Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu rumah keluarga Mentari, membuat Senja panas-dingin di tempatnya. Dia menelan ludah. Mempertanyakan apakah keputusannya barusan untuk mengaku adalah keputusan benar atau salah. Kalau sudah begini, ingin menarik kata-katanya kembali dengan mengatakan bahwa dia sedang bercanda pun, rasanya tidak etis. Yang ada, dia mungkin akan dimasukkan ke dalam black list orang tuanya Mentari, terlebih Gerhana, karena menganggap dirinya sudah main-main dengan cewek itu. “Gerhana,” panggil ayahnya Mentari. Sialnya, bukan cuma Gerhana saja yang tersentak, melainkan Senja juga. Soalnya, suara pria itu benar-benar terdengar tegas dan lantang. Makin lah ketar-ketir Senja di tempatnya. Dia harus melakukan apa pun agar bisa mendapatkan hati calon ayah mertuanya tersebut. “Sejak kapan kamu jadi nggak sopan dan jorok seperti itu? Bersihin!” “I—iya, Ayah,” sahut Gerhana takut-takut. Dia buru-buru berlari ke dapur dan kembali lagi sam
Seperti perintah calon ayah mertua, Senja langsung masuk ke dalam kamar Gerhana bahkan tanpa mengetuk pintu. Gerhana, yang sedang duduk di meja kerjanya, sambil mencoret-coret entah apa di atas meja, menoleh dan berdecak jengkel. Wajahnya muram dan gelap, bak gang sepi di malam hari. Kalau ada yang melihat keadaan Gerhana saat ini, mungkin cowok itu akan dikira sedang bergalau ria akibat patah hati dan putus cinta. Padahal kenyataannya, Gerhana sedang bersungut di dalam hati karena adiknya benar –benar resmi direbut oleh Senja akibat restu yang diberikan oleh orang tuanya untuk hubungan mereka. “Dan sekarang lo main masuk seenak jidat lo ke kamar orang lain,” gerutu Gerhana. Dia mendengus dan kembali berkonsentrasi pada coret-coretannya di atas meja. Tidak menanggapi komentar pedas Gerhana, Senja melangkah dengan santai dan menjatuhkan tubuhnya di atas kasur begitu saja. Hanya dengan berbaring seperti ini, entah kenapa rasanya cukup membuat Senja n
Setelah makan malam bersama keluarga Mentari, Senja membawa cewek itu ke rumahnya. Bahkan Gerhana juga ikut dengan mereka. Alasannya, dia ingin membuktikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa adiknya diperlakukan dengan sangat lembut dan terhormat, seperti dia adalah tuan putri dari sebuah kerajaan yang sangat besar. Ketika mendengar alasan itu, Mentari langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya tersebut. Begitu Senja membuka pintu rumahnya dan memanggil Angelica, anak semata wayangnya itu langsung berlari ke arah Mentari sambil tersenyum lebar dan memeluknya dengan erat. Tentu saja Mentari juga terlihat sangat senang bisa bertemu lagi dengan anak menggemaskan itu. Dan, mereka akan menghabiskan waktu bersama setiap hari sampai masalah Embun dan Devan terselesaikan. Kemudian, Awan keluar dari arah dapur sambil membawa es krim berukuran besar di tangannya. Dia mengerjap dan mengangkat sebelah tangan untuk
“Caesar?! Caesar anak buahnya si Embun Kurniawan?! Kenapa kamu undang dia ke rumah kamu, Sen?! Kamu lupa kalau dia bertugas untuk membantu tuannya menyingkirkan aku dan Angelica?!” Seruan dari Mentari itu membuat Awan, Gerhana dan Samudra ikut mengangguk antusias dan menatap Senja dengan tatapan menuntut. Mereka juga sudah tahu perihal Caesar yang sangat setia pada Embun Kurniawan tersebut. “Mentari benar, Sen,” sambung Awan dengan nada tajam. “Otak lo mendadak geser apa gimana, sih? Masa lo membawa musuh lo ke rumah lo sendiri? Lo mau dia tau semua rencana kita? Atau sebenarnya, lo emang ada di pihak Embun? Lo sebenarnya ada hati sama Embun, iya? Lo mau kayak raja-raja atau pengusaha-pengusaha di luar sana yang punya pasangan lebih dari satu?” Sebelum Senja bisa menjawab, pintu utama kembali terbuka. Seorang cowok lainnya, kali ini lebih muda, memasuki rumah. Dia tersenyum lebar ke arah Senja dan mengangguk untuk menyapa Senja dan juga yang lainnya
Kalimat dari Mentari itu membuat sekujur tubuh Senja menegang. Darah seolah terserap keluar dari dalam tubuh Senja, membuatnya terlihat pucat. Hawa dingin itu mulai menyelimutinya. Pikiran-pikiran negatif mulai bergentayangan di benaknya, seolah-olah ingin memberitahu bayangan atau ramalan yang akan terjadi di masa depan kepada Mentari, jika kekasihnya itu memutuskan untuk menjadi umpan. Mentari yang menjerit ketakutan, menjerit kesakitan, menangis, memohon ampun untuk dilepaskan agar bisa kembali kepadanya, bahkan... memohon agar dibunuh saja supaya rasa sakit yang dia alami bisa menghilang bersama dengan nyawanya. Awan, mengenal Senja hampir seumur hidupnya, langsung mematung tatkala dia merasakan ada yang tidak beres pada sikap sahabatnya. Kalimat Mentari tadi adalah pemicu bagi Senja. Pemicu trauma di masa lalunya. Karena dulu sekali, Serena pernah mengatakan hal yang sama, ketika ada orang-orang yang ingin mencelakai Angelica. Serena bersedia menjadi umpan
“Papa?” “Hm?” Senja menyelimuti tubuh mungil Angelica dan menepuk-nepuk pelan perutnya yang tertutupi selimut agar malaikat kecilnya itu kembali tertidur. Dia menyunggingkan senyuman yang diharapnya terlihat normal dan baik-baik saja. Mungkin Angelica masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa itu adalah senyuman lelahnya. “Papa berantem sama tante Mentari, ya?” Ah... coba lihat betapa anak manisnya itu terlalu pintar untuk ukuran anak seusianya. Dia bisa mengetahui bahwa ada yang tidak beres di antara dirinya dan Mentari. Mata bulat yang terlihat menyorot sedih itu bahkan berkaca, bersiap untuk menumpahkan air matanya. “Kenapa Angel nanya kayak gitu?” Senja balas bertanya dengan suara lembutnya. “Soalnya tadi Papa teriak-teriak dan mukanya tante Mentari keliatan takut. Papa tau? Kayak kalau Papa lagi marahin Angel karena Angel nakal. Tante Mentari juga tadi nangis, Pah. Waktu kita ke kamar, tante Mentari nangis sambil dipeluk
Penyamaran. Ya, itu adalah ide yang sangat bagus. Kenapa mereka semua tidak memikirkannya sejak awal? Bahkan Mentari saat ini sudah merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Harusnya dari awal, dia mengajukan ide seperti ini kepada Senja, dan bukannya malah mengajukan dirinya sendiri. Jika dari awal dia membicarakan masalah penyamaran, pastinya dia tidak akan membuka luka hati dan rasa trauma milik Senja. Dia tidak akan membuat Senja bersedih akibat memikirkan Serena. “Biar gue panggil dulu Kael sama Novan.” Awan bangkit dari sofa dan berjalan keluar rumah. Kemudian, tak berselang lama, ketiganya kembali. Awan duduk, tapi Kael dan Novan hanya berdiri sambil mengangguk sopan ke arah Mentari dan yang lainnya. “Apa ada yang bisa kami bantu, Nona Mentari?” tanya Kael. Cowok itu benar-benar menunjukkan sikap seorang bawahan yang sangat loyal pada majikannya. Padahal, tidak ada yang dapat memastikan bahwa Mentari akan benar-benar menjadi Nyonya Abimana. Tap
“Sekali lagi saya bertanya baik-baik kepada Anda,” ulang Kael dengan nada dingin, sedingin tatapan matanya saat ini. Bahkan Mentari bisa melihatnya walau cahaya di ruangan ini hanya remang-remang. “Siapa Anda? Dan mau apa Anda terhadap calon Nyonya Abimana?” “Ka—Kael,” panggil Mentari dengan nada takut-takut. Dia memaksakan seulas senyum dan menatap Kael serta orang yang sedang ditodongkan pisau olehnya secara bergantian. Karena posisinya Mentari sudah melangkah maju, dia jadi bisa melihat dengan cukup jelas siapa orang di depannya. Mungkin barusan, karena terlalu kaget akan kemuncullan orang tersebut, Mentari jadi tidak bisa fokus dengan penglihatannya. “Itu, dia—“ “Saya orang yang memperkerjakan kamu dan membayar gaji kamu, Kael.” Mendengar suara yang sudah dihafalnya di luar kepala itu, suara yang saat ini berhasil membuat suhu di ruangan tempat mereka berada turun hingga di titik nol, Kael mematung. Dia buru-buru menjauhkan pisau lipatnya dari l
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken