Pov Imelda.
Bagaimana rasanya menjadi aku? Sulit dijelaskan. Suamiku terus marah dan tak habis pikir dengan Winola yang terang-terangan jujur mencintai suamiku. Ini gila. Luar biasa di luar logikaku. Ada wanita yang rela menjadi madu rumah tanggaku, berkedok sahabat yang berubah menjadi cinta.
Winola menangis, air mata itu jujur, aku bisa lihat bagaimana percikan cinta itu memang ada untuk suamiku. Sakit? Sangat. Yang kupikirkan hanya kedua putraku, bagaimana Dewa akan marah, ia sudah akan ABG, di mana darahnya mulai membara. Siap memberontak, dan aku takut. Bagaimana ini, aku harus apa demi anak-anakku?
Pov author.
"Aku akan talak kamu, Win," ucap Rizal tegas. Setegas sorot mata yang begitu tajam menyayat hati wanita itu.
Winola menggelengkan kepala.
Imelda, Rizal dan Winola bertemu keluarga Winola di rumah orang tua wanita itu. Imel menjelaskan semuanya, dan ya, membuat semua terkejut, senang, sedih, haru, campur menjadi satu."Saya minta, Mas Rizal dan Winola menikah ulang. Supaya semua sah dan tidak ada masalah dikemudian hari. Kasihan Sahila," ucapnya begitu tegar."Kami akan siapkan semua, Imel, dan... kami berterima kasih atas pengertian dari kamu," sahut ibunda Winola. Imel hanya tersenyum tipis. Rizal terus mendengkus, hanya bisa melakukan itu karena ia sudah mengiyakan semua permintaan Imelda.Tak lama mereka pergi dari rumah itu, namun Imel mengajak Rizal berjalan-jalan di tepi pantai, ia butuh suasana terbuka. Rizal menggandeng jemari tangan istrinya begitu erat, sesekali melirik karena Imelda terus diam sambil menatap luasnya lautan di hadapan.
Winola terus menghapus air matanya, sudah satu bulan sejak Rizal memutuskan status hubungannya itu, ia seperti orang yang hilang akal, bahkan, imbasnya hingga ke Sahila yang terabaikan. Seperti saat bocah itu menangis kencang karena Winola melamun saat sedang mengganti pampers Sahila yang tak kunjung selesai, hingga saat Sahila haus ingin menyusu tapi Winola justru tertidur."Bunda nggak tau harus apa, Sahila, Bunda butuh Rizal," lirihnya begitu pilu dengan suara serak.Sahila hanya bisa diam, menatap ibunya yang tampak seperti orang depresi. Kedua kaki bayi itu terus bergerak-gerak risih di atas baby bouncer, Winola terus saja menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. Tangis Sahila begitu kencang, seperti menahan sakit, hingga suara seseorang datang dan menghampiri keduany
Keempatnya tiba di rumah sakit, Dewa dan Ardan tampak tak mengerti kenapa Imelda mengajak serta mereka, padahal di rumah lebih nyaman, kan?"Bu, yang sakit siapa?" tanya Ardan."Sahila," jawab Imel sambil berjalan ke arah lift lalu menekan tombol bulat tanda panah ke atas."Kenapa kita harus ikut?" sambung Dewa yang tampak kurang nyaman."Empatimu tolong dibangun, Bang. Kamu cukup ikut dan doain Sahila, perkara dia siapa juga kamu kenal baik atau nggak. Sesama manusia, saling mendoakan itu baik." Imelda lalu masuk ke dalam lift yang sudah terbuka. Rizal justru diam, sungguh ia malas. Membayangkan Winola ada di kamar rawat Sahila saja ia sudah kesal."Emang kita bisa masuk, Bu, bukannya yang jenguk nggak bisa anak-anak?" Ardan
Sahila berada di dalam gendongan Imel, bayi itu sudah tak di rawat. Rizal dan Imel membeli kebutuhan Sahila selama tinggal di rumah mereka. Berkali-kali Rizal terlihat tak nyaman dengan keberadaan bayi itu."Sahila di gendong Ayah dulu, ya, Ibu mau cuci botol susu kamu," ucapnya sambil menyerahkan Sahila di gendongan Rizal yang sudah selesai membersihkan diri setelah pulang kantor."Mel, aku masih nggak habis mikir sama kamu," tegurnya."Aku nggak tega sama Sahila, apa jawaban itu kurang puas buat kamu, Mas?" tatap Imel sejenak, lalu kembali mencuci botol dengan sikat kusus, setelahnya ia masukan ke alat steril yang ia beli di toko peralatan bayi sehari sebelum Sahila ia bawa pulang."Ya..., nggak habis pikir saja sama kamu, itu aja, Mel," lanjut Rizal. Imelnya tersenyum. Ia kini menyiapkan makan malam, Ardan dan Dewa keluar kamar, mereka selesai mengerjalan PR. Tampak Ardan senang saat melihat Sahila, bahkan ia menawarkan diri memangku bayi itu. Rizal menyerahkan perlahan, dengan sig
Rizal menepati janji, ia datang ke unit apartemen Winola keesokan harinya sepulang bekerja, dan ia tak bilang ke istrinya, takut jika Imel berpikir yang bukan-bukan. Rizal dan Winola beradu tatap di depan pintu masuk. Wanita itu tampak pucat dan sedikit kurus, bahkan wajahnya masih lesu. Ia mengajak Rizal masuk, lalu pintu kembali tertutup otomatis juga terkunci. "Udah makan?" Rizal segera bertanya, karena ia melihat meja makan tampak bersih. "Udah, tadi beli sebelum sampai sini. Duduk, Zal," ucapnya. Winola menatap Rizal yang tampak lelah setelah bekerja. Kemejanya juga sudah tak rapi, lengan kemejanya sudah tergulung hingga siku. Keduanya duduk berjarak, tak ada yang mulai bicara sampai Winola tertawa pelan. "Kaku amat, maaf ya, kita jadi canggung gini," ucapnya mencoba mencairkan suasana. Rizal mengangguk. "Bandel banget dibilangin. Ini, ‘kan, efeknya kamu nggak dengerin kalau aku ingetin jangan suka kecentilan sama cowok-cowok, kasihan Sahila sekarang, Ayahnya nggak mau akuin
Malam setelah percakapan itu, Rizal memutuskan melarang Imelda bertemu dengan Winola, karena Rizal tak mau jika rumah tangga yang sudah terasa adem ayem, akan muncul masalah lain karena Imel mencoba dekat dengan Winola. "Kamu tau kan, kalau dia cinta sama aku. Udah, lah, Mel, jangan pancing dia masuk ke rumah tangga kita," tegur Rizal tak main-main, bahkan meminta Imel tidak perlu lagi mengurus Sahila. Hal itu membuat Imel bingung, dalam sekejap Rizal mengubah keputusannya. Ada apa? Imel menjadi bertanya-tanya, kan? "Mas, kamu kenapa? Apa kamu habis bicara berdua sama Winola? Lalu kalian bikin kesepakatan?" Kedua mata Imelda menatap lekat. Rizal mendengkus, ia menatap istrinya itu sambil menggelengkan kepala. "Mulai sekarang. Keluarga kita nggak ada urusan sama Winola, mau dia nikah sama siapa, kek, Sahila mau dibesarkan seperti apa, kek. Kita nggak usah urus. Inget kata-kataku ini!" geram Rizal. Imel terkejut dengan perubahan sikap Rizal.Akhirnya percakapan malam itu ditutup denga
"Mel..., kamu yakin?" Tatapan Rizal begitu terkejut dengan ucapan istrinya itu."Ya. Mau apa lagi sekarang? Berzina kamu, kan, sama Winola, dia hamil. Aku mau, kita ketemu keluargamu dan keluargaku. Kasih tau apa yang terjadi dengan kita," tukasnya dengan tatapan begitu menusuk. Imel kecewa, disaat ia percaya jika rumah tangganya akan tenang, mendadak hancur seperti ada bom yang terjatuh di atas rumahnya."Mel ...." Rizal jelas sekali takut. Bukan hanya ibunya akan kecewa, tetapi orang tua Imel dan dua adik laki-lakinya, pun, adik kandung Rizal–Tata, yang begitu mengidolakan keharmonisan rumah tangga kakaknya yang ternyata, menyimpan kekelaman."Kenapa? Kamu baru merasa takut setelah tau Winola hamil, kalau dia nggak hamil, aku rasa kamu akan tetap rahasiain hal ini, kan." Imel bersedekap, murka kepada suaminya itu. "Aku nggak mau anak-anak dengar hal ini, ya, Mas. Rahasiakan dari mereka, aku akan minta Ibumu, Adikmu, kedua orang tua juga Adik-adik ku untuk menutup rapat-rapat hal ini
Tahun berganti, tepatnya, sudah hampir dua tahun hal itu terlewati, Rizal dan Winola menikah resmi dan sah baik secara agama juga negara. Rizal mencoba berlaku adil, walau hatinya perih setiap saat karena membuat kecewa Imel. Rizal akan seminggu bersama Winola, lalu tiga minggu bersama Imelda, yang tak mau mencampuri atau ikut menentukan, terserah Rizal. Kala itu, Rizal sudah lima hari bersama Winola yang sedang kerepotan mengurus dua anak, Sahila dan Araska, putranya hasil hubungan 'tak sengaja' dengan Rizal. Dewa pulang sekolah, segera berganti baju untuk bergabung bersama Imel yang sibuk membuat isi Hampers kue kering pesanan banyak orang. ABG itu tak banyak bicara atau bertanya tentang keanehan sikap Rizal beberapa bulan ini yang, terlihat rutin karena pembagian waktu bersama dua istrinya. "Bu, ini diantar ke mana?" tanya Dewa sembari duduk bersila, ia memasukan kartu ucapan ke amplop berwarna biru muda yang nanti di letakkan di atas kotak Hampers. "Ke kantor teman Ibu, eh iya,
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda