Gerhana Quill melangkah ke dalam kamar inap adiknya dengan kerutan di kening. Dia langsung kembali ke rumah sakit begitu mengantar kedua orang tuanya pulang. Untung saja keadaan di jalan tidak macet, karena Gerhana sangat mengkhawatirkan Mentari dan sahabatnya, Jingga. Yang dia tahu, Samudra juga harus kembali ke kantor dan dia juga beranggapan Senja dan Awan pasti akan kembali karena Senja masih belum pulih benar. Tapi, ketika Gerhana sampai di kamar adiknya, cowok itu justru mendapati keadaan di dalam kamar sangat tegang. Suhu ruangan turun entah beberapa derajat, hingga Gerhana bisa merasakan hawa dingin itu merayap di tulang belakangnya. “Mm....” Gumaman Gerhana itu menyadarkan semua orang di dalam ruangan. Lima kepala menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan berbagai jenis. Jingga dengan tatapan kaget, Awan dengan tatapan panik, Senja dengan tatapan meminta maaf yang kemungkinan besar sudah menciptakan kekacauan di kamar ini dan Embun yang menatapnya denga
“Tolong jangan terlalu membuat stres nona Mentari, karena hal itu berpengaruh sangat buruk untuk kesehatannya saat ini.” Perkataan dari dokter itu membuat Gerhana, Senja dan Awan mengangguk. Ketiganya sedang berada di luar kamar inap Mentari dan Jingga. Lima menit yang lalu, Mentari tiba-tiba saja jatuh pingsan saat sedang duduk di ranjangnya sendiri. Untung saja Awan yang memang sejak kedatangan Embun selalu berdiri di samping ranjang Mentari, langsung bergerak cepat. Begitu dia melihat tubuh sekretaris dari Senja itu limbung ke arahnya, Awan langsung menangkapnya. Keadaan pun semakin kacau balau. Jingga menangis, menyerukan nama Mentari, begitu juga dengan Senja yang terlihat sangat panik dan cemas. Sementara itu, Gerhana berlari keluar seperti kesetanan seraya memanggil dokter dengan volume suara gila-gilaan. “Saya sudah memberikan obat penenang. Mungkin dia akan sadar dalam beberapa jam ke depan. Sekali lagi, tolong jangan sampai dia merasa stres. Saya perm
Senja Abimana bisa mengerti kenapa Mentari Chrysalis mematung di tempatnya saat ini. Kalau boleh mengakui, dirinya juga sangat kaget ketika berhadapan lagi dengan sekretarisnya itu, setelah seminggu lamanya mereka tidak bertemu dan berkomunikasi. Bahkan, Senja sendiri merasa gugup. Sesuatu yang sangat membuatnya tidak percaya dan membuatnya jengkel luar biasa karena merasa seperti ABG ingusan. Semenjak dia mengakui pada dirinya sendiri kalau dirinya memang sudah jatuh cinta pada Mentari, Senja jadi bingung harus bersikap bagaimana jika bertatap muka dengan cewek itu. Untuk menyeret kedua kakinya ke rumah Mentari saja, Senja butuh dorongan super keras dan ekstra dari Awan. Senja memaklumi Mentari yang tidak masuk kantor selama seminggu karena harus memulihkan kondisi kesehatannya. Yang menjadi masalah adalah, kenapa dia juga tidak bisa menghubungi ponsel cewek itu. Senja pernah meneleponnya sekali, sekadar ingin menanyakan kabar Mentari karena merasa khawatir ju
Tidak ada yang bersuara. Yang bisa didengar oleh Senja maupun Mentari hanyalah hela napas masing-masing dan juga debar jantung mereka. Wajah yang teramat dekat, bibir yang hampir saling menyentuh, membuat pikiran keduanya mendadak buntu. Mentari ingin sekali memalingkan wajah, tapi entah kenapa dia tak bisa melakukannya. Begitu juga dengan Senja. Baru kali ini dia kembali merasakan perasaan asing yang menggebu-gebu hingga pikiran konyol untuk melahap habis bibir kenyal sekretarisnya itu terlintas di kepalanya. “Mi—minum!” Seruan Mentari itu membuat Senja mengerjap dan mengikuti arah yang ditunjuk oleh Mentari. Segelas es jeruk yang sudah tersedia di atas meja. Lalu, matanya kembali ke arah Mentari yang meringis dan tersenyum aneh. Melihat effort Mentari untuk tetap bersikap tenang, Senja akhirnya tak bisa mengontrol senyumannya. Lalu, senyuman itu menjadi tawa geli dan dia menarik napas panjang. Cowok itu menyisir rambutnya dengan jemarinya, membuat
Mentari Chrysalis menatap Senja Abimana dengan tatapan tidak percaya. Cewek itu mati kutu. Dia memang pernah menceritakan penyebab rasa takut dan traumanya jika sedang berada di keramaian. Tapi, dia tidak menyangka kalau orang yang dulu pernah menolongnya saat dia terpisah dari keluarganya adalah Senja Abimana, bosnya sendiri, bersama dengan mendiang istrinya yang dulu masih berstatus pacar, Serena. Mentari melirik Senja. Cowok itu hanya diam saja sejak tadi dan meminum kopi susunya dengan gaya yang elegan dan anggun. Setelah tadi dia meneguk habis es jeruknya, kini bosnya itu meminta minuman lain. Di sofa lainnya, Gerhana, Samudra dan Jingga menatap Mentari dan Senja bergantian sejak tadi. Atmosfer yang tercipta di ruang tamu itu cukup membuat mereka semua tidak nyaman. “Seingat saya, saya udah bilang sama kamu untuk menunggu keluarga kamu di pos itu,” kata Senja, membuka suara setelah beberapa menit terlewat. Dia menatap Mentari yang mengerjap kar
Jam empat tepat. Mentari keluar dari taksi online yang ditumpanginya. Dia tersenyum ke arah perusahaan yang menjadi tempatnya mencari uang di hadapannya. Hanya seminggu, tapi Mentari sudah sangat merindukan tempat ini dan pekerjaannya. Padahal dulu, di saat dia sehat-sehat saja dan mendapatkan setumpuk pekerjaan, Mentari selalu saja mengoceh dan ingin liburan. “Tari!” Seruan itu membuat Mentari menoleh dan melambaikan tangan sambil mengangguk ke arah Awan. Cowok tampan itu memasukkan kedua tangannya di saku celana jeans yang dia kenakkan, lantas mendekati Mentari. “Bapak udah dari tadi di sini?” tanya Mentari. “Kenapa nggak masuk aja ke dalam? Pak Senja pasti masih di dalam, masih kerja. Kan jam kantor selesai satu jam lagi.” Tatapan Mentari terlihat bingung saat dia melihat penampilan Awan. “Bapak kenapa pakai pakaian kasual begini? Kita mau ketemu sama Surya Sanjaya, kan?” “Santai aja sama dia, mah,” kekeh Awan. “Gue udah k
“Dan sekarang Bapak mulai narsis.” Sebisa mungkin Mentari mencoba mengalihkan topik. Dia berusaha meredam debaran jantungnya yang menggila dan berdeham. Mengontrol rasa panik dan malunya juga merupakan usaha yang cukup sulit, agar rona merah itu tidak perlu muncul di wajahnya. Tapi, Mentari benar-benar tak bisa berkutik di bawah tatapan tajam dan menuntut dari Senja Abimana. “Narsis? Saya?” Mentari mengangguk tegas. “Kalau bukan narsis, terus apa namanya? Bapak seenaknya aja bilang kalau saya menyukai Bapak barusan. Itu artinya, Bapak terlalu percaya diri. Narsis.” “Saya nggak seenaknya menuduh. Kamu sendiri yang ngomong dan saya masih bisa mendengarnya dengan jelas,” sahut Senja tak mau kalah. “Sekarang, jangan banyak ngomong dan bilang jujur ke saya. Kamu menyukai saya? Secara romantis?” Oke, ini sudah mulai menakutkan dan membuat pikiran Mentari buntu. Dia tidak tahu lagi harus bersikap atau mengatakan apa. Kepanikan itu t
Di tempat lain, Jingga sedang menunggu kendaraan umum yang lewat untuk pulang ke rumah. Keadaan kakinya sudah membaik dan dia bisa berjalan, meski tidak senormal biasanya. Jingga harus belanja kebutuhan bulanan miliknya dan milik keluarganya, sehingga sejak satu jam yang lalu, dia sudah berada di supermarket dan harus mengatasi ramainya tempat tersebut. Setelah selesai berbelanja dan membeli minuman segar untuk menyejukkan tenggorokannya, Jingga berdiri sambil melamun di depan supermarket. “Lama banget,” keluh Jingga. “Mana taksi online juga nggak dapat-dapat.” Akhir-akhir ini, banyak sekali yang dipikirkan oleh Jingga. Awan mengatakan bahwa cowok itu menyukainya dan ingin menjadi pacarnya, dan juga Gerhana yang sepertinya hanya menganggapnya sebagai seorang teman dan adik jika dilihat dari sikapnya malam itu di ruang tamu rumah Mentari saat Senja Abimana datang. Jingga tersenyum getir. Sebenarnya, sudah sejak lama dia sadar bahwa dia tidak akan per
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken