Berlian yang tengah menyiapkan pakaian pun berhenti. Ia menoleh putrinya tengah berpecak pinggang. Suara tinggi Jonathan yang menurut Cinta sangat kasar seolah-olah meruntuhkan semua kebaikan pria itu. Tidak seperti biasanya, Cinta yang begitu sayang pada Jonathan pun kini seperti tak mau melihatnya lagi. Bahkan panggilan yang awalnya Papi berubah menjadi Om kembali.“Jangan seperti itu om Jo, hanya sedang marah. Dia kan sudah minta maaf pada Cinta,” ungkap Berlian.Cinta terdiam. Seolah tengah memikirkan apa yang baru saja ibunya katakan. Akan tetapi, anak itu tetap saja tak menerima jika ibunya di bentak. Berlian dengan telaten memakaikan bedak dan minyak kayu putih, tak lupa menguncir rambut putrinya itu. Wajah Cinta masih saja masam tak sepeti biasanya ceria jika membicarakan Jonathan.“Cinta enggak suka om Jo marah, sukanya kalau dia sedang baik saja,” tutur Cinta.Cinta membahas tentang Jonathan membuat Berlian semakin digerus rasa sakit. Kenapa permasalahan tentang Jonathan t
“Kamu boleh membenci Berlian, tetapi Cinta adalah cucu kita. Darah daging Jonathan,” ujar Bu Santi kembali.Keduanya masih berdebat, bahkan api amarah pun semakin berkobar. Tak ada yang ingin mengalah, saling mempertahankan pendapat satu sama lain.Ferdinand mengusap wajahnya gusar. Kepalanya hampir pecah mengurusi perihal Jonathan yang seperti tidak ada akhirnya itu.“Aku ingin jika Cinta dapat tinggal bersama kita,” ujar Bu Santi.Mata Ferdinand terbelalak mendengar permintaan dari istrinya itu. Hal yang mustahil dapat terpenuhi. Ia tidak Sudi melihat anak itu setiap waktu.Bu Santi sudah meminta, memohon hingga menangis. Namun, Ferdinand masih teguh dengan pendiriannya. Ia tak mau menerima Berlian dalam kehidupannya.“Itu hal mustahil,” jawab Ferdinand.Bu Santi menggeleng, itu bukan sesuatu yang mustahil.“Itu tidak mustahil asal kau turunkan egoku sedikit saja, Cinta tidak bersalah dalam hal ini. Apa kamu tidak luluh melihat keluguannya? Apa hatimu tidak tersentuh melihat kelucua
Bu Santi paham apa yang di hadapi sang suami. Mungkin Ferdinan kecewa, sejak tadi dia terus membela sahabat sejatinya. Namun, ternyata semua sia-sia karena Ibnu menunjukkan watak aslinya saat itu juga. Uang 500 juta, apa tidak sedikit pikir Bu Santi. Ia sempat mendengar percekcokan keduanya yang membuat Ferdinand meninggalkan Ibnu begitu saja. Tidak lama Bu Santi mendengar suara mobil yang sering digunakan Jonathan. Ia pun bergegas menyambut sang anak. Jonathan pulang ke rumah hanya ingin mengambil beberapa barang miliknya dan pergi dari rumah itu. Tekadnya sudah bulat ia memang akan segera keluar.“Jo, tadi Pak Ibnu datang,” ujar Bu Santi.“Untuk apa dia datang?” “Dia meminta pertanggungjawaban Papa kamu. Tapi, Papa bicara sesuai kenyataan, ia tak bisa menahan kamu. Eh, malah Ibnu bilang katanya Papa harus ganti rugi.”“Ganti rugi untuk apa?” Bu Santi menceritakan semuanya, Jonathan hanya terkekeh mendengar hal itu. Lalu ia bertanya bagaimana respon sang ayah yang mungkin kecewa
“Ya, aku harus menemui Pak Ferdinand ke kantornya.”Berlian sudah benar-benar bertekad untuk menemui pak Ferdinand. Ada yang harus dibicarakan dengan lelaki itu. Ia ingin menjelaskan sesuatu yang harusnya sudah dikatakan sejak awal. Dirinya ingin semua masalah selesai. Tak ingin bila ada perselisihan di antara Jonathan dan pak Ferdinand. Tanpa pikir panjang, ia mengambil tas dan pamit. Berlian tak mau menunda lagi untuk berbicara dengan Pak Ferdinand terkait Jonathan. Dengan menggunakan ojek, Berlian hanya membutuhkan waktu 45 menit untuk sampai ke kantor itu.Cukup lama ia memandang sebuah gedung pencakar langit yang sempat menjadi tempat mencari rezekinya. Sayangnya, ia tak lama bekerja di sana. Perlahan ia memasuki gedung itu dengan menggunakan masker di wajah. “Maaf, Mbak apakah pak Ferdinand ada di ruangan?” tanya Berlian pada seorang resepsionis kantor.Wanita dengan setelan jas itu, menelepon sekertaris dari sang ketua.“Ada janji?”Berlian terdiam, ia tampak sangat bi
Arnold masih berpikir tentang perubahan sikap sang ayah. Tak mungkin begitu saja Ferdinand berubah sikap dan memberikan kembali aset pada Jonatan jika tidak ada hal yang membuat dirinya yakin."Ya sudahlah, aku masih ada meeting. Welcome back ke rutinitas semula. Kukira kau harus menjadi gelandangan dulu baru kembali," ujar Arnold yang langsung mendapatkan tatapan sengit dari Jonathan.Arnold tertawa, lalu ia segera keluar dari ruangannya. Dirinya kembali ke ruangan meeting. Dia melewati beberapa pekerja di koridor yang sedang membersihkan lantai juga jendela."Tadi Berlian datang."Langkahnya terhenti saat mendengar nama yang tidak asing dirinya dengar itu. Memang nama Berlian tidak hanya satu, maka dari itu dirinya ingin memastikan jika itu orang yang sama."Berlian mantan office girl itu."Arnold semakin yakin jika Berlian yang mereka maksud adalah Berlian yang menjadi pengisi hati dari adiknya itu."Ngapain dia ke sini. Bukankah sudah dipecat?""Dia ke ruangan pak Ferdinand. Eh t
"Jangan bercanda, kamu.""Aku serius, Al."Berlian sudah sedikit tenang. Saat itulah Alva memberikannya botol minum yang tadi ia beli di supermarket."Kamu mau di kota mana?" tanya Alva.Ia merasa aneh mengapa tiba-tiba Berlian ingin pindah dan meninggalkan kota ini? Apa hubungannya dengan kantor?"Kalau mau bekerja juga kamu bisa, ibu memiliki banyak cabang restoran atau butik di kota lain," ungkap Alva.Alva tak ingin melihat Berlian kesulitan. Wanita itu juga pasti menolak jika diberi bantuan langsung. Maka dari itu dirinya memberikan bantuan lewat sebuah pekerjaan."Enggak, perlu Al," ujar Berlian.Ia menolak karena tidak mau menyusahkan Alva lagi. Lagi pula Berlian takut Alva malah mengharapkan cintanya. Dirinya tak bisa menerima Alva yang sangat baik padanya. Takut jika tanpa sadar justru melukai perasaan lelaki itu dan merusak hubungan di antara mereka berdua."Baiklah, tapi kali ini jangan menolak. Biarkan aku mengantarkanmu pulang, ya."Akhirnya Alva menyerah dan mengantar Be
Bu Shafira hampir saja terjatuh saat melihat nenek Lastri. Untung saja Alva menangkap tubuh ibu sambungnya.“Ma,” ujar Alva.Sementara, hal yang sama juga terjadi dengan nenek Lastri yang wajahnya memucat melihat kehadiran Bu Shafira. Mereka berdua saling berpandangan.“Shafira.”Nama itu, Shafira yang ada di pikiran Nenek Lastri. Ternyata apa yang dipikirkan olehnya benar. Shafira, wanita yang pernah ia kenal bahkan pernah menjadi bagian dari hidup anaknya kini berdiri di hadapannya setelah sekian lama menghilang.Berlian menyentuh tangan sang nenek. Ia bingung dengan apa yang terjadi.Alva menenangkan sang ibu, ia memberikan air hangat yang di buat nenek Lastri tadi untuknya. Bu Shafira masih tertegun. Seperti mimpi ia dapat kembali bertemu dengan nenek Lastri. Bak kemarau yang menemukan hujan.Berlian pun sama kebingungan dengan nenek Lastri yang tiba-tiba memucat. Ia mengajak sang nenek untuk duduk bersebrangan dengan Bu Shafira. Ia dan Alva saling berpandangan satu sama la
Sebuah pertanyaan dari ibu sambungnya membuatnya sulit menjawab, apa yang terpikirkan itulah yang dirinya jawab. Ia saja belum hilang rasa kagetnya ketika tahu jika Berlian anak kandung Bu Shafira. Entahlah seperti mimpi mengetahui kenyataan tersebut. “Kamu ini, Al bisa saja,” ujar Bu Shafira. Alva adalah anak yang baik menurutnya. Ia pun mau menerima dengan lapang kehadiran dirinya di rumah. Dirinya juga tak pernah menganggap Alva sebagai anak sambung, justru telah menganggapnya seperti anak sendiri. “Iya, Ma. Aku senang melihat Mama begitu sangat bahagia.” Alva membuka kaca jendela mobilnya. Ia memerlukan angin segar untuk menenangkan diri serta pikirannya. Di balik semua ini akan ada hikmah yang dapat diambil. Ia senang karena Berlian kini tak jadi pergi jauh. Ada alasannya untuk tinggal yaitu Bu Shafira. Dirinya juga yakin ibu sambungnya itu takkan membiarkan Berlian pergi begitu saja. “Nanti aku bantu bicara dengan papa,” ujar Alva. Ia yakin jika ayahnya pasti akan mengizin