Taxi Online yang membawa Jenny melaju cepat membelah jalanan ibukota. Kata-kata pedas dan sumpah serapah terngiang-ngiang terus di kepalanya.
Rencana yang mulai muncul semenjak pertemuan dengan Darell pun musnah sudah. Kebahagiaan yang dikira akan diraihnya kembali kini kembali menjadi angan.
"Menyebalkan sekali, apa aku tidak berhak untuk berbahagia?" batinnya.
Kehilangan harta, orang tua, teman-teman dan popularitas. Mengharap pernikahannya dengan Darell bisa membuatnya mendapatkan perusahaan ayahnya kembali, namun sia-sia.
"Semua gara-gara gadis bodoh itu. Baiklah, jika aku tak bisa mendapatkannya dengan cara halus, akan kudapatkan dengan cara kasar."
Perusahaan yang kini menjadi salah satu anak perusahaan Maxwell Group memang pernah dimiliki oleh Ayah Jenny. Perusahaan yang dulu rencananya akan diwariskan untuknya.
&n
Di depan Balkon sambil menghembuskan rokok putihnya Darell memandang ke arah kolam renang. Mengingat-ingat apa yang terjadi padanya hari ini.Dimulai dari menarik tangan Kirana lalu memanggulnya hingga kejadian dalam lift yang membuat mereka berpelukan sangat erat. Tanpa disadari CEO tampan itu tersenyum-senyum sendiri."Lucu juga dia," gumamnya.Memori bersama Kirana benar-benar memenuhi pikiran Darell saat ini. ***Kirana yang lapar pun keluar dari kamar tidur. Ia tak ikut makan malam tadi.Sekilas Kirana melirik pintu kamar Darell dan mendekat ke sana. Bermaksud untuk menawarinya makanan.Tok! Tok!Darell yang kini sudah berada di tepi ranjangnya pun segera bangkot dan mendekat ke arah pintu. Melihat sosok Ki
Rasa lelah memenuhi tubuh Jenny, terutama di bagian pangkal pahanya. Entah berapa kali ia bercinta semalam.Malam kemarin sunggh liar. Alkohol, sex sungguh sangat mendominasi. Menciptakan sensasi yang indah semalam dan sekarang meninggalkan rasa lelah yang mendalam. Menjadikan tubuhnya remuk redam."Gila, semalam berapa kali gue main ya?" gumamnya.Perlahan ia duduk dan bersandar di dinding. Ternyata badannya juga sakit semua. Jenny mengusap-ngusap wajahnya sebelum akhirnya memutuskan untuk bangun.Rasa sakit menjalar pada bagian belakang tubuhnya. Membuat perempuan 23 tahun ini harus memegang pinggul belakangnya saat berjalan. Seperti ada yang robek di sana."Sudah bangun kamu?" tanya seorang pria yang semalam berkencan dengannya.Pria itu baru saja masuk ke dalam kamar sambil membawa segelas air putih.
Bulir-bulir keringat menetes pada dahi Kirana saat berdiri di depan elevator. Kejadian semalam tiba-tiba membawa traumanya kembali dan membuat tangannya terasa dingin.Darell yang berdiri tegap di samping Kirana pun menyadari adanya perubahan itu. Tanpa menunggu lama pria berdasi itu langsung meraih tangan Kirana dan menggenggam tangannya."Tak usah takut, kamu di dalam bersamaku," katanya tanpa perlu memandang perempuan berambut panjang di sampingnya."Mas,""Aku sudah janji pada Mom dan Dad untuk menjagamu. Ayo masuk!" ajak Darell begitu pintu lift terbuka.Apa yang mereka lakukan saat ini tentu saja menarik perhatian seisi lift. Di kantor Darell memang tidak ada lift khusus untuk petinggi, semua dijadikan satu oleh Ayah Darell supaya lebih akrab.Beberapa karyawan yang berada di lift hanya melihat Darell yang tak hentinya menggenggam
Darell mengikuti arah tatapan Kirana. Seekor ayam jago mati dengan leher penuh darah tepat berada di dekat pintu.Darell langsung menutupi wajah Kirana yang pucat dengan telapak tangannya. Memastikan kalau gadis itu tak takut lagi.Gadis yang rambutnya dihiasi jepit bunga itu mencoba mengatur napasnya perlahan. Kemudian pelan-pelan menurunkan telapak tangan Darell yang nerada beberapa inchi dari wajahnya."Aku hanya terkejut Mas, aku tidak takut dengan darah ayam. Aku sudah sering lihat Bapak potong ayam di rumah.""Hmm syukurlah, kukira kamu takut.""Aku hanya berpikir ini aneh Mas. Rasanya tak lazim dalam gedung apartemen seperti ini ada seekor ayam yang mati disembelih.""Kamu benar Ki ini tidak lazim. Di sini bisa kupastikan tak ada yang memotong ayam. Satu-satunya binatang peliharaan yang boleh ada di apartemen ini hanya ikan hias
Kirana mengusap punggung Darell perlahan. Berharap pria itu lebih tenang."Bisa-bisanya," keluh Darell sambil mengepalkan tangan di samping celananya dengan cukup kuat."Mas, cobalah untuk tenang," pinta Kirana"Ini tidak bisa dibiarkan Ki, aku harus membuat perhitungan dengannya," jawab Darell tanpa memandang wajah Kirana."Aku tahu, ini pasti berat sekali buat Mas. Namun kita harus menyelesaikannya dengan kepala dingin. Kita tak boleh gegabah Mas.""Kamu tak mengerti Ki.""Justru aku berusaha untuk mengertimu Mas. Aku tak ingin Mas mendapat kesulitan nantinya. Mereka boleh melakukan hal rendah seperti itu, tapi kita harus membalasnya dengan cara yang elegan. Mas adalah orang yang cerdas dan karismatik, maka gunakanlah kelebihan yang Mas punya."Darell menatap Kirana lekat-lekat. Berpikir kalau apa yang dikatakan wanita yang dijodohkan denga
[Hai Louis, apa kabarmu? Maaf belakangan ini aku jarang menghubungimu,] tulis Kirana dalam Bahasa Perancis.Seminggu ini Louis memang jarang sekali mendapatkan kabar dari Kirana. Hal itu dirasa tidak biasa oleh Louis, karena Kirana sebelumbnya tak pernah absen untuk berkomunikasi dengannya.Pria berambut pirang ini memang telah tergetar hatinya semenjak mencicipi masakan Kirana untuk pertama kali. Bukan wajah dan penampilan Kirana yang membuatnya tertarik, namun sikap dan kecerdasan yang dimilikinya.Pertama kalinya Louis melihat ada seorang gadis yang tidak terlalu memusingkan penampilan. Menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdandan, shopping bukan membaca atau berkebun seperti Kirana.Louis tak pernah berhenti tersenyum saat mengingat Kirana. Gadis yang sudah berhasil mendobrak kekerasan hatinya.Sudah cukup lama Louis tidak berkencan dengan perempu
Hari ini adalah kedua kalinya Darell dan Kirana mengunjungi proyek berdua saja. Celline sedang berhalangan hadir, katanya ada urusan di Singapura.Kunjungannya kali ini untuk memastikan kalau proses perataan tanah sudah benar-benar dilakukan, karena tak lama lagi akan diadakan peletakan batu pertama. Sementara Kirana memperhatikan laporan promosi pada tabletnya di dekat mobil. Darell mendekati mandor yang bertugas. Menanyakan apakah peletakan batu pertama bisa dilakukan dalam waktu dua hari lagi.Senyum terkembang di wajah Kirana, saat melihat laporan hasil promosi. Calon customer dan tenant terlihat cukup antusias dengan penawaran yang disampaikan oleh Darell."Mas Darell harus tahu tentang hal ini."Kirana mempercepat langkahnya mendekati Darell. Tak peduli dengan sepatu bertumit tujuh senti yang tentu saja menghalangi aktivitasnya. Kali ini Kirana ceroboh, seharusnya ia m
Dengan kasar Darell mendorong tubub Juwita yang ada dalam pangkuannnya. Tak peduli kalau tindakannya membuat sekretarisnya terjungkal. Yang dipikirkan olehnya sekarang adalah mengejar Kirana dan menjelaskan semuanya."Bos! Kasar banget sih!" panggil Juwita sambil memegangi lututnya namun Darell tak peduli. Ia tak mau Kirana salah paham."Ki, tunggu Ki!" panggil Darell mencoba untuk meraih lengan Kirana sebelum gadis itu masuk dalam ruangannya.Kirana mencoba untuk menenangkan dirinya dan membuka pintu ruangannya. Sedikit menggeser tubuhnya agar ada cukup ruang untuk Darell masuk.Ia tahu kalau Darell pasti ingin bicara dan menjelaskan semua. Sebenarnya Kirana malas untuk mendengarkan Darell sekarang, namun mengingat mereka sedang di kantor dan putra Maxwell itu orang yang nekad, maka tak ada pilihan lain selain membicarakan secara privat."Mas mau bilang apa?" tanya Kir