ia capai, ia jadi ingin kembali menjadi pesuruh. Manusia memang tidak pernah ada puasnya. Dikasih A, m
"Maaf Pak, Bu Ayana tidak hamil. Ia hanya kelelahan dan masuk angin."Terngiang-ngiang, terbayang-bayang, berputar-putar bagaikan kaset rusak. Perih, hati seakan tersayat-sayat. Bagaimana bisa derita ini menimpa Daniel? Ia sudah mengerahkan segala tenaga, waktu dan pikiran.Terus Dokter seenak jidat mengatakan Ayananya tidak hamil. Dimana hati nurani dokter itu?"Huaa...." Daniel menangis pilu, meraung-raung di lantai kamarnya.Haruskah ia bunuh diri? Loncat dari lantai 15 kantornya? Atau minum racun tikus? Hancur sekali perasaannya. Lesu, kepala Daniel menoleh pelan. Napasnya terasa berat. Kereta bayi, pakaian bayi, buket bunga mawar putih untuk Ayana tertata rapi di meja.Mark, bawahannya tetap setia menemaninya. Tidak sedikitpun lelaki itu beranjak dari samping Daniel yang selonjoran di lantai.Mark pernah membaca sebuah buku, dalam buku itu mengatakan; bahagia b
Kuping Margaret hampir saja pecah jika Daniel tidak menghentikan teriakannya. Bagaimana tidak? Ia baru saja masuk ke kamar tuannya itu dengan niat mengantarkan makanan, namun baru saja selesai meletakkan makanan.Entah kerasukan apa? Tuannya itu loncat kegirangan dengan lengkingan suara seperti tikus kejepit."Tuan!" Terpaksa Margaret bernada tinggi memanggil Daniel. Lagian ada apa dengan lelaki itu yang tersenyum semringah sembari mencium ponselnya bertubi-tubi. Sakit jiwa!"Margaret, Margaretku." Daniel menyimpan ponselnya di meja, lalu menghampiri Margaret. Meraih kedua tangan wanita itu kemudian mengayunkannya ke kiri dan ke kanan.Belum sampai disitu keterkejutan Margaret akan tingkah Daniel yang seperti teletubies. Tubuhnya diputar-putar, mirip film India. Rani Mukherjee mungkin tahan jika diputar seperti itu, tapi Margaret tentu saja tidak. Kepalanya sungguh pusing.Beberapa menit setela
Pagi yang buruk untuk Ayana hari ini. Mual-mual, kepala pusing, tubuh meriang dan pegal-pegal. Ia seperti sangat kelelahan, padahal seingatnya yang ia lakukan hanya pergi ke kampus dan membantu ibunya memasak. Itu saja ia hanya mencuci sayuran.Matanya masih sangat mengantuk, tapi subuh-subuh sudah harus terbangun karena perutnya yang kesakitan. Tenggorokannya sangat kering akibat terlalu banyak memuntahkan isi perut. Ayana benar-benar sakit.Di saat ia sedang meringkuk di kasurnya seperti bayi, Ayana mendengar pintu kamarnya diketuk. Dengan suara berat, perempuan itu menyuruh sang pengetuk masuk."Masuk saja, tidak dikunci."Pintu dibuka, Ario sudah berdiri dengan gagahnya lengkap seragam sekolah—putih abu-abu.Melihat sang kakak yang tak menyambutnya dengan baik, Ario langsung saja menghampiri Ayana."Loh Teteh kenapa?" Ia khawatir dengan kakaknya yang tengah memegangi perutny
Jika tak ada makanan di meja, mejanya yang kau makan. Bukan lagu Bunda Rita Sugiarto, hanya mirip saja. Baru diciptakan dari perasaan lelaki yang baru terbangun dari tidurnya. Berniat mengisi perut yang kosong melompong, cacing menari-nari, tenggorokan seret.Mark merasakan kekecewaan saat menghampiri meja makan, namun yang ia temukan hanya kekosongan. Mirip sekali dengan perasaan hampa di hatinya tanpa sosok mahluk dengan lekuk tubuh indah.Hidup sendiri, meski dulu ada sang adik yang menemaninya. Mila bersikeras untuk melanjutkan pendidikannya di Aussie, katanya ia bosan berada di Indonesia. Ingin mempelajari budaya berbeda daripada mengurusi perjaka tingting yang gila kerja seperti kakaknya.Berusia 16 tahun, Mark sudah ditinggalkan oleh sang ayah karena sel kanker yang menyerangnya. Lalu setahun kemudian, ibunya menyusul sang ayah.Mark benar-benar terpuruk saat itu, perusahaan ay
Lesu, lemah, lunglai, mungkin itu gejala anemia. Minum sangobion, salah satu vitamin dan zat besi penambah darah yang sering nongkrong di layar televisi.Cerita ini bukan sedang disponsori oleh obat sangobion, namun gejala yang sedang dialami lelaki bernama Daniel sama persis dengan sakit anemia.Wajah Daniel pucat tak karuan, kantung mata melebar. Rambut acak-acakan dan baju yang tak serapi seperti biasanya. Tidak terurus, lelaki itu lebih cocok menjadi gembel yang berkeliaran di jalan.Berjalan dengan langkah malas dan sedikit terseok-seok. Daniel memasuki kediaman mewahnya, disambut dua asisten rumah tangga berpakaian seragam hitam putih. Suami Ayana itu seakan abai saat keduanya tertunduk memberi hormat."Tuan, Anda sudah pulang?" Kepala pelayan, Margaret datang menghampiri Daniel membuat lelaki itu menghentikkan langkahnya dan berbalik pada Margaret."Ayahku di mana?" Daniel memang datang
Hujan di luar sedang sangat deras, jika biasanya bintang masih terlihat dari jendela kaca kamar Ayana. Benda angkasa itu harus tertutup awan gelap. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, seharusnya ia sudah tidur sekarang. Namun nyatanya, keberadaan Daniel di kamarnya membuat gadis itu harus menahan rasa kantuknya.Ia tidak habis pikir dengan suaminya itu, kenapa berkunjung ke rumahnya harus selarut itu? Padahal ia bisa datang saat sore tadi dan tidak harus terjebak di kamarnya dengan dalih bahwa hujan menahan lelaki itu."Jadi, kau tidak akan pulang?" tanya Ayana dengan mata memicing.Daniel nampak acuh, bahunya terangkat. Seolah ia mengatakan, 'aku sedang tidak ingin pulang'."Hujan terlalu deras!" Akhirnya lelaki itu bersuara. Ia tidak melihat ke arah Ayana. Karena posisi mereka yang saling berjauhan.Daniel rebahan di kasur Ayana, sementara istrinya itu berdiri di dekat jendela. Sungg