Rizal masih menutupi, maka Imelda yang akan mencari tau semuanya. Winola yang bernama asli Wanda Sarasvati, merupakan sahabat Rizal, mereka memang begitu dekat, hingga kuliah satu jurusan, namun berpisah setelah Winola – panggilan kesayangan dari keluarga wanita itu – bekerja di perusahaan besar negara lain. Rizal berusia 34 tahun, sedangkan Imelda 33 tahun dengan dua anak laki-laki berusia 10 dan 9 tahun. Pernikahan Imelda dan Rizal sangat bahagia, bagaimana seorang Rizal mencintai istrinya itu, tapi, ia juga tak tega dengan sahabatnya itu. "Jangan sekarang, Mel..." cegah Rizal saat istrinya ngotot mau bertemu Winola. Tangan Rizal di tepis Imelda begitu kuat. Ia berbalik badan. Menatap penuh amarah juga tanda tanya besar mengapa Winola tega menjadi duri dalam daging rumah tangganya. Imelda menerima? Belum. Ia mau mendengar jawaban yang masuk diakal.
"Di mana rumah dia." Sambil memakai pakaian nya, Imelda masih menatap lekat netra suaminya yang tampak gelagapan. "Mas. Denger. Kalau kamu cuma menami dia di rumahnya selama lima bulan ini tanpa tidur sama dia. Kenapa kamu takut kalau aku samperin dia?! Atau... jangan-jangan kamu juga nikmatin tubuh sa-ha-bat kamu itu, iya!" pelotot Imelda tak memberikan kesempatan Rizal menyanggah. "Lama." Ketusnya lalu meraih ponsel suaminya yang tergeletak di nakas.
"Mau apa, Mel?" Rizal masih mencoba mencegah.
"Diam. Atau... anak-anak dengar apa yang lagi diributin Ibu dan Ayahnya. Psikis anak-anak keganggu karena ulah kamu." Sambil mencari nama Winola pada benda pipih itu, Imel mengancam suaminya yang hanya bisa mengusap kasar wajahnya.
"Demi anak-anak, aku mohon, Mel, jangan sekarang, kasihan dia." Masih saja Rizal membela sahabatnya itu.
"Dan ini, demi anak-anak aku juga harus ketemu dia." Ia lalu mendengar suara Winola di seberang. "Zal..." suara itu menyapa suaminya. Imel memejamkan mata sejenak. "Ini aku, Imel. Bisa kita bertemu, aku mau bicara sama kamu, berdua." Tegasnya. Rizal terus menatap, lalu, jemari Imel mengusap layar ponsel tanda menghidupkan pengeras suara. "Kenapa diam?" tanya Imel lagi sambil menatap lekat suaminya juga.
"Rizal mana, Mel?" Winola justru mencari suaminya.
Senyum sinis Imel terbit, "kenapa? Mau minta di elus perut buncitnya. Atau minta dibeliin sesuatu? Atau... minta dikelonin juga?" tanyanya sarkas.
"IMEL!" bentak Rizal. Wanita itu menitikan air mata lagi, pria yang begitu dicintai, membentaknya untuk pertama kali setelah sebelas tahun pernikahan, bibir Imel bergetar dengan kedua sudutnya tertarik ke atas, ia mencoba tersenyum, padahal, rasa sakit di hatinya begitu menyayat.
"Jadi..., judulnya, kita berdua berbagi suami?" Imel masih ingin mendengar suara wanita itu.
"Mel, aku terpaksa minta bantuan Rizal. Jujur, kita nggak tidur bareng, bahkan setelah lima bulan ini. Rizal hanya membantuku di sini, aku sendirian, dan status pernikahan ini juga supaya anak ini nantinya bisa ada akte dan tercantum nama Ayah, walau bukan Rizal Ayah kandungnya. Di sini, Rizal juga ada kamar sendiri. Dia sahabatku, Mel, sejak kami remaja dan aku tau gimana dia mencintai kamu teramat dalam" Lalu terdengar suara helaan napas wanita itu lagi, ia menjeda kalimatnya. "Oke, aku minta maaf karena nggak izin sama kamu, aku..., jujur aku bingung saat itu, Mel. Dan, Rizal, kamu nggak perlu ke rumah, aku nggak mau kalian ribut. Maafin aku ya, Mel, maaf," lirih Winola begitu memohon juga. Rizal meraih ponsel dari tangan istrinya.
"Makasih udah jelasin ke Imel, Win. Maaf, aku nggak bisa temani kamu besok. Aku dinas semalam, dan pulang ke sini. Hati-hati di rumah, kabari aku kalau ada apa-apa." ucap Rizal. Imel diam, masih menatap suaminya dengan perasaan tak karuan. Rizal memutuskan sambungan telepon, lalu membawa Imel ke dalam pelukannya.
Imel diam, tak membalas pelukan Rizal juga. Ia hanya mencoba untuk menganalisa semuanya. Rasa penasarannya masih belum terpuaskan, ia akan bertemu wanita itu suatu saat nanti, menatap langsung sorot matanya saat bicara kepada Imel. Perempuan tak akan bisa bersandiwara, apalagi kondisi sedang hamil, apa yang diucapkan, bisa saja berbalik pada anak yang sedang dikandung.
"Aku tidak akan membagi hati, percaya, ya." Rizal mengecup kening Imelda begitu lama, wanita itu mencoba merasakan, apakah Rizal jujur atau tidak. Namun sayang, hatinya terlalu hambar untuk merasakannya saat itu.
***
Tiga hari kemudian.
Imelda tak patah akal, ia menghubungi Winola dengan ponsel suaminya, mengirim pesan pura-pura akan mengirim paket dan meminta alamat detail, saat Rizal tidur pulas. Ia beralasan jika lupa dengan RT dan RW rumah wanita itu. Winola membalas pesan singkat dengan bahasa yang biasa saja, layaknya sahabat, tak ada kalimat mesra.
Pagi harinya, setelah ia selesai mengantarkan kedua anaknya ke sekolah, ia mengarahkan mobil ke alamat yang sudah ia pegang. Kedua matanya menatap nama komplek perumahan tak jauh dari kantor Rizal.
"Selamat pagi, Bu, mau ke alamat mana?" tanya Satpam gerbang utama yang memberhentikan mobil Imelda.
"Mau ke rumah Bu Winola, mau antar pesanan makanan dari Pak Rizal." Ia berbohong, satpam mengangguk, ia meminta KTP Imel untuk ditukar dengan kartu visitor. Imel menginjak pedal gas lagi, kedua matanya mencari rumah dengan nomor B17. Ia menyipitkan mata, melihat rumah dengan cat warna hijau tua pagar hitam dengan nomor yang ia tuju. Segera ia menepi ke kanan, mematikan mesin mobil, lalu turun. Langkah Imel begitu tegas, ia mengatur napas sebelum berdiri di dekat teras rumah tanpa pagar itu. "Assalamualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam," terdengar balasan dari dalam. Pintu terbuka, dan munculah sosok yang sudah tak sabar ingin Imel temui.
"Bisa kita bicara." Hanya itu kalimat pembuka yang Imel bisa sampaikan. Winola mengangguk, ia mengajak Imel masuk, namun wanita itu meminta duduk di kursi teras saja. "Alasan kamu apa meminta suamiku menikah denganmu? Apa hatimu beku untuk merasakan bagaimana sakitnya aku dan hati anak-anakku seperti apa jika mereka tau." Tanpa basa-basi, langsung tembak.
Winola mengangguk. "Aku sudah jelaskan, Mel, aku terpaksa," jawabnya.
"Apa tidak ada laki-laki lain. Dan, kenapa keluarga Mas Rizal nggak boleh tau! Apa kamu takut Ibu mertuaku, juga Adik iparku semua melabrak. Padahal, aku rasa pantas jika hal itu terjadi." Sorot mata marah begitu ditunjukkan Imelda.
"Aku malu dan takut Rizal jadi bulan-bulanan keluarganya. Rizal baik, dari dulu dia begitu, aku tau Rizal seperti apa dan untuk itu ak—"
"Kamu manfaatkan kebaikan suamiku untuk masalahmu." Kekehan sinis Imel muncul. Winola yang memang salah, hanya bisa diam menatap istri sahabatnya itu. "Oke. Kalau memang tujuanmu supaya anak di perutmu itu bisa mendapatkan akte kelahiran, apa sanggup kalau aku minta kalian cerai setelah anak itu lahir. Kalian menikah sah, bukan? Jadi perceraian kalian juga harus sah. Aku mau bukti surat cerai itu di hadapanku." Ancam Imel. Winola mengangguk.
"Iya, Mel. Aku akan urus itu setelah anakku lahir. Sekali lagi, maafkan aku, ya, aku memang yang memaksa Rizal. Aku kalut saat itu, Mel, kedua orang tuaku malu, dan aku juga har—"
"Rahasiakan hal ini. Ingat, jangan mengganggu suamiku untuk urusan sepele. Jika kamu butuh sesuatu atau makanan yang mau kamu makan. Minta bantuan keluargamu. Mudah, kan? Jangan kamu korbankan perasaan anak-anakku untuk keuntunganmu. Siap-siap berhadapan denganku. Rizal milikku, bukan kamu. Permisi." Imel beranjak cepat. Ia lega setelah mengucapkan hal itu, dengan langkah begitu berani, ia segera pergi dari rumah itu dan masuk ke dalam mobil.
Sebelum mengarahkan mobilnya kembali pulang, ia sempat melirik ke arah Winola dari dalam mobil yang masih menatap sendu ke arahnya. "Masa bodo. Emang kamu pantas dapatkan labrakanku, Win." Sungut Imelda sambil menatap jalanan di depannya.
Layaknya rumah tangga yang tak ada masalah berarti, Imelda dan Rizal kembali menjalani kehidupan normal. Anak-anak tidak ada yang curiga dengan cerita ayahnya yang memiliki istri lain. Feeling seorang istri tak pernah salah, ia meraih ponsel Rizal, mengecek pesan singkat sampai ke email juga. Jarinya terus mengusap layar benda pipih itu, dan benar, sejak beberapa hari lalu banyak pesan singkat dan telepon masuk yang tak Rizal baca juga jawab panggilan itu dari Winola. Imel membaca semua pesan masuk dari Winola, menanyakan kapan ke rumah, sampai, pesan semalam, Imel di rumah sakit, ia terpeleset dan jatuh.Lalu, ada pesan lain yang menunjukkan ia di kamar rawat. Pun, tak lupa Winola menulis pesan di bawah foto yang dikirim
Imelda sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, suami yang dicintainya, semakin hari, justru semakin lebih ada bersama Winola. Wanita itu kehamilannya semakin besar, Imelda memendam kegalauan hatinya seorang diri. Menepati janji kepada suami juga Winola untuk tak bercerita kepada keluarga besar suaminya, pun, demi menjaga hati dua anaknya-- Dewa dan Ardan, yang semakin merasa ada yang aneh dengan sikap Rizal.Bulan ke delapan, kehamilan Winola semakin menambah daftar panjang kekesalan Imelda, karena Rizal akhirnya bicara jika keluarga besar 'sahabatnya' itu, meminta dirinya untuk lebih sering berada di sana. Imel tak habis pikir, kok ada, keluarga perempuan yang mendesak hal itu sementara mereka, tau Rizal sudah beristri dan memiliki dua anak.Rasa penasaran Imel kembali memuncak. Ia menatap Rizal yang sedang memasukkan pakaian milik pria itu ke dalam satu koper be
Winola putar otak, ia malas membahas dan menanyakan kepada Rizal perkara uang yang seharusnya, menjadi jatah Winola dan anak-anak. Jika ia tak mengalihkan pikirannya tentang Rizal, bisa-bisa semua kacau, anak-anak juga akan kena dampaknya. Itu yang ia jaga begitu hati-hati.Rizal pulang, setelah dua minggu semenjak Winola melahirkan, ia selalu di rumah wanita itu. Kedua mata Rizal terbelalak, saat ia melihat keadaan ruang TV rumahnya banyak loyang, dan adonan kue kering. Di dapur, terlihat Imel sedang mengeluarkan loyang dari dalam oven besar milik istrinya yang lama tak ia pakai semenjak lebaran tahun lalu. Biasanya, Imel akan membuat kue khas lebaran sendiri, ia memiliki keahlian akan hal itu."Mel, kamu tumben bikin nastar dan sagu keju sekarang?" Rizal membawa sepatunya ke arah rak di dekat dapur, lalu menjajarkan dengan sepatu anaknya di sana. Ia segera me
Rizal hanya bisa menatap terkejut ke arah Winola, lalu ia terkekeh. "Aku tidak mencintaimu, Win, kamu sahabatku, dan akan terus begitu."Winola menyeka air matanya, ia menunduk, begitu paham. "Tapi hatiku, setelah selama ini kebersamaan kita, aku ...," ia menjeda. "Aku rela menjadi yang kedua. Aku rela waktumu lebih banyak di Imel dari pada denganku. Aku nggak masalah, satu malam cukup. Aku nggak mau Sahila nggak punya Ayah. Kamu tau, kan, laki-laki itu juga aku nggak kenal siapa, Zal...," isaknya lagi.Imelda diam, ia menatap Winola, lalu berganti ke Sahila. Anak itu tak berdosa, wajahnya memang tak mirip dengan Rizal, kulitnya saja putih, hidungnya begitu mancung dengan bola mata abu-abu terang. Bukan Rizal sekali.Rizal mencoba menyanggah, namun dicegah Imelda dengan menggenggam jemari tangan suaminya itu.
Keluarga, setiap orang pasti selalu membayangkan memiliki keluarga yang utuh, lengkap dan tidak terpisah-pisah, atau bisa juga tanpa masalah. Tapi hal itu tidak bisa terjadi pada rumah tangga Imel, nyatanya, ia harus menerima status suaminya yang punya istri lain. Berat, bagaimana ia mencintai Rizal begitu dalam, namun di sakiti oleh status pria itu begitu tega.Pelukan tangan Rizal setia pada pinggang istrinya, wajah pria yang terlelap itu membuat Imel akhirnya bisa tersenyum, Rizal menepati janji, sudah tiga minggu ia selalu di rumah, tidak pernah menemui Winola. Telepon dari wanita itu pun juga tidak pernah ada. Imel selalu mengecek setiap Rizal pulang bekerja.Tatapan Imel lekat ke arah suaminya, ia tersenyum. Lalu, menyusupkan wajahnya pada ceruk leher Rizal yang menggeram tertahan namun semakin erat memeluk."
Jatuh cinta itu bisa membuat hilang akal, apalagi posisinya memang sedikit menekan urat malu yang harus diputus. Rizal memarkirkan mobil di garasi, jam sudah di angka 4 sore, mereka baru pulang dari toko seragam sekolah, lalu lanjut ke mal untuk makan siang bersama, kemudian membeli sepatu baru untuk dua anaknya.Namun, tatapan semuanya mengarah pada sosok Winola yang duduk di teras rumah tanpa pagar itu sambil menggendong Sahila. Satu persatu turun dari mobil, tatapan Imelda mengarah ke kedua anaknya. Sedangkan Rizal tampak kesal melihat kehadiran sahabatnya itu di rumah."Salim dulu sama Tante Winola, Dewa... Ardan," ucap Imel mengingatkan sopan santun. "Ini teman Ayah dan Ibu," lanjutnya. Dewa meraih tangan kanan Winola, ia mencium punggung tangan itu, bergantian ke Ardan. Keduanya lalu masuk ke dalam rumah sambil menenteng tas belanjaan mereka.
Pov Imelda.Bagaimana rasanya menjadi aku? Sulit dijelaskan. Suamiku terus marah dan tak habis pikir dengan Winola yang terang-terangan jujur mencintai suamiku. Ini gila. Luar biasa di luar logikaku. Ada wanita yang rela menjadi madu rumah tanggaku, berkedok sahabat yang berubah menjadi cinta.Winola menangis, air mata itu jujur, aku bisa lihat bagaimana percikan cinta itu memang ada untuk suamiku. Sakit? Sangat. Yang kupikirkan hanya kedua putraku, bagaimana Dewa akan marah, ia sudah akan ABG, di mana darahnya mulai membara. Siap memberontak, dan aku takut. Bagaimana ini, aku harus apa demi anak-anakku?Pov author."Aku akan talak kamu, Win," ucap Rizal tegas. Setegas sorot mata yang begitu tajam menyayat hati wanita itu.Winola menggelengkan kepala.
Imelda, Rizal dan Winola bertemu keluarga Winola di rumah orang tua wanita itu. Imel menjelaskan semuanya, dan ya, membuat semua terkejut, senang, sedih, haru, campur menjadi satu."Saya minta, Mas Rizal dan Winola menikah ulang. Supaya semua sah dan tidak ada masalah dikemudian hari. Kasihan Sahila," ucapnya begitu tegar."Kami akan siapkan semua, Imel, dan... kami berterima kasih atas pengertian dari kamu," sahut ibunda Winola. Imel hanya tersenyum tipis. Rizal terus mendengkus, hanya bisa melakukan itu karena ia sudah mengiyakan semua permintaan Imelda.Tak lama mereka pergi dari rumah itu, namun Imel mengajak Rizal berjalan-jalan di tepi pantai, ia butuh suasana terbuka. Rizal menggandeng jemari tangan istrinya begitu erat, sesekali melirik karena Imelda terus diam sambil menatap luasnya lautan di hadapan.
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me
Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe
Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji
Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda