Share

Menutupi

Penulis: Rianievy
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-26 10:11:46

Winola putar otak, ia malas membahas dan menanyakan kepada Rizal perkara uang yang seharusnya, menjadi jatah Winola dan anak-anak. Jika ia tak mengalihkan pikirannya tentang Rizal, bisa-bisa semua kacau, anak-anak juga akan kena dampaknya. Itu yang ia jaga begitu hati-hati.

Rizal pulang, setelah dua minggu semenjak Winola melahirkan, ia selalu di rumah wanita itu. Kedua mata Rizal terbelalak, saat ia melihat keadaan ruang TV rumahnya banyak loyang, dan adonan kue kering. Di dapur, terlihat Imel sedang mengeluarkan loyang dari dalam oven besar milik istrinya yang lama tak ia pakai semenjak lebaran tahun lalu. Biasanya, Imel akan membuat kue khas lebaran sendiri, ia memiliki keahlian akan hal itu.

"Mel, kamu tumben bikin nastar dan sagu keju sekarang?" Rizal membawa sepatunya ke arah rak di dekat dapur, lalu menjajarkan dengan sepatu anaknya di sana. Ia segera mencuci tangan lalu memeluk istrinya dari belakang yang ia rindukan itu. Imel diam dengan perlakuan Rizal itu, tangannya sibuk memindahkan nastar yang sudah matang ke loyang lain untuk didinginkan sebelum masuk ke toples.

"Anak-anak mana?" Rizal masih memeluk erat Imel yang masih sibuk sendiri.

"Di bawa Bima dan Astrid ke mal, di ajak makan sama beli buku bacaan," jawab Imel yang melepaskan pelukan suaminya karena ia harus memasukan 4 loyang adonan lainnya ke dalam oven.

"Tumben pulang? Winola nggak butuh kamu?" liriknya sejenak sebelum menutup pintu oven.

"Jangan gitu bilangnya, Mel. Aku capek kalau kamu tetap masih belum bisa terima hal ini," keluh Rizal. Imel menatap suaminya sambil terkekeh sinis.

Keduanya sudah duduk di kursi meja makan saling berhadapan. "Mas, aku mau tanya. Kamu, waktu nikah sama dia, izin aku nggak?" tatap Imel, Rizal diam. "Nggak, kan?" Kekehnya sinis. Ia menunduk sejenak, lalu menatap suaminya lagi. "Aku bisa aja laporin kamu dan dia ke polisi, karena kamu sudah menikah diam-diam di belakangku, tanpa seizinku. Ancamannya nggak main-main, Mas, lima tahun penjara dan pernikahan kalian cacat hukum." Imel melotot. Ia meremas jemarinya, seolah mengumpulkan kekuatan sebelum lanjut bicara.

"Tapi apa... kamu lihat, kan, aku memilih menerima, mengikhlaskan hal ini. Di poligami kamu, berbagi suamiku dengan dia, berbagi waktu, perhatian, bahkan uang karena dia! Dan kamu masih bilang aku nggak terima?! Luar biasa kamu, Mas." Imelda menitikan air mata, ia cepat menghapusnya dengan punggung tangan.

"Demi anak-anak, aku lakuin ini, harus ikhlas, kamu pikir, Dewa dan Ardan nggak bertanya-tanya? Mereka tanyain kamu. Ayah mana, Bu, Ayah sibuk banget kerjanya? Ibu kenapa jualan kue lagi? Sekolah kita mahal bayarnya, ya, Bu?" Air mata Imelda tak bisa terbendung. Ia terisak. Rizal membungkam mulutnya dengan telapak tangannya. Kedua matanya juga berkaca-kaca.

"Aku nggak mau nuntut apa pun ke kamu. Aku menepati janjiku tidak membeberkan hal ini ke keluarga kamu, kan? Dan kamu tanya, kenapa aku bikin kue lagi?" Imel tertawa miris. "Tiga bulan jatah bulananku berkurang semenjak dia melahirkan! Apa tanggung jawab menafkahi juga kamu yang tanggung, Mas!? Bagus. Berarti memang kamu serius berpoligami. Mencoba adil. Dan..., apa urusan ranjang juga kamu lakukan sama dia?! Iya, Mas Rizal! Jawab!" Imelda menangis histeris sambil menutup wajahnya dengan dua telapak tangan. Begitu pilu. Rizal beranjak, memeluk istrinya itu sambil mencium lama pipi Imel.

"Nggak, Mel, kami nggak tidur bareng," jawab Rizal yang juga berlinang air mata. Imel melepaskan kasar pelukan Rizal. Ia beranjak cepat, memutar badan berdiri berhadapan dengan suaminya itu.

"Yakin? Aku tau kamu, Mas, kebutuhanmu akan hal itu nggak akan bisa dibendung bahkan untuk tiga hari. Jangan bohong kamu sama aku. Masa nifas dia juga udah lewat." tatap Imel lekat. Rizal mendekat, ia justru membungkam bibir istrinya dengan bibirnya, ia ingin memberikan jawaban dengan tindakan, ia tau, sudah mengabaikan Imel walau kebutuhan biologisnya memang hanya ia lakukan dengan Imel saat ia pulang ke rumah.

Tangan Imel mendorong dada suaminya. Ia menggeleng pelan. "Mau apa?" Imel tampak angkuh.

"Kamu," jawab Rizal yang langsung kembali melakukan hal itu. Imel terus mengelak, ia tak ingin melakukannya. Terakhir ia melayani Rizal, dua minggu lalu saat suaminya pulang sebentar dan pergi lagi.

"Imel! Cuma sama kamu aku lakuin ini, nggak sama dia! Kamu kenapa nggak percaya ucapanku! Kamu terus meragukan dan tidak yakin. Tolong, Mel, jangan semakin membuatku bersalah ke kamu dan anak-anak," lirih Rizal. Imel terisak, tubuhnya merosot ke lantai dapur. Rizal merengkuh istrinya, memeluknya erat, membiarkan Imel meluapkan emosi karena dirinya.

***

3 bulan kemudian.

Imel menatap ke arah bayi yang sudah berusia tiga bulan itu dengan begitu terenyuh, bayi perempuan itu diberi nama Sahila, dan Rizal yang memilih nama itu.

"Terima kasih kadonya, Mel, jadi merepotkan kamu," ujar Winola saat Imel berkunjung ke rumah itu bersama Rizal. Pun, kebetulan, ada orang tua Winola di sana. Tepat, ini saatnya membahas.

"Jadi, saya sudah memberi waktu tiga bulan setelah Sahila lahir, kapan kalian cerai? Poligami ini harus berakhir. Saya terima tapi tidak sampai saat ini." Imel menatap Winola lekat. Kedua orang tua Winola tampak terkejut.

"Ce-rai?" lirih ibu Winola.

"Ya. Saya sudah bersabar dengan semua ini hampir satu tahun. Saya sudah menutupi hal ini dari dua anak saya dan keluarga besar Mas Rizal, juga keluarga saya. Saya rasa sudah cukup.

Pernikahan kalian cacat hukum karena saya tidak tau dan mengizinkan pernikahan terjadi. Saya bisa lapor polisi, tapi, saya memilih memusyawarahkan hal ini dan menerima sampai detik ini, karena saya tidak mau membuat malu kalian.  Sudah cukup, Mas Rizal dan saya berkorban untuk kesalahan Winola. Tidak akan lagi saya biarkan suami say--"

"Aku cinta Rizal, Mel, aku mencintai suamimu, sahabatku sendiri, maaf..." Air mata Winola luruh. Sahila diambil alih ayah wanita itu. "Aku cinta kamu, Zal, aku butuh kamu..., maafkan aku," lanjutnya masih dengan isakan. Imel diam, pandangannya berkabut, lalu ia menatap suaminya yang hanya bisa terdunduk sambil menekan kedua matanya dengan jemari tangan.

"Lihat, kan, Mas, ucapanku terbukti, itulah hati wanita. Dan kamu, apa keputusan kamu Mas Rizal?" Imel melontarkan pertanyaan itu ke Rizal yang menatapnya nanar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wahyudisyah
Lumayan bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Semua Jelas

    Rizal hanya bisa menatap terkejut ke arah Winola, lalu ia terkekeh. "Aku tidak mencintaimu, Win, kamu sahabatku, dan akan terus begitu."Winola menyeka air matanya, ia menunduk, begitu paham. "Tapi hatiku, setelah selama ini kebersamaan kita, aku ...," ia menjeda. "Aku rela menjadi yang kedua. Aku rela waktumu lebih banyak di Imel dari pada denganku. Aku nggak masalah, satu malam cukup. Aku nggak mau Sahila nggak punya Ayah. Kamu tau, kan, laki-laki itu juga aku nggak kenal siapa, Zal...," isaknya lagi.Imelda diam, ia menatap Winola, lalu berganti ke Sahila. Anak itu tak berdosa, wajahnya memang tak mirip dengan Rizal, kulitnya saja putih, hidungnya begitu mancung dengan bola mata abu-abu terang. Bukan Rizal sekali.Rizal mencoba menyanggah, namun dicegah Imelda dengan menggenggam jemari tangan suaminya itu.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Utuh

    Keluarga, setiap orang pasti selalu membayangkan memiliki keluarga yang utuh, lengkap dan tidak terpisah-pisah, atau bisa juga tanpa masalah. Tapi hal itu tidak bisa terjadi pada rumah tangga Imel, nyatanya, ia harus menerima status suaminya yang punya istri lain. Berat, bagaimana ia mencintai Rizal begitu dalam, namun di sakiti oleh status pria itu begitu tega.Pelukan tangan Rizal setia pada pinggang istrinya, wajah pria yang terlelap itu membuat Imel akhirnya bisa tersenyum, Rizal menepati janji, sudah tiga minggu ia selalu di rumah, tidak pernah menemui Winola. Telepon dari wanita itu pun juga tidak pernah ada. Imel selalu mengecek setiap Rizal pulang bekerja.Tatapan Imel lekat ke arah suaminya, ia tersenyum. Lalu, menyusupkan wajahnya pada ceruk leher Rizal yang menggeram tertahan namun semakin erat memeluk."

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Nekat

    Jatuh cinta itu bisa membuat hilang akal, apalagi posisinya memang sedikit menekan urat malu yang harus diputus. Rizal memarkirkan mobil di garasi, jam sudah di angka 4 sore, mereka baru pulang dari toko seragam sekolah, lalu lanjut ke mal untuk makan siang bersama, kemudian membeli sepatu baru untuk dua anaknya.Namun, tatapan semuanya mengarah pada sosok Winola yang duduk di teras rumah tanpa pagar itu sambil menggendong Sahila. Satu persatu turun dari mobil, tatapan Imelda mengarah ke kedua anaknya. Sedangkan Rizal tampak kesal melihat kehadiran sahabatnya itu di rumah."Salim dulu sama Tante Winola, Dewa... Ardan," ucap Imel mengingatkan sopan santun. "Ini teman Ayah dan Ibu," lanjutnya. Dewa meraih tangan kanan Winola, ia mencium punggung tangan itu, bergantian ke Ardan. Keduanya lalu masuk ke dalam rumah sambil menenteng tas belanjaan mereka.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Demi hati yang lain

    Pov Imelda.Bagaimana rasanya menjadi aku? Sulit dijelaskan. Suamiku terus marah dan tak habis pikir dengan Winola yang terang-terangan jujur mencintai suamiku. Ini gila. Luar biasa di luar logikaku. Ada wanita yang rela menjadi madu rumah tanggaku, berkedok sahabat yang berubah menjadi cinta.Winola menangis, air mata itu jujur, aku bisa lihat bagaimana percikan cinta itu memang ada untuk suamiku. Sakit? Sangat. Yang kupikirkan hanya kedua putraku, bagaimana Dewa akan marah, ia sudah akan ABG, di mana darahnya mulai membara. Siap memberontak, dan aku takut. Bagaimana ini, aku harus apa demi anak-anakku?Pov author."Aku akan talak kamu, Win," ucap Rizal tegas. Setegas sorot mata yang begitu tajam menyayat hati wanita itu.Winola menggelengkan kepala.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Menikah ulang?

    Imelda, Rizal dan Winola bertemu keluarga Winola di rumah orang tua wanita itu. Imel menjelaskan semuanya, dan ya, membuat semua terkejut, senang, sedih, haru, campur menjadi satu."Saya minta, Mas Rizal dan Winola menikah ulang. Supaya semua sah dan tidak ada masalah dikemudian hari. Kasihan Sahila," ucapnya begitu tegar."Kami akan siapkan semua, Imel, dan... kami berterima kasih atas pengertian dari kamu," sahut ibunda Winola. Imel hanya tersenyum tipis. Rizal terus mendengkus, hanya bisa melakukan itu karena ia sudah mengiyakan semua permintaan Imelda.Tak lama mereka pergi dari rumah itu, namun Imel mengajak Rizal berjalan-jalan di tepi pantai, ia butuh suasana terbuka. Rizal menggandeng jemari tangan istrinya begitu erat, sesekali melirik karena Imelda terus diam sambil menatap luasnya lautan di hadapan.

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Untuk Sahila

    Winola terus menghapus air matanya, sudah satu bulan sejak Rizal memutuskan status hubungannya itu, ia seperti orang yang hilang akal, bahkan, imbasnya hingga ke Sahila yang terabaikan. Seperti saat bocah itu menangis kencang karena Winola melamun saat sedang mengganti pampers Sahila yang tak kunjung selesai, hingga saat Sahila haus ingin menyusu tapi Winola justru tertidur."Bunda nggak tau harus apa, Sahila, Bunda butuh Rizal," lirihnya begitu pilu dengan suara serak.Sahila hanya bisa diam, menatap ibunya yang tampak seperti orang depresi. Kedua kaki bayi itu terus bergerak-gerak risih di atas baby bouncer, Winola terus saja menatap ke arah lain dengan tatapan kosong. Tangis Sahila begitu kencang, seperti menahan sakit, hingga suara seseorang datang dan menghampiri keduany

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Merawat Sahila

    Keempatnya tiba di rumah sakit, Dewa dan Ardan tampak tak mengerti kenapa Imelda mengajak serta mereka, padahal di rumah lebih nyaman, kan?"Bu, yang sakit siapa?" tanya Ardan."Sahila," jawab Imel sambil berjalan ke arah lift lalu menekan tombol bulat tanda panah ke atas."Kenapa kita harus ikut?" sambung Dewa yang tampak kurang nyaman."Empatimu tolong dibangun, Bang. Kamu cukup ikut dan doain Sahila, perkara dia siapa juga kamu kenal baik atau nggak. Sesama manusia, saling mendoakan itu baik." Imelda lalu masuk ke dalam lift yang sudah terbuka. Rizal justru diam, sungguh ia malas. Membayangkan Winola ada di kamar rawat Sahila saja ia sudah kesal."Emang kita bisa masuk, Bu, bukannya yang jenguk nggak bisa anak-anak?" Ardan

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-26
  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Perasaan tak rela

    Sahila berada di dalam gendongan Imel, bayi itu sudah tak di rawat. Rizal dan Imel membeli kebutuhan Sahila selama tinggal di rumah mereka. Berkali-kali Rizal terlihat tak nyaman dengan keberadaan bayi itu."Sahila di gendong Ayah dulu, ya, Ibu mau cuci botol susu kamu," ucapnya sambil menyerahkan Sahila di gendongan Rizal yang sudah selesai membersihkan diri setelah pulang kantor."Mel, aku masih nggak habis mikir sama kamu," tegurnya."Aku nggak tega sama Sahila, apa jawaban itu kurang puas buat kamu, Mas?" tatap Imel sejenak, lalu kembali mencuci botol dengan sikat kusus, setelahnya ia masukan ke alat steril yang ia beli di toko peralatan bayi sehari sebelum Sahila ia bawa pulang."Ya..., nggak habis pikir saja sama kamu, itu aja, Mel," lanjut Rizal. Imelnya tersenyum. Ia kini menyiapkan makan malam, Ardan dan Dewa keluar kamar, mereka selesai mengerjalan PR. Tampak Ardan senang saat melihat Sahila, bahkan ia menawarkan diri memangku bayi itu. Rizal menyerahkan perlahan, dengan sig

    Terakhir Diperbarui : 2022-05-24

Bab terbaru

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kebahagiaan Sesungguhnya

    "Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Awet muda

    Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Curhatan lelaki

    Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kedatangan Araska

    "Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Melepas Rindu

    Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Permintaan kembali

    Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kesabaran diuji

    Rumah bercat putih itu, menjadi tempat di mana Ardan, Sahila, Reno juga Bima tinggal. Sahila masih koma, tak tau kapan ia akan bangun, dan kini sudah memasuki waktu tiga bulan semenjak kecelakaan itu terjadi. Sejak pagi, Ardan sudah menyiapkan air hangat untuk membersihkan tubuh Sahila dengan cara membasuh perlahan. Reno membantu, ia mengambil handuk, juga pakaian Sahila sambil sesekali melihat Bima yang semakin hari semakin sehat. "Pagi, Sahila," sapa Ardan yang sudah melipat kaos lengan panjangnya hingga siku. "Pagi, Mama," sapa Reno sambil mengecup kening wanita yang masih terbujur tak sadarkan diri. "Reno, kamu lihatin Bima, ya, udah bangun atau belum?" "Iya, Pa." Kemudian Reno berjalan keluar dari kamar orang tuanya menuju kamar lain yang ditempati ia juga Bima. Ardan perlahan melucuti pakaian istrinya, hingga separuh telanjang. Dengan telaten dan perlahan, ia mengelap tubuh istrinya dengan handuk yang sudah dibasahi dengan air hangat. Tangannya mengarah ke wajah, begitu pe

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Terus menunggu

    Tepat dua minggu kemudian, kondisi ibu dan bayi stabil, dokter juga memberikan izin untuk keluarga membawa mereka berangkat ke Bangkok, Thailand. "Semua sudah siap, Dan?" Rizal memastikan lagi supaya Ardan tak perlu bolak balik mengurus banyak hal karena tertinggal. "Udah, Yah." Ardan yang sudah resign dari pekerjaannya tampak begitu syok dengan kondisi yang ia alami saat ini. Ambulance sudah bersiap berangkat menuju ke bandara dari rumah sakit. Bima digendong Imelda yang ikut serta juga Rizal. Bayi mungil itu sudah tidak perlu alat bantu napas, kondisinya membaik dengan cepat. Seperti mukjizat yang datang dengan cepat kepada bayi Bima. Reno duduk di mobil yang membawa ia juga Imelda dengan tenang. Wajahnya murung, tapi mau apa lagi, semua sudah keputusan Ardan. Ia juga sedih melihat Sahila masih dalam keadaan koma. "Nenek, Mama nanti bangun, 'kan?" Reno menyandarkan kepala ke bahu kanan Imelda. "Iya. Reno berdoa terus, ya, supaya Mama bangun. Nanti di sana, Reno tetap harus raji

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Terguncang

    Gibran berlari menghampiri Sahila yang terkapar di tengah jalan dengan kondisi tak sadar. Buru-buru ia menghubungi ambulance lalu memeriksa denyut nadi Sahila. Masih ada namun, lemah. Wajah Gibran panik, ia segera memeriksa kandungan wanita itu, tak ada pergerakan. Ia menjambak kencang rambutnya, lalu menatap wajah istri Ardan yang mulai tampak pucat. Di lain tempat, Ardan terus melamun, ia memegang dada kirinya. Perasaan tak nyaman mendadak datang kepadanya. Pintu ruangan terbuka, Maya menatap panik. "Ada apa?" Ardan masih duduk di tempatnya. Regi melangkah di belakang Maya lalu meraih cepat kunci mobil Ardan yang tergeletak di meja kerja. "Pulang, Dan. Kita temenin lo. Ayo." "Tunggu, ada apa?" Ardan beranjak. Ia bingung. Lalu ponselnya berbunyi, Maya segera menyambar. Mereka berdua seperti tau apa reaksi Ardan jika mendengar langsung berita buruk yang menimpa istrinya. "Ikut kita, Dan. Ayo cepet!" Maya menarik tangan Ardan, Regi sudah berjalan lebih dulu. Tiba di parkiran, Arda

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status