Senja Abimana tidak bisa sepenuhnya menerima ucapan Awan yang mengatakan dirinya cemburu dan kemungkinan besar sudah memberikan hatinya untuk Mentari Chrysalis. Jelas-jelas itu tidak mungkin. Hatinya, terutama cintanya, sepenuhnya adalah milik mendiang Serena. Senja juga sudah berjanji bahwa dia tidak akan pernah jatuh cinta dan menjalin hubungan lagi setelah Serena meninggal dunia. Karena itu, saat ini Senja merasa syok bukan main. Dia mematung di tempat, membuat Awan yang melihatnya merasa kasihan. Dia lantas meninju pelan lengan Senja, membuat sahabatnya tersebut tersentak dan menoleh. Awan tersenyum simpul. “Hei, nggak usah terlalu dipikirin. Gue hanya asal ngomong,” kata Awan. “Tapi, gue tetap merasa lo emang udah jatuh cinta sama sekretaris lo itu. Dan menurut gue, hal itu jelas-jelas nggak bisa dikategorikan sebagai perselingkuhan atau pengkhianatan. Serena udah meninggal dunia, bro. Gue yakin, dia juga nggak mau ngeliat lo terus menderita kayak gini. Di
“Bilang sama saya dengan jujur. Apa penyebab kamu menangis semalam karena saya salah mengenali kamu sebagai mendiang istri saya, Serena?" Mentari diam. Tidak bisa menemukan kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan Senja barusan. Bahkan, suaranya pun tidak bisa keluar, seolah tercekat di tenggorokan. Pikirannya mendadak buntu. Cewek itu sibuk menghindari tatapan Senja yang mulai menajam. Ke sudut ruangan, ke arah keluarga dan teman-temannya yang sedang mengobrol, ke arah pintu kamar, ke mana saja asalkan dia tidak perlu menatap manik yang menyorot tajam itu. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak sangat kencang hingga rasanya sesak. Dia meremas seprai di sampingnya dan memaksa otaknya bekerja dengan keras. Apa pun. Beri alasan apa pun. Apa saja asalkan dirinya bisa terlepas dari interogasi dan mata elang Senja. Tapi, seperti otaknya yang mengatakan bahwa Senja persis dengan seekor elang, bosnya itu enggan melepaskannya begitu saja. Dirinya adalah mangsa yan
Jingga melirik ke arah Mentari yang sedang tertidur. Keluarganya sudah pulang ke rumah dengan diantar oleh Gerhana dan Samudra pun sudah kembali ke kantornya. Senja dan Awan bilang, mereka akan pergi ke kafetaria sebentar untuk mengisi perut. Senyuman Jingga muncul ke permukaan dan menghela napas panjang. Dia lantas menyibak selimut dan perlahan menurunkan kedua kakinya. Salah satu kakinya yang diperban terasa nyari dan dia meringis. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara agar tidak mengganggu dan membangunkan Mentari. “Now, what?” keluh Jingga. Bagaimana caranya dia bisa pergi keluar kamar? Selama ini, jika Jingga ingin ke kamar mandi, dia akan meminta bantuan dari suster. Tapi, ini kan dia mau keluar dan berjalan-jalan. Pasti suster akan memarahinya karena dia memang disuruh untuk lebih banyak istirahat guna memulihkan kakinya yang memang terkilir ketika jatuh dari tangga. “Gue pasti bisa.” Jingga menjejakkan satu kakinya ke lantai. Kaki yang baik
Jingga tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Pertanyaan yang dilontarkan Awan kepadanya barusan terlalu tiba-tiba. Dan lagi, alarm di dalam kepala Jingga mendadak berbunyi. Tipe cowok seperti Awan ini sebenarnya adalah tipe-tipe yang patut dijauhi oleh Jingga. Hanya dengan sekali lihat, Jingga dan pastinya semua orang juga akan tahu jika Awan kerap bergonta-ganti pasangan. Buktinya, barusan Senja menggeram dan terlihat sekali ingin membunuh Awan setelah mendengar kata-katanya barusan. “Jadi? Udah punya pacar atau belum?” tanya Awan lagi. Terlalu bersemangat. Mengingatkan Jingga akan anjing besar lucu yang menggoyangkan ekornya dan menatapnya dengan tatapan berbinar ketika bertemu dengan majikannya. Jingga tersenyum canggung dan melirik Senja yang kini memijat pangkal hidungnya sambil menggeleng. A little help, please, Mr. Senja! Jingga membatin. “Jingga belum punya pacar, tapi naksir sama kakak saya, Pak.” Suara itu membuat
Embun Kurniawan memerhatikan Mentari Chrysalis dengan kedua matanya yang menyorot tajam, tapi disamarkan dengan senyuman di bibirnya. Saat ini, dirinya dan Senja sedang duduk di sofa, tak jauh dari ranjang Mentari. Cewek itu tidak banyak bersuara semenjak dirinya datang, membuat Embun menyeringai samar. Tentu saja sekretaris sialan itu tidak akan berani berbicara apa-apa. Embun yakin, Mentari pasti merasa minder karena dirinya datang untuk menemui Senja. Jika dibandingkan dengan dirinya, Mentari itu seperti kerikil di dekat kakinya. Mengganggu dan tidak cantik sama sekali. Berbeda dengan dirinya yang sangat berkilau seperti berlian dan mampu membuat cowok mana pun tergila-gila dan tertarik. Bahkan mungkin, bukan hanya lawan jenis, melainkan sesama cewek, orang tua maupun anak-anak, pasti akan memujanya. Walaupun tidak seberkilau dirinya, tapi Embun terpaksa mengakui jika wajah sekretaris Senja ini memang cukup cantik dan manis. Dia mungil dan merupakan tipe ora
Gerhana Quill melangkah ke dalam kamar inap adiknya dengan kerutan di kening. Dia langsung kembali ke rumah sakit begitu mengantar kedua orang tuanya pulang. Untung saja keadaan di jalan tidak macet, karena Gerhana sangat mengkhawatirkan Mentari dan sahabatnya, Jingga. Yang dia tahu, Samudra juga harus kembali ke kantor dan dia juga beranggapan Senja dan Awan pasti akan kembali karena Senja masih belum pulih benar. Tapi, ketika Gerhana sampai di kamar adiknya, cowok itu justru mendapati keadaan di dalam kamar sangat tegang. Suhu ruangan turun entah beberapa derajat, hingga Gerhana bisa merasakan hawa dingin itu merayap di tulang belakangnya. “Mm....” Gumaman Gerhana itu menyadarkan semua orang di dalam ruangan. Lima kepala menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan berbagai jenis. Jingga dengan tatapan kaget, Awan dengan tatapan panik, Senja dengan tatapan meminta maaf yang kemungkinan besar sudah menciptakan kekacauan di kamar ini dan Embun yang menatapnya denga
“Tolong jangan terlalu membuat stres nona Mentari, karena hal itu berpengaruh sangat buruk untuk kesehatannya saat ini.” Perkataan dari dokter itu membuat Gerhana, Senja dan Awan mengangguk. Ketiganya sedang berada di luar kamar inap Mentari dan Jingga. Lima menit yang lalu, Mentari tiba-tiba saja jatuh pingsan saat sedang duduk di ranjangnya sendiri. Untung saja Awan yang memang sejak kedatangan Embun selalu berdiri di samping ranjang Mentari, langsung bergerak cepat. Begitu dia melihat tubuh sekretaris dari Senja itu limbung ke arahnya, Awan langsung menangkapnya. Keadaan pun semakin kacau balau. Jingga menangis, menyerukan nama Mentari, begitu juga dengan Senja yang terlihat sangat panik dan cemas. Sementara itu, Gerhana berlari keluar seperti kesetanan seraya memanggil dokter dengan volume suara gila-gilaan. “Saya sudah memberikan obat penenang. Mungkin dia akan sadar dalam beberapa jam ke depan. Sekali lagi, tolong jangan sampai dia merasa stres. Saya perm
Senja Abimana bisa mengerti kenapa Mentari Chrysalis mematung di tempatnya saat ini. Kalau boleh mengakui, dirinya juga sangat kaget ketika berhadapan lagi dengan sekretarisnya itu, setelah seminggu lamanya mereka tidak bertemu dan berkomunikasi. Bahkan, Senja sendiri merasa gugup. Sesuatu yang sangat membuatnya tidak percaya dan membuatnya jengkel luar biasa karena merasa seperti ABG ingusan. Semenjak dia mengakui pada dirinya sendiri kalau dirinya memang sudah jatuh cinta pada Mentari, Senja jadi bingung harus bersikap bagaimana jika bertatap muka dengan cewek itu. Untuk menyeret kedua kakinya ke rumah Mentari saja, Senja butuh dorongan super keras dan ekstra dari Awan. Senja memaklumi Mentari yang tidak masuk kantor selama seminggu karena harus memulihkan kondisi kesehatannya. Yang menjadi masalah adalah, kenapa dia juga tidak bisa menghubungi ponsel cewek itu. Senja pernah meneleponnya sekali, sekadar ingin menanyakan kabar Mentari karena merasa khawatir ju
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken