"Sayang, dengarin aku dulu." Awan sibuk mengejar Raya yang berlari sambil menangis menuju kearah gerbang sekolah. Saat itu sebagian siswa sudah pada pulang. Hingga akhirnya Awan berhasil mendapatkan pergelangan tangan Raya. Lalu menarik nya kedalam pelukannya, mendekapnya erat, seolah berusaha memberi tahu Raya betapa kencangnya degup jantung Awan sekarang, semuanya karena Raya. Bukan wanita lain.
"Aku benci kamu, kamu jahat, Wan! Kamu jahat!" Teriak Raya sambil memukul-mukul dengan semua tenaga yang dia punya. Awan sedikit meregangkan pelukannya dan memberi ruang bagi Raya untuk melepaskan emosinya. Dia menerima segala pukulan Raya tanpa adanya perlawanan."Hu hu hu " Tangis Raya pun pecah setelah dia puas memukuli dada bidang Awan. Lalu merosot yang berjongkok sambil memeluki lututnya sendiri."Sayang." Panggil Awan lembut kepada Raya sambil mengusap pelan pucuk kepalanya. Dan tangan satunya lagi dirangkulkannya ke pundak Raya berusaha untuk menarik Raya masuk kedalam pelukannya lagi. Sungguh hatinya hancur melihat gadis kesayangannya itu menangis tersedu seperti ini."Gak usah panggil sayang! Kamu jahat, kamu selingkuh! Aku benci! Apa sih salah aku, aku gak pernah khianati kamu, aku sayang kamu tulus. Tiga tahun, Wan. Tiga tahun kita sama-sama. Kamu tahu ini hari apa?? Ini Anniversary kita, dan aku dapatkan ini semua sebagai hadiahnya? Huhuhu Aku benci sama kamu." Raya terus menangis sambil mengeluarkan uneg-uneg didalam hatinya meluapkan semua emosi yang semakin lama semakin memuncak. Sementara Awan terus berusaha untuk mendekap Raya namun Raya menolaknya."Kamu salah paham, aku dijebak. Aku bersumpah tidak melakukan apapun. Tidak menyentuh dia sedikit pun. Tolong dengarkan penjelasanku, sayang. Aku gak mau hubungan yang udah kita jalani tiga tahun berakhir hanya karena kesalah pahaman." Tutur Awan lembut sambil berusaha menenangkan napas Raya yang terus naik turun karena tangisnya tak kunjung reda."Gak ngapa-ngapain kamu bilang? Dia udah hampir telanjang dada gitu kamu bilang gak ngapa-ngapain?" Teriak Raya dan tangisnya kembali pecah bersama teriakannya."Sumpah sayang, dia buka sendiri pakaiannya. Aku juga gak tau maksud dia apa. Aku sedang berusaha untuk menghentikannya. Tapi tiba-tiba kamu udah masuk, dan disaat itu juga dia berteriak histeris kaya gitu. Aku bersumpah itu kenyataannya." Awan terus berusaha untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Namun Raya yang sudah terlanjur sakit hatinya tak dapat menerima segala pembelaan Awan."Pergi kamu, Wan. Aku benci sama kamu. Kita putus!" Teriak Raya, lalu berbalik berusaha berlari untuk menjauhi Awan. Namun Awan berhasil mendekap tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Raya tidak menolak, namun semakin lama tarikan nafasnya semakin melemah."Sayang." Panggil Awan karena dia merasakan tubuh Raya seperti melemas. Awan mencoba untuk meregangkan pelukannya untuk memriksa keadaan Raya. Namun bukannya berdiri tegak, tetapi Raya seperti tak bertulang dan hampir terjatuh. Raya pingsan! Awan segera membawanya ke mobil dan mengantarkan Raya pulang kerumahnya."Ya Ampun!! Kenapa Raya, Wan?" Tanya Bunda Raya karena melihat Awan mengendong Raya ala Bridal masuk ke dalam rumah."Pingsan tadi, Bun." Jawab Awan. Ya, Awan terbiasa memanggil Bunda kepada Bunda nya Raya. Semua atas permintaan Bunda.Kemudian Awan menceritakan semua kejadian hari ini, berawal dari bagaimana cewek itu menjebaknya di gudang sekolah sampai Raya datang dan melihat kekacauan yang ada."Sumpah, Bun. Awan gak bohong. Awan gak lakuin apa-apa sama dia." Ucap Awan lirih sambil meneteskan air matanya. Menandakan betapa tulus perasaan yang dimilikinya untuk Raya, dia sangat takut kehilangan Raya."Iya, Bunda percaya kamu. Nanti bunda bantu bicara ya. Tapi kita juga tetap harus menghormati keputusan Raya." Ucap bunda lembut sambil menggenggam erat pergelangan tangan Awan, seolah memberikan kekuatan kepada anak laki-laki yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasionalnya hari ini."Yaudah, Awan pulang dulu, ya, Bun!" Awan pamit sambil berdiri dan menciumi punggung tengan Bunda. Namun tak bisa disembunyikan betapa hatinya sangat bersedih, kembali terlihat Awan yang membungkuk sambil sesenggukan."Sabar nak. Nanti bunda sama semuanya bantu jelasin. Kamu yang sabar." Ucap bunda sambil mengelus pucuk kepala Awan."Makasih, Bun! Awan hanya takut Raya ninggalin Awan." Ucap Awan jujur. Bunda menanggapinya dengsn tersenyum lembut."Yauda kamu pulang dulu saja, istirahat. Jangan banyak fikiran." Jawab Bunda Tegas namun masih penuh kelembutan dan kasih sayang."Awan pulang, Bun." Pamit Awan sekali lagi sebelum dia benar-benar pergi meninggakkan rumah Raya.Beberapa hari kemudian Awan terus mencoba untuk menghubungi Raya, namun nomornya tidak pernah aktif. Hari ini Awan bertekad untuk menemui Raya, karena sudah tidak bisa lagi menahan rasa rindunya kepada gadis pujaan hatinya itu."Assalamu'alaikum, Bun." Awan mengucap salam begitu melihat Bunda dihalaman sedang menyirami tanaman hias kesayangannya."Wa'alaikumsalam." Jawab Bunda sendu begitu melihat kedatangan Awan."Bunda sehat? ""Alhamdulillah sehat. Kamu apa kabarnya, nak?" Tanya Bunda merasa tidak enak kalau-kalau Awan bertanya tentang Raya."Ayo masuk! " Ajak Bunda sebelum Awan menjawab pertanyaannya, Bunda mempersilahkan Awan duduk."Alhamdulillah sehat juga, Bun. Raya ada, Bun?" Tanya Awan langsung sambil melihat ke arah pintu kamar Raya yang tertutup rapat."Sebelumnya Bunda minta maaf sama Awan. Bunda dan ayah sudah berusaha menjelaskan kepada Raya. Tapi Raya tetap kekeh untuk mempercayai apa yang dia lihat." ucap Bunda penuh penyesalan. Karena dia merasa gagal membantu Awan yang memang dia tau Awan adalah anak baik. Sebab selama dia berpacaran dengan Raya, mereka tidak pernah aneh-aneh. Bahkan Raya selalu terlihat ceria setiap harinya. Di setiap kebersamaan mereka Bunda bisa melihat betapa Awan sangat menyayangi Raya."Ini yang Awan takutkan, Bun." Ucap Awan sambil menundukkan kepalanya, dia berusaha untuk menutupi matanya yang kini berkaca-kaca. Namun bukannya menutupi tindakannya malah semakin membuat genangan air itu tumpah dibawah sana."Yang sabar ya. Jalan kalian masih panjang. Kalau memang Raya jodohnya kamu, kelak kalian akan bersama. Mungkin ini cara Tuhan agar kalian fokus pada masa depan. Kejar mimpi kalian masing-masing. Hingga tiba saatnya nanti waktu kembali mempertemukan kalian dalam kondisi yang jauh lebih baik dari sekarang." Jelas Bunda kepada Awan."Iya, Bun. Makasi banyak, ya, Bun. Awan pamit dulu. Maafin Awan yang udah buat Raya sedih. Assalamu'alaikum." Pamit Awan sambil mengecup punggung tangan Bunda Raya.Tujuh tahun berlalu sejak peristiwa itu.Pagi ini Raya bangun pagi-pagi sekali dan sudah berpakaian rapi. Dia diminta oleh atasannya untuk mewawancarai karyawan baru di departemen desain pukul sembilan nanti. Dia pergi dengan mengendarai sepeda motor matic yang baru dia beli minggu lalu. Menyusuri jalan menuju pusat kota, hingga tiba disebuah gedung besar di tengah kota."RK Company. I'm coming!!" Seru Raya begitu dia berdiri tepat di hadapan pintu utama gedung tersebut.Dengan tergesa-gesa dia berlari menuju ke departemen desain tempat dia berkarier selama 3 tahun terakhir.Bugh!!Karena kecerobohannya dia menabrak seorang lelaki berperawakan tampan bak dewa Yunani. Dengan kacamata hitam yang membuat parasnya terlihat semakin tegas."Maaf, maaf!" Ucap Raya terburu-buru sambil memunguti tas milik lelaki itu. Dan segera membersihkannya dengan sapu tangan yang dia bawa disaku celananya."Ini, sekali lagi maaf, saya gak sengaja." Ucap Raya lagi sambil membungkuk setelah memberikan tas itu kepada si pemiliknya."Hmmm... " Jawab laki-laki tersebut. Kemudian berlalu pergi tanpa mengucapkan apapun kepada Raya."Dasar orang aneh." Umpat Raya sambil melihat punggung laki-laki itu menjauh.Kok kaya gak asing ya? Bathin Raya kini bersuara.Diruangan CEO RK Company, seorang pemuda tak henti-hentinya menunduk sambil mengucapkan kata maaf kepada lelaki muda yang sedang menyesap kopinya. "Kamu selamat, jika saja saya ketauan. Kamu saya pindahkan ke bagian OB hari ini juga." Ucap lelaki muda yang diketahui sebagai CEO RK Company. "Maaf bos, saya tidak bermaksud terlambat. Sungguh tadi dijalan para warga menghentikan mobil saya dan meminta bantuan untuk mengantarkan ibu hamil yang akan melahirkan. Saya tidak bisa menolak karena mereka langsung membuka pintu dan menaikkan ibu-ibu itu." Jawab pemuda jujur, dia adalah Albert asisten pribadi nya. Tanpa menjawab apapun lelaki muda itu melambaikan tangannya ke arah Albert pertanda dia menyuruhnya keluar dari ruangan ini. "Raya!!" Teriak Meisya yang lagi-lagi berkas fotocopy nya ketumpahan kopi Raya untuk kesekian kalinya. "Sory sory. Gak sengaja Kak." Ucap Raya sambil menyatukan kedua telapak tangannya ke atas kepala sambil membungkuk. "Sory mulu, udah ku bilang kau kalo ngop
"Buk, nasi ayam penyet satu sama teh hangat ya." Raya memesan lalu mencari keberadaan Meisya dan teman-teman nya dari departemen desain. "Sini, Ray!" Panggil Meisya yang melihat Raya sedang celingukkan mencari keberadaan mereka. Raya langsung berjalan menuju ke tempat dimana para temannya bertahta. Namun ketika Raya baru sampai di meja sebelah, tiba-tiba seorang wanita berdiri dan bertabrakan dengan Raya. "Brukkk!!" Raya pun jatuh tersungkur ke lantai, lututnya memar mengeluarkan sedikit darah. Ingin rasanya dia menangis, namun itu tidak mungkin dia lakukan disini. "Eh, kau kalo berdiri pakek mata! " Bentak Meisya kepada perempuan itu sambil menghampiri Raya dan membantunya untuk berdiri. Namun Raya sepertinya kesusahan. "Berdiri pake kaki bego'! Bukan mata. Dasar kacung!" Balas perempuan itu yang tak terima di bentak oleh Meisya. Yang mereka kenal sebagai Sintya, dari departemen pemasaran. Sintya memang selalu saja mencari masalah dengan Raya, namun Raya selalu mengabaikan keber
"Jangan bercanda deh." Seru Raya sambil menepuk lengannya sedikit bertenaga. Membuat si empu nya tertegun merasakan pukulan gadis mungil dihadapannya ini. Entah apa yang dipikirkannya. Namun sedetik kemudian dia menertawakan kekonyolannya sendiri. "Aku dari departemen Keuangan." Jawabnya asal sambil tertawa singkat. Raya pun menganggukkan kepalanya. Sebenarnya dia tidak berbohong. Dia adalah CEO disini, maka dari itu departemen apapun yang disebutkan sebenarnya ya dia tidak berbohong. Karena memang semua departemen disini berada dibawah pengawasannya. Kemudian Raya kembali mengangkat kepalanya dan menatap lekat kepada manik mata lelaki yang mengaku bernama Herlambang itu. Untuk kedua kali nya dalam satu hari ini. Lelaki yang dijuluki CEO Galak itu benar-benar gugup dibuatnya. "Kau mengingatkanku dengan seseorang." Degg!! Jika di perhatikan dengan seksama akan terlihat perubahan ekspresi pada wajah Kurniawan saat itu. Gurat wajahnya seakan menegang. Telapak tangannya tampak berke
Kurniawan HerlambangSeorang pemuda yang berhasil mendirikan perusahaan namun berkembang pesat hanya dalam waktu empat tahun. Ya, dia adalah Awan nya Raya. Sejak kepergian Raya tujuh tahun yang lalu Awan merubah dirinya menjadi sosok lelaki yang pekerja keras dan ambisius. Nasehat bunda Raya selalu terngiang di telinganya setiap saat."Mungkin ini cara Tuhan agar kalian fokus pada masa depan. Kejar mimpi kalian masing-masing. Hingga tiba saatnya nanti waktu kembali memepertemukan kalian dalam kondisi yang jauh lebih baik dari pada sekarang."Demi bisa fokus Menata masa depannya, Awan meminta izin pada papa dan mamanya untuk kuliah dan hidup mandiri di Bandung. Awalnya papanya menolak, tapi berkat bantuan mamanya akhirnya Awan pun diizinkan untuk pindah dan melanjutkan studi nya di Bandung. Dari sinilah hidup Awan berubah seratus delapan puluh derajat. Dia yang terbiasa dengan segala fasilitas dari sang ayah, dia harus menanggalkan semuanya. Memulai segalanya dari nol. Bertemu dengan
Awan menyusuri lorong Rumah Sakit Peduli Kasih dengan tergesa-tega, setelah perawat menyebutkan nomor kamar yang di tempati Raya. Tanpa berfikir panjang dia langsung menghampiri Meisya yang sedang sibuk dengan ponselnya di depan ruang rawat Raya. "Bagaimana keadaan Raya?" Tanya Awan tergesa-gesa. Hampir saja dia menerobos pintu ruang rawat Raya jika Meisya tidak segera menghadangnya. "Dia sedang tidur. Kau siapa nya Raya? Aku gak pernah lihat kau sebelumnya." Tanya Meisya sambil mengerutkan keningnya. Seingatnya Raya tidak punya saudara atau bahkan teman pria diluar kantor. Jika teman-teman kantor dia sudah pasti mengenalnya. Awan tersadar seketika, dia membuang nafas kasar sebelum menjawab pertanyaan Meisya. "Herlambang, dari departemen keuangan." Jawab Awan. "Bagaimana dengan Raya? Kenapa dia bisa pingsan?" Tanya Awan kembali, dia benar-benar merasa khawatir sekarang. Jika tidak mengingat ada Meisya disini, mungkin dia akan langsung masuk kedalam. "Asam lambung." Jawab Meisya
Raya termangu melihat seorang wanita setengah baya yang tujuh tahun terakhir tak pernah ditemuinya. Seorang wanita yang selalu menganggap nya sebagai putri kandungnya. Kini wanita itu berdiri tepat di depan pintu ruang rawat nya. "Ma... mama?" Panggil Raya sambil menitikkan setetes cairan bening di matanya. Seluruh kerinduannya seakan ikut tumpah bersama titikan air yang kian menderas di pelupuk matanya. Wanita yang di panggilnya mama itu langsung mendekati Raya dan memeluk erat tubuh gadis itu. Menghujani wajah gadis mungil itu dengan kecupan-kecupan yang sedikit agresif membuat Raya kewalahan menahan kepalanya agar tak kesana-kemari seperti bola pingpong. Kemudian dia berhenti setelah melihat Raya yang sudah berantakan akibat ulahnya sedang menatapnya bingung. "Mama dikabari sama Bunda, kalau kamu masuk rumah sakit. Kebetulan mama ada acara arisan disini. Jadi mama langsung nyamperin kamu." Jelas mama Awan yang menyadari arti tatapan dari Raya. Tadi pagi setelah dia mendapat izin
Mama Awan menunggu kalimat selanjutnya dari Raya dengan penuh harap. "Dia apa kabar, ma?" Tanya Raya ragu-ragu. Dia penasaran, malu, juga ada rasa takut jika menanyakan kabar Awan sekarang. Dia penasaran, seperti apa rupanya seorang lelaki yang selalu dia rindukan itu. Dia malu, karena harus bertanya langsung kepada mama yang bersangkutan yang notaben nya mengetahui masa lalu mereka. Dia takut, jika dia mendapati kenyataan bahwa sudah ada orang lain yang menggantikan posisinya di hati Awan. "....." Mama Awan kehabisan kata-kata. Dia pikir Raya akan sedikit menyadari keberadaan Awan dalam sosok Herlambang. Ternyata dia berharap terlalu tinggi. Di gedung RK CompanyTampak mama Awan baru saja tiba dan langsung berjalan menuju ke lift setelah disambut oleh Albert di depan pintu utama atas perintah Awan. "Halo, tante. Apa kabar?" Sapa seorang wanita muda dengan mengenakan pakaian kursng bahan. Lelaki hidung belang pasti akan langsung meneteskan liurnya jika melihat wanita itu. "Ngapai
"Papa!" Teriak seorang gadis kecil berusia enam tahun, begitu melihat Awan memasuki pintu utama gedung RK. Sejak pukul tujuh anak itu sudah berada disana, duduk manis di sofa sambil memainkan gadget nya. Sesekali dia melirik ke arah pintu utama menantikan kehadiran Awan disana. Teriakan gadis itu tak dihiraukan oleh Awan, dia terus saja melangkahkan kaki nya hingga akhirnya gadis kecil itu berlari mendekatinya dan memeluk erat sebelah kaki nya. Membuat langkah nya terhenti. "Papa! Kenapa papa tidak mendengarkan ku?" Tanya gadis itu sambil memanyunkan bibirnya dan melepas pelukannya di kaki Awan kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada. Awan yang tidak merasa itu adalah dirinya, hanya diam tanpa bereaksi apapun. Kemudian Albert maju ke depan, dan berbicara dengan lembut kepada gadis itu. "Dimana ibu mu?""Disana!" Seru anak itu sambil menunjuk ke arah wanita yang sedang berdiri di depan receptionis. "Ada apa sayang?" Tanya wanita itu mendekat, dan memeluk tubuh mungil putriny
Rencana mama Awan untuk melihat acara bridal shower calon mantu kesayangannua itu pun gagal. Begitupun rencana Awan yang menemui Raya disana. Sebab mamanya tidak mengizinkan dia untuk keluar dari rumah apapun yanh terjadi. "Ma, plis!" rengek pria itu. "Salah sendiri gangguin mama vc sama Raya." ucap wanita paruh baya yang kini sedang merajuk pada anaknya. Awan akhirnya menyerah dan membaringkan tubuhnya disamping ibunya dengan kepala berbantalkan paha ibunya. "Ma ..." panggil Awan. "Hmm?" sahut ibunya dengan tangan kanan mengutak atik handphone dan tangan kirinya mengelus rambut Awan. Wanita itu mengalihkan pandangannya saat Awan tak kunjung bicara. Dia kemudian tersenyum melihat betapa putra ini sudah tumbuh menjadi kelaki dewasa. Dengan sifat yang hampir keseluruhan adalah warisan dari papanya. Kecuali cuek dan galak dengan bawahan. Karena seringat mamanya, papanya adalah atas yang paling ramah dan loyal dengan bawahan. Kenangan masa lalu ketika Awan berusia 5 tahun sedang be
"Sayang, aku kangen." ucap Awan bermonolog sambil memandangi wajah Raya yang tercetak jelas memenuhi layar ponselnya. Sepuluh hari sudah berlalu sejak kepulangan mereka ke Jakarta. Dan selama itu pula. mereka tidak bertemu. Menahan segala kerinduan yang bergejolak didalam dada. Yang membuat pria itu semakin frustasi, sudah 3 hari ini calon istrinya itu bahkan tidak bisa dihubungi. Sungguh keadaan seperti ini tidak pernah dia harapkan. Ingin rasanya dia melihat wajah kekasihnya itu, namun video call nya selalu ditolak oleh gadis itu. Terpaksa dia harus pasrah dengan hanya berkirim pesan. Itupun dia mengirim dipagi hari, tapi dibalas siang hari. Bahkan pernah dibalas malam hari. Ternyata ucapan mamanya tidak main-main, mereka berdua beneran dipingit selama dua minggu. Peraturan yang aneh menurut pemuda itu, apa bagusnya pake acara dipingit-pingit segala. Yang ada malah membuat calon pengantin kehilangan semangat. Fikir pemuda itu sambil terus memandangi foto wajah calon istrinya yang
Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali tampak ramai sore ini. Pengunjung yang baru saja tiba juga yang akan berangkat tampak hilir mudik disekitarnya. Awan, Raya beserta mama Awan kini juga sudah berada disana sejak satu jam yang lalu. Ya, begitu pria itu menyelesaikan segala urusannya dengan RK Company di cabang Bali. Dia dan Raya langsung pergi menjemput mamanya yang menunggu di rumah Awan. Hari sebelumnya Raya dan mama Awan tidur dirumah Awan, sebab masih ada beberapa pakaian mamanya yang harus dikemas dan dibawa kembali ke Jakarta. Tampak ketiga orang itu kini sudah berada diruang tunggu pesawat, dan menantikan panggilan bagi para penumpang untuk memasuki pesawat mereka. "Sayang, fotoin." ucao Raya meminta Awan untuk mengambilkan foto dirinya dan calon mertua kesayangannya itu. "Oke." ucap pria itu santai. Berbagai pose dilakukan oleh kedua wanita tersayangnya, mulai dari pose kalem hingga pose random serta absurd, ahh, entah apalah namanya itu. Raya meminta ponsel A
"Kenapa?" tanya Awan heran melihat reaksi Raya. "Aku gak minta kamu buatkan restoran. Aku hanya ingin menikmati sunset di tepi pantai, sayang." ucap Raya. Dia tak habis fikir dengan pria di hadapannya itu. Bisa-bisa nya segala omongan lelucon masa SMA benar-benar dia wujudkan dengan cara yang diluar bayangan Raya. Seperti acara pertunangan mereka. Raya juga tidak menyangka bahwa impian asal yang dia sebutkan di masa lalu benar-benar di rekam oleh Awan dan di realisasikannya saat ini. Awan yang tadinya sangat menggemaskan di mata Raya bagaikan oppa-oppa korea, bahkan lebih tampan. Kini ketampanannya naik beribu-ribu kali lipat. Tampak senyum di bibir Raya semakin melebar tak mampu di tahan, pipinya pun tampak merona. Tiba-tiba saja Raya menjadi salah tingkah dihadapan pria yang saat ini sudah menjadi tunangannya itu. "Aku udah berjanji pada diriku sendiri. Apapun akan lakukan asal kamu bisa kembali denganku. Berjanjah, untuk tidak pernah pergi lagi. Aku tidak yakin akan mampu ber
Setelah memastikan bahwa martabak pesanan calon mertuanya sudah tiba dengan selamat, barulah Raya merasa lega. Dia pun meminta izin untuk pulang terlambat, sebab akan mengajaknya untuk dinner diluar. Sesuai dengan rencana sebelumnya, Awan akan mengajak Raya ke cafe kecil miliknya itu malam ini. Awan sudah menghubungi manager cafe bahwa dia akan makan malam disana. Sepuluh menit kemudian mereka pun tiba.Mereka kembali kebuah desa dimana kecelakaan tadi pagi terjadi. Desa kecil dengan tingkat ekonomi rendah, sebab hampir semua penduduk bermata pencarian sebagai nelayan. Awan terkenang akan 3 tahun yang lalu. Hari itu, hujan cukup deras. Awan menemukan seorang anak laki-laki berusia 14 tahun kedinginan sedang berteduh di halte sendirian saat dia akan kembali kerumah dari arah Denpasar. Dia kemudian berhenti dan berjalan menggunakan payung menghampiri anak laki-laki itu. Setelah berbincang sedikit. Akhirnya dia mau diantarkan pulang oleh Awan. Dan Awan pun sampailah pada desa ini. Te
"Kalian dimana?" tanya mama nya di seberang sana. "Lagi dirumah sakit, Ma." jawab Awan sambil menoleh kepada Raya yang sedang nerangkul ibu Eva yang menjadi korban kecelakaan tadi. "Apa Raya baik-baik saja?" tanya mamanya dengan tergesa-gesa. "Mama segera kesana, katakan kalian berada dirumah sakit mana." tanya mama Awan lagi sambil bergegas mengambil tas nya dan berjalan menuju pintu. "Ma! Ma! Sabar! Tarik nafas mama dulu, lalu buang. Lakukan berulang-ulang sampai mama tenang." Awan berusaha menenangkan mama nya yang sudah terlanjur panik. Sebab wanita setengah baya itu mendapat laporan dari orang-orangnya bahwa Awan dan Raya mendapatkan sedikit masalah diperjalanan. Mereka dikerumuni oleh warga desa karena terjadi sebuah kecelakaan kecil yang mana mereka terlibat didalamnya. Dia tau bahwa Raya tidak terluka ketika insiden itu, tapi yang dia khawatirkan adalah Raya akan terluka karena warga desa. Sebab dia sering melihat beberapa video yang sempat berseliweran di beranda sosia
"Kamu lupa calon suami mu ini siapa?" tanya Awan. "Hmm... yayaya... Seorang CEO muda berbakat yang punya banyak saham dan investasi dimana-mana." jawab Raya sambil memutar bola matanya malas. Awan merasa gemas melihatnya, dan mencoba untuk menarik hidungnya kembali. Namun Raya dengan sigap menutup hidungnya. Awan tersenyum manis dan kembali fokus melajukan mobilnya. Brakkk!! Awan dan Raya terkejut lalu menghentikan laju mobilnya. "Kamu tunggu disini, jangan kemana-kemana. Ok?" ucap Awan. Raya hanya mengangguk pasrah dan menggenggam erat seatbelt nya dengan perasaan cemas. Awan pun turun untuk memeriksa keadaan di belakang. Warga sekitar yang nelihat kejadian juga berjalan mendekati mereka. Ternyata ada seorang pengendara sepeda motor bersama anak dan istrinya menabrak bagian belakang mobil Awan. Awan segera berusaha membantu si bapak untuk bangun, sementara ibu dan anak dibantu oleh warga yang berdatangan. "Maaf ya, pak!" ucap Awan. "Tidak, bli! Saya yang salah. Saya bawa k
"Ma, pulang yuk!" ajak Awan. "Kamu pulang aja sendiri." Wanita paruh baya itu tak memperdulikan rengekan putranya, dia terus saja sibuk dengan handphone nya. "Udah seminggu, ma, mama disini. Ayo dong kita pulang!" Rengek Awan lagi pada mamanya. Ya, sejak kejadian terakhir di Bandara kemarin mama nya memutuskan untuk tinggal di kostan Raya. Dia tidak mau tinggal bersama dengan Awan. "Mulai sekarang pokoknya anak mama cuma Raya. Udah sana kamu pulang. Mama mau nemani Raya aja disini." usir mamanya. "Nanti malam papa nelpon, aku harus bilang apa. Ayo dong, ma!" ajak Awan sekali lagi. "Udah sih, Wan. Biar aja mama disini. Nanti kami yang hubungi papa." sela Raya untuk mengehentikan perdebatan kedua ibu dan anak itu. "Masih aja pangil, Wan Wan." Awan memutar bola matanya malas. Sekarang gantian dia yang ngambek sama Raya. Sebab dia meminta Raya untuk memanggil nya sayang. Namun gadis itu masih saja menolak. "Ishh, apasih. Udah ah pergi sana. Udah malem, kami mau istirahat." usir Raya
Matahari sudah hampir mencapai tepat diatas kepala, barulah Raya mengerjapkan matanya. Melihat kesekitar, Bunda sudah tidak ada disampingnya. Dia pun mengarahkan pandangannya kepada jam dinding yang terpasang rapi di dinding kamar. Jarum jam menunjukkan pukul 11.25 WIB. Dia pun tersentak, dan langsung bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. "Bunda, kenapa gak banguni Raya?" keluh Raya setelah turun dari tangga, dan mendapati kedua ibu yang dia sayangi itu sedang becengkrama mesra di ruang keluarga. "Gimana mau dibanguni, kamu aja baru tidur jam lima." lalu Bunda merangkul Raya yang kini sudah duduk disampingnya. Raya jadi teringat perbincangannya dengan sang Bunda tadi malam perkara pertanyaannya yang memancing tawa Bundanya. Hingga muncullah segala nasihat dan petuah dari seorang ibu yang penuh dengan kasih dan sayang itu. "Hahaa..." gelak tawa Mama Awan memancing perhatian kedua ibu dan anak yang sedang saling berpelukan dalam duduknya itu. "Raya, tidak perlu takut