Ardan pun bangkit dengan langkah lunglai, Melisa tahu jika Ardan sedang berperang dengan pikirannya. Jika Melisa menjadi Ardan tentu dia tidak akan mau menjadikan wanita yang tak sempurna dan mempunyai masa lalu yang buruk untuk dijadikan sebagai pendamping hidup.
Dia pasti akan lebih memilih wanita yang bisa memberikannya keturunan dan juga wanita yang baik-baik. Bukan pelakor seperti dirinya.Melisa pun bangkit melangkah di belakang Ardan, untuk mengantar kepergian Ardan sampai ke teras rumah.Ardan berbalik melihat Melisa yang berada tepat di ambang pintu. Pandangan mata Ardan sendu, seolah tidak rela menerima kenyataan yang Melisa ungkapkan."Saya pergi, Bu. Tolong sampaikan salam saya pada orangtua Ibu Melisa, Assalamu'alaikum," pamit Ardan."Wa'alaikumsalam, akan saya sampaikan, Pak," jawab Melisa.Ardan kembali berbalik dan meneruskan langkah menuju mobilnya, sebelum masuk ke dalam mobil, Ardan kembali menoleh pada Melisa. Sementara Melisa pun segera masuk tanpa menunggu kepergian Ardan.Melisa tak mau jika menunggu Ardan pergi, dia akan menjadi bimbang dengan keputusannya. Melisa berpikir jika lebih baik hubungan mereka tidak lebih dari hubungan kepala sekolah dan guru saja. Tidak perlu ada hubungan yang lainnya, dia sudah mulai nyaman dengan suasana sekolah, tidak mungkin dia pindah ke sekolah lain.Apalagi ada Alisa yang membuat Melisa betah di sana, dia tentu tidak akan rela pindah dan berjauhan dengan Alisa. Hati Melisa sudah terpaut untuk Alisa, bagaimana bisa dia melepaskan kebahagiaan yang telah ditemukannya."Mana Nak Ardan, Mel?" tanya Imran yang baru saja turun dari tangga dengan sang istri."Sudah pulang, Yah," jawab Melisa sambil membereskan gelas-gelas di meja."Loh, kok sudah pulang? Lalu bagaimana dengan jawabanmu padanya, Mel?" Kini giliran Meta yang bertanya pada sang putri."Melisa sudah menolaknya, Bu," jawab Melisa sembari berjalan akan membawa gelas menuju dapur."Berhenti, Mel. Sepertinya kita perlu bicara," ucap Imran menghentikan langkah Melisa.Sejujurnya Melisa enggan membahas lagi tentang niat Ardan tadi, isi kepalanya sudah penuh. Dia merasa tidak muat lagi jika harus menampung masalah lain lagi."Nanti saja, Yah. Melisa sedang ingin istirahat sekarang," sahut Melisa mencoba menghindar."Tidak, kita harus segera membicarakan masalah ini. Ayah tidak mau menunda-nunda lagi, ini menyangkut masa depanmu, Mel," tegas Imran."Tolonglah, Yah. Aku sungguh sangat capek, jika dipaksakan aku tidak akan bisa," pinta Melisa memelas."Biarkan Melisa istirahat dulu, Yah. Nanti setelah makan malam kita bicarakan lagi," ucap Meta sembari mengusap lengan sang suami mencoba memberi pengertian.Imran diam sejenak nampak berpikir, dia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.Jika saja Melisa tadi tidak bertemu dengan ibu Hanan tentu saja dia tidak akan menolak berbicara dengan ayahnya itu.Sekarang Melisa sedang tidak bisa memikirkan apapun lagi. Dia hanya ingin segera merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata sejenak."Baiklah, kita akan bicara setelah makan malam. Siapkanlah cerita yang harus kamu sampaikan pada kami, Mel," pungkas Imran mulai melangkah pergi meninggalkan Melisa dan juga Meta."Maafkan Ayahmu, Mel. Ayah hanya ingin kamu mendapatkan kebahagiaan lagi. Kamu tahu ayahmu sangat menyayangimu bukan, Mel?" tanya Meta mendekat pada sang putri."Iya, Bu. Melisa mengerti," jawab Melisa singkat."Biar ibu saja yang membawa gelasnya ke dapur, Mel. Kamu istirahat saja, ibu tahu kamu sangat lelah. Mungkin kamu tidak mau cerita, tapi ibu tahu ada sesuatu yang terjadi padamu hari ini, yang membuatmu terluka."Melisa diam tidak menanggapi ucapan Meta, walaupun tebakan sang ibu benar tapi Melisa tidak mau bercerita tentang hari ini. Dia tidak mau sang ibu bertambah khawatir padanya jika mengetahui kalau dia baru saja bertemu dengan Ratih."Ingat, Mel, kamu masih memiliki ayah dan ibu yang sangat menyayangimu, jangan pernah berpikir bahwa kamu sendirian. Kami akan selalu ada untukmu. Sekarang masuklah ke kamar untuk beristirahat," ucap Meta sembari mengambil alih gelas yang ada di tangan Melisa.Meta segera berlalu ke dapur membawa gelas, meninggalkan Melisa sendirian yang masih memikirkan setiap ucapan sang ibu. Melisa merasa menjadi anak yang tidak berguna, dia hanya bisa menyusahkan kedua orangtuanya saja.Melisa segera mengusap air mata yang mulai luruh di pipinya karena terharu memiliki orangtua yang begitu sayang padanya, dia tidak mau ibunya melihat dia menangis.Melisa bergegas melangkah menuju kamar, untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Dia merasa hari ini adalah hari yang sangat panjang baginya.Setelah tiba di kamar, Melisa langsung merebahkan tubuhnya tanpa berganti pakaian terlebih dahulu. Dia meringkuk di atas kasur memeluk kedua kakinya.Melisa mencoba memejamkan mata berharap semua yang telah dia lalui hanyalah mimpi bukan kenyataan. Dan Melisa berharap semoga saja yang dia ingat setelah bangun hanyalah tawa polos dari Alisa.Melisa menyesal telah membuat Alisa berada dalam bahaya hanya karena memikirkan semua perkataan Ratih, sang mantan mertua.. Harusnya dia tidak membawa-bawa masalahnya jika sedang bersama dengan Alisa.Padahal waktu yang mereka berdua habiskan sangatlah singkat, tapi Melisa malah menyianyiakannya dan malah memikirkan pertemuannya dengan Ratih.Besok Melisa memutuskan untuk menebus semua kesalahannya pada Alisa. Melisa tersenyum membayangkan wajah bahagia Alisa saat bermain tadi siang.Melisa iri melihat kehidupan Alina, Alina tidak kekurangan sesuatu apapun. Suami yang menyayanginya, anak yang penurut seperti Alisa serta dua calon anak yang ada dalam kandungannya.Andaikan saja Melisa juga bisa memiliki kehidupan seperti Alina tentu dia akan sangat bahagia sekali. Tapi memang Alina pantas mendapatkan kehidupan seperti itu.Alina adalan orang yang baik bukan orang jahat sepertinya yang tega menghancurkan rumah tangga wanita lain. Melisa pun berpikir dia pantas memiliki kehidupan yang jauh dari kebahagiaan karena dia telah menghancurkan kebahagiaan wanita lainnya.Setiap perbuatan pasti akan menerima ganjarannya, kini Melisa telah menuai karma karena perbuatannya di masa lalu. Dia harus ikhlas menjalaninya karena memang ini semua karena ulahnya sendiri yang begitu egois ingin mendapatkan cinta dari orang yang sudah lama mencuri hatinya.Bodohnya Melisa yang tidak memikirkan akibat dari keegoisannya dulu, jika saja dia mampu berpikir jernih tentu dia tidak akan terperosok dalam jurang penderitaan yang tak pernah berakhir seperti ini.Melisa tidak tahu sampai kapan dia akan terjebak dalam jurang penderitaan seperti ini, akankah selamanya dia akan tetap berada di sana ataukah dia masih memiliki harapan untuk keluar dari jurang tersebut?Melisa hanya bisa mengikuti jalan yang sudah ditakdirkan untuknya. Tapi dia juga akan tetap berusaha berbenah diri, mencoba menebus semua dosa-dosa yang telah dia lakukan di masa lalu.Melisa merasa enggan untuk makan malam hari ini, tapi dia sudah janji dengan ayah dan ibunya untuk menjelaskan semuanya. "Bolehkah aku tidur saja tanpa ikut makan malam sehari ini saja?" batin Melisa.Melisa menghela nafas kasar, dia mencoba memantapkan hati untuk menghadapi kedua orangtuanya. Melisa bangkit dari ranjang melangkah menuju pintu untuk keluar dari kamar.Melisa merasa langkahnya begitu berat saat dia sudah melewati pintu kamar, rasanya dia seperti melangkah menuju tempat penghakiman saja. Melisa menuruni tangga dengan perlahan menuju dapur.Saat sampai di dapur dia melihat kedua orangtuanya sudah duduk di kursinya masing-masing. Melisa mendengar mereka terlibat dengan pembicaraan tentangnya. Mereka sedang membahas tentang kedatangan Ardan tadi siang.Melisa berjalan mendekat pada ayah dan ibunya, lalu dia pun bergabung bersama mereka di meja makan. Melisa duduk berhadapan dengan sang ayah, setelah kedatangannya, tetapi mereka diam seribu bahasa. Mereka pun mulai menyant
Melisa bangun dari pembaringan dengan malas, setelah selesai sholat Subuh dia kembali membaringkan tubuhnya di ranjang, dia merasa enggan sekali untuk pergi ke sekolah. Melisa tidak ingin bertemu dengan Ardan di sekolah.Melisa tidak enak hati jika harus bertemu dengan Ardan, belum lagi dia juga harus menepati janjinya pada Imran. Melisa harus bertanya pada Ardan tentang keputusannya, apakah Ardan ingin meneruskan niatnya atau tidak.Melisa enggan sekali bertatap muka dengan Ardan dalam waktu dekat ini. Tapi dia tidak boleh menunda-nunda untuk menyelesaikan masalah ini, supaya sang ayah tidak perlu menghubungi Ardan.Melisa ingin kembali menjalani hari-harinya dengan tenang lagi. Dan dia juga berharap tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang dari masa lalunya. Cukup kemarin saja dia bertemu dengan ibu Hanan, jika bertemu lagi, dia tentu akan kembali mengingat-ingat masa yang suram dulu.Tok ... tok.Suara pintu kamar diketuk, Melisa segera bangkit dari ranjang dan melangkah untuk
"Apa maksud Bapak meneruskan niat untuk mengkhitbahku?" tanya Melisa begitu dia berada dalam satu mobil dengan Ardan untuk berangkat ke sekolah."Saya tidak ada maksud apa-apa, saya hanya ingin tetap menjadikan Ibu sebagai pendamping saya," jawab Ardan.Melisa tidak bisa melihat ekspresi Ardan ketika menjawab pertanyaannya. Walaupun mereka berada di dalam satu mobil tetapi Melisa duduk di kursi belakang. Dia tidak mau duduk di samping Ardan karena mereka memang belum mempunyai hubungan apa-apa.Sesungguhnya Melisa tadi juga ingin membawa mobil sendiri, tetapi Imran memaksanya untuk ikut dengan mobil Ardan saja. Mau tidak mau pun akhirnya Melisa ikut dengan Ardan."Tolong jangan bercanda, Pak. Bukankah kemarin saya sudah mengatakan semua tentang saya pada Pak Ardan?""Saya tidak bercanda, bahkan saya sudah yakin ingin secepatnya menghalalkan Bu Melisa," jelas Ardan membuat Melisa terkejut."Jangan mempermainkan saya, Pak. Saya tahu setiap orang yang mengetahui masa lalu saya, pasti aka
Tak terasa hari ini Melisa kembali menikah lagi, dua minggu yang lalu dia menerima pinangan Ardan. Wajah orangtua Melisa berbinar bahagia ketika Melisa mengatakan kalau dia menerima Ardan.Melisa mencoba mengalah menerima pinangan Ardan, untuk kebahagiaan ayah dan ibunya. Dia mencoba peruntungannya dengan menerima Ardan. Berharap Ardan menjadi jodoh terakhirnya.Pernikahan mereka dilakukan dua minggu setelah Melisa menerima Ardan. Memang sangat terkesan buru-buru, tapi itu semua keinginan Ardan.Acara ijab kabul, sudah dilaksanakan sejak pukul delapan pagi tadi, Melisa akhirnya sudah resmi menjadi istri Ardan. Acara pernikahan mereka tidaklah mewah, mereka hanya mengundang keluarga dekat saja. Melisa pun hanya mengundang Alina sekeluarga, mengingat dia sudah tidak punya teman lain lagi.Dia sangat berharap Alina bersedia datang ke pernikahannya. Melisa juga sudah rindu sekali dengan Alisa, sudah satu minggu dia tidak bertemu dengannya karena sibuk mempersiapkan acara pernikahannya.M
Pertemuan Irham dan Ratih "Maaf aku tidak bisa menemanimu, Sayang," ucap Irham kepada Alina di depan pintu masuk gedung."Tidak apa-apa, Mas. Naya lebih penting, kasihan dia kecapekan jika harus naik taxi. Apalagi adik Aryan sedang aktif-aktifnya," sahut Alina."Ya sudah kalau begitu kamu masuk dulu, Al. Aku akan pergi jika kamu dan Alisa sudah masuk ke dalam. Jaga diri baik-baik, jangan terlalu banyak berdiri di sana nanti. Aku akan menjemputmu jika sudah mengantar Naya ke rumah." Irham menurunkan Alisa yang sedang berada dalam gendongannya. "Alisa jangan nakal, jaga mama dan adik-adik Alisa dengan baik. Jangan sampai menyusahkan mama.""Iya, Yah," jawab Alisa menurut.Irham mengelus puncak kepala Alisa dengan lembut. Nampak Irham sangat menyayangi putri kecilnya itu."Hati-hati di jalan, Mas. Jangan ngebut-ngebut mengemudinya, aku akan menunggu sampai kamu datang. Jadi tidak usah terlalu buru-buru," ucap Alina sembari meraih tangan Irham dan mencium punggung tangannya."Iya, Sayang
Melisa masih menunduk saat Hanan mulai mendekat ke arahnya. Ardan yang melihat Melisa terus menunduk sedikit heran dengan sikap wanita yang baru saja menjadi istrinya itu."Selamat Mas, atas pernikahannya. Semoga Mas Ardan dan istrinya cepat dikaruniai momongan," ucap Hanan pada Ardan membuat hati Melisa berdenyut nyeri.Ardan sedikit tersentak mendengar ucapan Hanan, dia lupa kalau dia tidak menceritakan pada siapapun tentang kondisi Melisa yang sebenarnya. Dia juga tidak mengatakannya pada Widia, ibu kandung Ardan."Terima kasih, doanya," ucapnya menanggapi Hanan. "Oh iya, Mel. Kenalkan dia suami Dara." Ardan beralih berbicara pada Melisa.Melisa hanya diam tidak mampu mengangkat wajahnya, dia masih takut untuk bertemu Hanan. Dia juga takut jika Ardan sampai mengetahui kalau Hanan lah mantan suami Melisa."Mungkin, Kak Melisa malu jika berkenalan dengan orang baru," ucap Dara memecah keheningan karena Melisa tak kunjung mengangkat wajahnya dan berkenalan dengan Hanan.Hanan yang men
Pov Melisa Aku masih mematung setelah mendengar peringatan dari Mas Hanan. Sungguh aku tidak menyangka Mas Hanan akan berubah sedemikian rupa.Sosok yang dulu bisa membuatku jatuh cinta, kini telah berubah seiring berjalannya waktu. Aku seperti tak mengenali lagi sosok Mas Hanan yang dulu mampu membuatku menggilainya.Hatiku berdenyut nyeri kala Mas Hanan memperlakukanku dengan dingin, bahkan dia juga tidak mau mengakui bahwa kami dulu pernah menikah.Seolah semua yang kami lalui dulu adalah mimpi saja dan tidak pernah terjadi. Aku menyesal telah menghancurkan hidupku demi lelaki seperti Mas Hanan, ternyata dia tidak lebih dari seorang pengecut saja.Akan aku buktikan bahwa bukan hanya Mas Hanan saja yang bisa bahagia, aku pun juga bisa bahagia dengan pernikahanku dengan Mas Ardan.Aku tidak akan lagi mau menangisi masa laluku, aku akan hidup dengan bahagia tanpa mengingat lagi penyesalan yang selama ini membuatku menderita.Sudah cukup semua kesedihan yang telah aku tanggung selama
Hari ini adalah hari yang menurut Ratih sangat sial, niat hati ingin mengambil hati Widia atas pernikahan anak Widia, Ardan, kakak tiri dari menantunya. Tapi semua niatnya tidak jadi tercapai karena istri Ardan ternyata adalah mantan menantunya.Ratih tidak menyangka bahwa Melisa lah yang menjadi pengantin dari Ardan. Dia tidak mengira dunia sesempit ini, padahal belum lama ini dia baru saja bertemu dengan Melisa di sebuah pusat perbelanjaan."Ah, sial sekali aku hari ini. Baru saja bertemu dengan kakak Naya, tapi aku sudah bertemu dengan wanita tak berguna itu!" gerutu Ratih sambil menyesap minumannya.Ratih sedang duduk di pojok gedung sambil menikmati hidangan di acara pernikahan Melisa."Aku harus merencanakan sesuatu untuk kehancuran Melisa, dia tidak boleh lebih bahagia dari Hanan. Aku akan membuat kehidupan rumah tangga Melisa bagaikan di neraka. Aku akan membuatnya menyesal karena telah meninggalkan Hanan." Ratih masih terus bergumam sendiri.Ratih menatap sekeliling ruangan b
"Maaf, saya tidak sengaja." Naya menunduk membantu seorang wanita yang sedang memungut barang belanjaannya yang berserakan."Tidak apa-apa, saya juga tidak melihat jalan dengan benar," sahut Dara, wanita yang ditabrak oleh Naya. Dia masih fokus mengumpulkan barang-barangnya yang jatuh.Setelah selesai mengumpulkan barang-barang tersebut, Naya menyerahkannya kepada Dara yang masih menunduk."Terima kasih banyak." Dara mendongak melihat Naya, netranya langsung membulat begitu melihat Naya lah yang ada di hadapannya. Bibir Dara seolah kelu, dari dulu dia ingin sekali bertemu dengan Naya, akhirnya setelah sekian lama, Dara diberi kesempatan untuk bertemu dengan Naya tanpa terduga-duga."Sama-sama," ucap Naya sembari tersenyum teduh. "Maaf, apakah ada yang terluka?" tanya Naya.Dara masih membeku, dia belum bisa berkata-kata karena terkejut melihat Naya. Dara masih mematung memandang Naya takjub."Maaf, apakah benar ada yang sakit? Kenapa Mbak diam saja?" tanya Naya lagi sembari menggoyang
"Hai, Mel. Apa kabarmu?" tanya Naya sembari tersenyum. Kemudian dia menunduk diam sejenak, kelopak matanya mulai mengembun, dirasakannya usapan lembut di punggungnya.Naya menoleh, melihat Alisa yang sudah beranjak remaja. Tidak terasa lima tahun berlalu begitu cepat sejak kepergian Melisa. Operasi pencangkokan jantung Alina berjalan dengan lancar, Alina sudah sehat kembali dengan jantung baru dari Melisa. Bahkan anak-anaknya sudah tumbuh dengan sehat.Naya dan juga keluarganya tidak bisa melupakan jasa Melisa, mereka rutin mengunjungi makam Melisa di setiap tanggal kepergiannya.Masih teringat dengan jelas betapa sedihnya mereka saat Melisa pergi untuk selamanya dan mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Alina. Sungguh jasa Melisa sangat berharga untuk semua orang, terlebih untuk Irham dan juga keluarganya.Bahkan Irham sempat menurunkan egonya untuk berterima kasih dan meminta maaf kepada Melisa, Naya yang menyaksikan adegan tersebut menangis terharu atas sikap Irham tersebut. Nay
"Apakah masih belum ada keputusan dari Bang Irham, Nay?" tanya Alan kepada Naya yang sedang bersiap untuk ke rumah sakit.Naya menggeleng lesu menanggapi pertanyaan sang suami. Abangnya itu sangat keras kepala. Padahal Melisa tidak punya waktu banyak, keadaannya sudah semakin memburuk. Jika Abangnya belum juga memberikan keputusan, Naya takut jika Melisa tidak bisa bertahan lagi dan Alina tidak mempunyai donor untuk jantungnya lagi.Sejak sadar pertama kali, Melisa sudah tidak pernah bangun lagi. Kehidupannya hanya bergantung pada alat-alat rumah sakit. Ardan masih ingin mempertahankan nyawa sang istri sampai Irham memberikan keputusannya.Ardan sudah rela jika sang istri memiliki keinginan untuk memberikan jantungnya pada Alina. Dia sudah ikhlas jika memang keinginan terakhir Melisa seperti itu."Kita tunggu saja, Nay. Mungkin Bang Irham masih bimbang," tambah Alan."Mau ditunggu sampai kapan, Mas? Bang Irham itu keras kepala, tidak tahu sampai kapan pikirannya itu akan berubah," sah
Ratih mengerjapkan matanya pelan, netranya bergerak ke sana kemari pelan. Memandang ruangan yang serba putih dengan aroma obat-obatan yang sangat kuat. Ratih melihat Dara yang tertidur dengan posisi membungkuk, tangan Ratih kaku ketika digerakkan untuk meraih Dara yang sedang tertidur di samping ranjangnya.Bibir Ratih bergerak tanpa suara memanggil Dara, tenggorokan Ratih terasa kering, dia ingin meminta minum pada Dara."Ra ... Da ... Ra," panggil Ratih dengan suara lirih.Dara tidak merespon panggilan Ratih, dia masih pulas tertidur. Dara kecapekan karena harus mondar mandir mengurus Ratih dan juga Hanan.Ratih pun menggerakkan tangannya dengan paksa untuk meraih Dara, walaupun tenaganya masih lemah, dia harus membangunkan Dara.Dara yang merasakan pergerakan Ratih akhirnya terbangun, "Ibu ... Ibu sudah bangun?" Dara segera bangkit dari duduknya dengan mata yang berbinar."Mi-num ...," lirih Ratih.Dara bergegas mengambilkan Ratih air putih dan membantu Ratih untuk meminumnya. Dara
"Apa? Apa maksudmu, Nay?" Irham meninggikan suaranya. Dia sedang berbicara dengan Naya di depan ruang rawat Alina."Bang, tolong jangan egois. Abang tahu sendiri kondisi Mbak Alina seperti apa. Sudah lama Mbak Alina belum juga menemukan donor untuk jantungnya, kini setelah ada yang mendonorkan jantungnya untuk Mbak Alina, kenapa Abang menolaknya mentah-mentah?"Naya sudah memberi tahu Irham tentang permintaan Melisa yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Alina. Tetapi Irham terlihat menolak permintaan Melisa."Tapi kenapa harus jantung wanita pelakor itu, Nay? Kenapa tidak dari yang lain saja?" lirih Irham."Kita tidak punya pilihan lain, Bang. Jika saja kita masih mempunyai pilihan lain lagi, tentu Abang bisa memilih sesuka hati Abang," sahut Naya menatap sendu Irham."Aku tidak bisa, Nay. Aku tidak mau Alina memiliki bagian tubuh dari wanita itu. Aku tidak bisa menerimanya, hatiku tidak bisa, Nay." Irham masih bersikeras menolak.Naya menggelengkan kepala melihat sifat keras kepala
Tidak terasa sudah satu minggu semenjak Hanan meninggal, Melisa belum juga sadarkan diri. Ardan selalu berada di samping Melisa, dia tidak pernah meninggalkan Melisa barang sejenak.Naya juga mengunjungi Melisa setiap hari, dia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Melisa walau hanya sebentar saja. Ardan dan juga Naya sudah tak lagi saling berkata tajam, mereka sudah saling bermaafan. Naya yang lebih dulu meminta maaf pada Ardan karena berbicara kasar padanya. Naya hanya ingin Ardan sadar tentang kesalahannya saja, dia tidak bermaksud melukai perasaan Ardan.Dan Ardan pun juga sebaliknya, dia juga meminta maaf atas perilaku tidak menyenangkan yang dilakukannya pada Naya.Hari ini Naya datang lagi menjenguk Melisa, tapi dia tidak sendirian. Alisa ikut bersama dengannya melihat kondisi Melisa. Naya pikir tidak mengapa jika Alisa ingin ikut dengannya, mungkin saja dengan kedatangan Alisa, Melisa bisa sadarkan diri.Naya sangat berharap Melisa bisa membuka matanya lagi. Dia ingin Meli
"Kenapa Bunda menangis? Apa masih ada yang sakit?" tanya Aryan ketika melihat Naya masih menangis menatap sendu Aryan.Naya dan Alan sudah sampai di rumah, mereka langsung menemui Aryan yang sedang bermain bersama dengan Alisa.Naya semakin terisak mendapat pertanyaan dari putranya itu, dia sangat sedih, Aryan belum terlalu mengenal ayah kandungnya tapi ayahnya tersebut sudah tiada.Alan yang melihat Naya hanya bisa menangis pun mulai berjalan mendekati Aryan. Alan mengelus puncak kepala Aryan lembut. Dikecupnya kening putra sambungnya tersebut dengan kasih sayang."Ikut kami yuk, Nak," ucap Alan."Mau kemana, Yah? Terus kenapa Bunda menangis? Apa Bunda masih sakit, Yah? Kalau Bunda masih sakit, kita bawa ke rumah sakit lagi saja." Aryan bertanya bertubi-tubi, dia masih belum mengerti kesedihan sang bunda."Ki-ta pergi untuk melihat ayah Aryan, mau ya, Nak?" bujuk Alan lembut.Aryan mengernyit, "Ayah Aryan kan sudah di sini," jawab Aryan memutar badannya membelakangi Alan.Aryan menun
"Sudah, Nay. Kamu yang sabar, aku lihat suami Melisa sudah sangat menyesal. Jangan lagi kamu tambah lagi penyesalannya," ucap Alan sembari mengelus puncak kepala Naya."Iya, Mas. Maaf, aku terbawa emosi karena melihat suami Melisa. Aku merasa kasihan kepada Melisa, hidupnya terlalu banyak penderitaan," sahut Naya.Alan tersenyum mendengar Naya, istrinya itu mudah sekali instropeksi diri, dia akan mengakui salah jika memang dirinya bersalah. Alan merasa sangat beruntung mendapatkan Naya sebagai istrinya.Kini mereka sedang berada di kamar rawat Naya, sedangkan Dinda pulang ke rumah Naya untuk membantu menjaga anak-anak. Kasihan mereka hanya di rumah bersama seorang pengasuh saja, Irham masih menemani Alina di rumah sakit. Dokter tidak mengijinkan Alina di rawat di rumah, mengingat kondisi Alina bisa berada dalam bahaya kapan saja.Alan tiba-tiba teringat dengan kondisi Hanan yang bertambah kritis, dia harus segera memberitahu Naya tentang kondisi Hanan. Walau bagaimanapun Hanan juga ay
"Antarkan aku melihat kondisi Melisa, Mas," pinta Naya kepada Alan.Alan memberikan lirikan kepada Dinda supaya membujuk Naya, Alan masih khawatir dengan kondisi Naya yang belum terlalu membaik.Dinda seolah mengerti dengan maksud dari lirikan Alan kepadanya."Mbak, nanti saja. Pulihkan dulu kondisimu, baru nanti Mbak bisa melihat kondisi wanita itu," ucap Dinda.Naya memalingkan wajahnya menghadap Dinda, dia menatap tajam kepada Dinda."Siapa yang kau sebut wanita itu, Din? Dia punya nama, dan dialah orang yang telah mempertaruhkan nyawanya untuk menolongku." Dinda hanya menunduk menanggapi ucapan Naya. Kebencian Dinda kepada Melisa masih mengakar di hatinya. Dinda masih ingat betul bagaimana Melisa menghancurkan hidup Naya di masa lalu.Alan mendesah, dia salah karena meminta Dinda untuk membujuk Naya. Sejenak dia lupa kalau Dinda sangat membenci Melisa. Istrinya itu memang lemah lembut, tetapi jika sudah mempunyai kemauan seperti ini, Alan tidak akan kuasa menolaknya."Baiklah, ak