"Bukan aku tidak yakin, tapi masalahnya apa semudah itu melakukan pernikahan?" "Yang penting kita yakin dulu. Ayang lain belakangan. Aku mau menjaga kamu, jangan sampai ada yang berbuat seperti Alea lagi. Dia sudah di tangani di polres."Berlian mulai sedikit lega, tapi untuk percaya dia masih bingung karena saat melihat Pak Ferdinand saja seolah-olah ia belum merestui bahkan tidak merestui. Perbuatan ayahnya Jonathan masih sangat melekat. Permintaan Pak Ferdinand untuk menjauhi Jonathan membuat ia merasa tidak nyaman jika bertemu dengan Pak Ferdinand. Namun, kini Jonathan meyakinkan dirinya jika ayahnya akan merestuinya. Walau ada penolakan, Jonathan akan tetap menikah dengannya. Jonathan berdiri di kakinya sendiri tanpa sang ayah pun dirinya mampu berjalan ke depan. Apalagi Pak Hardian akan memberikannya pekerjaan. "Kamu yakin itu?" "Yakin. Percaya sama aku," ujar Jonathan.Jonathan kembali mendekat, ia mencium kening lalu bibir tebal Jonathan itu bersentuhan dengan bibir tipis
"Perut kamu kenapa?" tanya Bu Shafira cemas. Ia pun gegas berlari memanggil Jonathan dan suaminya. Mereka pun menemui Berlian dan memencet bel untuk suster datang. Berlian masih meringis kesakitan, ia teringat tendangan yang sangat kencang oleh Alea. Lalu, bagaimana sadisnya wanita itu menyiksanya. Suster datang dan memeriksa, wanita dengan pakaian putih itu mengatakan Dokter belum bisa datang karena sedang ada praktik, kemungkaran siang. Sementara Berlian di beri obat anti nyeri lebih dahulu sebelum di periksa kembali.Berlian pun sedikit tenang setelah di berikan obat lewat infus oleh suster. Rasa nyeri sedikit hilang, ia merasa jika banyak gerak luka di perut pun akan terasa sakit. "Kamu sudah lebih baik, Nak?" tanya Bu Shafira."Baik, Ma."Pak Hardian meminta sang istri tenang, sejak dari rumah ia merasa Bu Shafira tak bisa sedikitpun berhenti memikirkan kondisi Berlian. Apalagi untuk bolak balik pun rasanya tidak mungkin. "Jo, bisa di atur untuk pindah ke Jakarta saja?" tanya
"Aku enggak mau turun. Tuh lihat, aku mau di bunuh. Aku ini mau di culik, kamu tega melihat aku yang cantik ini di culik, kalau aku di nodai bagaimana?" Alva terdiam sejenak, ia teringat Berlian. Benar juga, jika wanita itu tertangkap dan preman itu menodainya kasihan juga masa depannya pikir Alva. Ia pun berubah pikiran, akhirnya Alva melajukan mobilnya ke luar dari parkiran rumah sakit melewati beberapa orang yang katanya mengejar wanita itu. "Ah, terima kasih. Kamu baik banget, hm tadi saja meminta aku turun. Berubah pikiran kan setelah melihat jelas wajah aku yang cantik ini?" Alva menaikan satu alisnya mendengar ada orang yang memuji dirinya sendiri. Lalu ia kembali fokus ke jalan raya."Mau turun di mana, aku mau mencari makan jangan lama-lama mikirnya. Aku lapar," ujar Alva. "Aku juga lapar, aku ikut makan boleh?" Alva menoleh sedikit, ia heran kenapa wanita itu malah terus mengikutinya. Padahal harusnya sudah ia turunkan sejak tadi. "Kamu itu di kasih hati minta jantung,
Suasana menjadi panas di ruangan itu. Apalagi saat Bu Shafira tegas membela sang anak. Kini, Bu Santi merasa serba salah. Dia pasti di salahkan karena mengajak dirinya datang ke rumah sakit. Di lain sisi, ia merasa tidak enak dengan Bu Shafira juga."Sudah, ya. Jangan ribut ini rumah sakit," ujar Bu Santi."Iya, Benar. Ma, sudah jangan perpanjang. Aku sudah baik-baik saja. Aku juga minta.maaf pada Pak Ferdinand."Berlian dengan rendah hati meminta maaf sedangkan Pak Ferdinand masih saja membencinya. Ia tak mau tahu apa yang terjadi dengan Berlian. Bahkan ia sempat bergumam lebih baik Berlian tak di ketemukan lagi. Pak Ferdinand tak tahan di dalam, ia ke luar untuk menenangkan pikiran. Pria itu duduk memperhatikan beberapa orang di sekitar rumah sakit itu. Lalu, muncul Jonathan yang baru saja datang. Jonathan kaget melihat sang ayah yang sudah berada di depan ruangan Berlian. Ia sedikit cemas dengan apa yang akan di lakukan sang ayah pada Berlian."Sejak kapan Papa di rumah sakit, ke
"Bukan urusan Om. Lagi pula jangan ikut campur urusan aku." Lagi Alva mengernyitkan kening, dirinya tak mau ikut campur masalah Cantika. Akan tetapi, dia yang membuat Alva masuk dalam pusaran permasalahan itu. Cantika berubah masam saat Alva bertanya hal yang membuatnya mengingat masalah itu. "Terserah ya apa kata kamu. Intinya sekarang aku mau pulang, tadi lapar jadi hilang lagi. Lagi pula, bilang sama penjaga papa kamu buat antarkan aku ke tempat makan tadi. Mobilku di sana," ujar Alva. Cantika merapikan kotak obat, lalu mengambil minum di kulkas. Beberapa buah ia keluarkan dan melahapnya. Tanpa terasa ia sudah memakan dia buah apel. Alva melihat hal itu merasa kesal karena dia meminta antarkan pulang, tapi Cantika malah asik makan. "Kenapa Melihat aku sepeti itu?" tanya Cantika."Nona manja, aku minta kamu bicara pada pengawal papa kamu. Bukan malah kamu makan buah, memangnya kamu saja yang lapar?" Alva bangkit dari tempat duduk, lau menyambar apel yang ada di tangan Cantika."
"Alva kemana sih, kok enggak ada kabar." Bu Shafira mulai panik saat anak sambungnya tak bisa di hubungi sejak tadi. Jonathan muncul dari luar, Bu Shafira langsung bertanya pada Jonathan. Namun, saat dia di hotel tidak bertemu dengan Alva. Bahkan sampai ia mengantar ayah dan ibunya pulang, Alva tak ada kabar kata Jonathan.Berlian menenangkan sang ibu, baru saja tengah dengan keadaan Berlian kini sudah di cemaskan masalah Alva yang tak ada kabar berita. "Alva sudah besar, nanti juga kembali Bu," ujar Jonathan."Jo, ini enggak bercanda loh. Ibu cemas sama Alva, dia memang sudah besar tapi mana pernah dia menghilang seperti ini," ujar Bu Shafira.Berlian mencubit lengan Jonathan agar tidak membuat ibunya cemas. Jika Alva belum ada kabar, kemungkinan Bu Shafira masih cemas. Berlian melihat ibunya sangat bangga karena walau Alva bukan anak kandungnya, tapi dia begitu peduli bahkan sayang pada Alva. Saat seperti ini saja, dia bisa sangat khawatir seperti itu."Alva," ucap Berlian. Bu S
"Mama apa-apaan sih. Enggak lah, tapi kenapa sih memangnya dengan Cantika?" Alva kembali mengalihkan pembicaraan.Berlian saling pandang dengan sang ibu, ia merasa ada yang aneh dengan Alva. Namun, ia tak kembali membuat pertanyaan. Alva terlihat lelah dan duduk di sofa dengan memijit pelipisnya. Seperti ada yang terjadi dengannya pikir Berlian. Berlian menahan tangan sang ibu agar tak menghampiri Alva. Bu Shafira mengerti dan tetap di tempatnya. Tidak banyak pertanyaan lagi, mereka pun kini membahas hal lain. "Cinta kangen sama kamu, Lian. Untung saja dia mengerti saat Cinta bertanya ke mana kamu dan mama bilang sedang ke luar kota." Bu Shafira menceritakan tentang sang cucu."Aku juga kangen berat, Jo kapan aku bisa pulang? Bisa kamu tanyakan Dokter?" tanya Berlian."Mungkin besok siang atau malam. Sabar saja, sebentar lagi kita kumpul dengan Cinta." Jonathan mengelus pucuk rambut Berlian.Melihat kemesraan Berlian dan Jo, Alva memilih berpura-pura bermain ponsel. Hatinya masih be
"Mama enggak seperti yang kamu pikirkan. Mama sejak lama sudah mencari kamu, tapi ibu tiri kamu selalu menghalangi. Maaf, kalau Mama salah Lian." Bu Shafira menggenggam tangan Berlian, ia berharap tidak ada kesalahpahaman lagi. Memang benar mungkin yang di katakan Berlian, tapi ia merasa sayangnya pada kedua anaknya adil. Namun, ternyata tidak bagi Berlian. Bu Shafira menatap lekat sang anak, dia sudah dewasa tapi mungkin karena kekurangan kasih sayang ibunya maka merasa kembali cemburu seperti masih kanak-kanak. Hal itu sangat wajar, Bu Shafira bisa memahaminya. ia bertekad akan memikirkan apa yang ia lakukan sebelum bertindak. Tapi, tidak bisa di pungkiri jika mengenai Alva dirinya malah begitu cemas."Maafkan Mama." Lagi, Bu Shafira meminta maaf. Berlian hanya bergeming sampai Jonathan masuk, pria itu menjadi bingung dengan keduanya. "Kalian kenapa?" tanya Jo."Ada kesalahpahaman antara mama dan Berlian. Jo, mama mau ke luar dulu. Titip Berlian," ujar Bu Shafira."Aku bukan ana