Eric tak pernah meminta banyak hal pada Lusie. Ia hanya ingin Lusie menjalani hidupnya dengan benar. Seperti sekolah tepat waktu, tidak pulang terlambat, dan pergi dengan orang yang mau menjaganya.
Hari ini Eric meminta sesuatu yang besar. Meskipun Lusie sangat menyukai Hero, tetapi menikah bukan lah suatu hal yang ia inginkan. Lusie bahkan tidak tahu apakah ia hanya suka atau kagum saja. Hero tidak banya berbicara. Sesekali ia hanya melirik Lusie lalu membuang muka. Semua itu terjadi terlalu singkat. Lusie tidak bisa mengelak, bahkan jika ia bisa. Eric terlalu lemah untuk ia bantah.Seminggu setelah itu acara pernikah dibuka secara privat. Hanya beberapa keluarga besar saja yang datang. Minus Isabella sebab ia masih mengadakan tur luar negeri. Tentu saja jika ia sempat ia tak akan datang. Media akan berdatangan dan membuka kehidupan Isabella yang sesungguhnya.Lusie masih diperbolehkan sekolah dengan berbagai diskusi panjang yang harus ia lewati. Tak ada satu pun temannya yang tahu, termasuk Farel dan Falery. Hanya beberapa petinggi sekolah saja yang datang. Mereka hadir karena orangtua Hero yang berpengaruh dalam donasi di sekolah.Hero dengan jas hitam dan dasi putih menggandeng Lusie. Mereka berdiri di atas kursi megah usai mengucap ikrar sakral. Di hadapan para hadirin, Hero telah meresmikah Lusie sebagai istri sahnya.Lusie menatap Eric dari kejauhan. Ayahnya memakai kursi roda dengan bantuan alat infus. Lusie berterimakasih pada Tuhan karena di hari pernikahnnya ia masih melihat Eric disana.Pesta sederhana itu rampung di tengah malam. Lusie amat kelelahan setelah melewati berbagai rangkaian cara. Ia menyikap dahinya yang berkeringat. Entah berapa kali jepretan foto diambil. Lusie melenguhkan napas.Lelah yang menerpa dirinya membuat Lusie langsung berbaring ke atas ranjang. Ia belum membersihkan diri. Gaun emasnya tersibak memenuhi kasur. Bahkan beberapa kelopak bunga mawar menyingkir dengan sendirinya.Krak. Ceklek. Pintu terbuka kemudian tertutup. Seseorang sudah menguncinya. Lusie tahu siapa yang datang dan ia berpura-pura menutup mata. “Jika kau ingin tidur disini, setidaknya bersihkan dirimu.”Lusie. “…”“Apakah aku perlu memandikan istriku di malam pertama?”“Heh! Jangan coba-coba, ya!”Hero mencebik. “Kau pikir aku serius? Dasar jorok!”Lusie menggembungkan pipi. Belum pernah dalam hidupnya seseorang mengomentari dengan nada sedingin itu. Hero berjalan ke arah kamar mandi. Lusie masih berbaring di atas kasur dan segera bangun.Lusie membuka pintu kamar mandi karena ia kesal dengan umpatan Hero. Namun, ia justru melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat dalam hidup. Lusie berteriak keras, begitu pula dengan Hero. Lusie menutup wajahnya. “Aaaaaa, sialan! Kenapa kau tidak memakai bajumu bodoh!”“Dasar kurang ajar! Beraninya kau masuk tanpa seizinku!”“Seharusnya kau mengunci pintu kamar mandi ini!”Hero sadar jika ini adalah kamarnya. Ia sengaja tidak memasang kunci karena selama ini hanya ia yang ada di dalam ruangan itu. Kini Hero mengutuk keras dirinya karena tidak terlalu memperhatikan setiap sudut di kamar.Hero mendorong Lusie pergi. Tangan Hero mengarah ke bahu Lusie. Namun karena keadaan lantai yang licin Hero justru tergelincir dan menarik Lusie ke dalam bak mandi bersamanya.Lusie merasakan sesuatu yang basah mengecup bibirnya. Ia terperangah ketika membuka mata. Hero dengan matanya yang sayu tengah menyentuh Lusie. Tangan Hero mengukung tubuh Lusie dalam bak mandi.“He-hero.”“Diamlah, Lus.”Hero membuka gaun Lusie dengan perlahan. Sontak tangan Lusie segera menutup area dadanya.“Kau harus ingat jika aku ini masih sekolah!”“Tapi kau sudah menjadi istriku."Lusie bergetar ketika nada suara Hero berubah menjadi dalam. Apakah dengan masuknya Lusie dengan keadaan seperti ini sudah membuat Hero berubah? Lusie hendak pergi, tetapi Hero kembali menarik tangannya.“Aku tidak akan melewatkan malam ini.”Lusie terperangah ketika Hero membuka paksa gaunnya dan menyiram Lusie dengan air hangat dari shower. Hero membawa Lusie ke atas ranjang dengan keadaan telanjang. Keduanya bergemul di tengah malam. Meskipun Lusie awalnya menolak, tetapi ia menikmati setiap sentuhan Hero di dalam dirinya.Lusie menahan napas ketika Hero benar-benar menanamkan kehidupan di dalam dirinya. Ia tersenyum lega melihat Hero menjatuhkan dirinya di atas dada Lusie. Malam ini, Hero benar-benar memiliki Lusie seutuhnya.***Lusie berlari di tengah gurun. Ia terjatuh dan memandang ke arah kerumunan dengan wajah penuh kemenangan yang tengah menatapnya remeh. Mereka menuding-nuding Lusie dan sesekali menarik rambut Lusie.“Wanita pelacur selamanya akan menjadi pelacur!”“Dasar wanita desa rendahan!”“Matilah kau bangkai sialan!”Lusie menarik napasnya dalam. Ia membuka mata dengan napas yang terdengar tak teratur. Lusie melirik sekeliling. Ini hanya sebuah mimpi. Ya, mimpi yang sama setiap ia mengalami mimpi buruk. Namun, seingat Lusie kejadian dengan Hero semalam sangat nyata. Ia menoleh ke samping, tak ada Hero di sebelahnya. Lusie menyibak selimut. Ia merona merah ketika melihat bercak darah dan dirinya yang tak berhelai benang satu pun.Lusie manarik piyama putih dan menutupi dirinya yang telanjang. Lusie mengernyit ketika menemui sebuah kertas dengan pita merah ada di atas meja. Lusie hendak membuka kertas itu.Lusie berjalan ke arah balkon. Barangkali Hero sedang mandi dan akan canggung rasanya ketika ia bertemu dan menatap wajah Hero setelah adegan panas semalam. Lusie merasa terkalahkan dengan pesona Hero.Sayangku, Hero Terimakasih sudah rela menikahi gadis itu. Selamanya, aku akan tetap mencintaimu dalam keadaan apapun. Kau telah membuat keputusan yang tepat dengan kakek tua yang menyedihkan itu, Hero. Semoga kau menikmati hadiahku. Terimakasih untuk segalanya. Aku ingin kau selalu ingat akan cinta kita.Salam manisku, Marina SolvertLusie menjatuhkan surat itu. Ia menutup mulutnya—membayangkan jika semalam ia hanyalah sebuah boneka yang dikendalikan tuannya. Lusie berlari ke arah kamar mandi. Ia tak menemui Hero di sana. Lusie bergegas mengganti baju dan segera turun ke bawah.Lusie menemui Anea yang sedang sarapan pagi seorang diri dengan boneka beruang coklat di sebelah. Ia mendekati Anea dan bergabung di meja makan.“Kemana semua orang, sayang?”“Opa dan Oma sudah pergi. Apakah Papa tidak memberitahukannya pada Mama?”Darah Lusie berdesir ketika Anea memanggilnya dengan sebutan Mama. Ia mengelus rambut Anea dan tersenyum. “Bagaimana dengan Papa?”“Papa pergi dengan tante Marina.”Deg! Lusie kini ingat siapa Marina. Segera Lusie mencoba menelpon Hero. Satu kali telponnya tidak diangkat. Untuk kedua kalinya, Hero mematikan telpon Lusie. Darah Lusie seakan menjadi mendidih. “Apakah Marina sering datang kemari?”“Tidak juga. Anea belum pernah bertemu dengannya. Karena papa selalu melarang kami untuk bertemu.”Lusie bergerak gelisah. Ia meninggalkan Anea dengan roti selai kacang dan boneka beruang coklat. Lusie berjalan ke arah teras dengan gaun putih dan rambut yang terurai. Seharusnya pagi ini ia masih harus berangkat ke sekolah. Masih ada waktu, tetapi Lusie ingin bertemu dengan Hero lebih dulu.Bram. Mobil putih dengan sentuhan klasik masuk ke dalam pekarangan. Lusie melemaskan tangannya yang kaku. Ia menunggu seseorang keluar dari mobil itu. Seorang lelaki, dengan seragam putih dan topi khas pilot.Dia Hero Louis. Ia berjalan santai dengan kacamata hitam menuju ke arah Lusie. Tak ingin lama menunggu, Lusie bergegas menghampiri Hero sambil menunjukkan surat dengan pita merah. Hero tidak bereaksi apapun.“Katakan apa yang dimaksud di dalam surat ini, Hero!”Hero melepas kacamata hitamnya. Matanya yang hitam dengan alis tebal menukik tajam. “Kau pikir aku rela menikahi gadis bodoh dan ceroboh sepertimu?”Lusie menjatuhkan bahunya.“Dengar Lusie, orangtuaku selalu menuntut ibu untu Anea. Sementara kekasihku seorang model yang tidak bisa kunikahi sekarang karena profesinya. Kemudian, ayahmu memohon-mohon agar aku menikahimu. Ku pikir, semua kebenaran ini bisa kau terima dengan mudah.”“Apa?! Lantas, apa yang kau lakukan semalam denganku, brengsek!”“Aku pria dewasa yang sudah memiliki anak dan kau gadis muda yang masih sangat lugu. Awalnya aku pikir aku tak mungkin tergoda dengan tubuhmu. Namun kau datang menyerahkan diri. Bagaimana aku bisa menolak?”Lusie menahan gemuruh di dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lantas memeluk Hero dengan erat. Lusie meletakkan kepalanya di dada Hero. Ada suara degup jantung yang kencang berdetak.“Jika kau tidak mencintaiku, setidaknya perlakukan aku dan keluargaku dengan baik.”Lusie mengendurkan tangan. Ia tersenyum simpul, menarik tangan Hero ke dalam rumah. Anea berlari menerjang kaki Lusie. Ia sudah memakai seragam sekolah. Kecantikan Anea benar-benar membuat Lusie gemas.Ketika Lusie sibuk membawa Anea ke dalam kamar, Hero termenung di tempat. Ia tidak tahu mengapa Lusie tidak melanjutkan amarahnya. Ia bertindak seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.“Hero, aku akan menyusul setelah bersiap dengan seragamku.”Suara Lusie bergema. Ia turun sepuluh menit kemudian dengan seragam sekolah bersama Anea yang dituntun. Lusie duduk di sebelah Hero yang masih belum menyentuh makanannya.“Mama, hari ini papa harus bekerja lagi, ya?”Lusie menyelipkan rambut Anea. “Ehm, sepertinya. Tidak apa, kan ada mama di rumah.”“Dan ada teddy juga!”Anea memamerkan boneka beruangan coklat miliknya kepada Lusie. Hero mencebik melihat Lusie yang mudah beradaptasi. Ia menyentuh rotinya, tetapi urung ia makan setelah ponselnya berdering. Nama Mariana terpampang jelas disana.Slap. Lusie merebut ponsel Hero dan berbicara dengan Mariana.“Maaf, suamiku sedang sibuk dengan keluarganya. Jika kau ada perlu, silakan datang ke rumah dan mari bertemu.”Tit. Lusie meletakkan ponsel Hero dan kembali bermain dengan Anea. Hero menatap Lusie, bukan sebuah tatapan tajam yang hendak menerkam. Melainkan sesuatu yang belum pernah ia rasakan semenjak ia duduk di bangku SMA tempo dulu dan mendapatkan Anea sebagai gadis kecilnya yang polos. Tatapan keraguan diantara benci dan menerima kehadiran sosok baru dalam hidupnya.Hero menyapu bersih area mulut usai memakan sarapan pagi. Ia menatao Lusie dan Anea yang bersiap pergi ke sekolah dengan tas merah jambu yang sudah mereka tenteng. Melihat keduanya Hero justru merasa jika ia adalah ayah dari dua gadis tersebut.“Papa, apakah kau memiliki waktu untuk mengantar kami?”“Apa yang kau katakan, Anea? Tentu saja papa punya!” Lusie menyerobot jawaban Hero.Anea menoleh ke arah Hero dengan wajah sumringah. Hero menenteng koper besar yang sudah disiapkan pelayan rumah. Ia kembali mengenakan kacamata hitam dan berjalan ke arah Anea.“Tidak. Papa sangat sibuk hari ini. Mama Lusie akan mengantarmu ke sekolah.”Hero menunduk mensejajari tinggi Anea. Ia mengecup kening Anea yang kini mengerut sedih. Hero seakan tidak peka dengan perasaan Anea. Ia berjalan ke arah mobil putih yang terparkir di pekarangan.Lusie menyusul Hero dan menahan tangan Hero yang hendak membuka pintu mobil. Hero me
“Selamat sore, Kap.”“Sore, Kap.”“Hai, Kapten.”Sekumpulan wanita dengan seragam elegan maskapai penerbangan berkerumun di area bangku tunggu. Mereka tak henti-hentinya mencuri pandang pada seorang lelaki berseragam Pilot, Hero Louis.Seorang anak dari konglomerat di Korea yang memilih karir menjadi seorang pilot. Pesonanya tidak bisa disingkirkan dari kepala begitu saja. Menghantui seperti roh penasaran yang bergentayangan meminta pertanggung jawaban.Hero dengan santai tersenyum membalas sapaan para pramugari di maskapainya. Ia tidak tahu jika efek senyuman itu bisa meruntuhkan dinding keras yang selama ini mereka bangun untuk melindungi diri. Pikiran mereka menjadi liar jika Hero sudah mengeluarkan jurus handalnya, mengerling.“Aku tidak tahan dengan senyumannya.”“Kapten Hero, milikilah aku. Ah, sungguh aku rela memberikannya untukmu.”“Apa kau gila? Meskipun aku sangat menyukainya aku tidak aka
Jendela dengan dua pintu di dekat balkon terbuka lebar. Gorden putih yang menjuntai menyapu lantai beterbangan tersapu angin malam. Di tepi balkon Lusie menyendiri dengan segala pemikiran yang silih berganti menyerang kepalanya.Dua jam yang lalu ia ditinggalkan Hero usai diperlukakan seperti perempuan yang memperjual belikan tubuhnya untuk dinikamati. Padahal Lusie adalah istri sahnya, tidak peduli bagaimana pun pernikahan mereka berawal, Hero seharusnya memperlakukan ia selayaknya perempuan yang sudah ia nikahi.Mata Lusie memanas ketika melihat dari lantai bawah seorang perempuan keluar dari mobil membopong Hero dengan jalan terseok-seok. Astaga, itu Marina! Supermodel itu datang ke rumahnya saat pagi hampir tiba.Walaupun Lusie tidak begitu mencintai Hero, tetapi hatinya tetap merasa tersayat ketika seseorang yang seharusnya ada di sebelahnya saat ini pulang dalam kondisi setengah sadar dengan perempuan lain.&ldquo
Pagi ini Lusie sibuk mengurus keperluan Anea yang hendak pergi tour ke museum. Ia bahkan meninggalkan Hero yang masih tertidur sejak subuh tadi. Anea begitu bersemangat memakai ransel pink hadiah dari omanya. Selain membantu Anea, pagi ini Lusie juga harus berangkat ke rumah sakit. Sudah dua hari ia tidak mengunjungi Eric.Meskipun Lerry seorang dokter yang menangani Eric mengatakan kepada Lusie bahwa keadaan Eric semakin membaik dan ia tidak perlu datang. Lusie tetap saja bersikeras akan berkunjung.“Mama, dimana tumbler Anea?”“Ah, sebentar sayang. Marta, bawa tumbler di atas meja kemari.”Marta membungkuk sedikit. “Baik, nyonya.”Lusie menggendong Anea menuju kursi makan. Ia berencana tidak berangkat ke sekolah karena kasusnya harus diselesaikan terlebih dahulu. Lusie akan memanfaatkan momen ini untuk hal yang bermanfaat dengan bertemu Eric.“Anea di
Ding. Ponsel Hero berbunyi saat situasi membuat ia dan Lusie terdiam satu sama lain. Sepintas nama Marina tertangkap mata Lusie. Hero mengangkat panggilan dan tetap duduk di samping Lusie tanpa pergi seperti seorang suami yang hendak pergi dengan pacar gelapnya.“Aku sedang bersama seseorang.”“….”“Tidak, Marina.” Hero menoleh kepada Lusie. Hanya tatapan beberapa detik saja sebelum Hero kembali berbicara. “Kami hanya keluar.”“…."“Malam ini aku tidak bisa datang. Ada urusan yang masih harus aku tangani.”“….”“Marina, come on.”“….”“Baiklah. Tunggu aku nanti malam.”Hero mematikan ponsel. Dia tidak tahu jika malam ini Marina harus menghadapi operasi usus bantu. Mau tidak mau Hero harus meninggalkan Lusie.
Pukul tiga sore jadwal penerbangan Hero berakhir. Dia bersama Henry seorang co pilot barunya turun dari bagasi pesawat. Bersama dengan para pramugari yang kebetulan tengah berbincang di belakang mereka. Musim gugur di Swiss sebentar lagi akan berakhir, tetapi tak satu pun dari mereka menghabiskan liburan. Hero dan Henry memiliki alasan yang cukup klasik. Mereka hanya butuh klub, musik dan waktu beristirahat saja. Ketiga hal itu bisa jadi menggantikan momen liburan yang sering didambakan para pekerja lainnya. “Kapten, bagaimana jika sore ini kita menghabiskan waktu di restauran terlebih dahulu?” Ajakan Henry disambut meriah para pramugari. Wajar saja jika mereka senang dan antusias, karena Hero yang mereka kenal sulit untuk didekati dan membuat yang lain enggan mengajaknya. “Maaf, mungkin lain kali. Aku harus pergi ke rumah temanku sore ini.” “Wah, teman rupanya. Anda sangat setia sekali, Kapten.” Sadar jika Henry tahu makna teman yang
Entah sejak kapan Marina berdiri di teras rumah dengan memakai tudung kepala berwarna merah itu. Penampilannya seperti orang misterius yang ingin membunuh seseorang di dalam rumah besar. Marina mendekati Lusie yang baru saja akan keluar dengan Anea. “Ada perlu apa kau datang ke rumahku?” Marina membuka tudungnya. “Maaf, aku tidak berniat lancang Lusie. Aku hanya … kali ini aku hanya ingin bertemu dengan Anea.” “Tidak bisa.” Marina menyentuh dadanya. Seakan-akan ia terkejut dengan sikap Lusie barusan. Wanita itu membalikkan tubuh dan hendak pergi. Namun tangan Hero tiba-tiba datang mencegah Marina. Lusie sedikit syok dengan keberanian Hero menunjukkan sikap pembelaan kepada kekasihnya di depan Anea. “Aku akan mengantarmu.” Hero melirik Lusie sinis. “Elios akan menjadi pelayan utamamu sejak sekarang. Kau akan diantar olehnya.” Deg. Lusie hanya diam ketika Anea digendong Hero dan membawa serta Marina ke dalam Bugatti Chiron
Matahari menyisiri kulit Lusie yang tengah berjemur di tepi kolam renang. Siang ini ia dibebastugaskan oleh Hero dari tugasnya mengasuh Anea. Bisa dikatakan, kehadiran Lusie di rumah Hero sebagai kepala tinggi dari pengasuhan anaknya.Lusie tidak peduli. Meskipun saat ini ia belum bisa menemui Eric, tetapi tetap saja ia harus membuat Eric tetap bertahan hidup dan membuatnya bahagia dengan menuruti apa yang dia inginkan.Jika dipikir ulang, apakah Lusie tidak terlalu baik? Dia memenuhi keinginan orang lain dan menomorduakan dirinya. Bahkan untuk saat ini Lusie tidak lagi menyentuh cat dan kanvas. Dia tidak mengetahui bagaimana dirinya bisa membuat sesuatu yang dulunya amat ia sukai tergantikan dengan suguhan kesibukannya hari ini.“Kau akan membuat kulitmu terbakar jika berbaring di sana seharian.”Byur. Selalu saja seperti itu. Mengapa kehadiran Hero bisa memacu jantungnya berdegup lebih kencang? Hero muncul di permukaan setelah tadi menceburk
Perban putih melilit tangan kanan Lusie. Ia membiarkan perawat perempuan yang nampak masih muda itu mengurus luka. Tangannya terlihat cekatan dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengganti.“Bukankah tadi itu kapten Hero?” Perawat itu membuka suara. Ia menyiapkan beberapa pil. Menyerahkan kepada Lusie dengan segelas air. “Sudah sangat lama aku tidak melihat artikel dan iklan tentangnya.”“Ya, dia suamiku.”Perawat dengan rambut yang digelung itu terdiam sejenak. Kemudian mengambil kembali gelas dan piring kecil tempat pil. Lusie baru saja menelan tiga buah pil itu dengan cepat.“Saya sangat iri, Anda beruntung bisa menikahi suami romantis seperti kapten. Selain itu, ia juga bertanggung jawab dan sangat setia. Saya menyaksikan sendiri, jika tiga hari selama Anda tertidur, kapten Hero terjaga di samping Anda.”“Apa dia … tidak tidur sampai sekarang ini?”“Soal itu, saya
Tiga hari sudah terlewati. Hero menunggu dengan cemas di samping ranjang besar. Menempatkan Lusie di ruang VIP agar perempuan itu mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ia embiarkan Lerry dan beberapa perawat yang mendampingi memeriksa keadaan Lusie. Tadinya rumah sakit sangat riuh karena teriakan Hero. Ia memanggil Lerry di sepanjang lorong dengan suara kencang hingga membuat pasien disana tidak nyaman.Lerry melepas stetoskop. Ia membiarkannya menggantung di leher. Hero sudah menantikan jawaban baik. Ia juga dapat melihat mata Lusie yang sudah terbuka. Meskipun belum ada suara, tetapi itu lebih baik daripada melihatnya terpejam seperti mayat.“Lullaby sudah pergi?”Lerry menghelas napas. “Jika bukan suami dari Lusie, kau mungkin sudah kuusir dari sini. Seharusnya kau menanyakan keadaan istrimu terlebih dahulu.”“Lalu bagaimana? Bukankah dia baik-baik saja?”“Lebih rumit dari yang ku kira. Temui aku setela
Hero duduk di kursi tunggu. Sudah dua jam berlalu semenjak Lusie dibawa ke rumah sakit. Ia sempat membuat Lerry syok. Namun tak berlangsung lama karena Lerry harus segera menanganinya. Kesadaran Lullaby hilang usai ia memberikan pertanyaan terakhir yang belum sempat Hero jawab.Seharusnya Hero senang akan hal ini. Bukankah ini yang ia harapkan? Menghilangkan perempuan itu dari hadapannya? Lullaby adalah alasan ia terjebak di pernikahan tanpa cinta ini. Sementara Lusie hanyalah wanita biasa yang tak sejajar dengan usia dan karirnya. Bagaimana bisa ada rasa untuk mempertahankan mereka?“Hero.”“Lerry?”Dokter muda itu duduk di sebelah Hero. Ia datang bersama para perawat yang sudah berlalu.“Lusie baik-baik saja, bukan?!”Lerry mengangguk. “Masa kritisnya sudah terlewat. Itu juga berkat kau yang membawanya tepat waktu.”“Kapan ia akan sadar?”“Mungkin esok pa
Bagi Hero Lusie mungkin sudah menjadi seseorang yang tak sengaja mengambil bagian dari hidupnya. Awalnya ia mengira gadis 18 tahun yang saat itu mengidolakannya akan menjadi perempuan yang akan sudi untuk memenuhi kenginan dari ayahnya. Sehingga Hero hanya menjalani hubungan tersebut tanpa arti yang berarti.Hingga ada hal yang sulit ia mengerti dengan berbagai alasan yang terangkai dalam kepala. Untuk apa ia menarik Lusie dari kerangkang lelaki lain yang ingin memberi sepilin perhatian dari mereka? Tanpa sadar Hero bahkan menjauhi Lusie untuk sebuah ketidakpastian yang ia miliki.Perasaan bingung mengendap dalam hati. Ia menepuk kepala berulang kali dan menatap dirinya dalam pantulan cermin. Mata biru itu menatap tajam dengan bulu mata lentik yang kontras dengan alis tebalnya. Lagi-lagi bayangan itu menghampiri dirinya. Seperti sebuah sapaan yang tak pernah bosan untuk datang.“Kamu tidak makan?”“Hero?”Hero melangkah masu
Ujian berakhir pada pukul dua siang. Sama seperti siswa lainnya Lusie ikut mengambil tas dan berangsur pulang melewati kerumunan siswa yang masih berbincang membahas soal ujian. Tidak Lusie sangka bahwa ujian terakhir di hari sekolah itu akan menjadi ujian pertama dalam pertemanannya.Tak ada Falery yang mengganggunya saat pulang. Bahkan Farel tak menyapa sedikit pun meskipun mereka berada dalam kelas yang sama. Ini mengingatkan Lusie saat awal ia masuk sekolah formal di masa kecil. Tak ada yang mau mendekatinya karena takut akan dipukul Lusie.Sejak itu Lusie takut untuk berangkat ke sekolah. Bukan sebab dijauhi, tetapi pada faktanya ia lebih takut pada dirinya sendiri yang membawa ancaman untuk orang lain. Lusie menyadari setiap ia berkelahi satu diantara temannya akan berakhir di rumah sakit. Tak ada yang tahu darimana mereka berakhir seperti itu. Sebab Lusie tak pernah mengakui bahwa ia menyiksa temannya.Masa sulit itu kini sudah terlewat. Lusie mencoba unt
Langit menggelap—membawa gulungan awan hitam. Dari sana rintik hujan mulai berjatuhan. Bertemu dan menyapa bumi. Gemericiknya memecah keheningan. Mengetuk-ngetuk atap, pohon, juga bus yang melintas.Di tengah rintik hujan itu Hero tersadar. Bahwa bayangan Lusie hanyalah ilusi yang tak sengaja muncul di kepalanya. Nyatanya, itu hanyalah seorang anak SMA biasa yang menumpang duduk di sebelah.Hero memasang wajah dingin seperti tak mau disentuh dan diganggu oleh siapa pun. Ia menatap jendela, yang perlahan juga ikut terguyur air hujan. Meninggalkan bekas embun dan mengaburkan pandangan.Bus berhenti di halte kawasan A. Hero turun bergatian dengan para penumpang lainnya. Sementara itu, ia lupa membawa payung. Hero sengaja berjalan tanpa payung dan menikmati sentuhan rintik hujan.Entah kapan terakhir kali ia berjalan di bawah hujan seperti ini. Sejak SMA Hero sudah sulit untuk menemukan kebahagiannya. Fakta bahwa ia jarang bermain seperti anak biasa mem
Di depan gerbang sebuah mobil putih terparkir. Seorang lelaki dengan kulit cerahnya berdiri di samping mobil. Pemandangan itu cukup menarik perhatian penghuni kompleks yang hendak pergi beraktivitas.Dia Farel. Lelaki itu tidak datang sendiri. Bersama Falery ia terpaksa menunggu Lusie keluar. Falery satu-satunya orang yang tidak akan mundur meskipun Farel sering menggertaknya. Hanya saja saat ini situasi cukup sulit untuk mengiyakan ajakan gadis cerewet itu.“Lusie!!!” Falery melambai ketika melihat Lusie yang baru muncul.Lusie nampak terkejut ketika melihat Farel yang ikut bersamanya. Untungnya Falery memberi kabar saat akan tiba. Meskipun cukup melelahkan harus berbolak-balik tempat, tetapi Lusie menikmati proses itu. Farel juga tak banyak berbicara.“Lama sekali! Kau ngapain sih?”“Aku tadi sakit perut, maaf.”Falery membuang napas kesal, “Baiklah, ayo berangkat. Hei Farel, kau tidak menyapa Lusi
Matahari menembus celah-celah tirai. Lusie membuka mata perlahan ketika menyadari jika cahaya itu sudah menggantikan malam sepinya. Ia terbangun dan bersiap untuk ujian terakhir hari ini. Di lihat berapa kali pun, tetap saja kosong. Tak ada manusia tinggi yang biasanya muncul dari balik kamar mandi dan membuatnya malu.Sepertinya hari libur Hero sudah usai. Ia mungkin akan muncul setelah Lusie selesai ujian. Hari itu Anea akan datang dan membuat suasana kembali ramai. Ya, tentu saja. Bukankah Anea adalah alasan Hero mau menikahinya?Lusie memakai seragam dan menyiapkan segala halnya seorang diri. Ia tidak terlalu terburu-buru karena hari ini beruntung bangun lebih awal. Dia tidak akan berpikir terlalu panjang mengenai hilangnya Hero.Lusie mengambil tas dan bersiap turun ke bawah. Marta muncul di meja makan dan menunduk sekilas, memberi salam. Lusie mengangguk sambil mengambil tempat duduk. Hidangan pagi itu sup kacang dengan irisan telur.“Marta, a
Farel mendorong Lusie masuk ke dalam unit kesehatan sekolah. Ia adalah ketua dari pengelola ruang itu. Dengan segera Farel menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Farel menghampiri Lusie yang duduk di atas banker.Gadis itu terlihat sangat tenang. Bahkan lebih tenang dari Lusie yang biasanya menampilkan ekspresi itu ketika melukis. Farel membuka tangan Lusie dan melihat beberapa helai rambut yang digenggamnya.‘Itu pasti milik gadis-gadis tadi.’ Farel membatin.“Kalau kau terus bersikap seperti ini, kau bisa-bisa dikeluarkan sebelum wisuda,” kata Farel, sambil membersihkan tangan Lusie dengan tisu basah.“Jadi, kau masih perhatian kepada gadis ini?”Farel menatap Lusie. Seakan-akan Lusie mengomentari dirinya sendiri.“Anggap saja seperti itu.”“Jangan terlalu menggantungkan harapan terlalu tinggi kepada manusia. Kau akan merasa hidup tapi mati ketika harapanmu tak sesuai dengan t