“Kenapa diam?” Pertanyaan Senja itu membuat Samudra kembali ke alam sadarnya. Dia mulai fokus terhadap wajah Senja yang terlihat biasa saja. Mungkinkah selama ini raut wajah cowok yang lebih tua darinya itu selalu terlihat menyebalkan? Ya, tidak salah lagi. Sudah tak terhitung berapa banyak Samudra merasa kesal hanya karena bertemu dengannya. Tapi, saat ini, bisa dibilang raut wajahnya... ya itu tadi, biasa saja. Pucat karena sakit, alis terangkat satu dan sudut bibir yang terangkat ke atas, membentuk kuluman senyum. Lebih tepatnya seperti seringaian. “Lo... beneran suka sama Mentari?” tanya Samudra dengan nada tidak percaya. Dia tahu dan sadar ada yang tidak beres dengan hubungan di antara bos dan sekretaris itu. Tapi, Samudra tidak menyangka kalau Senja akan benar-benar mengakui kalau dia memiliki rasa untuk Mentari. “Jelas....” Senja menghentikan kalimatnya sejenak, lalu mendesah berat dan mendongak dengan kepala belakang disandarkan ke dinding.
“Tari, kamu nggak apa-apa?” Pertanyaan Gerhana itu hanya dijawab dengan anggukan lemah dan senyuman tipis dari Mentari. Saat ini, Mentari dan kakaknya itu sedang berada di dalam mobil, dalam perjalanan dari rumah Senja menuju rumah mereka sendiri. Gerhana meminjam mobil orang tua mereka karena tidak ingin adiknya itu terkena angin malam, kemudian berpotensi jatuh sakit. Meskipun selalu ceria dan penuh semangat, tapi Mentari itu sebenarnya gampang sakit. Dia sudah mengurus bosnya yang terkena flu berat, lalu datang ke rumah sakit. Jika harus naik motor di malam hari seperti ini, terkena angin malam yang jahat dan dingin menusuk, Gerhana yakin adiknya tersebut pasti akan sakit keesokan harinya. “Aku nggak apa-apa, Kak. Cuma lagi mikirin kerjaan aja. Terus juga, aku capek banget seharian ini. Emosi aku kayak kekuras semua menghadapi semua kejadian hari ini. Untung aja nggak harus pakai ketemu si Devan di rumah sakit.” Mentari menatap sang kakak. “Kakak, itu luka-l
“Kita jadi teman sekamar, ya.” Jingga tersenyum tipis, ketika dia mendengar Mentari mengucapkan kalimat tersebut dengan napasnya yang terengah. Tengah malam tadi, Jingga dikejutkan dengan kedatangan Mentari ke kamar inapnya. Bukan untuk menjenguk, melainkan untuk dirawat inap bersama dengan dirinya. Saat dibawa ke kamar inapnya, Mentari sudah dalam keadaan tak sadarkan diri, sudah diinfus, dan ditemani oleh Gerhana yang terlihat cemas serta panik. Keluarga sahabatnya itu memang meminta pihak rumah sakit untuk menempatkan mereka berdua dalam ruangan yang sama. “Gimana keadaan lo hari ini?” tanya Jingga. Dia sudah memberitahu Samudra mengenai keadaan Mentari dan sepulang kerja nanti, sahabat mereka berdua itu akan datang untuk menginap di rumah sakit guna menjaga keduanya. “Masih panas. Tapi, katanya sih udah nggak setinggi semalam,” jawab Mentari dengan nada lesu. Dia membasahi bibir bawahnya dan mencari keberadaan kakaknya. Orang tuanya tadi pulang
Mentari mengerang pelan dan mencoba untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Walaupun katanya demamnya sudah turun, tapi suhu panas itu masih bisa dirasakan oleh Mentari. Masih sedikit lagi sampai suhu tubuh cewek itu kembali normal. Kepalanya masih terasa berat, seperti dia dipukuli oleh palu berkali-kali. Setelah berhasil duduk, Mentari menarik napas panjang dan mencoba mengatur napasnya. Dia paling benci demam. Jika hanya flu biasa, Mentari masih bisa menahannya. “Tari, lo mau ke mana?” tanya Jingga dengan nada panik dan cemas, saat cewek itu melihat sahabatnya berniat untuk turun dari ranjang. Tadinya, Jingga mengira Mentari hanya ingin duduk, karenanya dia diam saja dan mengawasi dari tempatnya. Namun, ketika dilihatnya Mentari menurunkan kedua kakinya, Jingga ingin sekali berteriak histeris. “Kamar mandi,” jawab Mentari sambil menoleh sekilas dan tersenyum lemah. Mungkin kamar mandi memang berada di dalam kamar, tapi, tetap saja jalan menuju ka
“Gimana keadaan kamu?” tanya Senja. Mentari yang sudah duduk manis sambil bersandar di kepala ranjang, menatap Senja dengan tatapan seolah bosnya itu adalah bos dari para alien. Cewek itu lantas menjawab, “Demam, sakit kepala, batuk, pilek?” Senja mendengus dan memijat pangkal hidungnya. Dia bisa melihat Gerhana, Jingga dan Awan sedang mengulum senyum di tempat masing-masing. Sialan. Memangnya apa yang lucu, sih? “Saya tau kalau soal itu, Mentari. Maksud saya—“ “Artinya, saya masih sakit, Pak Senja,” potong Mentari sambil tersenyum. Senyuman mengejek. Untunglah Senja datang karena dia bisa melampiaskan kesedihan dan kegalauannya yang diakibatkan oleh cowok itu semalam. Mengingat kejadian semalam saja sudah membuat hati Mentari kembali berdenyut sakit dan juga kesal. Karena itulah, Mentari ingin membuat Senja bete hari ini. “Masa Bapak nggak bisa ngeliat sendiri kondisi saya gimana? Saya dirawat, diinfus dan barusan hampir aja cipokan sama lantai. D
Senja mengulurkan tangannya ke arah Mentari, membuat sekretarisnya itu mengerutkan kening. “Bisa saya pinjam ponsel kamu?” tanya cowok itu dengan nada tegas. Awalnya, Mentari ragu untuk memberikannya. Tapi, karena tatapan Senja tidak ingin dibantah, begitu juga dengan suaranya barusan, maka Mentari perlahan memberikan ponselnya itu kepada sang bos. Tangannya yang gemetar membuat Senja mengeraskan rahang. Dan, alih-alih mengambil ponsel Mentari, tangan Senja justru memegang pergelangan tangannya, menyebabkan Mentari berhenti gemetar dan mendongak agar bisa menatap Senja. “Kamu nggak perlu takut sampai gemetar seperti ini, Mentari Chrysalis. Mana mungkin saya membiarkan kamu terluka karena saya? Dan, apa yang terjadi barusan di kamar ini hanya boleh berada di kamar ini saja. Jingga, saya minta tolong supaya kamu merahasiakan hal ini dari siapa pun.” Jingga yang kaget karena Senja tiba-tiba berbicara dengannya, mengangguk. Setelah mendapatkan konfirmas
Senja Abimana tidak bisa sepenuhnya menerima ucapan Awan yang mengatakan dirinya cemburu dan kemungkinan besar sudah memberikan hatinya untuk Mentari Chrysalis. Jelas-jelas itu tidak mungkin. Hatinya, terutama cintanya, sepenuhnya adalah milik mendiang Serena. Senja juga sudah berjanji bahwa dia tidak akan pernah jatuh cinta dan menjalin hubungan lagi setelah Serena meninggal dunia. Karena itu, saat ini Senja merasa syok bukan main. Dia mematung di tempat, membuat Awan yang melihatnya merasa kasihan. Dia lantas meninju pelan lengan Senja, membuat sahabatnya tersebut tersentak dan menoleh. Awan tersenyum simpul. “Hei, nggak usah terlalu dipikirin. Gue hanya asal ngomong,” kata Awan. “Tapi, gue tetap merasa lo emang udah jatuh cinta sama sekretaris lo itu. Dan menurut gue, hal itu jelas-jelas nggak bisa dikategorikan sebagai perselingkuhan atau pengkhianatan. Serena udah meninggal dunia, bro. Gue yakin, dia juga nggak mau ngeliat lo terus menderita kayak gini. Di
“Bilang sama saya dengan jujur. Apa penyebab kamu menangis semalam karena saya salah mengenali kamu sebagai mendiang istri saya, Serena?" Mentari diam. Tidak bisa menemukan kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan Senja barusan. Bahkan, suaranya pun tidak bisa keluar, seolah tercekat di tenggorokan. Pikirannya mendadak buntu. Cewek itu sibuk menghindari tatapan Senja yang mulai menajam. Ke sudut ruangan, ke arah keluarga dan teman-temannya yang sedang mengobrol, ke arah pintu kamar, ke mana saja asalkan dia tidak perlu menatap manik yang menyorot tajam itu. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak sangat kencang hingga rasanya sesak. Dia meremas seprai di sampingnya dan memaksa otaknya bekerja dengan keras. Apa pun. Beri alasan apa pun. Apa saja asalkan dirinya bisa terlepas dari interogasi dan mata elang Senja. Tapi, seperti otaknya yang mengatakan bahwa Senja persis dengan seekor elang, bosnya itu enggan melepaskannya begitu saja. Dirinya adalah mangsa yan
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken