“Ah! Pak! Lepaskan saya!” Dengan gerakan cepat, Edrio menarik pergelangan tangan Gaura, membuat wanita itu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Gaura, yang selama ini dikenal sebagai bodyguard tangguh, tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—ditawan oleh pria yang seharusnya ia lindungi. “Pak Edrio, sadarlah! Anda bukan diri Anda sendiri!” teriak Gaura, mencoba meronta dari cengkeraman pria itu. Namun, Edrio tidak mendengarkan. Matanya yang biasanya penuh kendali kini memancarkan sesuatu yang liar dan gelap. “Diam, Gaura. Aku tidak butuh nasihatmu sekarang,” desisnya, mendorong tubuh Gaura ke dinding dengan kasar. Suaranya terdengar sangat berat dengan napas yang tidak beraturan karena gairah yang tertahan. “Jangan sentuh saya!” Gaura berusaha menendang Edrio untuk mempertahankan diri, tetapi pria itu terlalu cepat. Tangan besar pria itu dengan sigap menahan gerakannya, membuat Gaura semakin terpojok. “Kamu tidak bisa kabur dariku,” gumam Edrio s
“Saya di sana karena tugas, Pak. Anda mabuk dan menahan saya untuk tidak meninggalkan Anda.” Edrio duduk di kursi kebesarannya, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mata tajamnya melihat ke depan dimana Gaura berada. Pagi tadi, saat dia terkejut melihat keberadaan Gaura di dalam kamar mandi, wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, kini ia meminta kejelasan. Edrio menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari Gaura. “Tugas? Apakah itu termasuk tinggal semalaman di kamarku?” “Saya mencoba pergi, tapi anda tidak mengizinkan. Saya hanya menjalankan perintah anda, Pak,” jawab Gaura dengan nada tegas, namun tetap sopan. Edrio mendengus. “Jadi, kamu hanya mengikuti perintahku? Tidak lebih dari itu?” “Tidak lebih, Pak.” Hening melingkupi ruangan. Edrio menatap Gaura dengan intens, mencoba membaca pikirannya. Tapi Gaura tidak menunjukkan celah sedikit pun. Pria itu y
“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian. Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ ***Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, b
Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. 'Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini.' Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan be
Aula penuh dengan tawa dan obrolan hangat. Prita, yang merupakan tunangan Edrio, berdiri di tengah ruangan, tersenyum lebar sambil menerima ucapan selamat dari tamu-tamu yang mengelilinginya. Gaun panjangnya berkilauan, dan tangannya yang mengenakan cincin pertunangan memegang lengan Edrio dengan posesif. Namun, Edrio tidak sepenuhnya peduli. Tatapannya, meski diarahkan ke tamu-tamu yang berbicara, sesekali melirik ke sudut ruangan tempat Gaura dan Galen berdiri. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan—sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertama kali ia melihat anak kecil itu. Entah mengapa, dia merasa dekat dengan anak itu. Prita menyadari sikap tunangannya yang tidak biasa. “Sayang,” ujarnya pelan sambil memiringkan kepala. “Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat… tidak fokus.” Edrio menoleh, wajahnya datar seperti biasa. “Tidak ada.” “Benarkah?” Priska menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kau kenapa? Kau biasanya tidak begini.” Edrio menghela napas kecil, mencoba
Pagi itu, rutinitas berjalan seperti biasa. Gaura menyiapkan sarapan sambil memastikan Galen tidak lupa membawa semua perlengkapannya ke sekolah. Namun, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Edrio. Pertemuan mereka telah mengguncang ketentraman hidupnya. “Bunda, aku sudah siap!” seru Galen sambil berlari ke meja makan. Gaura menoleh, tersenyum lembut meskipun hatinya gelisah. “Baiklah, habiskan sarapanmu dulu. Setelah itu kita berangkat.” Seperti biasa, ia mengantar Galen ke gerbang sekolah dan memastikan anaknya masuk dengan aman. Setelah melambaikan tangan, Gaura pergi menuju tempat kerjanya, mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang tidak mau hilang dari benaknya. Namun, di balik pagar sekolah, seseorang memperhatikan Galen dengan seksama. *** Saat jam istirahat tiba, Galen duduk di taman sekolah. Ia memakan bekalnya dengan santai. Anak-anak lain bermain di sekitar, tetapi Galen memilih duduk sendirian, memperhatikan bunga-bunga yang bermekaran di taman kecil
"Ah. Aku tidak akan memikirkannya sekarang." Setelah Elia pergi, Gaura pun memutuskan untuk memejamkan matanya. Keesokan harinya. Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela besar di ruang makan, memberikan kehangatan yang menyenangkan. Gaura sudah siap dengan pakaian semi-formalnya—blazer putih yang dipadukan dengan celana panjang hitam—sempurna untuk hari yang sibuk di studio desainnya. Namun, sebelum itu, ia harus mengantarkan Galen ke sekolah.Di depan meja makan, Galen duduk dengan seragam sekolahnya yang rapi, mengayun-ayunkan kakinya dengan riang. Anak itu menyantap roti panggang dengan selai stroberi favoritnya, sementara Mika duduk di sampingnya, memastikan bocah kecil itu menghabiskan makanannya sebelum berangkat.“Galen, jangan makan terlalu cepat. Nanti tersedak,” ujar Gaura sambil menuangkan susu ke dalam gelasnya.Galen hanya terkekeh kecil. “Aku nggak mau telat, Bunda! Hari ini ada kelas seni, dan aku mau jadi yang pertama menggambar!”Gaura menggelengkan kepala d
'Pria ini... aku harus selalu berhati-hati,' ucapnya dalam hati. Setelah acara makan yang penuh kehangatan dan celoteh Galen, suasana mulai mereda. Mika membantu Elia membereskan meja makan, sementara Galen masih sibuk memainkan mobil-mobilan yang baru saja diberikan oleh Edrio. Gaura menghela napas, merasa sedikit lebih rileks setelah melihat Galen begitu bahagia. Namun, saat ia hendak berdiri untuk kembali ke dapur, Edrio tiba-tiba mengeluarkan sebuah kartu dari dalam sakunya dan meletakkannya di meja, tepat di hadapan Gaura. "Apa ini?" tanya Gaura dengan alis berkerut, matanya menatap kartu itu dengan penuh tanda tanya. Edrio menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Gaura dengan ekspresi serius. "Itu kartu rekening khusus untuk Galen. Aku sudah mengisinya dengan dana yang cukup untuk semua kebutuhannya, termasuk sekolah, kesehatan, dan kebutuhan lainnya." Gaura tertegun sejenak sebelum mendesah panjang. Dengan ekspresi tidak senang, ia mendorong kartu itu kembali ke arah Ed
"Bunda ngomongin Ayah, ya?" Gaura masih sibuk mengaduk adonan kue saat tiba-tiba suara kecil yang ceria terdengar dari belakangnya. Gaura nyaris tersedak udara sendiri. Dengan cepat, ia menoleh dan mendapati Galen berdiri di ambang pintu dapur dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. "H-hah? Apa maksudmu?" Gaura mencoba bersikap biasa, tapi jelas-jelas nada suaranya terdengar gugup. Galen menaikkan alisnya dengan ekspresi penuh selidik. "Aku dengar Bunda menyebut nama Ayah dengan nada kesal. Kenapa? Dan siapa yang lebih berbahaya daripada monster?" Gaura membuka mulutnya, hendak menyangkal, tapi urung. Menggelengkan kepalanya cepat, ia meraih sebuah mangkuk berisi tepung dan mengalihkan pembicaraan. "Sudah, jangan banyak tanya. Bantu Bunda saja buat kue, ya?" Mata Galen langsung berbinar. "Boleh? Aku mau bantu!" Tanpa menunggu jawaban, anak itu segera mengambil bangku kecil dan memanjatnya agar bisa mencapai meja dapur. Gaura tersenyum kecil, menghela napas lega karen
"Apa yang harus aku lakukan setelah ini?" Kini di dalam dapur, aroma kaldu yang mendidih menghangatkan ruangan. Gaura berdiri di depan meja dapur, memotong wortel dengan pisau tajam. Di sebelahnya, Elia sedang mengaduk sup dalam panci, sesekali melirik putrinya yang terlihat sedikit berbeda. “Kau melamun, Gaura,” komentar Elia dengan nada lembut. Gaura menghentikan gerakannya sejenak, menatap potongan wortel yang hampir tidak rapi. Ia menghela napas. “Aku hanya… merasa gundah, Bu. Edrio semakin sering berada di dekat Galen. Aku tahu anak itu bahagia, tapi…” Elia menatap putrinya dengan penuh pengertian. “Kau takut Edrio akan merebut Galen darimu?” Gaura menggigit bibirnya, tidak langsung menjawab. “Aku tidak tahu, Bu. Aku hanya takut. Aku takut jika Galen lebih memilihnya, atau jika Edrio tiba-tiba memutuskan untuk membawa Galen pergi dariku.” Elia menghela napas pelan, lalu menyentuh bahu Gaura dengan lembut. “Gaura, aku mengerti perasaanmu. Tapi kau harus ingat satu hal—Galen
“Aku tidak suka wanita itu. Dia jahat.” Galen berpikir sejenak sebelum mengerucutkan bibirnya. Gaura tersenyum tipis. “Yang penting sekarang kamu selamat, itu yang paling utama.” Anak itu lalu menggenggam tangan Gaura erat. “Bunda, aku senang Ayah Edrio telah menolongku. Dia kuat banget, ya?” Gaura sedikit tersentak, tapi tetap berusaha tersenyum. “Iya, dia kuat.” Galen kembali menguap, matanya mulai menutup perlahan. Namun sebelum benar-benar tertidur, dia berbisik pelan, “Aku mau tidur sama Bunda dan Ayah suatu hari nanti… pasti seru…” Gaura terdiam, hatinya berdesir. Ia menatap wajah kecil Galen yang sudah terlelap. Tidur bersama Edrio? Sebuah impian sederhana dari anaknya, namun begitu berat baginya. Ia menghela napas panjang dan mengelus kepala Galen sekali lagi. Mungkin suatu hari nanti… tapi entah kapan.Pagi harinya, rumah terasa lebih hangat dari biasanya. Gaura telah memutuskan untuk mengambil cuti sementara dari pekerjaannya demi menemani Galen yang izin libur untuk
"Dengar–kali ini aku akan melepaskanmu. Tapi jangan pernah berpikir kau bisa bermain-main denganku lagi." Prita mengusap pergelangan tangannya yang merah akibat ikatan, menatap Edrio dengan penuh kebencian, tetapi ia tidak berani berkata apa-apa lagi. Satu hal yang ia tahu pasti, Edrio memang bukan seseorang yang bisa dia permainkan sesuka hati. Tanpa sepatah kata lagi, Edrio berbalik dan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Prita yang masih duduk diam dengan ekspresi penuh kekalahan. "Edrio! Kau akan menyesal!" teriaknya sebelum akhirnya diseret keluar ruangan. Edrio menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya. Ia tahu ini belum selesai. Ia paham betul Prita bukankah sosok yang mudah menyerah. ***Prita berjalan dengan langkah terburu-buru menuju kamarnya setelah melajukan mobilnya dari tempat ia di tahan oleh Edrio. Wajahnya merah padam karena amarah yang meluap-luap. Begitu memasuki kamar, ia menghempaskan tasnya ke lantai, lalu dengan geram menendang meja kecil di sa
"Aku akan menempatkan beberapa orang kepercayaanku untuk menjaga Galen. Mereka akan mengawasi dari jauh, tanpa mengganggu kesehariannya. Aku tidak mau kejadian penculikan itu terulang lagi." Edrio menatap Gaura tanpa ragu. Gaura mendengus. "Jadi kau pikir aku tidak bisa menjaga anakku sendiri?" Edrio menghela napas panjang. "Bukan begitu, Gaura. Aku tahu kau selalu melakukan yang terbaik untuk Galen. Tapi musuh kita bukan orang sembarangan. Kita tidak tahu siapa lagi yang akan mencoba mencelakai Galen. Aku hanya ingin memastikan dia aman." Mika yang sejak tadi memperhatikan akhirnya ikut bicara. "Menurutku, ini bukan ide buruk, Gaura. Kita memang harus lebih waspada." Elia mengangguk setuju. "Apalagi setelah apa yang dilakukan oleh Prita. Kita tidak bisa meremehkan kemungkinan ancaman lain." Gaura terdiam. Di satu sisi, ia tidak ingin Edrio terlalu ikut campur dalam hidupnya dan Galen. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa menyangkal bahwa perlindungan tambahan memang dibutuhkan.
"Apakah kita bisa tinggal bersama setelah ini?" Deg. Semua orang saling menatap kecuali Edrio yang tetap terdiam. Gaura lagi-lagi menghela napas berat ketika pertanyaan Galen kembali mengusik hatinya. "Nanti kita bicarakan, ya sayang," jawab Gaura dengan senyum paksa. Mau tak mau, akhirnya Galen menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Setelah makan malam usai, Galen masih belum puas. Anak itu terus menarik tangan Edrio dengan penuh semangat. "Tuan–maksudku, Ayah, kita main dulu, yuk! Aku ingin bermain di taman yang ada di belakang restoran!" serunya dengan mata berbinar. Gaura hendak menolak, tetapi sebelum ia bisa bicara, Edrio sudah lebih dulu mengangguk. "Tentu, ayo kita main!" Galen bersorak girang, langsung berlari keluar restoran menuju taman kecil di belakang. Edrio menyusulnya dengan langkah santai, sementara Gaura, Mika, dan Elia ikut berjalan di belakang, mengawasi dari jauh. Saat mereka tiba di taman, Galen langsung berlari menuju ayunan dan memanjatnya denga
"Menjelaskan tentang apa?" Edrio tetap tenang, mengunyah makanannya seolah tak merasa terganggu sedikitpun. Gaura mengepalkan tangannya. "Jangan berpura-pura bodoh, Edrio! Kau tahu betul apa yang kumaksud. Prita! Wanita itu adalah tunanganmu! Dan dia menculik anakku! Bagaimana bisa kau tidak tahu apa pun tentang rencananya?!" Elia dan Mika menatap mereka dengan tegang. Galen yang sedang menikmati makanannya pun ikut memperhatikan dengan kepala miring, meskipun ia belum sepenuhnya mengerti. Edrio akhirnya meletakkan pisaunya, menatap Gaura dengan mata tajam. "Aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Aku sama sekali tidak menyangka dia akan sejauh ini." "Omong kosong!" Gaura membantah. "Bagaimana mungkin kau tidak tahu apa-apa?! Kau adalah CEO besar! Kau punya mata-mata di mana-mana! Bagaimana mungkin kau tidak mengetahui gerak-gerik tunanganmu sendiri?!" Edrio menghela napas. "Aku memang selalu mengawasi setiap orang di sekitarku, tetapi aku tidak menyangka Prita akan seberani i