Jonathan langsung bangkit saat melihat Arnold datang menghampirinya. Wajah masam dan kusut Arnold begitu jelas terlihat saat ini. Arnold mengacak-acak rambutnya, biasanya yang memiliki masalah adalah sang adik, tapi kini malah dirinya yang begitu besar menanggung beban. "Aku enggak tahu, benar atau tidak dia akan mengirimkan gambar pada Rara atau tidak. Tapi yang jelas, aku tidak akan menikahi Rania walau dia hamil sekalipun." Arnold berbicara dengan tegas. Jonathan paham benar jika sang kakak sangat setia pada Rara. Saat ini mungkin dirinya sudah memikirkan hal terburuk jika benar Rania nekad memberi tahu Rara. "Biar saja Rara tahu, masalah dia marah atau langsung menjatuhkan talak itu urusan belakangan. Aku enggak suka di ancam, apalagi dengan ancaman kampungan seperti itu!" Rona merah terlihat jelas di wajah Arnold. Kali ini dia murka dengan kelakuan mantan kekasihnya yang mungkin saja terobsesi dengannya. Mereka sudah tak pernah bertemu, dan beberapa waktu su pertemukan kemba
Tangan Rara bergetar hebat saat melihat sebuah pesan masuk dari nomor tanpa nama. Sebuah gambar yang tak henti ia pandang membuatnya hampir jatuh pingsan. Berlian menghampiri, lalu melihat apa yang sedang terjadi dengan kakak iparnya. Ia pun menutup mulut dengan tangan saat Rara menyodorkan ponsel miliknya. "Ini editan kan, Lian?" Rara mencoba tidak percaya dengan apa yang dikirimkan oleh seorang di ponselnya.Berlian kembali mengamati tapi unsur editan itu tidak terlihat karena sepertinya foto itu memang benar adanya atau bukan rekayasa.Rara terduduk lesu, tubuhnya lemas dan kakinya seperti tak bertulang. Suami tercintanya yang selama ini ia percayai tega berselisih di belakangnya. Rara menahan tangis, tapi semua itu tak bisa tertahan . Ia tumbang, bulir bening mengalir deras di pipi. Berlian mencoba menenangkan dan memeluk kakak iparnya itu. Tangan Rara bergetar hebat, entah apa yang akan terjadi nanti. Sosok pria yang selama 7 tahun menemaninya kini terlihat bersama dengan wan
Arnold semakin mengeratkan pelukannya, tubuh Rara pun lemas tak berdaya untuk memberontak. Bagaimana tidak, rumah tangga mereka sangat harmonis dan jauh dari pertengkaran yang membuat keduanya hampir pisah. Kini, semua hancur karena kesalahan satu malam. Arnold memohon pasa Rara untuk membuktikan jika ia di jebak. "Ra, kita menikah cukup lama. Apa satu kesalahan aku membuat kamu lupa beberapa kebijakan aku?" tanya Arnold. Diam seribu bahasa, bibir itu kelu untuk bicara. Bahkan sulit untuk membuka sepatah kata. Kaca itu sudah jatuh dan pecah, apalagi melihat dengan jijik suaminya tanpa busana dengan wanita lain di kamar hotel. "Dijebak seperti apa, hah! Kamu pikir aku begitu saja percaya sama kamu? Jijik aku, Ar sama kamu!" Rara menahan tangis kembali, rasanya tak pantas ia menangisi kelakukan buruk sang suami. Entah apa yang kini menyelimuti hatinya. Rara bangkit, mencoba mengambil jarak dari Arnold. Namun, pria itu tetap posesif menarik dirinya kembali.ke pelukannya. "Ra, aku
Jonathan beristirahat di kamar bersama Berlian. ia cukup cemas dengan kondisi rumah tangga sang kakak. Jonathan pun sembari mengelus perut Berlian, mencoba mengajak bicara sang anak di perut. "Anak Papa, sehat di dalam ya. Kerja sama, sama mama biar selalu sehat.""Jo, apa benar semua itu? Wanita itu mantan Arnold?" tanya Berlian. "Iya, mantannya. Mereka tak berjodoh karena Arnold tak suka dengan beberapa sikap Rania yang sangat jauh dari kata plus.""Maksud kamu?" Jonathan mulai bercerita tentang Saat Arnold bersama dengan Rania. Rania dan sang kakak cukup lama bersama, tapi saat lulus sekolah Rania mulai berubah. Sering ke kelab malam dan berteman dengan lawan jenis yang sikapnya jauh dari kata baik. "Mereka lama pacaran?" "Lama, dari SMA.""Arnold tipe setia?" "Iya, Arnold tipe pria setia. Bahkan kalau Rania tak melakukan hal salah, sudah di pastikan dia yang menikah dengan Arnold bukan Rara."Berlian hanya manggut saja, sama halnya dengan sang suami. Jo juga tipe setia dan s
Pak Hardian menatap Alva dan Cantika bergantian, ia mencoba mencari jawaban dari perkataan sang istri. Apa benar yang di katakan oleh Bu Shafira atau hanya ucapan semata. "Al, benar yang di katakan mama kamu?"Alva bergeming, apa yang harus ia jelaskan. Semua benar, tapi kali ini entah apa kedua orang tuanya akan bisa menerima Cantika atau tidak. Ia hanya takut karena masalah ini, Cantika akan di benci kedua orang tuanya. Bu Shafira menunggu jawaban dengan tak sabar. Ia menghampiri Cantika dan mengguncangkan tubuhnya. "Jawab, kenapa anak saya kamu jadikan tumbal dari hasil orang lain? Apa kamu tidak tahu siapa ayah bayi kamu karena begitu banyak yang meniduri kamu?" "Cukup Tante! Apa pun yang akan aku katakan, apa Tante akan percaya?" Sorot mata Cantika sudah begitu kosong. Entah apa yang sedang ia pikirkan setelah itu. Berteriak di depan ibu mertuanya, Cantika merasa sangat tertekan. "Lancang kamu!" "Aku hanya korban, Tan. Aku mengatakan jika menjadi korban pelecehan pun kalian
Bu Shafira mengambil ponsel di nakas lalu berniat menghubungi sang anak, Berlian. Akan tetapi, ia pun menaruh kembali dan tak jadi menghubungi Berlian, ia melihat Alva ke luar dari kamar. Gegas ia menghampiri sang anak sebelum masuk kembali ke kamarnya. "Al, mama mau bicara." Bu Shafira meminta Alva tetap tinggal."Kalau mama bicara untuk membahas masalah tadi lebih baik tidak usah." Alva langsung to the point dengan sebuah masalah yang akan dibahas oleh ibunya. Sebab Ia paham watak ibunya yang selalu saja mengungkit masalah yang seharusnya sudah tutup dan sudah tak dibahas lagi.Bu Safira langsung memperlihatkan wajah tidak suka. iya yakin Alva sudah terpengaruh oleh Cantika hingga melawan dirinya. "Va, ini masalah besar loh. Dia sudah membohongi kita. Hamil dengan orang lain, terus menikah sama kamu.""Ma, tapi itu Alva yang mau. Kesepakatan bersama. Jadi, tolong Ma jangan buat Cantika stress. Dia sedang hamil anak Alva. Alva masuk dulu," ujarnya.Alva tak mau berdebat dengan sang
Esoknya di restoran Berlian sudah datang pagi-pagi, Bu Shafira juga sudah datang dan langsung menghampiri sang anak. Berlian sedang memakan buah semangka karena ia merasa mual di pagi hari ."Kamu sudah makan belum, kok sudah makan semangka?" tanya Bu Shafira."Ma, mana bisa makan nasi. Minum air putih saja aku mual. ini pagi-pagi nyari tukang kelapa," ujarnya. Di meja sudah ada kelapa bulat yang di beli oleh Jonathan, pesan semalam karena sengaja akan di ambil pagi. Jonathan sampai meminta nomor ponsel si tukang kelapa. Tidak main-main eforia Jonathan sebagai calon ayah dua anak. Bahkan, Berlian merasa sangat berlebihan si calon bapak anak dua itu, pikir sang istri. Berlian melihat wajah ibunya yang terlihat sangat masam. Ia pun gegas bertanya ada apa sebenarnya, lalu pesan masuk semalam pun baru ia buka."Ma, aku semalam tak buka ponsel. Kalau sudah malam rasanya pening kepalaku. Ada apa dengan Alva dan Cantika?" tanya Berlian. Bu Shafira mulai bercerita tentang kedua orang itu.
Rania kesal berulang kali menghubungi Arnold tapi pria itu mengabaikan dirinya. Namun, ia tidak kehabisan akal. Wanita yang penuh obsesi itu pun mencari Arnold ke kantornya. "Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Arnold."Aku hanya ingin meminta pertanggungjawaban kamu. Bagaimana jika aku hamil?" Kalimat itu yang selalu menjadi kunci saat Rania mengancam Arnold. Sebenarnya pria itu juga takut jika wanita itu hamil dan sudah pasti dirinya harus bertanggung jawab. Akan tetapi, dirinya pun bisa menolak untuk bertanggung jawab karena hal itu terjadi di luar kesadaran dirinya.Rania menatap tajam Arnold, kenapa susah sekali mendekati mantan kekasihnya itu. Sekali lagi ia mengingatkan Arnold, tapi pria yang sudah ia kenal lama itu begitu mencintai istrinya."Kalau kau hamil terserah, gugurkan saja. Lagi pula, mana mungkin aku bisa bersama kamu. Sampai kapan pun, aku tidak akan bertanggungjawab." "Apa kurangku dari dia? Aku lebih dulu mengenal kamu, bukan dia." "Iya, memang kamu lebih men