Cheryl akhirnya mengecilkan volume musiknya ketika suara ketukan di pintunya berubah semakin keras, diiringi ocehan bernada marah yang kian ramai terdengar di luar sana.“Rese banget sih itu orang baru, kayak cuma dia aja yang punya kuping.”“Iya, gue sampe kebangun dari tidur gara-gara suara musiknya. Lagi ada masalah apa sih itu orang?"“Katanya dia temannya Rima, tapi kok nggak asyik kayak Rima gitu sih orangnya? Udah cupu, ngeselin lagi.”Percakapan itu terdengar samar-samar menembus pintu kamar Cheryl. Cukup membuat darahnya mendidih. Merasa dirinya dipojokkan tanpa pembelaan, Cheryl mematikan musiknya dengan sentakan jari yang keras, lalu membuka pintu kamarnya dengan wajah merah padam.“Saya begini bukan tanpa alasan, ya? Dia yang duluan bikin ulah!” serunya dengan nada tinggi, jarinya menunjuk tajam ke arah tetangga sebelah.“Eh, ulah apaan? Situ kali yang berisik, nyetel musik kayak lagi konser!” balas tetangganya dengan nada tak kalah sinis, meletakkan tangan di pinggang seol
Ruang perjamuan hotel berbintang lima itu memancarkan kemewahan di setiap sudutnya. Lampu gantung kristal yang megah tergantung di tengah ruangan, memantulkan cahaya yang hangat di atas meja-meja panjang yang dihias dengan bunga segar dan lilin aromaterapi. Karpet tebal berwarna krem melapisi lantai, tirai satin berwarna emas menghiasi jendela-jendela besar yang menampilkan pemandangan kota malam yang gemerlap.Di salah satu meja utama, orangtua Milena, yaitu Tuan Adiguna Wongso dan Nyonya Dania duduk berdampingan, dikelilingi keluarga dan tamu-tamu terhormat. Malam ini adalah perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-30, sebuah momen istimewa yang dirayakan dengan kemegahan.Para pelayan berlalu-lalang, membawa nampan berisi hidangan gourmet yang disajikan dengan artistik. Alunan musik jazz dari band live di sudut ruangan menciptakan suasana hangat dan elegan.Bara duduk di salah satu kursi di meja utama. Di hadapannya, Nyonya Dania tersenyum ramah, mengenakan gaun malam yang
Kebosanan mulai menyelimuti Bara. Percakapan di meja makan ini mulai kehilangan daya tariknya. Iapun memilih undur diri dengan sopan, meninggalkan pesta yang terasa terlalu panjang untuk hatinya yang sedang gelisah.“Sudah selesai, Pak?” Sofyan bertanya dengan sedikit bingung. Tak pernah-pernahnya Bara meninggalkan acara jamuan dari keluarga Wongso secepat ini. “Aku tak ada agenda lagi, kan?” jawab Bara tanpa menjawab pertanyaan asisten pribadinya.“Tidak ada, Pak.” Sofyan menjawab sambil mengimbangi langkah sang bos.“Oke. Kita langsung pulang.” Besok masih banyak agenda bisnis yang harus ia kerjakan. Ia harus pintar-pintar menggunakan waktu yang ada untuk beristirahat.Bara memasuki sedan mewahnya yang telah menjadi saksi bisu berbagai perjalanan pentingnya. Ia mengendurkan dasi dan membuka dua kancing atas kemejanya, mencoba menghirup napas panjang untuk melepaskan penat yang mulai menyelimuti pikirannya.Sofyan duduk di kursi depan, diam tak ingin mengganggu. Bara mengisyaratkan
Di kamar kosnya, Cheryl sedang berjuang mempertahankan kehormatannya.“Ayolah, jangan sok sulit,” gumam pria itu, suaranya serak dan mengancam, matanya penuh dengan kilatan nafsu. Tangannya yang besar dan kasar mencengkeram bahu Cheryl, menariknya dengan paksa. Sentuhan itu seperti cengkeraman besi, seolah tubuh Cheryl adalah miliknya yang bisa diperlakukan sesukanya.“Lepaskan aku!” Cheryl berteriak sekuat tenaga, suaranya menggema memecah keheningan malam yang mencekam. “Tolooong!”Tetapi, tak ada yang datang, seolah penghuni kosan ini menutup mata dan telinga mereka, tidak peduli dengan jeritannya.Plak!Pria itu menghentikan teriakan Cheryl dengan tamparan keras di wajahnya, membuat Cheryl pusing seketika. Air mata membanjiri pipinya, meluncur turun bersama ketakutannya. Di bawah himpitan tubuh pria brengsek itu, tangannya yang gemetar berusaha meraba-raba permukaan nakas di samping ranjang. Akhirnya, ia menemukan sesuatu yang dingin dan berat—laptopnya. Dengan jantung berdeba
Seketika hening menyelimuti, seolah setiap orang terhipnotis oleh kehadiran pria yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Posturnya tegap, jas hitam yang membalut tubuhnya tampak sempurna, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang gagah dan menawan. Rambutnya yang rapi dengan sedikit gelombang menambah kesan karismatik.Wajahnya memancarkan ketampanan yang hampir tidak masuk akal—rahang tegas, matanya yang tajam memancarkan ketenangan sekaligus ketegasan.Bibir pria itu terkatup rapat, menambah aura dingin tapi berwibawa.Para gadis yang sebelumnya panik mendadak terdiam, sebagian bahkan menahan napas, tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosok pria itu. Seolah-olah, kemunculannya telah menyedot perhatian semua orang. Bahkan beberapa pria yang ada di sana merasa terintimidasi oleh pesona dan kewibawaannya.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu melangkah masuk dengan tenang namun penuh kepastian, kerumunan langsung memberi jalan seperti gelombang yang terbelah oleh batu besar. Pria itu, yang t
Mercedes Maybach S-Class berwarna hitam obsidian milik Bara meluncur dengan halus di jalanan kota, suasana kabin yang sunyi itu terasa lebih seperti ruang pribadi daripada sebuah kendaraan. Lampu kabin dengan nuansa lembut memberikan kesan kehangatan, memancarkan cahaya redup yang menambah ketenangan dalam ruang mewah itu. Di dalam, segala sesuatu terasa sempurna—bahan jok kulit premium yang lembut, lantai karpet tebal yang menyerap setiap suara, dan suasana yang hampir hening, kecuali suara mesin mobil yang menyala dengan lembut.Cheryl duduk di kursi belakang yang sangat nyaman, seolah tubuhnya tenggelam dalam pelukan kursi yang dirancang untuk kenyamanan maksimal. Jendela samping yang gelap memberikan privasi penuh, sementara layar infotainment yang terpasang di konsol tengah menampilkan gambaran tenang dari mobil yang melaju dengan anggun. “Cheryl.” Bara menegur karena gadis itu terus saja melamun dengan wajahnya yang tampak pucat. “Tenanglah. Aku sudah menangani bajingan itu.”
Mercedes-Maybach S-Class berwarna hitam obsidian itu berhenti perlahan di depan sebuah gerbang tinggi yang terbuat dari besi hitam dengan ukiran artistik yang rumit. Lampu-lampu kecil di sepanjang dinding pagar batu memberikan pencahayaan lembut, menciptakan bayangan indah pada malam yang tenang. Cheryl membuka matanya perlahan, dan apa yang dilihatnya membuatnya tercengang.Gerbang besar itu terbuka otomatis, memperlihatkan jalan masuk yang diapit oleh pepohonan rindang dengan daun-daunnya yang bergerak pelan ditiup angin. Lampu-lampu jalan kecil di sisi kanan dan kiri jalan memandu mereka menuju rumah besar di ujung jalur berkerikil putih.Rumah itu berdiri megah dengan arsitektur klasik modern. Pilar-pilar tinggi menopang balkon di lantai atas, sementara jendela-jendela besar dengan bingkai emas memancarkan kilauan hangat dari cahaya lampu dalam rumah. Taman depan yang luas dihiasi dengan bunga-bunga warna-warni dan air mancur berbentuk ikan, mengeluarkan suara gemericik menenang
Cheryl tak punya pilihan selain menerima untuk tinggal di sini. Buat apa menggembel di luar sana padahal punya suami tajir yang menawarkan perlindungan yang nyata untuknya di dalam rumah semewah ini? Ia tidak sebodoh itu.“Sudah larut malam, saatnya istirahat. Ayo," ujar Bara tanpa menunggu persetujuan Cheryl. Suaranya tegas namun tetap terdengar lembut di telinga, seolah memerintah tanpa memaksa.Tanpa menunggu, Bara melangkah dengan tenang menyusuri koridor panjang yang dihiasi panel kayu berukir halus dan lukisan-lukisan indah yang memikat mata. Lampu-lampu kecil yang menggantung dengan rapi di sepanjang lorong memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang menenangkan, hampir melupakan fakta bahwa ini adalah bagian dari sebuah rumah, bukan galeri seni pribadi.Cheryl, yang berada beberapa langkah di belakangnya, bergerak dengan hati-hati, tubuhnya tampak kaku. Matanya sibuk menelusuri setiap sudut ruangan, mencari hal-hal yang dapat mengalihkan pikirannya yang perlahan dipen
“Bertunangan dengan Milena bukan keputusan hatiku. Itu keputusan keluarga. Mereka menyatukan dua perusahaan besar melalui pertunangan itu, dan aku… aku terlalu lemah untuk menolaknya. Tapi aku bersumpah, Cheryl, tidak sedetik pun aku mencintai Milena. Hanya kamu, Sayang. Cuma kamu yang kucintai.”Ucapan itu menghantam Cheryl seperti badai yang tak bisa dihindari. Meski suara Bara bergetar, penuh penyesalan, hatinya tetap menolak untuk luluh. Pria itu berdiri di hadapannya, memohon dimengerti. Namun yang Cheryl rasakan hanya sesak. Seolah seluruh dadanya dihantam palu kebenaran yang selama ini coba ia tolak.Tubuhnya mulai gemetar. Bukan hanya karena marah atau kecewa, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai goyah. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun rapat untuk menjaga hatinya tetap aman, kini retak perlahan.“Jika aku terang-terangan melawan Opa, Apex bisa hancur sebentar lagi… sebab untuk saat ini, aku masih membutuhkan Opa untuk membuat Apex tetap berdiri. Opa akan membantuku
Begitu Bara melangkah masuk ke dalam kamar mereka, ia menutup pintu perlahan dengan kakinya, membiarkan sunyi mengalir mengisi ruangan.Lampu di langit-langit memancarkan cahaya hangat, membungkus ruangan dalam bayangan keemasan. Namun, di balik kehangatan yang tampak, ada hawa dingin yang perlahan menggerogoti perasaan Cheryl. Dulu, ruangan ini terasa hidup oleh kebersamaan mereka, penuh dengan canda, tawa, dan detak cinta yang nyata. Tapi kini ruangan ini tak lebih seperti kurungan bagi Cheryl.Kamar ini memang pernah menjadi tempat perlindungan teraman bagi Cheryl. Tempat di mana tawa dan bisikan penuh cinta pernah mengisi setiap sudutnya. Tempat di mana ia bisa merasa dimiliki, dicintai, dan dicari. Tempat yang selama beberapa hari ini ia rindukan.Namun kini, setelah kembali ke kamar ini lagi… hatinya justru teriris pedih. Fakta tentang pertunangan Bara dan Milena kembali terasa menghujam jantungnya. Sebentar lagi, kamar ini mungkin tak lagi menjadi milik mereka berdua. Akan a
Begitu roda Mercedes-Maybach GLS 600 berkilau melewati gerbang utama, rumah Bara menjulang megah di tengah senja. SUV obsidian black itu meluncur mulus di atas jalan berbatu, gril krom besar memantulkan cahaya temaram, sementara emblem Maybach di kap depan berkilau bagai mahkota. Velg multi-spoke berpendar setiap kali roda berputar, menegaskan aura eksklusif yang membungkus mobil ini.Di dalam kabin beraroma kulit Nappa dan kayu oak, Cheryl memalingkan wajah ke jendela, menatap senja yang memburam. Tubuhnya kaku, bahunya menegang, membangun benteng tak kasat mata di sekeliling dirinya.Di sebelahnya, Bara duduk gelisah. Satu kakinya bergerak kecil, mengetuk-ngetuk lantai karpet seolah melampiaskan ketegangan yang ia tahan. Tangannya sempat terulur, hampir saja menyentuh punggung tangan Cheryl, namun ia menarik kembali.Keheningan di antara mereka terasa berat, nyaris mencekik. Bara bisa merasakan kemarahan Cheryl mengisi udara seperti listrik statis, menusuk kulitnya tanpa suara. Ia
Tuan Sigit masih terpaku di tempatnya. Ponsel di tangannya terasa dingin, nyaris membeku. Telepon itu sudah diputus sepihak oleh Valen. Dan untuk pertama kalinya, seseorang berani menutup telepon lebih dulu darinya. Lebih dari itu, untuk pertama kalinya pula... Tuan Sigit tidak bisa berbuat apa-apa.Rahangnya mengeras. Otot-ototnya menegang. Ia menggertakkan gigi, geram sekaligus tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.“Bisa-bisanya selama ini aku tidak tahu kalau Valen adalah cucunya Tuan Januar?” desisnya, nyaris seperti gumaman pahit yang tercekat di tenggorokan. Matanya menajam, penuh kemarahan yang tak bisa dilampiaskan.Nama itu—Januar Sutanto—bergema di kepalanya seperti dentang lonceng. Sosok legendaris yang tak sekadar berpengaruh di dunia bisnis, tapi juga menjadi tokoh panutan lintas generasi. Pendiam, karismatik, dan dikenal karena jaringan kekuasaan yang begitu luas, bahkan para pejabat tinggi pun menunduk saat berbicara dengannya. Dalam diamnya, Tuan Januar menan
Setelah beberapa basa-basi ringan, Tuan Sigit akhirnya menyentuh inti pembicaraan. Suaranya terdengar lebih serius, mengandung harap sekaligus tekanan yang tak tersamar.“Dok, kau adalah salah satu dokter ortopedi terbaik di Asia Tenggara yang pernah kukenal.” Ia berhenti sejenak, memberi jeda pada kalimatnya, seakan ingin memastikan Valen mendengarkan dengan saksama. “Karena itu, aku sangat berharap kau bersedia membantu calon menantuku. Ia menderita Spondilitis Ankilosa, dan kondisinya kian memburuk. Apakah Bara sudah menemuimu dan membicarakan hal ini?”Valen terdiam sejenak. Ada keraguan yang bergemuruh dalam pikirannya. Akan sangat mudah baginya untuk menjawab ‘tidak’ dan menjaga jarak dari drama keluarga Wardhana, kisah yang selalu berujung rumit. Akan lebih tenang hidupnya jika tak banyak ikut campur ke dalam masalah mereka.Sayangnya, hati Valen tak bisa sedingin itu. Ia telah mengenal Bara terlalu lama untuk bersikap acuh. Ia menyayangi pria itu layaknya adik sendiri, dan ba
“Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah,” ajak Bara, suaranya lembut tapi tegas, penuh harap, seolah ia ingin mengangkat mereka keluar dari jurang yang baru saja mereka tatap bersama.Cheryl tak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, berat, seperti menarik semua keraguan dari dalam dadanya.“Pulang?” gumamnya lirih. Ada jeda dalam suaranya, keengganan yang tak bisa ia tutupi. “Kamu pikir aku bisa kembali ke rumah itu tanpa membayangkan bakal ada wanita lain yang juga akan menjadi istrimu?”Bara menggertakkan rahangnya pelan. “Sayang, kumohon. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Tapi aku nggak ingin rumah itu kosong tanpamu, Cheryl. Aku butuh kamu di sana, Cheryl… tanpa kamu, rumah itu seperti kuburan bagiku.”Cheryl menoleh perlahan. Matanya basah, tapi kali ini tak ada air mata yang jatuh. Hanya pandangan penuh luka yang menggores dalam. “Kamu harus mulai belajar untuk tidak membutuhkan aku lagi, Bara. Demikian juga aku. Kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak saling m
Bara menatap Valen dalam diam. Sorot matanya penuh kemarahan yang terpendam—dingin, tapi tajam seperti ujung pisau. Ia menggertakkan rahangnya perlahan, menahan dorongan untuk melampiaskan semuanya dengan kata-kata yang lebih kasar.Ada banyak kata yang ingin dimuntahkannya, tapi ia memilih menahannya. Bukan karena tak punya keberanian, melainkan karena ia tahu jika Valen bukan sembarang pria. Dan karena itu... ia harus lebih cerdas dari emosinya.Bara mengunci pandangannya pada Valen. “Jadi semua ini cuma karena Cheryl?” Suaranya pelan, tapi mengandung daya hantam yang tak bisa dihindari. “Bukan karena kamu memang ingin menolongku?”Lalu ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Dalam hening itu, Bara membuat satu keputusan.“Terima kasih atas bantuannya, Dok. Tapi aku akan membawa Cheryl pulang. Dia istriku. Tanggung jawabku. Dan tempatnya adalah di rumah kami. Bukan di sini.”Tanpa menunggu reaksi Valen, Bara memutar badan dan membuka pintu. Suara derit engsel menjadi pe
Ruangan itu hening setelah Bara dan Valen menghilang ke balik pintu. Cheryl duduk sendirian di atas sofa yang empuk, tapi tak bisa merasa nyaman sedikit pun. Ia menghela napas berat, mencoba mengusir kegelisahan yang menyusup dalam diam. Matanya tiba-tiba menatap remote televisi di meja kecil di sebelahnya. Tangannya bergerak refleks, meraihnya dan menekan tombol power. Cahaya dari layar memantul ke wajahnya yang pucat, memberikan warna pada keheningan yang menekan.Tapi Cheryl tidak benar-benar berniat menonton. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran. Menenangkan diri. Menyibukkan mata, walau pikirannya tetap berputar-putar di tempat yang sama, tentang ketegangan barusan, antara Bara dan Valen. Tapi Cheryl tak benar-benar ingin menonton. Ia hanya butuh sesuatu—apa saja—untuk mengalihkan pikirannya. Sesuatu yang bisa menenggelamkan kekacauan di kepalanya. Jempolnya menari cepat, berpindah dari satu saluran ke saluran lain—iklan, sinetron, berita politik. Tak satu pun yang mampu menahan
“Tempat ini paling aman untuk Cheryl saat ini,” ucap Valen akhirnya, suaranya tetap tenang, tapi mengandung ketegasan. “Orang-orang Tuan Sigit akan menyisir semua kemungkinan jejak tentang hubungan kalian, termasuk rumahmu, bahkan mungkin rumah sakit tempat kalian dinikahkan. Tapi mereka tidak akan pernah mencari ke sini.”Bara menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. “Kau meremehkan kemampuanku melindungi istriku sendiri, Dok?”Nada bicara Bara terdengar seperti peringatan. Tegas, dingin, namun tak meledak—ia menahan diri. Tapi sorot matanya berbicara lebih dari itu: penuh perhitungan, dan tak suka diremehkan.Cheryl menegang. Jantungnya berdebar lebih kencang menyaksikan intensitas antara dua pria yang berdiri di hadapannya. Suasana seolah mengerucut tajam, seperti dua kekuatan besar yang siap bertabrakan dalam diam.Valen berdiri tegap. Sorot matanya tajam, dan wajahnya tak lagi menyimpan sisa-sisa gurauan seperti biasanya. Cheryl menelan ludah, sulit percaya bahwa pria yang selama in