Halo manteman, kalau kamu suka cerita ini... vote dan tulis komentarnya yuk :)
Pesan Cheryl muncul di layar ponsel Bara—pendek, namun memancing perhatiannya. Tak lama, sebuah pesan lanjutan masuk, menyertakan alamat tempat Cheryl tinggal. Usai membacanya, senyum tipis muncul di bibir Bara.“Drama lagi,” gumamnya, nada suaranya dingin, nyaris tak peduli.Dia memasukkan ponselnya ke saku jas, melangkah melewati lobi "Apex Insight Solutions." Ketukan langkahnya terdengar berirama di lantai lobi. Para pegawai yang berlalu-lalang segera menyapa dengan senyum dan anggukan hormat. Bara hanya membalas dengan anggukan kecil. “Selamat siang, Pak,” sapa petugas keamanan dengan nada sopan, berdiri tegak di dekat portal akses menuju area lift. Bara hanya mengangguk ringan tanpa menghentikan langkahnya.Di dalam lift VIP yang mewah, bayangan Bara di dinding logam yang mengilap menarik perhatiannya sejenak. “Apa dia melamar kerja di sini?” gumamnya lirih.Saat pintu lift terbuka, Bara berjalan keluar dengan langkah tegas, auranya yang dingin namun karismatik langsung terasa di
"Macet banget ya, Pak." Sopir taksi yang ditumpangi Bara mencoba mencairkan suasana seraya melirik ke kaca spion. Tetapi Bara hanya diam, sibuk memainkan ponsel di tangannya."Jakarta makin hari makin parah saja macetnya," lanjut sopir itu, tak menyerah pada keheningan. "Dulu saya pikir gubernur baru bisa bawa perubahan. Tapi nyatanya, siapa pun yang pegang jabatan, macet tetap ada."Bara menghela napas panjang, masih memilih diam. Pikirannya terlalu penuh dengan urusan bisnis dan juga Milena. Dia tak punya waktu untuk mendengarkan keluhan soal kemacetan.Sopir itu terdiam sejenak, menyadari bahwa penumpangnya tidak tertarik pada basa-basinya. Iapun tersenyum sendiri dan bergumam pelan, “Ah, Cheryl kan lagi sidang skripsi hari ini. Semoga lancar-lancar ya, Nak. Bapak udah doakan siang-malam buat kelancaran sidangmu hari ini. Semoga dosen pengujimu nggak ada yang rese.”Gumaman kecil itu membuat Bara melirik ke arah spion. Tanpa sengaja, sopir itu juga mengangkat pandangannya ke arah
Dering telepon di meja kerja Bara memecahkan lamunannya. Ia mengedipkan mata, mengusir bayangan kecelakaan yang masih membekas jelas di pikirannya. Tanpa menunggu lama, ia mengangkat gagang telepon.Suara Nina, sekretarisnya, terdengar dari ujung sambungan. “Pak, saya sudah bertanya ke bagian HRD. Memang ada kandidat karyawan bernama Cheryl Anindita. Tapi dia sudah gugur di tes akhir hari ini karena terlambat datang.”Bara bersandar di kursinya, matanya menyipit. “Selain karena terlambat datang, apa ada alasan lain?” selidiknya, ia mulai sedikit penasaran.“Ada kandidat lain yang lebih kuat, Pak," jelas Nina. "Oya. Seperti yang Bapak minta tadi, saya sudah mengirimkan CV Cheryl ke email Bapak."Bara mendengarkan dengan tenang, tapi pikirannya bergejolak. Ia teringat pada cerita si sopir taksi tentang Cheryl. Gadis itu memiliki kemampuan akademis yang mengesankan, begitu kata bapaknya. Tapi jika benar ia terlambat, bagaimana mungkin seseorang dengan reputasi seperti itu membiarkan diri
Cheryl akhirnya mengecilkan volume musiknya ketika suara ketukan di pintunya berubah semakin keras, diiringi ocehan bernada marah yang kian ramai terdengar di luar sana.“Rese banget sih itu orang baru, kayak cuma dia aja yang punya kuping.”“Iya, gue sampe kebangun dari tidur gara-gara suara musiknya. Lagi ada masalah apa sih itu orang?"“Katanya dia temannya Rima, tapi kok nggak asyik kayak Rima gitu sih orangnya? Udah cupu, ngeselin lagi.”Percakapan itu terdengar samar-samar menembus pintu kamar Cheryl. Cukup membuat darahnya mendidih. Merasa dirinya dipojokkan tanpa pembelaan, Cheryl mematikan musiknya dengan sentakan jari yang keras, lalu membuka pintu kamarnya dengan wajah merah padam.“Saya begini bukan tanpa alasan, ya? Dia yang duluan bikin ulah!” serunya dengan nada tinggi, jarinya menunjuk tajam ke arah tetangga sebelah.“Eh, ulah apaan? Situ kali yang berisik, nyetel musik kayak lagi konser!” balas tetangganya dengan nada tak kalah sinis, meletakkan tangan di pinggang seol
Ruang perjamuan hotel berbintang lima itu memancarkan kemewahan di setiap sudutnya. Lampu gantung kristal yang megah tergantung di tengah ruangan, memantulkan cahaya yang hangat di atas meja-meja panjang yang dihias dengan bunga segar dan lilin aromaterapi. Karpet tebal berwarna krem melapisi lantai, tirai satin berwarna emas menghiasi jendela-jendela besar yang menampilkan pemandangan kota malam yang gemerlap.Di salah satu meja utama, orangtua Milena, yaitu Tuan Adiguna Wongso dan Nyonya Dania duduk berdampingan, dikelilingi keluarga dan tamu-tamu terhormat. Malam ini adalah perayaan ulang tahun pernikahan mereka yang ke-30, sebuah momen istimewa yang dirayakan dengan kemegahan.Para pelayan berlalu-lalang, membawa nampan berisi hidangan gourmet yang disajikan dengan artistik. Alunan musik jazz dari band live di sudut ruangan menciptakan suasana hangat dan elegan.Bara duduk di salah satu kursi di meja utama. Di hadapannya, Nyonya Dania tersenyum ramah, mengenakan gaun malam yang
Kebosanan mulai menyelimuti Bara. Percakapan di meja makan ini mulai kehilangan daya tariknya. Iapun memilih undur diri dengan sopan, meninggalkan pesta yang terasa terlalu panjang untuk hatinya yang sedang gelisah.“Sudah selesai, Pak?” Sofyan bertanya dengan sedikit bingung. Tak pernah-pernahnya Bara meninggalkan acara jamuan dari keluarga Wongso secepat ini. “Aku tak ada agenda lagi, kan?” jawab Bara tanpa menjawab pertanyaan asisten pribadinya.“Tidak ada, Pak.” Sofyan menjawab sambil mengimbangi langkah sang bos.“Oke. Kita langsung pulang.” Besok masih banyak agenda bisnis yang harus ia kerjakan. Ia harus pintar-pintar menggunakan waktu yang ada untuk beristirahat.Bara memasuki sedan mewahnya yang telah menjadi saksi bisu berbagai perjalanan pentingnya. Ia mengendurkan dasi dan membuka dua kancing atas kemejanya, mencoba menghirup napas panjang untuk melepaskan penat yang mulai menyelimuti pikirannya.Sofyan duduk di kursi depan, diam tak ingin mengganggu. Bara mengisyaratkan
Di kamar kosnya, Cheryl sedang berjuang mempertahankan kehormatannya.“Ayolah, jangan sok sulit,” gumam pria itu, suaranya serak dan mengancam, matanya penuh dengan kilatan nafsu. Tangannya yang besar dan kasar mencengkeram bahu Cheryl, menariknya dengan paksa. Sentuhan itu seperti cengkeraman besi, seolah tubuh Cheryl adalah miliknya yang bisa diperlakukan sesukanya.“Lepaskan aku!” Cheryl berteriak sekuat tenaga, suaranya menggema memecah keheningan malam yang mencekam. “Tolooong!”Tetapi, tak ada yang datang, seolah penghuni kosan ini menutup mata dan telinga mereka, tidak peduli dengan jeritannya.Plak!Pria itu menghentikan teriakan Cheryl dengan tamparan keras di wajahnya, membuat Cheryl pusing seketika. Air mata membanjiri pipinya, meluncur turun bersama ketakutannya. Di bawah himpitan tubuh pria brengsek itu, tangannya yang gemetar berusaha meraba-raba permukaan nakas di samping ranjang. Akhirnya, ia menemukan sesuatu yang dingin dan berat—laptopnya. Dengan jantung berdeba
Seketika hening menyelimuti, seolah setiap orang terhipnotis oleh kehadiran pria yang tiba-tiba muncul di antara mereka. Posturnya tegap, jas hitam yang membalut tubuhnya tampak sempurna, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang gagah dan menawan. Rambutnya yang rapi dengan sedikit gelombang menambah kesan karismatik.Wajahnya memancarkan ketampanan yang hampir tidak masuk akal—rahang tegas, matanya yang tajam memancarkan ketenangan sekaligus ketegasan.Bibir pria itu terkatup rapat, menambah aura dingin tapi berwibawa.Para gadis yang sebelumnya panik mendadak terdiam, sebagian bahkan menahan napas, tidak mampu mengalihkan pandangan dari sosok pria itu. Seolah-olah, kemunculannya telah menyedot perhatian semua orang. Bahkan beberapa pria yang ada di sana merasa terintimidasi oleh pesona dan kewibawaannya.Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu melangkah masuk dengan tenang namun penuh kepastian, kerumunan langsung memberi jalan seperti gelombang yang terbelah oleh batu besar. Pria itu, yang t
Cheryl melangkah perlahan mendekati Bara, diam-diam menyeka air matanya sendiri yang sejak tadi menggantung di pelupuk. Ia tak tahu bagaimana cara menyembuhkan luka-luka suaminya, luka yang bahkan tidak pernah diminta untuk dipahami, apalagi dijamah. Luka-luka yang selama ini berhasil disembunyikan dengan begitu rapi, hingga Bara tampak nyaris sempurna di mata siapa pun.Mungkin Bara juga ingin menyembunyikan kerapuhan itu darinya. Tapi Cheryl tak ingin berpura-pura tak melihatnya. Ia ingin perlahan membongkar benteng itu, ingin Bara bersedia membagi beban itu dengannya. Ia ingin menjadi satu-satunya tempat pulang yang teduh bagi suaminya, tempat di mana Bara bisa berhenti berpura-pura kuat.Cheryl melingkarkan kedua lengannya ke tubuh Bara, memeluknya dari samping. Hangat, lembut, namun penuh tekad. Dan perlahan, dada Bara yang semula naik turun dengan napas berat terlihat mulai tenang, meski matanya tetap menatap nanar ke kejauhan."Aku di sini," bisik Cheryl, suaranya pelan namun p
Bara masih membeku di tempat, seolah tubuhnya kehilangan kemampuan untuk bereaksi, seakan seluruh udara di ruangan telah disedot keluar. Matanya menatap Rini lekat-lekat. Pandangan itu menyimpan bara kebencian sekaligus luka yang begitu dalam, menganga, dan belum pernah benar-benar sembuh. Tak ada kata yang meluncur dari bibirnya, tapi pandangannya berbicara lantang: kau telah menghancurkan segalanya.Rini menahan napas. Ada getar getir yang menyelinap di dalam dadanya, dan untuk sesaat, ia tak kuasa menatap balik mata putra tirinya itu. Tapi ia tahu, ini saatnya menghadapi semuanya. Rini akhirnya bersuara, pelan namun jelas, dengan nada yang menyayat dan penuh penyesalan."Maafkan aku, Bara…," suaranya bergetar. "Aku menyesal telah menyakitimu, Sabira... dan terlebih lagi, mamamu." Ia menunduk, air mata mengalir di pipinya. "Cintaku pada papamu terlalu besar. Sampai-sampai aku tak melihat apa pun selain dia. Aku buta oleh cinta. Aku egois. Kau berhak membenciku. Karena aku tahu, maa
Bara memandang wajahnya begitu dekat, dan dunia Cheryl seakan berhenti berputar. Tak ada suara lain selain detak jantungnya sendiri yang berpacu liar. Mata lelaki itu menatapnya seolah ia adalah satu-satunya perempuan di muka bumi. Ketika tangan Bara menyentuh pipinya yang dingin karena AC, Cheryl tak bisa menyembunyikan getar di dadanya. “Kamu nggak tahu betapa aku nungguin momen ini,” bisik Bara. Suaranya rendah, serak, penuh gejolak yang selama ini terpendam.Cheryl tersenyum. “Aku juga... setiap hari.”Lalu bibir mereka saling menemukan, ciuman yang begitu lembut, pelan, seolah-olah menyulam kembali sesuatu yang nyaris hilang. Tapi semakin lama, ciuman itu berubah. Lebih dalam. Lebih menuntut. Membawa Cheryl hanyut dalam gelombang kerinduan yang begitu kuat, hingga tubuhnya bergetar.Bara menariknya ke dalam pelukan, lengan kokoh itu membalut pinggangnya, dan Cheryl membalas, mencengkeram kerah kemeja lelaki itu seolah jika ia melepaskan, ia akan tenggelam dalam badai yang dicipta
Cheryl duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit dengan ekspresi bosan. Kamar rumah sakit ini terlalu steril, terlalu sunyi, terlalu jauh dari segala sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia merindukan kamar bernuansa ungunya, merindukan standee Jungkook yang setia berdiri menyambutnya di sudut ruangan, dan terutama… ia merindukan pintu rahasia yang selama ini menjadi jalur kecil menuju satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa aman: kamar utama Bara.Ah, Bara… apa kabar suaminya itu? Ia sangat merindukannya.Cheryl mendesah. Ia betul-betul gabut. Hari-hari berlalu dengan ritme yang lambat, menyiksanya dengan kebosanan yang tak tertahankan. "Kenapa sih dokter Joshua menyita hapeku segala?" gerutunya.Keheningan yang menyelimutinya terlalu menusuk, dan ia benci perasaan terisolasi ini.Matanya beralih ke telepon rumah sakit di nakas samping tempat tidur. Dengan cepat, ia meraih gagangnya dan menekan nomor ekstensi yang ia ingat. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia tersambung den
Cahaya matahari keemasan memantul di permukaan kanal yang tenang, sementara gondola-gondola mulai berlayar perlahan membawa wisatawan yang ingin menikmati keindahan kota air ini. Bara berdiri di balkon kamarnya, secangkir kopi hangat berada dalam genggamannya, mengepul tipis di udara pagi yang masih sejuk.Seperti biasa, ia membuka ponselnya dan mulai membaca berita. Kebiasaan yang tak pernah ia tinggalkan. Bagi seorang pebisnis, informasi adalah senjata. Apa pun yang terjadi di dunia bisnis, baik di Indonesia maupun luar negeri, harus selalu ia ketahui lebih dulu. Tangannya menggulir layar, menelusuri berbagai tajuk ekonomi, pergerakan saham, hingga analisa pasar global.Namun tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah judul yang mencolok. Jantungnya mencelos seketika.‘Pertunangan Antar Cucu Konglomerat: Bara Wardhana dan Milena Wongso, Bersatunya Dua Kekuatan Bisnis Besar di Indonesia.’Bara terpaku. Seketika, dunia di sekelilingnya terasa membeku. Rahangnya mengatup rapat. Tatapann
Matahari mulai condong ke barat, menyisakan semburat jingga yang membelah langit senja. Angin sore yang sejuk berembus lembut di rooftop VIP rumah sakit, membawa aroma samar dari taman bunga kecil yang terletak di sudut teras. Cheryl duduk santai menikmati suasana sambil menyeruput jus alpukat yang dingin dan lembut di mulutnya. "Cheryl? Loh. Kamu... bukannya sudah pulang?" Teguran seseorang mengejutkan Cheryl dari lamunannya. "Eh. Bu Rini?" Wanita itu tersenyum lembut. "Kok kamu masih di sini, Cheryl?" "Aku masih perlu menjalani perawatan." "Ooh. Kupikir kamu kemarin sudah betul-betul pulih." Rini lalu menarik kursi dan duduk di samping Cheryl. "Senja di sini memang indah, ya?” Ada sesuatu dalam cara Rini berbicara—halus, hangat, dan tampak tulus. Tak ada tanda-tanda niat buruk. Akan tetapi, bayangan tentang siapa Rini sebenarnya masih menggelayut di benaknya. Bagaimanapun, wanita ini adalah ibu tiri Bara, seseorang yang katanya... jahat. Seharusnya ia tetap waspada. Namu
Di ruang perawatan VIP Bintang Hospital, Cheryl memandang Valen dengan sorot kesal. "Astaga… Dokter betul-betul melapor ke Pak Bara?" protesnya.Valen hanya mengangkat bahunya dengan santai. "Aku bukan tipe orang yang asal mengancam tanpa tindakan." Cheryl mengembuskan napas kasar. "Dokter lebay!”Valen menautkan jemarinya di depan dada, memiringkan kepala sedikit sambil menatap Cheryl dengan sorot penuh kemenangan. "Bukankah kemarin sudah kuingatkan soal itu? Tapi kamu bandel." Ia mendekat sedikit, suaranya lebih dalam. "Jangan salahkan aku kalau akhirnya aku melapor langsung ke bosmu."Cheryl mengerang kesal. "Aku tidak percaya Dokter betul-betul melakukannya.""Kenapa tidak?" Valen mengangkat sebelah alisnya. "Aku dokter, tugas utamaku memastikan pasienku istirahat dengan benar. Dan jika pasienku keras kepala, aku harus mencari cara. Dan langsung bicara dengan bosmu, itu solusi. Kamu dapat cuti, kamu istirahat tenang, kamu cepat sembuh, dan tugasku sebagai doktermu selesai.”Chery
Bara melangkah masuk ke dalam kamar hotelnya dengan langkah berat. Pintu tertutup di belakangnya, menciptakan keheningan yang nyaris menyesakkan. Ia mematikan lampu utama, membiarkan cahaya lembut dari lampu tidur menguasai kamar. Tanpa mengganti pakaiannya, Bara langsung merebahkan diri di atas ranjang yang empuk. Namun, tidak ada kenyamanan yang bisa ia temukan di sana. Pikirannya tidak berada di ruangan ini, tidak di tengah kemewahan hotel bintang lima ini, bukan di Venesia, bukan dalam pertunangan yang baru saja mengikatnya pada kehidupan yang tidak ia inginkan.Bara menatap langit-langit dengan kosong, napasnya terasa berat. Dalam pikirannya, bayangan Cheryl melintas begitu nyata. Wajahnya, senyumnya, suara lembutnya yang memanggil namanya dengan nada penuh cinta.Dengan satu gerakan, ia membuka galeri fotonya di ponsel. Dan di sanalah semua memori manisnya tersimpan nyata. Foto-foto Cheryl yang tertawa dalam pelukannya. Cheryl yang mencium pipinya dengan manja. Cheryl yang mena
Tuan Sigit terkekeh mendengar jawaban Milena, demikian pula keluarganya. "Wah, aku tidak keberatan jika acara pertunangan ini langsung berubah menjadi pernikahan," ucapnya sambil mengangguk puas."Bagaimana, Adiguna?" tanyanya kemudian pada ayah Milena. "Apa kau sudah siap melepas putrimu malam ini untuk diboyong pulang oleh Bara sebagai istrinya?"Ayah Milena, Adiguna, menatap putrinya sejenak sebelum beralih pada Bara. Ada kilatan penuh perhitungan dalam sorot matanya, seolah ingin memastikan keputusan yang diambil benar-benar tepat. Akhirnya, dengan suara mantap, ia menjawab, "Kuserahkan pada Bara. Apakah dia siap menikahi putriku sekarang?"Bara merasa sebuah bom sedang dilempar kepadanya. Kini, tatapan puluhan pasang mata tertuju padanya. Sorot penasaran, harapan, bahkan kegembiraan dari sebagian besar orang di ruangan itu, seolah menciptakan tekanan yang halus namun nyata. Bara meletakkan gelas wine di tangannya ke atas meja, lalu menegakkan punggungnya. Ia menarik napas perl