SMA Nusantara menutup gerbangnya pukul tujuh pagi. Lusie membungkuk lelah sebab ia telah berlari dari busway selama lima menit demi mengejar bapak satpam yang terlalu bersemangat menarik gerbang sekolah.
“Lus.”Lusie menyelipkan poninya ke samping. Ia menyengir ketika Farel menenteng tas ransel di bahu samping.“Kau hampir terlambat pagi ini.”“Sebab itu aku berlari.”“Kau tidak pernah jera bangun siang.”“Berisik!”Lusie menjulurkan lidah. Sontak saja Farel memukul telah bibir Lusie dengan telapak tangan. Mata Lusie menutup rapat menahan sakit. Farel tergugup, ia kira ia telah menyakiti Lusie terlalu jauh. “Biarkan saja dia.”Falery menyusul dan ikut menambahi. Ia menggandeng tangan Farel sambil sesekali menoleh ke belakang.“Hei, kalian!!!”Lusie berteriak dengan tangan yang mengacung ke udara. Falery segera berlari dengan berpegangan pada tangan Farel. Mereka menghindari kejaran Lusie yang seperti singa betina yang tengah mengamuk.Brak! Ketika berbelok Lusie tak sengaja menabrak seseorang. Ia menyentuh kulitnya, merasakan nyeri yang cukup pedih. Lusie tersentak ketika melihat badan besar yang sedang menatapnya tajam. Astaga! Itu ibu Murie!Mengapa Lusie harus bertemu dengan ibu kejam itu di pagi hari? Awalan hari yang cukup menyebalkan. Ibu Murie berkacak pinggang, mungkin saja ia sudah tahu harus dengan hukuman apa ia memberi pelajaran pada Lusie.“Maaf, ibu.”“Bagus sekali! Hari ini kau meminta maaf setelah melemparkan sepatu murahan itu semalam?!”Lusie jengah. Kenapa sepatunya harus dilibatkan? Toh, kemarin ia sudah berurusan dengan pihak kepolisian dan mereka sudah menganggap masalah ini selesai. Sepertinya ibu Murie tidak akan menyerah begitu saja untuk membuat Lusie hidup di neraka dunia.“Ikut saya!”“Ta-tapi, bu.”“IKUT SAYA!”“Baik, bu.”Lusie mengekor. Namun, di tengah jalan seseorang menengahi mereka. Lusie dibawa ke punggung belakang orang itu. Lusie terperangan ketika menatap bahu lebar yang memiliki tubuh tegap di depannya. Agaknya, Lusie mengenali sosok itu.“Tuan Hero? Ada perlu apa Anda disini?”“Membawa Lusie. Pagi ini, ayahnya sedang dirawat di rumah sakit. Ia berpesan untuk membawa Lusie pulang.”Lusie sontak menarik jas Hero. “Ayah?!”Ibu Murie mengganti air mukanya yang garang menjadi tenang. Ia melirik Lusie yang kini nampak gelisah dengan memutar jarinya bergantian. “Baiklah, saya akan menyampaikan izin itu pada wali kelas Lusie.”“Terimakasih.”“Sama-sama, tuan Hero.”Hero berbalik menghadap Lusie. Tangannya yang besar menggandeng Lusie pergi. Seluruh perhatian mengarah pada mereka. Beberapa sengaja mengambil gambar dan mengunggahnya ke sosial media. Komentar mulai berdatangan. Mereka mempertanyakan kehadiran Hero yang tiba-tiba membawa Lusie pergi.Sementara itu, Farel dan Falery menatap dari jauh. Mereka belum tahu apa yang sedang terjadi. Karena Lusie tak pernah berbicara jika ia memiliki hubungan dengan Hero. Falery merasa terkhianati. Selama ini ia mengidolakan Hero, tetapi Lusie tak pernah berbicara apapun tentang hubungan intimnya dengan Kapten tersebut.Farel hanya menatap dengan wajah sedikit muram. Ia mengepalkan tangan ketika melihat tangan Lusie dan Hero yang saling bertaut. Ada gemuruh yang menjalar di dadanya. Seperti gas yang disulut api. Lusie sendiri hanya pasrah ketika Hero memasukkannya ke dalam mobil. Mereka mengendarai mobil dan meninggalkan aula sekolah. Lusie belum pernah setakut ini. Hero menyetir sambil sesekali melirik Lusie yang gamang.“Apakah ayah baik-baik saja?”Hero menggeleng. “Tidak tahu, pagi ini aku melihatnya pingsan di depan rumah. Kakakmu sudah pergi ke Rusia petang tadi, bukan? Sebab itu aku segera memanggil ambulan dan menjemputmu pulang. Kita akan tahu keadaannya setelah bertemu dokter.”Lusie menangkup wajahnya dengan tangah. Oh Tuhan, semoga ayahnya baik-baik saja. Lusie tidak mengetahui sejauh apa sakit yang selama ini diderita ayahnya. Hero hendak mengelus punggung Lusie yang bergerak naik turun menahan tangis. Namun tangan Hero hanya mengambang di udara. Hanya butuh beberapa senti saja untuk melakukan sentuhan. Namun Hero menarik tangannya kembali dan fokus menyetir.***Hero membuka pintu untuk Lusie usai mereka tiba di rumah sakit. Lusie bergegas berlari menuju ruang ICU tempat Eric dirawat. Lusie meletakkan tangannya di jendela kaca sebab ia dilarang masuk. Eric terbaring di atas ranjang dengan selang infus dan alat bantu pernapasan. Lusie merasa de javu. Ini adalah pemandangan yang sama seperti sepuluh tahu yang lalu. Saat ia masih terlalu kecil untuk memahami jika keadaan ibunya sedang tidak baik-baik saja.Lusie sangat berharap jika Tuhan berbaik hati memberikan pertolongan untuh Eric. Ia adalah satu-satunya keluarga yang Lusie miliki selain Isabella. Tak ada orang lain yang sudi berbicara dan mendengarkan cerita Lusie selain ayahnya.Ketika orang lain memandang Lusie sebagai anak pelacur rendahan, ayahnya berdiri tegap membawa muka garang agar mereka berhenti menjelekkan dan menyakiti Lusie. Ada banyak hal yang belum bisa Lusie berikan pada Eric. Kini, ia berharap jika Tuhan masih memberikan Eric umur yang panjang.“Keluarga dari tuan Agatha?”“Ya, itu saya suster!”“Silakan masuk, dokter ingin bertemu dengan Anda.”“Baik, Sus.”Lusie mengekori suster masuk ke dalam ruang. Sementara itu Hero menatap Lusie dengan iba. Ia tidak tahu jika gadis ceriwis yang ceplas-ceplos itu bisa tampak sangan lemah sekarang. Ia jadi ingat dengan Anea. Apakah Anea akan melakukan hal yang sama ketika ia jatuh sakit?Di sisi lain, Lusie tengah berhadapan dengan dokter yang menangani Eric. “Anda Lusie Agatha?”“Benar, dok.”“Seperti yang diceritakan tuan Eric, Anda sangat cantik dan manis. Pasti banyak orang-orang yang menyukai Anda.”Tidak seperti itu. Lusie hanya membalas dengan senyuman. Sejak kecil tak ada yang mau berteman dengan anak wanita perebut istri orang. Ia selalu dikucilkan dan dianggap sebagai peri hitam yang jahat.“Apakah itu berarti ayah sudah sering ke rumah sakit?”“Ya, seperti itu. Ayah Anda memiliki riwayat penyakit jantung yang sudah sangat kronis. Satu-satunya jalan adalah cangkok jantung. Namun itu bukan hal yang mudah. Saya yakin tuan Eric tak memiliki masalah keuangan. Hanya saja sangat sulit mencari jantung yang bisa didonorkan. Jika berjumpa, belum tentu cocok. Sebab itu ia tidak ingin lagi mencari. Tuan Eric ingin berbicara dengan Anda setelah saya memberi tahu kondisinya.”Lusie mengusap ujung matanya. Selama ini ia terlalu kurang ajar mengabaikan seruan Eric. Lihatlah? Lelaki tua yang tampak garang itu ternyata memendam sesuatu yang sangat besar. Lusie tergugu hingga bahunya bergerak naik turun.Lusie berjalan pasrah ketika suster membawanya kepada Eric. Disana, Hero ikut membantu dan mendudukkan Lusie di samping Eric. Dengan wajah yang sayu, Eric mengenggam tangan Lusie.“Anakku, Lusie. Ketika dunia menganggapmu sebagai kesalahan, bukan berarti kau diam dan menangis di sudut ruang. Bukan salahmu lahir di dunia, sayang. Kau berhak bahagia dengan hidupmu. Selamanya aku akan selalu mencintaimu sebagai ayahmu.”“Ayah, berbicaralah seperti biasa. Ini bukan dirimu yang biasanya menganggapku sebagai tawanan dan tahanan.”Eric tertawa renyah. Suara tawa itu justru menyayat hati Lusie. Sebab Lusie tahu, tidak selamanya tawa itu akan selalu ia dengar.“Mungkin jatah hidup ayah tidak akan lama.”“Ayah, apa yang kau bicarakan!”“Lusie, kakakmu Isabella selalu mencintaimu dengan cara yang sulit kau pahami. Ia wanita yang mandiri, jadi aku tak perlu terlalu khawatir tentang hidupnya. Namun denganmu, aku ingin agar kau dijaga oleh seseorang sebelum aku pergi.”“Ayah ….”“Lusie, menikahlah. Aku menerima Hero sebagai calon suamimu. Aku harap, engkau mau menerima permintaan terakhirku ini.”“Ayah!”“Ya, Lusie. Engkau dan Hero, aku merestui kalian.”Eric tak pernah meminta banyak hal pada Lusie. Ia hanya ingin Lusie menjalani hidupnya dengan benar. Seperti sekolah tepat waktu, tidak pulang terlambat, dan pergi dengan orang yang mau menjaganya.Hari ini Eric meminta sesuatu yang besar. Meskipun Lusie sangat menyukai Hero, tetapi menikah bukan lah suatu hal yang ia inginkan. Lusie bahkan tidak tahu apakah ia hanya suka atau kagum saja.Hero tidak banya berbicara. Sesekali ia hanya melirik Lusie lalu membuang muka. Semua itu terjadi terlalu singkat. Lusie tidak bisa mengelak, bahkan jika ia bisa. Eric terlalu lemah untuk ia bantah.Seminggu setelah itu acara pernikah dibuka secara privat. Hanya beberapa keluarga besar saja yang datang. Minus Isabella sebab ia masih mengadakan tur luar negeri. Tentu saja jika ia sempat ia tak akan datang. Media akan berdatangan dan membuka kehidupan Isabella yang sesungguhnya.Lusie masih diperbolehkan sekolah dengan berbagai diskusi panjang yang harus i
Hero menyapu bersih area mulut usai memakan sarapan pagi. Ia menatao Lusie dan Anea yang bersiap pergi ke sekolah dengan tas merah jambu yang sudah mereka tenteng. Melihat keduanya Hero justru merasa jika ia adalah ayah dari dua gadis tersebut.“Papa, apakah kau memiliki waktu untuk mengantar kami?”“Apa yang kau katakan, Anea? Tentu saja papa punya!” Lusie menyerobot jawaban Hero.Anea menoleh ke arah Hero dengan wajah sumringah. Hero menenteng koper besar yang sudah disiapkan pelayan rumah. Ia kembali mengenakan kacamata hitam dan berjalan ke arah Anea.“Tidak. Papa sangat sibuk hari ini. Mama Lusie akan mengantarmu ke sekolah.”Hero menunduk mensejajari tinggi Anea. Ia mengecup kening Anea yang kini mengerut sedih. Hero seakan tidak peka dengan perasaan Anea. Ia berjalan ke arah mobil putih yang terparkir di pekarangan.Lusie menyusul Hero dan menahan tangan Hero yang hendak membuka pintu mobil. Hero me
“Selamat sore, Kap.”“Sore, Kap.”“Hai, Kapten.”Sekumpulan wanita dengan seragam elegan maskapai penerbangan berkerumun di area bangku tunggu. Mereka tak henti-hentinya mencuri pandang pada seorang lelaki berseragam Pilot, Hero Louis.Seorang anak dari konglomerat di Korea yang memilih karir menjadi seorang pilot. Pesonanya tidak bisa disingkirkan dari kepala begitu saja. Menghantui seperti roh penasaran yang bergentayangan meminta pertanggung jawaban.Hero dengan santai tersenyum membalas sapaan para pramugari di maskapainya. Ia tidak tahu jika efek senyuman itu bisa meruntuhkan dinding keras yang selama ini mereka bangun untuk melindungi diri. Pikiran mereka menjadi liar jika Hero sudah mengeluarkan jurus handalnya, mengerling.“Aku tidak tahan dengan senyumannya.”“Kapten Hero, milikilah aku. Ah, sungguh aku rela memberikannya untukmu.”“Apa kau gila? Meskipun aku sangat menyukainya aku tidak aka
Jendela dengan dua pintu di dekat balkon terbuka lebar. Gorden putih yang menjuntai menyapu lantai beterbangan tersapu angin malam. Di tepi balkon Lusie menyendiri dengan segala pemikiran yang silih berganti menyerang kepalanya.Dua jam yang lalu ia ditinggalkan Hero usai diperlukakan seperti perempuan yang memperjual belikan tubuhnya untuk dinikamati. Padahal Lusie adalah istri sahnya, tidak peduli bagaimana pun pernikahan mereka berawal, Hero seharusnya memperlakukan ia selayaknya perempuan yang sudah ia nikahi.Mata Lusie memanas ketika melihat dari lantai bawah seorang perempuan keluar dari mobil membopong Hero dengan jalan terseok-seok. Astaga, itu Marina! Supermodel itu datang ke rumahnya saat pagi hampir tiba.Walaupun Lusie tidak begitu mencintai Hero, tetapi hatinya tetap merasa tersayat ketika seseorang yang seharusnya ada di sebelahnya saat ini pulang dalam kondisi setengah sadar dengan perempuan lain.&ldquo
Pagi ini Lusie sibuk mengurus keperluan Anea yang hendak pergi tour ke museum. Ia bahkan meninggalkan Hero yang masih tertidur sejak subuh tadi. Anea begitu bersemangat memakai ransel pink hadiah dari omanya. Selain membantu Anea, pagi ini Lusie juga harus berangkat ke rumah sakit. Sudah dua hari ia tidak mengunjungi Eric.Meskipun Lerry seorang dokter yang menangani Eric mengatakan kepada Lusie bahwa keadaan Eric semakin membaik dan ia tidak perlu datang. Lusie tetap saja bersikeras akan berkunjung.“Mama, dimana tumbler Anea?”“Ah, sebentar sayang. Marta, bawa tumbler di atas meja kemari.”Marta membungkuk sedikit. “Baik, nyonya.”Lusie menggendong Anea menuju kursi makan. Ia berencana tidak berangkat ke sekolah karena kasusnya harus diselesaikan terlebih dahulu. Lusie akan memanfaatkan momen ini untuk hal yang bermanfaat dengan bertemu Eric.“Anea di
Ding. Ponsel Hero berbunyi saat situasi membuat ia dan Lusie terdiam satu sama lain. Sepintas nama Marina tertangkap mata Lusie. Hero mengangkat panggilan dan tetap duduk di samping Lusie tanpa pergi seperti seorang suami yang hendak pergi dengan pacar gelapnya.“Aku sedang bersama seseorang.”“….”“Tidak, Marina.” Hero menoleh kepada Lusie. Hanya tatapan beberapa detik saja sebelum Hero kembali berbicara. “Kami hanya keluar.”“…."“Malam ini aku tidak bisa datang. Ada urusan yang masih harus aku tangani.”“….”“Marina, come on.”“….”“Baiklah. Tunggu aku nanti malam.”Hero mematikan ponsel. Dia tidak tahu jika malam ini Marina harus menghadapi operasi usus bantu. Mau tidak mau Hero harus meninggalkan Lusie.
Pukul tiga sore jadwal penerbangan Hero berakhir. Dia bersama Henry seorang co pilot barunya turun dari bagasi pesawat. Bersama dengan para pramugari yang kebetulan tengah berbincang di belakang mereka. Musim gugur di Swiss sebentar lagi akan berakhir, tetapi tak satu pun dari mereka menghabiskan liburan. Hero dan Henry memiliki alasan yang cukup klasik. Mereka hanya butuh klub, musik dan waktu beristirahat saja. Ketiga hal itu bisa jadi menggantikan momen liburan yang sering didambakan para pekerja lainnya. “Kapten, bagaimana jika sore ini kita menghabiskan waktu di restauran terlebih dahulu?” Ajakan Henry disambut meriah para pramugari. Wajar saja jika mereka senang dan antusias, karena Hero yang mereka kenal sulit untuk didekati dan membuat yang lain enggan mengajaknya. “Maaf, mungkin lain kali. Aku harus pergi ke rumah temanku sore ini.” “Wah, teman rupanya. Anda sangat setia sekali, Kapten.” Sadar jika Henry tahu makna teman yang
Entah sejak kapan Marina berdiri di teras rumah dengan memakai tudung kepala berwarna merah itu. Penampilannya seperti orang misterius yang ingin membunuh seseorang di dalam rumah besar. Marina mendekati Lusie yang baru saja akan keluar dengan Anea. “Ada perlu apa kau datang ke rumahku?” Marina membuka tudungnya. “Maaf, aku tidak berniat lancang Lusie. Aku hanya … kali ini aku hanya ingin bertemu dengan Anea.” “Tidak bisa.” Marina menyentuh dadanya. Seakan-akan ia terkejut dengan sikap Lusie barusan. Wanita itu membalikkan tubuh dan hendak pergi. Namun tangan Hero tiba-tiba datang mencegah Marina. Lusie sedikit syok dengan keberanian Hero menunjukkan sikap pembelaan kepada kekasihnya di depan Anea. “Aku akan mengantarmu.” Hero melirik Lusie sinis. “Elios akan menjadi pelayan utamamu sejak sekarang. Kau akan diantar olehnya.” Deg. Lusie hanya diam ketika Anea digendong Hero dan membawa serta Marina ke dalam Bugatti Chiron
Perban putih melilit tangan kanan Lusie. Ia membiarkan perawat perempuan yang nampak masih muda itu mengurus luka. Tangannya terlihat cekatan dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengganti.“Bukankah tadi itu kapten Hero?” Perawat itu membuka suara. Ia menyiapkan beberapa pil. Menyerahkan kepada Lusie dengan segelas air. “Sudah sangat lama aku tidak melihat artikel dan iklan tentangnya.”“Ya, dia suamiku.”Perawat dengan rambut yang digelung itu terdiam sejenak. Kemudian mengambil kembali gelas dan piring kecil tempat pil. Lusie baru saja menelan tiga buah pil itu dengan cepat.“Saya sangat iri, Anda beruntung bisa menikahi suami romantis seperti kapten. Selain itu, ia juga bertanggung jawab dan sangat setia. Saya menyaksikan sendiri, jika tiga hari selama Anda tertidur, kapten Hero terjaga di samping Anda.”“Apa dia … tidak tidur sampai sekarang ini?”“Soal itu, saya
Tiga hari sudah terlewati. Hero menunggu dengan cemas di samping ranjang besar. Menempatkan Lusie di ruang VIP agar perempuan itu mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ia embiarkan Lerry dan beberapa perawat yang mendampingi memeriksa keadaan Lusie. Tadinya rumah sakit sangat riuh karena teriakan Hero. Ia memanggil Lerry di sepanjang lorong dengan suara kencang hingga membuat pasien disana tidak nyaman.Lerry melepas stetoskop. Ia membiarkannya menggantung di leher. Hero sudah menantikan jawaban baik. Ia juga dapat melihat mata Lusie yang sudah terbuka. Meskipun belum ada suara, tetapi itu lebih baik daripada melihatnya terpejam seperti mayat.“Lullaby sudah pergi?”Lerry menghelas napas. “Jika bukan suami dari Lusie, kau mungkin sudah kuusir dari sini. Seharusnya kau menanyakan keadaan istrimu terlebih dahulu.”“Lalu bagaimana? Bukankah dia baik-baik saja?”“Lebih rumit dari yang ku kira. Temui aku setela
Hero duduk di kursi tunggu. Sudah dua jam berlalu semenjak Lusie dibawa ke rumah sakit. Ia sempat membuat Lerry syok. Namun tak berlangsung lama karena Lerry harus segera menanganinya. Kesadaran Lullaby hilang usai ia memberikan pertanyaan terakhir yang belum sempat Hero jawab.Seharusnya Hero senang akan hal ini. Bukankah ini yang ia harapkan? Menghilangkan perempuan itu dari hadapannya? Lullaby adalah alasan ia terjebak di pernikahan tanpa cinta ini. Sementara Lusie hanyalah wanita biasa yang tak sejajar dengan usia dan karirnya. Bagaimana bisa ada rasa untuk mempertahankan mereka?“Hero.”“Lerry?”Dokter muda itu duduk di sebelah Hero. Ia datang bersama para perawat yang sudah berlalu.“Lusie baik-baik saja, bukan?!”Lerry mengangguk. “Masa kritisnya sudah terlewat. Itu juga berkat kau yang membawanya tepat waktu.”“Kapan ia akan sadar?”“Mungkin esok pa
Bagi Hero Lusie mungkin sudah menjadi seseorang yang tak sengaja mengambil bagian dari hidupnya. Awalnya ia mengira gadis 18 tahun yang saat itu mengidolakannya akan menjadi perempuan yang akan sudi untuk memenuhi kenginan dari ayahnya. Sehingga Hero hanya menjalani hubungan tersebut tanpa arti yang berarti.Hingga ada hal yang sulit ia mengerti dengan berbagai alasan yang terangkai dalam kepala. Untuk apa ia menarik Lusie dari kerangkang lelaki lain yang ingin memberi sepilin perhatian dari mereka? Tanpa sadar Hero bahkan menjauhi Lusie untuk sebuah ketidakpastian yang ia miliki.Perasaan bingung mengendap dalam hati. Ia menepuk kepala berulang kali dan menatap dirinya dalam pantulan cermin. Mata biru itu menatap tajam dengan bulu mata lentik yang kontras dengan alis tebalnya. Lagi-lagi bayangan itu menghampiri dirinya. Seperti sebuah sapaan yang tak pernah bosan untuk datang.“Kamu tidak makan?”“Hero?”Hero melangkah masu
Ujian berakhir pada pukul dua siang. Sama seperti siswa lainnya Lusie ikut mengambil tas dan berangsur pulang melewati kerumunan siswa yang masih berbincang membahas soal ujian. Tidak Lusie sangka bahwa ujian terakhir di hari sekolah itu akan menjadi ujian pertama dalam pertemanannya.Tak ada Falery yang mengganggunya saat pulang. Bahkan Farel tak menyapa sedikit pun meskipun mereka berada dalam kelas yang sama. Ini mengingatkan Lusie saat awal ia masuk sekolah formal di masa kecil. Tak ada yang mau mendekatinya karena takut akan dipukul Lusie.Sejak itu Lusie takut untuk berangkat ke sekolah. Bukan sebab dijauhi, tetapi pada faktanya ia lebih takut pada dirinya sendiri yang membawa ancaman untuk orang lain. Lusie menyadari setiap ia berkelahi satu diantara temannya akan berakhir di rumah sakit. Tak ada yang tahu darimana mereka berakhir seperti itu. Sebab Lusie tak pernah mengakui bahwa ia menyiksa temannya.Masa sulit itu kini sudah terlewat. Lusie mencoba unt
Langit menggelap—membawa gulungan awan hitam. Dari sana rintik hujan mulai berjatuhan. Bertemu dan menyapa bumi. Gemericiknya memecah keheningan. Mengetuk-ngetuk atap, pohon, juga bus yang melintas.Di tengah rintik hujan itu Hero tersadar. Bahwa bayangan Lusie hanyalah ilusi yang tak sengaja muncul di kepalanya. Nyatanya, itu hanyalah seorang anak SMA biasa yang menumpang duduk di sebelah.Hero memasang wajah dingin seperti tak mau disentuh dan diganggu oleh siapa pun. Ia menatap jendela, yang perlahan juga ikut terguyur air hujan. Meninggalkan bekas embun dan mengaburkan pandangan.Bus berhenti di halte kawasan A. Hero turun bergatian dengan para penumpang lainnya. Sementara itu, ia lupa membawa payung. Hero sengaja berjalan tanpa payung dan menikmati sentuhan rintik hujan.Entah kapan terakhir kali ia berjalan di bawah hujan seperti ini. Sejak SMA Hero sudah sulit untuk menemukan kebahagiannya. Fakta bahwa ia jarang bermain seperti anak biasa mem
Di depan gerbang sebuah mobil putih terparkir. Seorang lelaki dengan kulit cerahnya berdiri di samping mobil. Pemandangan itu cukup menarik perhatian penghuni kompleks yang hendak pergi beraktivitas.Dia Farel. Lelaki itu tidak datang sendiri. Bersama Falery ia terpaksa menunggu Lusie keluar. Falery satu-satunya orang yang tidak akan mundur meskipun Farel sering menggertaknya. Hanya saja saat ini situasi cukup sulit untuk mengiyakan ajakan gadis cerewet itu.“Lusie!!!” Falery melambai ketika melihat Lusie yang baru muncul.Lusie nampak terkejut ketika melihat Farel yang ikut bersamanya. Untungnya Falery memberi kabar saat akan tiba. Meskipun cukup melelahkan harus berbolak-balik tempat, tetapi Lusie menikmati proses itu. Farel juga tak banyak berbicara.“Lama sekali! Kau ngapain sih?”“Aku tadi sakit perut, maaf.”Falery membuang napas kesal, “Baiklah, ayo berangkat. Hei Farel, kau tidak menyapa Lusi
Matahari menembus celah-celah tirai. Lusie membuka mata perlahan ketika menyadari jika cahaya itu sudah menggantikan malam sepinya. Ia terbangun dan bersiap untuk ujian terakhir hari ini. Di lihat berapa kali pun, tetap saja kosong. Tak ada manusia tinggi yang biasanya muncul dari balik kamar mandi dan membuatnya malu.Sepertinya hari libur Hero sudah usai. Ia mungkin akan muncul setelah Lusie selesai ujian. Hari itu Anea akan datang dan membuat suasana kembali ramai. Ya, tentu saja. Bukankah Anea adalah alasan Hero mau menikahinya?Lusie memakai seragam dan menyiapkan segala halnya seorang diri. Ia tidak terlalu terburu-buru karena hari ini beruntung bangun lebih awal. Dia tidak akan berpikir terlalu panjang mengenai hilangnya Hero.Lusie mengambil tas dan bersiap turun ke bawah. Marta muncul di meja makan dan menunduk sekilas, memberi salam. Lusie mengangguk sambil mengambil tempat duduk. Hidangan pagi itu sup kacang dengan irisan telur.“Marta, a
Farel mendorong Lusie masuk ke dalam unit kesehatan sekolah. Ia adalah ketua dari pengelola ruang itu. Dengan segera Farel menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Farel menghampiri Lusie yang duduk di atas banker.Gadis itu terlihat sangat tenang. Bahkan lebih tenang dari Lusie yang biasanya menampilkan ekspresi itu ketika melukis. Farel membuka tangan Lusie dan melihat beberapa helai rambut yang digenggamnya.‘Itu pasti milik gadis-gadis tadi.’ Farel membatin.“Kalau kau terus bersikap seperti ini, kau bisa-bisa dikeluarkan sebelum wisuda,” kata Farel, sambil membersihkan tangan Lusie dengan tisu basah.“Jadi, kau masih perhatian kepada gadis ini?”Farel menatap Lusie. Seakan-akan Lusie mengomentari dirinya sendiri.“Anggap saja seperti itu.”“Jangan terlalu menggantungkan harapan terlalu tinggi kepada manusia. Kau akan merasa hidup tapi mati ketika harapanmu tak sesuai dengan t