"Ah, jika itu terjadi, aku tidak akan membiarkannya." Setelah kepergian Prita, Edrio menghela napas panjang dan kembali duduk di kursi kerjanya. Ia membuka kembali beberapa dokumen yang perlu diselesaikan hari itu. Namun, pikirannya tetap berkecamuk. Bukan karena ancaman Prita, melainkan karena sosok kecil yang telah mengubah dunianya.Galen.Edrio masih teringat bagaimana anak itu dengan polosnya meminta kepastian apakah dia benar-benar Ayahnya. Ada sesuatu dalam tatapan Galen yang membuat hatinya bergetar. Anak itu tidak meminta uang, tidak meminta hadiah besar, atau status sosial. Ia hanya menginginkan kasih sayang dari seorang Ayah. Tanpa pikir panjang, Edrio menutup dokumennya dan berdiri. "Jadwalkan ulang pertemuan sore ini," katanya kepada sekretarisnya. Sekretarisnya tampak bingung. "Tuan, ada rapat penting dengan dewan direksi." "Aku akan menanganinya nanti," jawab Edrio singkat, lalu melangkah keluar. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam mobil bersama sopi
"Kalau kau mau mengantarnya, pastikan kau juga bertanggung jawab atas semua akibatnya."Semua orang menoleh. Gaura berdiri di sana, menatap Edrio dengan ekspresi rumit. Wanita itu baru saja datang untuk menjemput Galen dan terkejut melihat pria itu ada di sekolah.Edrio menatap Gaura dengan tatapan tajamnya yang khas. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakan putraku."Gaura mendengus. "Putramu? Kau baru mengakuinya sekarang setelah sekian lama?"Galen yang berada di tengah mereka hanya bisa menatap keduanya dengan bingung.Edrio menghela napas, memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. Ia berjongkok di hadapan Galen dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Hari ini, pulanglah bersama Bunda terlebih dahulu. Ayah akan datang lagi lain waktu."Galen tampak sedikit kecewa, tetapi ia mengangguk. "Baik, Ayah. Tapi janji ya, Ayah harus sering datang lagi!"Edrio tersenyum tipis. "Janji."***Saat malam tiba, Gaura yang sedang menidurkan Galen terkejut ketika suara ketukan ter
“Ah! Pak! Lepaskan saya!” Dengan gerakan cepat, Edrio menarik pergelangan tangan Gaura, membuat wanita itu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Gaura, yang selama ini dikenal sebagai bodyguard tangguh, tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—ditawan oleh pria yang seharusnya ia lindungi. “Pak Edrio, sadarlah! Anda bukan diri Anda sendiri!” teriak Gaura, mencoba meronta dari cengkeraman pria itu. Namun, Edrio tidak mendengarkan. Matanya yang biasanya penuh kendali kini memancarkan sesuatu yang liar dan gelap. “Diam, Gaura. Aku tidak butuh nasihatmu sekarang,” desisnya, mendorong tubuh Gaura ke dinding dengan kasar. Suaranya terdengar sangat berat dengan napas yang tidak beraturan karena gairah yang tertahan. “Jangan sentuh saya!” Gaura berusaha menendang Edrio untuk mempertahankan diri, tetapi pria itu terlalu cepat. Tangan besar pria itu dengan sigap menahan gerakannya, membuat Gaura semakin terpojok. “Kamu tidak bisa kabur dariku,” gumam Edrio s
“Saya di sana karena tugas, Pak. Anda mabuk dan menahan saya untuk tidak meninggalkan Anda.” Edrio duduk di kursi kebesarannya, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mata tajamnya melihat ke depan dimana Gaura berada. Pagi tadi, saat dia terkejut melihat keberadaan Gaura di dalam kamar mandi, wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, kini ia meminta kejelasan. Edrio menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari Gaura. “Tugas? Apakah itu termasuk tinggal semalaman di kamarku?” “Saya mencoba pergi, tapi anda tidak mengizinkan. Saya hanya menjalankan perintah anda, Pak,” jawab Gaura dengan nada tegas, namun tetap sopan. Edrio mendengus. “Jadi, kamu hanya mengikuti perintahku? Tidak lebih dari itu?” “Tidak lebih, Pak.” Hening melingkupi ruangan. Edrio menatap Gaura dengan intens, mencoba membaca pikirannya. Tapi Gaura tidak menunjukkan celah sedikit pun. Pria itu y
“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian. Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ ***Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, b
Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. 'Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini.' Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan be
"Kalau kau mau mengantarnya, pastikan kau juga bertanggung jawab atas semua akibatnya."Semua orang menoleh. Gaura berdiri di sana, menatap Edrio dengan ekspresi rumit. Wanita itu baru saja datang untuk menjemput Galen dan terkejut melihat pria itu ada di sekolah.Edrio menatap Gaura dengan tatapan tajamnya yang khas. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang bisa membahayakan putraku."Gaura mendengus. "Putramu? Kau baru mengakuinya sekarang setelah sekian lama?"Galen yang berada di tengah mereka hanya bisa menatap keduanya dengan bingung.Edrio menghela napas, memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. Ia berjongkok di hadapan Galen dan mengusap kepalanya dengan lembut. "Hari ini, pulanglah bersama Bunda terlebih dahulu. Ayah akan datang lagi lain waktu."Galen tampak sedikit kecewa, tetapi ia mengangguk. "Baik, Ayah. Tapi janji ya, Ayah harus sering datang lagi!"Edrio tersenyum tipis. "Janji."***Saat malam tiba, Gaura yang sedang menidurkan Galen terkejut ketika suara ketukan ter
"Ah, jika itu terjadi, aku tidak akan membiarkannya." Setelah kepergian Prita, Edrio menghela napas panjang dan kembali duduk di kursi kerjanya. Ia membuka kembali beberapa dokumen yang perlu diselesaikan hari itu. Namun, pikirannya tetap berkecamuk. Bukan karena ancaman Prita, melainkan karena sosok kecil yang telah mengubah dunianya.Galen.Edrio masih teringat bagaimana anak itu dengan polosnya meminta kepastian apakah dia benar-benar Ayahnya. Ada sesuatu dalam tatapan Galen yang membuat hatinya bergetar. Anak itu tidak meminta uang, tidak meminta hadiah besar, atau status sosial. Ia hanya menginginkan kasih sayang dari seorang Ayah. Tanpa pikir panjang, Edrio menutup dokumennya dan berdiri. "Jadwalkan ulang pertemuan sore ini," katanya kepada sekretarisnya. Sekretarisnya tampak bingung. "Tuan, ada rapat penting dengan dewan direksi." "Aku akan menanganinya nanti," jawab Edrio singkat, lalu melangkah keluar. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam mobil bersama sopi
“Ini… luar biasa!” serunya, lalu menoleh ke asistennya. “Aku belum pernah secantik ini! Riasannya tampak alami, tapi tetap glamor!” Riasan yang Gaura buat begitu sempurna—tidak berlebihan, tetapi mampu menonjolkan kecantikan alaminya dengan cara yang luar biasa. Para asistennya mengangguk setuju. Salah satu dari mereka bahkan berkata, “Madame, ini yang terbaik yang pernah Anda dapatkan.” Rosaline menoleh kembali ke Gaura, senyum lebar terukir di wajahnya. “Kamu benar-benar berbakat. Aku ingin kamu menjadi make-up artist pribadiku untuk setiap acara penting yang aku hadiri. Dan aku akan merekomendasikan studiommu ke semua rekan sosialitaku.” Gaura nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ini lebih dari sekadar keberhasilan—ini adalah lompatan besar bagi kariernya! “Saya merasa sangat terhormat, Madame. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” jawab Gaura dengan sopan. Rosaline mengeluarkan kartu namanya dan memberikannya pada Gaura. “Kirimkan daftar harga eksklu
"Ah. Aku tidak akan memikirkannya sekarang." Setelah Elia pergi, Gaura pun memutuskan untuk memejamkan matanya. Keesokan harinya. Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela besar di ruang makan, memberikan kehangatan yang menyenangkan. Gaura sudah siap dengan pakaian semi-formalnya—blazer putih yang dipadukan dengan celana panjang hitam—sempurna untuk hari yang sibuk di studio desainnya. Namun, sebelum itu, ia harus mengantarkan Galen ke sekolah.Di depan meja makan, Galen duduk dengan seragam sekolahnya yang rapi, mengayun-ayunkan kakinya dengan riang. Anak itu menyantap roti panggang dengan selai stroberi favoritnya, sementara Mika duduk di sampingnya, memastikan bocah kecil itu menghabiskan makanannya sebelum berangkat.“Galen, jangan makan terlalu cepat. Nanti tersedak,” ujar Gaura sambil menuangkan susu ke dalam gelasnya.Galen hanya terkekeh kecil. “Aku nggak mau telat, Bunda! Hari ini ada kelas seni, dan aku mau jadi yang pertama menggambar!”Gaura menggelengkan kepala d
'Pria ini... aku harus selalu berhati-hati,' ucapnya dalam hati. Setelah acara makan yang penuh kehangatan dan celoteh Galen, suasana mulai mereda. Mika membantu Elia membereskan meja makan, sementara Galen masih sibuk memainkan mobil-mobilan yang baru saja diberikan oleh Edrio. Gaura menghela napas, merasa sedikit lebih rileks setelah melihat Galen begitu bahagia. Namun, saat ia hendak berdiri untuk kembali ke dapur, Edrio tiba-tiba mengeluarkan sebuah kartu dari dalam sakunya dan meletakkannya di meja, tepat di hadapan Gaura. "Apa ini?" tanya Gaura dengan alis berkerut, matanya menatap kartu itu dengan penuh tanda tanya. Edrio menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Gaura dengan ekspresi serius. "Itu kartu rekening khusus untuk Galen. Aku sudah mengisinya dengan dana yang cukup untuk semua kebutuhannya, termasuk sekolah, kesehatan, dan kebutuhan lainnya." Gaura tertegun sejenak sebelum mendesah panjang. Dengan ekspresi tidak senang, ia mendorong kartu itu kembali ke arah Ed
"Bunda ngomongin Ayah, ya?" Gaura masih sibuk mengaduk adonan kue saat tiba-tiba suara kecil yang ceria terdengar dari belakangnya. Gaura nyaris tersedak udara sendiri. Dengan cepat, ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di ambang pintu dapur dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. "H-hah? Apa maksudmu?" Gaura mencoba bersikap biasa, tapi jelas-jelas nada suaranya terdengar gugup. Galen menaikkan alisnya dengan ekspresi penuh selidik. "Aku dengar Bunda menyebut nama Ayah dengan nada kesal. Kenapa? Dan siapa yang lebih berbahaya daripada monster?" Gaura membuka mulutnya, hendak menyangkal, tapi urung. Menggelengkan kepalanya cepat, ia meraih sebuah mangkuk berisi tepung dan mengalihkan pembicaraan. "Sudah, jangan banyak tanya. Bantu Bunda saja buat kue, ya?" Mata Galen langsung berbinar. "Boleh? Aku mau bantu!" Tanpa menunggu jawaban, anak itu segera mengambil bangku kecil dan memanjatnya agar bisa mencapai meja dapur. Gaura tersenyum kecil, menghela napas lega karen
"Apa yang harus aku lakukan setelah ini?" Kini di dalam dapur, aroma kaldu yang mendidih menghangatkan ruangan. Gaura berdiri di depan meja dapur, memotong wortel dengan pisau tajam. Di sebelahnya, Elia sedang mengaduk sup dalam panci, sesekali melirik putrinya yang terlihat sedikit berbeda. “Kau melamun, Gaura,” komentar Elia dengan nada lembut. Gaura menghentikan gerakannya sejenak, menatap potongan wortel yang hampir tidak rapi. Ia menghela napas. “Aku hanya… merasa gundah, Bu. Edrio semakin sering berada di dekat Galen. Aku tahu anak itu bahagia, tapi…” Elia menatap putrinya dengan penuh pengertian. “Kau takut Edrio akan merebut Galen darimu?” Gaura menggigit bibirnya, tidak langsung menjawab. “Aku tidak tahu, Bu. Aku hanya takut. Aku takut jika Galen lebih memilihnya, atau jika Edrio tiba-tiba memutuskan untuk membawa Galen pergi dariku.” Elia menghela napas pelan, lalu menyentuh bahu Gaura dengan lembut. “Gaura, aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus ingat satu hal—Galen
“Aku tidak suka wanita itu. Dia jahat.” Galen berpikir sejenak sebelum mengerucutkan bibirnya. Gaura tersenyum tipis. “Yang penting sekarang kamu selamat, itu yang paling utama.” Anak itu lalu menggenggam tangan Gaura erat. “Bunda, aku senang Ayah Edrio telah menolongku. Dia kuat banget, ya?” Gaura sedikit tersentak, tapi tetap berusaha tersenyum. “Iya, dia kuat.” Galen kembali menguap, matanya mulai menutup perlahan. Namun sebelum benar-benar tertidur, dia berbisik pelan, “Aku mau tidur sama Bunda dan Ayah suatu hari nanti… pasti seru…” Gaura terdiam, hatinya berdesir. Ia menatap wajah kecil Galen yang sudah terlelap. Tidur bersama Edrio? Sebuah impian sederhana dari anaknya, namun begitu berat baginya. Ia menghela napas panjang dan mengelus kepala Galen sekali lagi. Mungkin suatu hari nanti… tapi entah kapan.Pagi harinya, rumah terasa lebih hangat dari biasanya. Gaura telah memutuskan untuk mengambil cuti sementara dari pekerjaannya demi menemani Galen yang izin libur untuk
"Dengar–kali ini aku akan melepaskanmu. Tapi jangan pernah berpikir kau bisa bermain-main denganku lagi." Prita mengusap pergelangan tangannya yang merah akibat ikatan, menatap Edrio dengan penuh kebencian, tetapi ia tidak berani berkata apa-apa lagi. Satu hal yang ia tahu pasti, Edrio memang bukan seseorang yang bisa dia permainkan sesuka hati. Tanpa sepatah kata lagi, Edrio berbalik dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Prita yang masih duduk diam dengan ekspresi penuh kekalahan. "Edrio! Kau akan menyesal!" teriaknya sebelum akhirnya diseret keluar ruangan. Edrio menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya. Ia tahu ini belum selesai. Ia paham betul Prita bukankah sosok yang mudah menyerah. ***Prita berjalan dengan langkah terburu-buru menuju kamarnya setelah melajukan mobilnya dari tempat ia di tahan oleh Edrio. Wajahnya merah padam karena amarah yang meluap-luap. Begitu memasuki kamar, ia menghempaskan tasnya ke lantai, lalu dengan geram menendang meja kecil di sa