"Kalau kau mau mengantarnya, pastikan kau juga bertanggung jawab atas semua akibatnya."Semua orang menoleh. Gaura berdiri di sana, menatap Edrio dengan ekspresi rumit. Wanita itu baru saja datang untuk menjemput Galen dan terkejut melihat pria itu ada di sekolah.Edrio menatap Gaura dengan tatapan tajamnya yang khas. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakan putraku."Gaura mendengus. "Putramu? Kau baru mengakuinya sekarang setelah sekian lama?"Galen yang berada di tengah mereka hanya bisa menatap keduanya dengan bingung.Edrio menghela napas, memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. Ia berjongkok di hadapan Galen dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Hari ini, pulanglah bersama Bunda terlebih dahulu. Ayah akan datang lagi lain waktu."Galen tampak sedikit kecewa, tetapi ia mengangguk. "Baik, Ayah. Tapi janji ya, Ayah harus sering datang lagi!"Edrio tersenyum tipis. "Janji."***Saat malam tiba, Gaura yang sedang menidurkan Galen terkejut ketika suara ketukan ter
"Kenapa setelah semua ini?" ujarnya terdengar lebih pelan. Edrio menghela napas. "Karena aku terlalu bodoh untuk menyadari lebih awal. Aku pikir aku bisa menjalani hidup tanpa memikirkan apa yang terjadi di masa lalu. Tapi setelah melihat Galen, setelah melihat betapa dia begitu ingin mengenalku sebagai Ayahnya... aku tidak bisa lari lagi." Hening melingkupi mereka. Gaura menatap pria di hadapannya, mencoba mencari kebohongan dalam kata-katanya. Namun, yang ia temukan hanyalah kesungguhan. Edrio, pria yang selama ini ia benci, pria yang ia anggap telah menghancurkan hidupnya, kini duduk di hadapannya dengan ekspresi yang lebih manusiawi dari yang pernah ia lihat sebelumnya. "Aku tidak memintamu untuk langsung menerimaku, Gaura," suara Edrio lebih lembut kali ini. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku akan ada di sini. Untuk Galen. Untukmu. Aku akan melindungi kalian." Gaura menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan pria ini.
"Tunggu!" ujar Gaura. Namun, saat akan mengatakan sesuatu, bibirnya terasa kelu. Edrio membalikkan tubuhnya dan kembali mendekati Gaura. Tangan besar pria itu juga kembali mencengkram pelan bahu Gaura. "Kau tidak perlu menjawab sekarang," katanya pelan. "Tapi aku berharap, suatu hari nanti, kau akan percaya padaku lagi."Gaura merasakan seluruh tubuhnya menegang. Sentuhan tangan Edrio di bahunya terasa begitu nyata, terlalu nyata. Kata-kata pria itu masih bergema di telinganya, menghidupkan kembali kenangan yang telah lama ia pendam dalam-dalam.Ia mencoba menahan napasnya, mencoba menyangkal bahwa trauma yang selama ini ia tekan telah kembali muncul ke permukaan. Namun, tubuhnya tak bisa berbohong. Matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar, dan sebelum ia bisa menghentikannya, air matanya jatuh perlahan, membasahi pipinya.Edrio melihatnya.Pria itu terkejut, matanya membulat saat menyadari perubahan ekspresi Gaura. Ia tidak pernah melihat wanita ini dalam keadaan seperti ini—b
“Apa sekarang aku bisa punya Ayah dan Bunda seperti anak-anak lain?” Suaranya lirih, hampir tidak terdengar, tapi cukup bagi dirinya sendiri untuk merasakan betapa besar harapan yang terselip dalam kata-kata itu. Galen menggigit bibirnya, menahan rasa gembira yang hampir meledak dalam dirinya. Jantungnya berdebar cepat, seolah ia baru saja menemukan hadiah yang telah lama ia impikan. “Apa kita bisa tinggal bersama?” gumamnya lagi, kali ini lebih pelan, seakan takut pertanyaannya akan buyar jika diucapkan terlalu keras. Ia ingin berlari dan memeluk mereka, ingin bertanya apakah benar mereka sudah tidak bertengkar lagi, ingin memastikan apakah mulai sekarang ia bisa hidup bersama mereka berdua. Namun, sesuatu menahannya. Entah kenapa, ia merasa ini bukan saat yang tepat. Ia tidak ingin merusak momen yang sedang terjadi di antara mereka. Maka, dengan langkah hati-hati, Galen membalikkan badan dan berjalan kembali ke kamarnya. Senyum kecil terukir di wajahnya. Ia ingin berbagi keb
“Aku ingin Gaura dihancurkan.” Prita memainkan gelas anggurnya, lalu berbisik dengan suara penuh kebencian. Ketiga pria itu bertukar pandang. “Hancurkan dalam arti apa?” tanya pria yang duduk di tengah. Prita menatap mereka dengan tajam. “Aku ingin dia kehilangan segalanya. Bisnisnya, reputasinya, bahkan hidupnya. Aku ingin dia menderita.” Pria berambut hitam itu terkekeh kecil. “Ini bukan tugas yang mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin.” Prita meletakkan selembar cek kosong di atas meja. “Isi saja jumlahnya sesuka kalian. Aku tidak peduli.” Salah satu pria itu mengambil cek tersebut, menatapnya sejenak, lalu memasukkannya ke dalam jasnya. “Baiklah. Berikan kami informasi lebih lanjut. Kami akan menyusun rencana.” Prita tersenyum penuh kemenangan. “Aku ingin ini dilakukan dengan sempurna. Tidak boleh ada celah sedikit pun,” katanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan beracun. Pria-pria itu mengangguk. “Kami akan menghubungimu begitu rencana sudah matang,”
“Silakan periksa,” ujar Prita dengan nada percaya diri setelah ia menekan tombol di ponselnya dan dalam hitungan detik, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria bertubuh kekar dengan jas hitam masuk sambil membawa tiga koper besar.Dengan ekspresi datar, dia meletakkan koper-koper itu di atas meja kaca di hadapan tiga pria yang duduk di sofa kulit berwarna gelap.Ketiga pria itu saling bertukar pandang, sebelum akhirnya pria berambut hitam membuka salah satu koper dengan hati-hati. Begitu tutup koper itu terangkat, tumpukan uang seratus dolar yang tersusun rapi menyambut mata mereka.Mata pria berambut hitam itu membesar, sementara pria dengan luka di pipinya bersiul pelan, kagum. Pria ketiga, yang sejak tadi lebih banyak diam, mengulurkan tangan dan meraba lembaran uang itu seolah ingin memastikan bahwa semua ini bukan ilusi.“Ini…” suaranya terdengar setengah berbisik, “benar-benar nyata.”Prita menyeringai. “Seperti yang kukatakan, aku tidak main-main.”Pria berambut hitam menutup k
”Klien VIP yang datang ini ternyata seorang aktris terkenal!”Mata Gaura melebar. “Benarkah?”Lina mengangguk. “Dan dia bilang dia sangat penasaran dengan hasil riasanmu setelah melihat postingan teman-temannya yang sudah datang ke sini.”Gaura segera melangkah ke ruang rias khusus untuk klien VIP. Di dalam, seorang wanita cantik dengan gaun berkelas duduk dengan anggun di kursi rias, menunggu dengan ekspresi ramah.“Selamat siang, Nona Gaura,” sapanya sambil tersenyum.Gaura mengenalinya dengan baik. Dia adalah seorang aktris yang sering muncul di layar kaca, terkenal dengan kecantikannya dan selera modenya yang luar biasa.“Selamat siang. Suatu kehormatan bagi saya bisa melayani Anda hari ini,” ujar Gaura dengan sopan.Aktris itu tersenyum. “Aku mendengar banyak pujian tentangmu, dan aku ingin mencoba sendiri hasil tanganmu. Aku harap kau bisa membuatku lebih mempesona untuk acara malam ini.”Gaura segera mempersiapkan perlengkapannya dan mulai bekerja. Dengan setiap sentuhan kuas d
'Aku harap, kebahagiaan selalu menyertai kehidupanku setelah ini.' Setelah mengucapkan doa dalam hati, Gaura meniup lilin itu sambil tersenyum lebar. Seluruh studio dipenuhi tepuk tangan dan tawa bahagia. Saat semua orang mulai berkemas untuk pulang, Gaura duduk sendirian di ruang pribadinya, memandangi foto Galen yang tersimpan di ponselnya. Ia merasa begitu bersyukur atas segala hal yang ia miliki saat ini: karier yang berkembang, tim yang mendukung, dan anak yang menjadi cahaya dalam hidupnya. Namun, ia di kejutkan dengan ponselnya yang tiba-tiba berdering dan menampilkan nama yang belakangan ini sering muncul di dalam pikirannya. Gaura terdiam sejenak, hatinya berdebar tak karuan. Ia ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangkat panggilan itu. “Halo?” suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia inginkan. “Selamat untuk kesuksesan studiomu,” suara berat Edrio terdengar di seberang sana, membuat dada Gaura semakin sesak. Gaura tersentak. “Dari mana kau tahu?” “Aku punya caraku s
Suasana di dalam rumah berubah drastis setelah Edrio menunjukkan isi pesan itu pada Gaura. Wajah wanita itu menegang, sementara tangan Elia yang menggenggamnya mulai gemetar. “Ini… ancaman,” gumam Elia dengan suara pelan namun penuh ketakutan. Ayara menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Apa kita harus melibatkan aparat?” tanyanya, meski dari suaranya terdengar jelas bahwa ia juga cemas. Edrio meremas kertas itu di tangannya. Matanya dipenuhi ketajaman, seperti elang yang siap memburu mangsanya. “Tidak. Jika kita langsung melibatkan aparat, mereka mungkin akan bersembunyi dan kita tidak akan pernah tahu siapa dalang sebenarnya.” Edwin mengangguk setuju. “Aku setuju dengan Edrio. Kita perlu tahu siapa yang benar-benar menginginkan pernikahan ini gagal. Jika kita gegabah, mereka bisa saja menghilang dan menyerang dengan cara lain.” Gaura menggigit bibirnya. Ia memandangi Galen yang masih berada dalam pelukannya, anak itu tampak kebingungan dengan situasi yang terjadi.
Brak! Galen yang sedang bermain di lantai langsung tersentak dan berlari ke arah Gaura. Semua orang menoleh ke arah jendela, Edrio pun langsung berdiri, wajahnya berubah serius. “Ada apa itu?” Ayara bertanya panik. Elia juga terlihat cemas, tangannya refleks menggenggam lengan Gaura. Edrio berjalan ke arah pintu dengan langkah waspada, sementara Edwin mengikutinya dari belakang. “Jangan buka pintunya dulu,” perintah Edwin, nada suaranya penuh kewaspadaan. Gaura bangkit berdiri, hatinya mulai dipenuhi rasa tak nyaman. Ia segera membawa Galen lebih dekat padanya, melindungi anak itu di belakang tubuhnya. Edrio melirik ke arah luar dari celah jendela, matanya menyipit tajam. “Ada mobil hitam asing yang terparkir di depan pagar…” gumamnya rendah. Edwin mengernyit. “Mobil siapa?” Belum sempat ada yang menjawab, tiba-tiba terdengar suara derap langkah tergesa-gesa di luar rumah. Lalu, seseorang mulai mengetuk pintu—bukan ketukan biasa, tapi lebih seperti gedoran keras. Dug! Dug!
"Aku berharap..." Gaura hampir menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba terdengar suara keras dari dapur. Brak! Semua orang tersentak. Ayara langsung menaruh tangannya di dada, terkejut. “Astaga, suara apa itu?” Elia segera berdiri. “Mungkin kucing liar. Aku akan lihat.”Namun sebelum ia bisa melangkah, seorang pria berbaju hitam muncul dari arah dapur, wajahnya penuh keringat. Ia adalah salah satu pelayan yang bekerja untuk keluarga Edrio. "Maafkan saya, Tuan, Nyonya... saya... saya hanya tidak sengaja menjatuhkan nampan," katanya gugup. Gaura menatap tajam ke arah dapur. “Apa yang kau lakukan di sana?“ Pria itu terlihat semakin gelisah, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari jalan keluar. Edrio yang peka terhadap gerak-gerik orang langsung berdiri. “Siapa yang menyuruhmu kemari?” Pria itu menelan ludah. "Aku hanya... hanya ingin memastikan keadaan rumah ini aman..." "Jangan berbohong," suara Edrio kini terdengar jauh lebih dingin. “Aku tida
”Aku akan melakukannya,“ ucap Edrio tegas. **** Kini, Gaura sedang duduk di ruang tamu, menyesap teh hangat sembari memeriksa beberapa berkas yang berkaitan dengan studionya. Setelah kejadian kemarin, ia masih perlu waktu untuk memulihkan reputasi bisnisnya, dan itu bukan hal yang mudah. Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Ia melihat nama yang tertera di layar—Edrio. Gaura menghela napas sebelum mengangkatnya. “Ada apa?” tanyanya langsung. Di seberang telepon, suara Edrio terdengar tenang seperti biasa. “Apa kau ada waktu untuk bicara?” Gaura melirik jam di dinding. “Aku sedang istirahat sebentar. Jadi, cepatlah bicara.” Hening sejenak sebelum Edrio berkata, “Aku akan datang ke rumah bersama kedua orang tuaku.” Gaura tertegun. “Apa?” “Aku ingin melamarmu, Gaura,” lanjut Edrio, suaranya tegas dan tak terbantahkan. “Dan aku ingin melakukannya secara resmi, di hadapan orang tuaku dan Ibumu.” Jantung Gaura seakan berhenti berdetak sesaat. Lamaran? Ia bangkit d
Hari-hari berikutnya, Edrio membuktikan kata-katanya dengan tindakan nyata. Meskipun kesibukannya sebagai CEO menuntut banyak waktu, pria itu selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam kehidupan Galen dan Gaura. Pagi hari, sebelum berangkat ke kantor, ia akan mampir ke rumah Gaura untuk memastikan Galen siap berangkat ke sekolah. Jika Gaura terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, Edrio akan mengantar Galen secara langsung. Seperti pagi ini, Gaura sedang sibuk mengurus dokumen untuk kembali membuka studionya. “Bunda, aku berangkat!” seru Galen dengan penuh semangat, tas kecilnya sudah tergantung di punggung. Gaura berbalik dan hendak menghampirinya, tapi sebelum ia bisa bergerak, seseorang telah lebih dulu membungkuk di hadapan Galen. “Sudah siap?” Galen mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. “Ayah!” Gaura memandang Edrio yang sudah siap dengan kemeja putih dan jas hitamnya. “Kau mau mengantarnya?” Edrio mengangguk. “Ya. Aku ada rapat nanti pagi, tapi aku masih punya
Setelah membawa belanjaan masuk ke dalam rumah, Gaura menghela napas panjang. Ia memandangi Galen yang masih tertidur di pelukannya, kemudian perlahan membaringkannya di sofa dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Di sisi lain, Edrio sibuk merapikan belanjaan mereka ke meja. Meskipun ia seorang CEO yang terbiasa menyuruh orang lain, pria itu tidak segan untuk turun tangan sendiri. Gaura memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ketika akhirnya mereka duduk di ruang tamu, keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat. Gaura menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membuka pembicaraan. “Aku masih belum terbiasa dengan ini,” katanya akhirnya, suaranya sedikit pelan. Edrio menatapnya. “Maksudmu?” “Kau yang tiba-tiba ada di sini, menghabiskan waktu bersama kami… Mengajak Galen berbelanja dan makan siang… Rasanya tidak nyata,” Gaura mengakui. Edrio menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap Gaura tanpa terburu-buru. “Kau masih berpikir
Sementara mereka berjalan menuju gerbang sekolah, beberapa orang tua murid yang mengenal Gaura menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang simpati, ada yang penasaran, bahkan ada yang berbisik-bisik. “Dia itu, kan, pemilik studio yang kemarin sempat kena skandal…” “Tapi katanya sudah terbukti tidak bersalah.” “Iya, dan ternyata Ayah dari Galen itu… CEO besar yang terkenal itu.” Gaura menundukkan kepalanya, menahan napas. Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai omongan orang, tapi kali ini berbeda. Kali ini, semuanya berhubungan dengan dirinya dan Edrio. “Bunda?” suara Galen menariknya kembali ke realitas. Gaura tersenyum dan mengusap kepala putranya. “Tidak apa-apa, Sayang. Sana masuk, ya. Belajar yang rajin.” Galen mengangguk. “Baik, Bunda!” Anak itu berlari masuk ke dalam sekolah, bergabung dengan teman-temannya. Gaura masih berdiri di tempatnya, memperhatikan putranya dengan tatapan lembut.Beberapa jam kemudian, akhirnya Galen keluar dari gerbang sekolah dengan wajah ceria
Setelah konferensi pers yang mengguncang dunia, Gaura akhirnya tiba di rumahnya dengan kepala penuh dengan berbagai macam pikiran. Ia masih tidak percaya bahwa Edrio telah mengungkapkan semuanya di depan publik—tentang Galen, tentang mereka, dan… tentang pernikahan.Ia menghempaskan tubuhnya di sofa, mencoba mengatur napas dan pikirannya yang masih berantakan. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama karena ibunya, Elia, muncul dari dapur dengan ekspresi serius.“Gaura…” suara lembut Elia memanggilnya.Gaura mengangkat wajahnya, menatap sang ibu yang kini berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Elia dengan nada penuh kekhawatiran.Gaura menghela napas panjang. "Aku… tidak tahu, Bu."Elia mengamati wajah putrinya yang terlihat lelah dan penuh kebingungan. “Aku melihat konferensi pers tadi di televisi. Itu… kejutan besar, Nak.”Gaura memijat pelipisnya. “Aku juga tidak menyangka Edrio akan melakukan hal itu, Bu. Dia mengatakannya begitu saja, di depan
Edrio melirik ke arah Gaura sejenak, lalu kembali menatap ke depan. "Selama ini, banyak yang berspekulasi tentang hubungan antara aku dan Gaura," lanjutnya. "Hari ini, aku akan mengungkapkan kebenarannya." Gaura semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Edrio, tetapi dari cara pria itu berbicara, ia bisa merasakan sesuatu yang besar akan terjadi. Edrio menatap langsung ke arah kamera, memastikan bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya akan terdengar jelas oleh seluruh dunia. "Aku dan Gaura tidak hanya memiliki hubungan bisnis," katanya, suaranya terdengar semakin tegas. "Kami memiliki hubungan yang jauh lebih dalam dari itu. Kami telah memiliki seorang anak bersama." DEG! Gaura merasa jantungnya berhenti sesaat. Apa yang baru saja dia katakan?! Refleks, kepalanya menoleh cepat menatap pria itu yang hanya menampilkan wajah tegas. Ruangan pun langsung meledak dalam kehebohan. Wartawan berteriak-teriak, suara kamera yang memotret semakin riuh, dan bebera