Kalimat dari Mentari itu membuat sekujur tubuh Senja menegang. Darah seolah terserap keluar dari dalam tubuh Senja, membuatnya terlihat pucat. Hawa dingin itu mulai menyelimutinya. Pikiran-pikiran negatif mulai bergentayangan di benaknya, seolah-olah ingin memberitahu bayangan atau ramalan yang akan terjadi di masa depan kepada Mentari, jika kekasihnya itu memutuskan untuk menjadi umpan. Mentari yang menjerit ketakutan, menjerit kesakitan, menangis, memohon ampun untuk dilepaskan agar bisa kembali kepadanya, bahkan... memohon agar dibunuh saja supaya rasa sakit yang dia alami bisa menghilang bersama dengan nyawanya. Awan, mengenal Senja hampir seumur hidupnya, langsung mematung tatkala dia merasakan ada yang tidak beres pada sikap sahabatnya. Kalimat Mentari tadi adalah pemicu bagi Senja. Pemicu trauma di masa lalunya. Karena dulu sekali, Serena pernah mengatakan hal yang sama, ketika ada orang-orang yang ingin mencelakai Angelica. Serena bersedia menjadi umpan
“Papa?” “Hm?” Senja menyelimuti tubuh mungil Angelica dan menepuk-nepuk pelan perutnya yang tertutupi selimut agar malaikat kecilnya itu kembali tertidur. Dia menyunggingkan senyuman yang diharapnya terlihat normal dan baik-baik saja. Mungkin Angelica masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa itu adalah senyuman lelahnya. “Papa berantem sama tante Mentari, ya?” Ah... coba lihat betapa anak manisnya itu terlalu pintar untuk ukuran anak seusianya. Dia bisa mengetahui bahwa ada yang tidak beres di antara dirinya dan Mentari. Mata bulat yang terlihat menyorot sedih itu bahkan berkaca, bersiap untuk menumpahkan air matanya. “Kenapa Angel nanya kayak gitu?” Senja balas bertanya dengan suara lembutnya. “Soalnya tadi Papa teriak-teriak dan mukanya tante Mentari keliatan takut. Papa tau? Kayak kalau Papa lagi marahin Angel karena Angel nakal. Tante Mentari juga tadi nangis, Pah. Waktu kita ke kamar, tante Mentari nangis sambil dipeluk
Penyamaran. Ya, itu adalah ide yang sangat bagus. Kenapa mereka semua tidak memikirkannya sejak awal? Bahkan Mentari saat ini sudah merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Harusnya dari awal, dia mengajukan ide seperti ini kepada Senja, dan bukannya malah mengajukan dirinya sendiri. Jika dari awal dia membicarakan masalah penyamaran, pastinya dia tidak akan membuka luka hati dan rasa trauma milik Senja. Dia tidak akan membuat Senja bersedih akibat memikirkan Serena. “Biar gue panggil dulu Kael sama Novan.” Awan bangkit dari sofa dan berjalan keluar rumah. Kemudian, tak berselang lama, ketiganya kembali. Awan duduk, tapi Kael dan Novan hanya berdiri sambil mengangguk sopan ke arah Mentari dan yang lainnya. “Apa ada yang bisa kami bantu, Nona Mentari?” tanya Kael. Cowok itu benar-benar menunjukkan sikap seorang bawahan yang sangat loyal pada majikannya. Padahal, tidak ada yang dapat memastikan bahwa Mentari akan benar-benar menjadi Nyonya Abimana. Tap
“Sekali lagi saya bertanya baik-baik kepada Anda,” ulang Kael dengan nada dingin, sedingin tatapan matanya saat ini. Bahkan Mentari bisa melihatnya walau cahaya di ruangan ini hanya remang-remang. “Siapa Anda? Dan mau apa Anda terhadap calon Nyonya Abimana?” “Ka—Kael,” panggil Mentari dengan nada takut-takut. Dia memaksakan seulas senyum dan menatap Kael serta orang yang sedang ditodongkan pisau olehnya secara bergantian. Karena posisinya Mentari sudah melangkah maju, dia jadi bisa melihat dengan cukup jelas siapa orang di depannya. Mungkin barusan, karena terlalu kaget akan kemuncullan orang tersebut, Mentari jadi tidak bisa fokus dengan penglihatannya. “Itu, dia—“ “Saya orang yang memperkerjakan kamu dan membayar gaji kamu, Kael.” Mendengar suara yang sudah dihafalnya di luar kepala itu, suara yang saat ini berhasil membuat suhu di ruangan tempat mereka berada turun hingga di titik nol, Kael mematung. Dia buru-buru menjauhkan pisau lipatnya dari l
“Senja? Senja, bisa tolong liat aku sebentar?” Mentari meminta dengan nada memohon. Dia jadi ingin menangis juga rasanya. Ralat. Yang benar adalah, dia sudah ikut menangis sekarang. Senja yang tampan, yang selalu terlihat gagah, keren dan tegas, yang menyebalkan dan bersikap dingin di depan orang lain, kini menangis karena dirinya. Mentari berusaha untuk mendorong tubuh Senja agar dia bisa melihat wajah Senja, tapi rasanya sulit mengingat perbedaan kekuatan di antara keduanya. “Senja,” lirih Mentari. Dia benar-benar terisak sekarang. Bingung harus berbuat apa. “Plis, tolong liat aku sebentar.” Mendengar suara lirih Mentari, Senja tidak punya pilihan lain, selain menjauhkan tubuhnya. Dia menunduk, tidak mampu menatap wajah Mentari. Takut jika Mentari memberikan penolakan dan tatapan dingin untuknya. Kemudian, Senja bisa merasakan dua tangan mungil dan dingin milik Mentari menangkup wajahnya. Wajah cantik itu kini banjir air mata. Tidak ada tatapan di
Caesar merasa akhir-akhir ini dia tidak seperti dirinya sendiri. Keanehan yang cowok itu rasakan juga disadari oleh Embun. Entah mengapa, Embun merasa ada yang berbeda dengan tangan kanannya itu. Di hari ini, Caesar akan bersikap seperti biasanya, tapi di hari lain, cowok itu akan bersikap berbeda. Bahkan terkadang, Caesar seperti orang yang linglung. Sering kali ditanya soal rencana mereka, apakah sudah siap atau belum, Caesar akan mengerutkan kening karena bingung. Lalu dia akan bertanya, rencana apa yang sudah mereka buat karena dirinya sama sekali tidak bisa mengingatnya. Tapi di hari lain, Caesar dengan penuh semangat akan melaporkan semua persiapan rencana mereka dari A hingga Z, sampai mampu membuat Embun terpaksa memasang sikap waspada. Seperti hari ini, ketika Embun memanggil Caesar dan menanyakan perkembangan rencana mereka untuk melenyapkan Mentari dan Angelica, cowok itu hanya diam dan menarik napas panjang. “Caesar,” panggil Embun denga
“Dibunuh?” desis Awan tak percaya. Pasalnya, yang Awan ketahui selama ini adalah, Serena meninggal dunia karena sakit. Kondisi tubuhnya terus menurun, bahkan hingga menjadi sangat kurus. Aura dan cahaya yang selalu mengelilingi cewek itu, senyuman riang dan hangatnya, memudar seiring berjalannya waktu. Senja bahkan membawa Serena bolak-balik ke rumah sakit, tapi sakitnya tak kunjung sembuh. Bahkan, Serena harus menyerah pada sakitnya dan meninggalkan suami serta anak yang masih sangat kecil itu. Jadi, bagaimana ceritanya Serena bisa dibunuh oleh Embun? “Tu—tunggu dulu,” sahut Awan dengan nada terbata. Dia benar-benar bingung sekarang. Bahkan Awan tidak menyadari Gerhana sudah datang mendekat. Kemungkinan besar cowok itu ingin berbicara berdua dengan Senja perihal keselamatan Mentari. “Apa maksudnya dengan Serena yang dibunuh sama Embun?” Mendengar pertanyaan Awan, Gerhana tak punya pilihan lain, selain mematung di tempatnya. Sama seperti
Kedua mata Senja terbuka dengan cepat, ketika dia mendengar suara berisik yang begitu kencang. Cowok itu bangkit dari posisi berbaringnya dan mengerang pelan. Dia memijat pangkal hidungnya, kemudian menatap ke luar jendela. Kamar yang dia tempati di villa Abimana ini memang berhadapan langsung dengan pantai, sehingga dia bisa melihat pemandangan di luar sana melalui jendela kamarnya. Entah siapa yang sudah membuka tirai jendelanya, tapi yang pasti, berkat hal itu, Senja jadi bisa melihat bagaimana Mentari dan Angelica berlarian sambil tertawa dan menjerit nyaring. Kemudian, Jingga datang sambil membawakan es krim untuk mereka berdua. Di sisi lain, Awan, Gerhana dan Samudra duduk di bawah sebuah pohon kelapa, mengawasi para cewek yang sedang bermain. Sambil tersenyum, Senja menyibak selimut dan turun dari ranjang. Dia sempat melihat jam di ponselnya. Sudah pukul sembilan pagi. Dia bangun setelat ini? Benar-benar tidak biasa. Mungkin karena dia merasa rileks dan
Embun mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Dia memang tidak bisa berbuat banyak untuk saat ini, karena dirinya hanya membawa Caesar seorang. Sementara itu, anak buah Senja Abimana mungkin memenuhi setiap sudut dari kediaman Abimana ini. Embun melirik Caesar yang tak berkutik di tempatnya, di mana sebuah pisau mengancam akan menyayat nadi di lehernya detik ini juga. Matanya lantas kembali memusat pada Mentari yang berada dalam pelukan protektif dari Senja. Sial! Cewek ingusan itu benar-benar membuatnya darah tinggi. Dia sangat membenci Mentari Chrysalis. Embun harus segera melenyapkan Mentari, bagaimanapun caranya. Tapi, saat ini bukanlah waktu yang tepat. Dia akan memberikan sedikit kemenangan untuk cewek sialan itu dan Embun lah yang akan tertawa di akhir nantinya. “Oke.” Embun menatap tajam ke arah Senja. “Aku akan mengalah. Tapi, tolong suruh Devan keluar sekarang juga karena aku benar-benar harus bicara dengannya.”
Tadinya, Mentari memang hanya akan menunggu di kamar Angelica Abimana sampai semuanya selesai. Tapi, perasaannya entah kenapa semakin tidak enak. Cewek itu tidak bisa tenang. Pikirannya melantur ke mana-mana, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada Senja dan Awan. Dia juga sudah mengirimkan pesan singkat kepada kakak dan sahabatnya, Gerhana dan Samudra, bahwa keadaan mulai tidak terkendali. Gerhana berkata dia sangat setuju dengan Senja yang menyuruh Mentari untuk berdiam diri di kamar Angelica, dan dia juga akan menyuruh beberapa anak buah Senja yang ada bersamanya untuk memeriksa keadaan bos mereka tersebut. Namun, tetap saja Mentari tidak bisa tenang. “Jingga, kayaknya gue bakalan nyusul Senja, deh,” kata Mentari dengan nada tegas, setegas tatapan matanya saat ini. Mentari tersenyum ke arah Angelica yang barusan menatapnya dan melambaikan tangan ke arahnya. “Gue khawatir sama dia.” “Jangan!” tegas Jingga. “Tar, pak Senja jelas-jelas nggak mau
Ketika Awan membuka pintu depan rumah Senja, cowok itu langsung disambut dengan wajah datar dan tatapan dingin milik Embun Kurniawan. Di samping cewek itu, Awan melihat seorang cowok berjas hitam yang dia kenali sebagai Caesar, tangan kanan dari Embun. Awan memasang senyum terbaiknya. Meski begitu, dia juga memasang sikap waspada. Ruang makan cukup jauh dari pintu utama, sehingga kalau Embun berniat untuk menyerangnya dengan bantuan Caesar, maka yang perlu dilakukan oleh tangan kanan Embun itu hanyalah memukulnya hingga jatuh tak sadarkan diri, dan menculiknya. Urusan jika Embun akan menyekapnya, menyiksanya atau bahkan melenyapkannya, Awan tidak akan memikirkannya terlebih dahulu. “Halo.” Awan menyapa dengan nada ramah yang selalu dia berikan kepada orang lain, siapa pun itu. “Kok tiba-tiba datang ke sini? Mau ketemu Senja, ya? Sori, tapi Senja lagi ada jamuan makan malam sama rekan-rekan bisnisnya yang lain. Jadi, kayaknya dia nggak bisa nemuin lo dulu.”
“APA?!” Caesar hanya diam dan menunduk. Dia tidak mungkin balas menatap kedua manik Embun Kurniawan yang saat ini sedang marah besar. Caesar baru saja memberikan informasi bahwa Devan datang ke rumah Senja Abimana bersama atasannya, Surya Sanjaya, karena Senja mengadakan perjamuan makan malam. Menurut informasi juga, di sana Senja akan mengumumkan pertunangannya dengan Mentari Chrysalis. “Dia berani bertindak sendirian, tanpa perintah dari gue?!” desis Embun tidak terima. Cewek itu berteriak marah dan melempar vas yang berada di atas meja. Entah sudah berapa vas yang dia lemparkan di ruangan ini. Napasnya memburu karena amarah dan matanya mulai memerah karena amarah yang sama. “Dasar berengsek! Jadi, dia mau main-main sama gue, setelah gue berbaik hati menawarkan kerjasama untuk memisahkan Senja dan Mentari?” Embun menyisir rambutnya dengan menggunakan jemarinya dan mencoba untuk menenangkan diri. Tidak. Dia tidak bisa tenang. Cewek itu lantas menggigiti kuku j
Mentari Chrysalis gugup. Dia sudah tahu mengenai rencana ini. Novan dan Kael, yang memiliki teman yang akan menyamar menjadi dirinya, bersiap di tempat yang sudah direncanakan. Nantinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau rencana Senja dan yang lainnya mulai terlihat tidak bagus dan mengarah ke kekacauan, Mentari akan berpura-pura pamit ke kamar mandi dan yang akan menggantikan dirinya adalah teman dari Novan dan Kael yang menyamar menjadi cewek itu. “Kamu gugup?” tanya Senja. Cowok itu baru saja tiba di ruang tamu, tempat di mana Mentari sedang duduk dan memikirkan semua hal yang akan terjadi ke depannya. Dia akan bertemu lagi dengan Devan dan akan membuat orang lain terlibat. Bahkan Surya Sanjaya. Walau pria itu belum tahu duduk permasalahannya yang sebenarnya, tapi tetap saja Mentari sudah menyeretnya ke dalam masalah pribadinya dan Senja. Mentari mengangguk dan langsung memeluk erat tubuh Senja yang duduk di sampingnya. Dia memejamk
Begitu mengetahui bahwa Mentari Chrysalis sudah kembali masuk kantor dari orang suruhannya, Devan langsung bertindak. Cowok itu sudah tidak sabar lagi untuk mengeksekusi rencananya. Masa bodoh dengan Embun Kurniawan. Mungkin Embun sudah membantunya untuk mensukseskan rencananya. Dan rencana itu memang berasal dari Embun sendiri. Hanya saja bagi Devan, jika Senja Abimana masih ada di muka bumi ini dan terus berkeliaran di sisi Mentari, maka Devan tidak akan bisa menang. Jadi, dia harus melenyapkan cowok itu tanpa sepengetahuan Embun. Mungkin Devan bisa membuat kejadian seolah-olah Senja mengalami kecelakaan. Ya, cara seperti itu sangat umum dilakukan oleh orang-orang di luar sana yang ingin membunuh orang lain yang mereka benci. “Devan, kamu sudah mau pulang?” Pertanyaan itu membuat Devan mengerjap dan menoleh. Dia tersenyum sopan ke arah Surya Sanjaya, bosnya yang bekerjasama dengan Senja Abimana dan mendukung hubungan Senja dengan Mentari. Benar-be
“Pesan? Pesan apa?” Mentari tidak langsung menjawab. Cewek itu turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi yang memang ada di setiap kamar tidur di villa Abimana ini. Ketika Mentari keluar, cewek itu langsung memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil karena terkena air dingin. Lupa bahwa dia berada di daerah yang suhunya cukup dingin, ditambah hujan deras sejak kemarin. Tanpa buang waktu, Mentari melompat ke atas ranjang dan langsung meringkuk dibalik selimut tebalnya. Melihat itu, senyum geli terbit di bibir Senja dan cowok itu langsung memeluk erat tubuh Mentari yang terbungkus rapat selimut tebal. Sudah seperti sebuah kepompong. “Gigi kamu bergemeletuk, Tari. Aku sampai merinding dengarnya. Lagian, kenapa kamu nggak pakai air hangat tadi di kamar mandi?” tanya Senja sambil mengusap lembut kepala kekasihnya itu. Jengkel, Mentari mendongak untuk menatapnya. “Aku mana ingat? Orang aku udah kebelet begitu,” gerutunya. “Oh, omong-omong soal pesa
“Err... Pak Senja Abimana?” Panggilan dari Mentari yang menggunakan nada sarkas itu—karena dia baru saja menyindir dengan menggunakan kata sapaan ‘pak’ pada nama Senja—membuat Senja meliriknya dan meninggalkan deretan kalimat yang tertera di dalam majalah bisnis di tangannya. Saat ini, Senja sedang duduk bersandar di ranjang, dengan kedua kaki terjulur dan disembunyikan dibalik selimut. Yang menjadi masalah adalah, cowok itu tidak melakukannya di dalam kamarnya sendiri, melainkan di kamar yang ditempati oleh Mentari Chrysalis, kekasihnya. “Ya, calon Nyonya Abimana?” Respon itu membuat Mentari merona dan berdeham untuk menutupi kegugupannya. Dia memasang wajah cemberut, kemudian memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Senja yang kembali tenggelam dalam majalah bisnisnya tersebut. “Kenapa kamu malah tidur di sini?” “Harus ada orang yang menjaga dan mengawasi kamu, Tari,” jawab Senja santai. “Dan lagi, kakak kamu udah setuj
“Lemari baju? Racun? Sidik jari?” Senja mengulangi kata-kata Mentari dan langsung membuka telapak tangannya, meminta Mentari untuk menunggu. Sementara itu, tangannya yang satu lagi dia pakai untuk mengusap wajahnya, lagi. “Tunggu dulu. Maksud kamu itu apa, Tari? Serena? Mendiang istriku, maksud kamu? Kenapa kamu tiba-tiba membicarakan Serena?” Mentari tahu, omongannya barusan memang cukup sulit untuk dipercaya. Dia, yang bahkan tidak pernah menyangka jika Serena diracuni secara perlahan hingga meninggal dunia, yang selalu memikirkan dan menerka-nerka sejak dulu mengenai penyebab kematian Serena, tiba-tiba membicarakan hal tersebut di hadapan Senja Abimana. Tentu saja Senja akan terkejut dan bingung. Itu reaksi wajar. Yang tidak wajar adalah, jika Senja tiba-tiba mengangguk dan menelan semua perkataannya begitu saja, hanya karena cowok itu yang level kebucinannya sudah akut. Tak bisa diobati lagi. “Kamu ngelantur, ya?” tanya Gerhana. Dia menaruh tangannya di ken