"HUWAAA! Papa! Tolong bangunlah, Papa!"
Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun terlihat sedang menangis di sebelah peti mati papa-nya yang telah tiada. Air matanya mengalir dengan deras, raungan pilu dan isak tangisnya memenuhi suasana rumah duka yang mulai sepi dari para kerabat dan handai tolan yang datang melayat.
Jacob, kakak laki-lakinya Javier yang berdiri di samping anak yang sedang menangis histeris, turut menitikkan air matanya dalam diam. Air matanya jatuh, tanpa suara ia menitikkan air mata. Ia berusaha terlihat tegar di tengah lautan luka yang kini terpaksa mereka selami karena sebuah sebab yang tak mereka sangka sebelumnya.
Jacob pun menoleh dan memandangi adiknya dengan perasaan sesak. Adiknya Javier terus saja menangis meratapi kepergian orang yang sangat mereka sayangi dan mereka idolakan. Sosok yang dijadikan panutan oleh seluruh anak laki-laki di penjuru dunia, yaitu sosok seorang ayah.
Di usia yang tergolong masih belia, keduanya harus rela ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh sang ayah.
Kini, yang tersisa hanya ada dirinya, Javier dan juga ibu mereka. Anak berusia sepuluh tahun itu lalu memeluk Javier, sambil mencoba memberikan ketenangan kepada adiknya melalui kata-kata penyemangat yang juga ia tujukan kepada dirinya sendiri.
"Sudahlah ... berhentilah menangis, Javi," ucapnya menenangkan. "Kau tahu 'kan Papa tidak suka melihat anak laki-lakinya menangis? Jadi, tenanglah, kakak ada di sini bersamamu."
Isak tangis Javier bukannya berhenti, malah semakin menjadi. Dengan susah payah, ia menyahuti perkataan sang kakak, "Ta-tapi, Kak ... Papa kita sudah meningg—HUWAAA! PAPA! Huhuuu, jangan tinggalkan Javi, Pa!"
Jacob menghela napas pelan seraya menepuk-nepuk punggung adiknya dengan lembut. Ia juga tak menyangka jika papanya akan pergi secepat ini.
Selepas mengetahui kabar pilu yang menimpa Maria, istrinya, ibu dari Javier dan Jacob, papa mereka yang memiliki riwayat penyakit jantung tiba-tiba saja kambuh penyakitnya. Mereka semua terlambat memanggil pertolongan, hingga pria malang itu mengembuskan napas terakhirnya tanpa sempat mengucapkan sesuatu kepada mereka semua.
Beberapa kerabat jauh yang baru saja datang, memperhatikan dua orang anak yang sedang menangis di sebelah peti mati ayah mereka dengan pandangan sinis. "Lihat dua anak itu, malang sekali nasibnya," komentar salah seorang di antara mereka, jelas sekali nadanya merendahkan.
"Kau benar, saudariku. Aku dengar Hubert mati karena terkejut mendengar istrinya diperkosa dan anak orang kaya yang memperkosanya itu dibebaskan begitu saja oleh pihak kepolisian karena memiliki penjamin yang jelas punya banyak uang. Siapa yang tidak akan syok saat mendengarnya?"
"Ya. Aku juga sempat kaget saat mendengar bahwa anak-anak ini menyaksikan pemerkosaan itu secara langsung. Ck, ck, betapa bodohnya. Maria pasti tidak melawan karena dia menikmati sentuhan pria yang lebih muda darinya itu."
"Menyedihkan sekali, ya. Kudengar dia sekarang jadi gila dan tidak lagi mau menemui anak-anaknya. Mungkin itu hukuman tuhan atas tindakannya yang merayu seorang pria muda."
Jacob yang mendengar semua komentar miring penuh hinaan itu hanya bisa bungkam. Namun, ia mengepalkan kedua tangan sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Emosinya bergejolak di dada. Ia merasa marah, teramat marah.
Mengapa orang-orang tidak berempati sedikit pun kepada mereka? Mengapa orang-orang itu malah menyalahkan ibu mereka yang menjadi korban dari kegilaan inj? Mengapa malah menghina mereka yang baru saja menjadi anak yatim? Kenapa harus mereka yang mendapat perkataan rendah seperti itu?
"Ka-kakak ...." Javier mengerti cemoohan tersebut ditujukan kepada mereka, ia lalu mengeratkan pelukannya kepada sang kakak. "Kak ... apa kita menyedihkan?"
"Psst, tenanglah," bisik Jacob dengan lembut. Elusan lembut di punggung adiknya masih ia lakukan. "Cukup tutup telingamu, dan jadilah kuat sampai semua kepahitan hidup ini selesai. Kita berdua pasti bisa melewatinya, Adikku. Percayalah."
+++
"Terima kasih sudah menonton video ini sampai habis. Sampai jumpa di video kami selanjutnya!"
Begitu rekaman berakhir, Jacob pun melepas kostum karakter Line yang ia gunakan. Pemuda itu merapikan rambut hitamnya sejenak sebelum bertanya kepada sang adik, "Bagaimana hasilnya?"
Javier yang sedang mengecek handycam yang ia gunakan untuk merekam sang kakak, pun menjawab, "Bagus! Aku akan mengeditnya setelah ini. Kakak istirahat saja dulu!" jawabnya riang.
Jacob merapikan peralatannya lalu menyimpannya kembali ke dalam laci. "Nanti saja, setelah ini aku akan membuat makan malam. Kau mau makan apa malam ini?" tanyanya kepada sang adik.
Javier yang sedang mengotak-atik kamera pun menoleh dan tersenyum lebar ke arah Jacob. "Terserah Kakak saja. Aku akan tetap memakannya selama itu adalah masakan yang Kakak buat," jawab Javier dengan lembut.
Jacob tertawa.
Inilah kehidupan keluarga mereka sekarang. Hanya ada dirinya dan Javier.
Sekarang, Jacob harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya itu dengan cara bekerja membuat video dan mengunggahnya ke Youtube. Penghasilan yang didapat olehnya kini, justru jauh lebih baik daripada pendapatan ketika ia bekerja paruh waktu di luar. Seperti yang pernah ia lakukan dulu.
"Jangan lupa belajar dan tetap ingatlah dengan tujuan kita, Javi."
Javier mengangguk singkat, begitu melihat kakaknya sudah mulai memberikan nasihat. "Tentu saja aku tidak akan pernah lupa, Kak. Tidak ada seorang pun yang akan dengan mudah melupakan luka masa lalu mereka. Benar begitu, bukan?"
Jacob tersenyum tipis. Adiknya sudah tumbuh semakin besar dan dewasa saja. Dan itu membuatnya bangga. Ia lalu kembali berkata, "Ya, Adikku. Apa pun itu, jadilah kuat dan balaslah perbuatan orang-orang yang telah merendahkan kita. Mengerti?"
"Kita buktikan, kita pasti bisa menjadi orang yang hebat."
Javier lantas memberi hormat kepada sang kakak. "Siap, Jenderal!" ucapnya patuh. "Kita akan membuktikan sampai membuat mereka tercengang dan heran!"
Keduanya lalu tertawa bersama dengan penuh suka cita. Sebab, mereka yakin bahwa hidup adalah tentang perjuangan, dan mereka kini sedang berjuang untuk terus melanjutkan hidup.
+++
Di sebuah rumah megah bercat abu-abu, tepatnya di kediaman keluarga Peterson. Mari kita menuju ruang makan keluarga mereka yang sedang dihuni oleh tiga orang anggota keluarga tersebut.
"Louis, tolong bangunkan adikmu di dalam kamarnya. Hari ini Julia ada tes matematika di sekolah, dan dia tidak boleh terlambat," ucap seorang wanita yang telah memasuki usia paruh baya, tetapi masih memiliki paras yang cantik. Ia menoleh, menghadap kepada anak sulungnya.
Meggan yang sedang sibuk menata tempat-tempat bumbu, tidak bisa membangunkan putri kesayangannya sekarang. Oleh sebab itu, ia pun meminta Louis untuk membangunkan anak gadisnya.
Louis yang sedang menyeruput secangkir tehnya pun mengerutkan kening. "Aku tak mau, Ma. Dia bisa bangun sendiri," jawabnya sambil menaruh cangkir minuman di atas meja.
Charlie yang baru saja keluar dari dalam kamar, lantas menghampiri sang istri yang berdiri di dekat wastafel. "Tidak sarapan dulu?" tanya Meggan seraya memperbaiki dasi berwarna biru muda milik sang suami. Charlie melirik jam tangan di pergelangan lengan kirinya. "Sepertinya tidak bisa, Sayang. Tiga puluh menit lagi rapat perusahaan akan dimulai."
"Aku takut tidak sempat ke sana."
Merasa dasi panjang suaminya sudah rapi, Meggan lantas memundurkan tubuhnya sedikit. Lalu memandang wajah tampan suaminya dengan penuh kasih. "Benarkah? Baiklah, tapi tunggu sebentar. Aku akan menyiapkanmu bekal, sehingga kau bisa memakannya di kantor."
Charlie hanya mengangguk, sambil kembali memeriksa jam di tangan. Ia pun bergerak menghampiri anak sulungnya, lalu bertanya sembari meraih segelas kopi yang sudah tersedia di meja, "Bagaimana kabar bisnis restoranmu, Nak?"
Louis melirik papanya sekilas, lalu menjawab dengan nada yang sedikit enggan, "Cukup baik, Pa. Semua berjalan lancar di bawah kendaliku. Hanya saja ...."
"Hanya saja apa?" tanya Charlie. "Kau tak mendapat kesulitan apa pun, bukan?"
Tak beberapa lama kemudian, Meggan datang dan memberikan sebuah kotak bekal berukuran sedang berwarna cokelat terang kepada sang suami. "Ini, Sayang," ucapnya kepada Charlie.
Louis menghela napas panjang. "Hanya saja aku ingin memimpin perusahaan dan menjadi CEO sama seperti Papa," ungkap Louis penuh harap. "Aku tak ingin menjadi pemilik rumah makan. Aku ingin jadi seorang pebisnis seperti Papa...."
Louis sibuk mengungkap isi hatinya, sedangkan sang papa sibuk memandangi wajah Meggan. "Terima kasih, Sayang," ucap Charlie. Ia lantas menarik pinggang Meggan, dan membawanya ke dalam pelukan yang begitu mesra. Mereka berciuman dengan panas, hingga terdengar suara decapan yang sedikit mengganggu.
Mereka sibuk memadu kasih hingga mengabaikan anak sulungnya yang menyaksikan perbuatan mereka.
Louis seketika merotasikan mata, geli melihat kelakuan kedua orang tuanya yang terlihat seperti sepasang anak remaja yang tengah dimabuk cinta. "Aku akan membangunkan Julia," ucapnya datar sambil berlalu, meninggalkan Charlie yang baru saja melepas ciumannya dengan Meggan.
"Nanti antarkan Julia ke sekolah!" teriak Meggan sebelum anaknya menaiki tangga.
Louis dengan cepat menjawab, "Tidak!" Lelaki itu lalu bergegas menaiki anak tangga.
"Ck, anak itu benar-benar!" geram Charlie bersungut-sungut.
"Sudahlah, Sayang. Bukankah Louis memang seperti itu sejak dulu?" Meggan berusaha menenangkan.
Charlie lalu merapikan dasinya sekali lagi. Ekspresinya terlihat tidak suka. Ada kekesalan yang dirasakan olehnya. "Ya, kau benar, Istriku," sahutnya dingin. "Setidaknya keputusanku saat itu sudah tepat."
+++
Louis menaiki anak tangga menuju lantai dua dengan ekspresi wajah terlampau dingin. Bahkan seperti orang yang tak punya hati sama sekali. Orang tuanya memang tidak pernah menyayanginya. Orang tuanya memang tidak pernah suka dengan kehadirannya di rumah itu. Padahal, dua minggu itu adalah waktu liburnya dari pekerjaan yang memuakkan.
Bisnis makanan sangat tidak cocok dengan kepribadian Louis yang pada dasarnya menginginkan sesuatu yang lebih.
Dia ingin mempunyai perusahaan atas namanya sendiri. Menjadi pendiri dari perusahaan besar. Kekesalan pria itu pun memuncak saat dirinya lagi-lagi diabaikan oleh sang papa setiap kali membahas tentang masalah perusahaan.
Langkah kaki panjang milik pria yang telah memasuki usia matang tersebut pun berhenti di depan pintu kayu bercat cokelat tua. Di depan pintu itu, tergantung hiasan kayu berbentuk pohon kelapa berukir nama seseorang.
Louis ingat betul gantungan itu adalah buah tangan dari ayahnya untuk Julia yang ia beli dari sebuah pulau tropis di Asia Tenggara. Kalau ia tidak salah ingat, Charlie membelinya di Borneo.
Berbeda dengannya, orang tuanya begitu menganakemaskan gadis yang ada di kamar ini. Semua keputusan di keluarga mereka, harus diambil berdasarkan rundingan dengan sang anak perempuan. Louis merasa, anak itu telah merampas semua haknya.
"Ck, apa bagusnya benda ini," gerutu Louis ketika meraba gantungan pintu di depannya. Ia lalu masuk ke dalam kamar dan melangkah menuju jendela yang masih tertutup gorden.
"Julia, bangunlah!" Louis yang telah selesai membuka jendela, lantas mendekati ranjang adiknya lalu mengguncang tubuh Julia dengan kencang. Tak ada cara yang paling efektif membangunkan seseorang selain menyiram dengan air, atau mengguncang tubuh sang pemimpi.
"Hei, kau hari ini ada tes di sekolah, bukan? Cepatlah bangun ...."
"Hmm." Julia yang sudah bangun dari tidurnya, langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Matanya masih setengah terpejam, dan rambutnya terlihat berantakan. Khas orang yang baru bangun tidur. "Hmm, ya, baiklah, aku mandi dulu," ucapnya dengan suara serak kepada sang kakak.
"Cepatlah turun, lalu sarapan." Louis kemudian beranjak keluar dari kamar adiknya untuk memberikan privasi. Menutup pintu rapat-rapat, lalu meninggalkan ruangan tanpa suara. Ia sangat memaklumi sifat dingin Julia yang tidak banyak bicara itu.
Sifat yang sama dengannya, dan Louis pun tertawa lucu.
+++
"Kak Louis," panggil Julia kepada kakak laki-lakinya. Saat itu, mereka sedang dalam perjalanan pergi ke sekolah. Louis yang sedang fokus menyetir tak melirik sedikit pun ke arahnya, tetapi lelaki itu tetap menyahuti panggilan dari sang adik, "Hmm, ada apa?" tanyanya datar.
Louis memelankan laju kendaraannya ketika sudah hampir sampai di tujuan mereka, sekolah Julia. Mobil hitam keluaran terbaru miliknya pun berhenti tepat di depan gerbang besarnya gedung sekolah Julia.
Sang gadis memandang kerumunan siswi yang kebetulan lewat dari jendela mobil yang setengah terbuka, ekspresi wajahnya datar ketika melihat anak-anak itu. "Kakak tak perlu repot-repot menjemputku nanti," ucap Julia dingin seraya melepas sabuk pengaman. Terlalu dingin untuk seorang adik yang baru saja diantar oleh kakaknya. "Aku pulang bersama Hana."
Louis berdeham pelan, tenggorokannya sedikit gatal dan bibirnya pun terasa kering. Cuaca di kotanya memang sedang kurang bagus akhir-akhir ini, membuat siapa saja akan terserang flu dan pilek. Setelah ini, Louis akan pergi ke apotek langganannya untuk membeli obat.
Ia lalu melirik Julia yang memasang ekspresi datar. Sifat masa bodoh gadis itu kembali terlihat.
"Kau yakin? Kakak akan tetap menjemputmu setelah pulang sekolah, dan menunggumu di tempat ini," ucapnya sekadar basa-basi. Memangnya, dia mau?
Sejujurnya, Louis pun tak berniat menjemput sang adik. Mengantar adiknya pergi ke sekolah seperti yang ia lakukan saat ini pun, semata-mata hanya karena perintah ibunya saja. Tak berarti ia melakukan ini semua karena merasa khawatir terhadap keselamatan adiknya.
Julia yang mendengar ucapan Louis langsung menoleh dengan cepat ke pria berkumis tipis yang duduk di kursi pengemudi. Ekspresinya terlihat tak ingin dibantah. "Aku bilang tidak mau, artinya tidak, Kak!" Selepas menaikkan sedikit intonasi suaranya, Julia lalu keluar dari dalam mobil tanpa perasaan bersalah.
Pintu dibantingnya dengan keras, membuat siswi-siswi yang kebetulan melewati mobil BMW hitam anak keluarga Peterson memandang sang gadis dengan tatapan heran. Namun, Julia mengabaikan semua tatapan penuh pertanyaan itu. Ia sama sekali tidak peduli jika menjadi topik pembicaraan di kalangan para siswi di sekolahnya.
"Sikap gadis itu keterlaluan sekali!" komentar Louis seraya menatap punggung sang adik yang mulai menjauh dari jangkauan mata. "Pantas saja dia itu—ah, sudahlah."
Louis lalu menginjak pedal gas mobilnya secara perlahan, lantas pergi meninggalkan kawasan sekolah khusus perempuan di mana adik kecilnya bersekolah dengan perasaan kesal yang menyesaki dada. Sungguh, Julia adalah gadis yang menyebalkan.
Louis pun bersumpah dalam hati, tidak akan mau mengantar Julia ke sekolah lagi. Meski disuruh sekalipun, dia tidak akan mengiyakannya.
"Hai, Julia! Selamat pagi!" Gadis riang bermata biru dengan cepat menarik kursi kosong di sebelah gadis yang sedang fokus membaca sebuah buku tebal. Gadis yang bernama Hana itu lalu memajukan bibirnya sedikit, dia merasa kesal karena diabaikan keberadaannya oleh sang sahabat. Ia lalu mendekati Julia dan berbicara tepat di depan telinga gadis itu. Atau lebih tepatnya, gadis itu berteriak kencang. "SELAMAT PAGI, JULIAAA!" Suara nyaring di dekat telinga kanannya itu, benar-benar menganggu konsentrasi gadis bersurai cokelat panjang yang sedang sibuk membaca. Ia lalu menggebrak meja sedikit menggunakan salah satu tangannya yang tidak memegang buku. "Berisik, Hana!" bentaknya kepada gadis pirang yang hanya terkekeh saja saat melihatnya marah. "Hei, tenanglah." Hana tertawa pelan, lalu berkata, "Tidak perlu pusing memikirkan tes Matematika nanti. Tesnya 'kan ditunda sampai minggu depan!" Julia mendengkus pelan, dan membenarkan kembali gaya duduknya—mencari posisi yang nya
Julia kembali mematut penampilannya di depan cermin. Berkat saran dari Hana dan juga usulan dari Fani dan Viola yang bersikukuh ingin melihat Julia mempunyai seorang kekasih, maka seperti inilah penampilannya sekarang. Untuk pertama kalinya, bagi sang gadis Peterson, ia memakai riasan di wajah dan juga mengenakan gaun pendek selutut. Jujur saja, Julia belum pernah memakai gaun sependek itu. Dia hanya pernah memakai gaun panjang, dan itu pun hanya dipakainya sebanyak dua kalian saja. Gaun yang dipakainya saat ini pun, adalah hasil pencarian di mall yang dilakukannya bersama sang sahabat. Pun dengan peralatan make up yang baru kali pertama ini, dia membelinya. Hana sampai keheranan, sebab Julia terus bertanya mengenai cara memakai berbagai alat hias wajah itu. Pada akhirnya, setelah diajarkan cara menggunakan make up dasar, Julia pun telah siap untuk pergi berkencan bersama cinta pertamanya. Sebuah penantian yang sangat mendebarkan. Julia berputar sekali di depan cermi
Julia turun dari motor besar milik Jacob dengan hati-hati. Pertama kali baginya naik ke boncengan motor seseorang. "Terima kasih banyak untuk hari ini," ucap sang gadis sambil tersenyum begitu kakinya sudah berpijak di tanah. Jacob melepas helmnya, hanya untuk menatap wajah bersemu Julia yang terlihat begitu menggemaskan, ia tertawa. "Sama-sama," ucapnya seraya menatap sang gadis. Ia menaruh helmnya dengan posisi yang kurang tepat. Julia tersenyum, tetapi begitu melihat helm sang pria berguling karena tak ditaruh dengan baik, ia refleks berseru, "Ah, AWAS! Helmmu hampir!" Julia buru-buru menangkap pelindung kepala Jacob tersebut sebelum menyentuh tanah beraspal yang keras. Ia lalu menaruhnya di tangki bensin yang berada di depan sang lelaki dengan hati-hati. "Oh! Terima kasi—" Ucapan Jacob terputus saat Julia yang menundukkan kepalanya terpekik pelan, saat ujung dari tusuk rambutnya tersangkut di jaket hitam sang pria. Entah karena apa benda berujung sebuah permata hija
"Halo semua, perkenalan dia adalah Javier. Mulai sekarang, dia akan membangun saluran Youtube ini bersamaku," ucap Jacob seraya melambaikan tangan ke arah kamera. Pemuda yang duduk di sebelahnya ikut melambaikan tangan, dan berucap kepada warga internet, "Salam kenal, dan salam edukasi!" Julia yang telah selesai mandi bergegas menonton siaran langsung dari sang kekasih, meskipun ia masih mengenakan gaun mandi. Gadis itu hanya terlalu senang saja ketika mendapat pemberitahuan yang masuk ke ponselnya sampai lupa jika ia belum memasang pakaian. "Hmm, wajah mereka sedikit mirip," gumam Julia di sela-sela aktivitasnya menonton video, masih belum memakai baju dan hanya mengenakan handuk. "Tapi kekasihku—Jacob jelas lebih tampan!" komentarnya lagi sambil terus menatap paras rupawan milik sang kekasih dengan tatapan memuja. Rupa-rupanya, Julia sudah jatuh begitu dalam ke pesona yang dimiliki oleh seorang pria Leckner. Pria tampan beralis tebal dan rapi—terlihat seperti ulat bul
Sosok yang mulanya berjalan sekitar 20 langkah dari Julia, mendadak semakin dekat saja dengannya. Julia tidak ingin berpikiran buruk dan menuduh yang tidak-tidak kepada orang yang mengenakan jaket bertudung di atas kepala. Akan tetapi sebenarnya, Julia merasa ada sedikit yang mengganjal pikirannya. Menurut Julia, penampilan orang itu memang terlihat sedikit aneh dan tidak cocok di pertengahan musim panas seperti sekarang. Mengapa ia harus memakai jaket tebal seperti itu? Julia tak mengetahui seperti apa wajah orang yang berjalan di belakangnya, sebab sosok misterius bertudung itu terus menundukkan kepala dan terlihat sangat menakutkan di mata gadis Peterson yang sedari tadi memperhatikan. Itu sikap yang wajar ditunjukkan olehnya. Ia hanya bersikap lebih berhati-hati saja, sebab ini adalah zaman di mana kejahatan merajalela. Terlebih lagi di zaman seperti inj, kita tak tahu apa yang orang lain pikirkan bukan? Entah itu baik atau buruk. Julia kembali melangkah dengan
"Hoi, Javier tidak belajar ya? Bukankah bulan depan dia ujian?" Javier yang baru saja datang dari minimarket dengan membawa empat botol soda di tangannya, langsung tertawa geli saat mendengar pertanyaan teman masa kecilnya—Mark. "Untuk apa belajar?" tukas Javier terdengar meremehkan. Mark seketika tergelak begitu mendengar ucapan sang sahabat, sedangkan Jacob hanya tersenyum mendengar perkataan adiknya. "Belajar itu hanya untuk orang-orang yang tidak percaya diri saja," ucap Javier lagi seraya terkekeh geli, membuat Daniel yang duduk di sebelah Jacob memukul punggung lelaki itu sambil mengeluarkan gelak tawa yang keras. "Adikmu sudah gila rupanya. Hahahaha." Javier lantas memberikan minuman kepada masing-masing orang, lalu duduk sembari membuka minumannya. "Kudengar kau berhenti dari pekerjaanmu sekarang, kenapa?" tanya Javier tanpa menunjuk dan memandang siapa-siapa. Saat Javier sedang bersiap-siap meneguk sodanya, Mark melayangkan pertanyaan. "Kau bertanya kep
Julia yang sudah pulih dari ketakutannya yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan berlebih itu mulai kembali beraktivitas seperti biasa. Gadis itu kembali masuk ke sekolah seolah tak pernah terjadi apa-apa dengannya, dan itu membuat Hana—sahabatnya—merasa sangat bahagia. Tentu saja, apa yang terjadi kepada Julia waktu itu memang sangat menakutkan, tetapi hidup harus terus berjalan. Tak sepantasnya rasa takut itu menjadikan segalanya bertambah semakin buruk dengan tak masuk ke sekolah selama berhari-hari."Julia, kau kemana saja beberapa hari ini?" tanya salah seorang gadis begitu Julia mendudukkan dirinya di atas sebuah kursi kelas. Disusul oleh pertanyaan serupa lainnya dari teman-teman sebaya."Julia, kau sakit?" tanya Melia. Yang disusul pertanyaan serupa dari kembarannya—Mesia. "Ya, kau terlihat pucat. Sakit apa kau, Julia?""Kenapa kau baru datang ke sekolah hari ini, Julia? Minggu depan kita kan sudah ujian," ucap Nancy."Iya! Tugas dan catatan kita ada banyak sekali! Untunglah, p
Julia memandangi kertas yang berada di dalam genggaman tangannya dengan saksama, gadis itu lalu menaruh kembali buku ensiklopedia tebal di tempatnya semula, sebelum ia kembali memusatkan perhatiannya pada kertas kusam bertinta emas. Julia lantas meniup debu yang mungkin saja menempel di kertas pudar tersebut, berharap tulisan di atasnya dapat terlihat dengan jelas. Namun, tidak ada apa pun yang terjadi, tulisannya masih tetap tak terlihat dan itu membuat Julia sedikit merasa kesal. Gadis itu bahkan sampai menaruh peralatan kebersihannya hanya untuk mencari tahu asal usul dari benda yang membuatnya penasaran. Julia pun melangkah lambat guna menghampiri sebuah sofa bertangan yang berwarna krim dan mendudukkan bokongnya di sana dengan nyaman. Sejenak, Julia meluruskan dulu kakinya yang dipaksa berdiri beberapa jam saat bersih-bersih tadi. Gadis itu lalu kembali memfokuskan pandangannya pada kertas yang sepertinya adalah dokumen penting karena di sana ada sebuah cap resmi d
Terkadang, dalam sebuah mimpi itu ada sebuah hal yang sangat indah yang tidak dapat ditemukan begitu saja di dunia nyata. Dalam lelapnya di sebuah sel sempit yang harus dibaginya bersama para tahanan penjara yang lain, Louis melihat sosok bidadari cantik yang selama ini selalu dirindukan olehnya. "Maria," panggil Louis penuh haru. Air matanya menetes ketika wanita itu tersenyum penuh kelembutan padanya. Senyum yang selalu bisa menentramkan dan menenangkan kondisi hatinya. Sosok bergaun putih itu melambai ke arah Louis yang langsung berlari menghambur kepada sang wanita. "Maria! Maria!" teriak Louis penuh semangat. Kerinduan di hatinya ini sangatlah menyesakkan dada. Dia rindu wanita ini. Sangat. "Louis," panggil Maria seraya mengangkat tangannya perlahan. Maria lalu mengelus rahang sang pria yang mendadak berubah menjadi seorang remaja berusia 17 tahun. Rupanya persis seperti dirinya 10
Sepekan setelah berkunjung ke rumah keluarga Peterson, Jacob bertandang sendirian ke penjara kota, untuk menjenguk adiknya maupun teman-temannya yang lain. Tanpa sepengetahuan kekasihnya, Jacob pergi menemui Javier. Meski dia memasang ekspresi seolah baik-baik saja di hadapan Julia, sebenarnya pria itu tengah berjuang melawan kepedihan di hatinya mengenai surat usang itu. Jacob menceritakan semua yang terjadi kepada Javier, tentang ibu mereka yang semasa hidupnya hanya berpura-pura gila demi menjaga tumbuh kembang mereka. Dia juga memperlihatkan surat yang selama ini disimpan dengan baik oleh orang yang seharusnya mereka benci, tetapi mendadak ada keraguan di hati keduanya, setelah mengetahui kebenaran yang tersimpan rapat. Javier menangis sesenggukan di balik kaca yang memisahkannya dengan pengunjung, ketika membaca surat yang dituliskan oleh ibunya yang telah tiada. Selama ini, dia hi
Jauh sebelum hari pernikahan Julia dan Jacob berlangsung, tepatnya masa-masa sebelum mereka berdua mendapatkan kerja di sebuah perusahaan, Julia pergi ke rumah orang tua angkatnya yang telah menjaga dan merawatnya dengan baik selama ini. Tentu dia tak pergi sendirian ke rumah keluarga Peterson, karena ada Jacob yang dengan setianya pergi mendampingi kekasihnya itu datang berkunjung ke sana. Setelah hari di mana Julia ditemukan oleh pihak kepolisian dan mendengar kenyataan bahwa dia bukanlah anak kandung dari keluarga yang selama ini mengasuhnya, membuat Julia syok berat. Julia sepenuhnya percaya dengan keluarga yang selama belasan tahun lamanya merawat dirinya dari kecil hingga tumbuh dewasa, mendadak kecewa karena tak pernah sekalipun mereka mengatakan kebenaran tentang keberadaannya di keluarga itu. Tentang dia yang bukan merupakan anak kandung dari keluarga Peterson yang selama hampir 19 tahun ini, nama
Pernikahan Julia dan Jacob yang dilangsungkan di sebuah gereja Katolik tak jauh dari tempat tinggal mereka berjalan lancar dan juga khidmat, sama seperti harapan kedua orang yang saling mencinta itu akan hari bahagia yang sudah keduanya tunggu-tunggu sejak lama. Awalnya Julia merasa sangat gugup saat dituntun oleh sang papa—Roger—menuju altar pernikahan untuk menemui kekasih hatinya, Jacob, yang saat itu mengenakan jas hitam yang terbuat dari sutra pilihan. Jika saja tak ada campur tangan dari kedua orang tuanya, mungkin saja pernikahan Julia tidak akan semeriah dan juga semewah ini. Memang, sebelumnya mereka berdua sudah mengatakan akan membiayai sendiri pernikahan mereka, tanpa menerima bantuan sedikit pun dari Roger dan Rissa. Namun, setelah menghitung biaya yang akan dikeluarkan saat lamaran dan pernikahan nanti, mereka pun syok karena tabungan mereka ternyata masih sangat tidak cukup untuk
Ada banyak orang pernah berkata, carilah seorang pemimpin, bukan seorang bos. Mengapa? Karena pemimpin itu akan peduli dengan orang yang bekerja dengannya. Mereka bekerja di tempat yang sama, dengan derajat yang berbeda, tetapi diperlakukan sama rata. Diperlakukan dengan baik. Sedangkan bos, hanya akan memberi perintah tanpa peduli kepada anak buahnya. Namun, tak semua pemimpin atau bos bersikap demikian. Ini hanya sebagian kecil saja, sikap-sikap yang bisa ditemukan di masyarakat sekitar. Tak ada seorang pun yang tak ingin memiliki satu atau dua orang atasan yang sangat baik di tempat kerja. Dua di antara pekerja yang merasa demikian adalah Jacob dan Julia. Sepasang kekasih yang berencana menikah di tahun 2020 pada bulan Agustus itu pun merasa beruntung, karena keduanya sama-sama bekerja di Brunner Corporation. Salah satu perusahaan yang cukup bagus untuk melatih kemampuan kerja mereka.  
Julia melirik kekasihnya, begitu pula yang dilakukan oleh Jacob. Keduanya saling tatap dalam diam. Keduanya sama sekali tak menyangka jika mereka akan makan siang bersama dua orang atasan mereka di kantor. Tak ada ekspektasi sebelumnya bahwa dua orang paling berpengaruh di tempat kerja mereka itu akan duduk tepat di hadapan mereka. Awalnya, kecanggungan ini bermula saat Jake dan Melvin tiba di kafetaria dekat kantor untuk makan siang bersama. Namun, setelah mengamati selama beberapa detik, mereka sadar kalau tempat itu sudah penuh dengan orang-orang yang juga sedang mencari makanan untuk mengganjal perut mereka. Mulanya Melvin hendak beranjak pergi ke tempat lain, tetapi Jake dengan cepat menarik jasnya dan membawa pria itu ke meja di mana ada dua orang yang pernah bertemu dengan mereka beberapa hari yang lalu. Dan inilah yang terjadi. Kecanggungan yang dirasakan oleh dua orang pekerja yang harus duduk deng
Tak ada usaha tanpa ada hasil yang diinginkan. Tak ada kerja keras tanpa ada tujuan yang besar di baliknya. Pun begitu dengan setiap kerja keras Jacob dan usaha Julia untuk mempersiapkan pernikahan mereka. Restu memang telah mereka kantongi bersama. Dan mereka telah merencanakan akan seperti apa pesta pernikahan mereka. Namun, perjalanan keduanya masih sangat jauh. Meskipun Julia telah lulus dari sekolah dan Jacob tak lagi bekerja membuat konten Youtube, mereka berdua tetap dipusingkan dengan satu hal. Pasangan kekasih itu sibuk memikirkan konsep pernikahan, sampai tak menyadari dengan satu pondasi yang penting, yaitu berapa biaya yang harus mereka keluarkan untuk menyiapkan pesta. Walau Julia berasal dari keluarga kaya raya, tetapi hal itu tak membuatnya merasa harus memakai uang kedua orang tuanya untuk pernikahan yang akan dilakukannya bersama kekasihnya, Jacob.
Setiap orang memiliki masa terberat dalam hidupnya. Entah itu merupakan suatu hal yang dulu sangat digemari, tetapi kini apa yang sebelumnya disukai malah menjatuhkannya perlahan. Atau masalah hidup yang lainnya, seperti perekonomian yang menurun atau percintaan yang membuat hati seseorang menjadi patah. Ada banyak sekali hal yang menyebabkan mata ini menumpahkan cairan beningnya. Kesepian, ketakutan, rasa sakit, kebencian ... luka yang tak bisa terobati meski telah datang orang baru. Semua perasaan yang mungkin pernah dirasakan oleh orang-orang, adalah suatu perasaan yang tak bisa disalahkan. Seperti halnya cinta. Kita tak bisa menaruh hati kita kepada seseorang yang memang tak menarik perhatian kita sebelumnya. Sekeras apa pun, dia berusaha, jika hati kita telah menolaknya, tentu tak akan ada rasa bersambut untuknya. Namun, kita semua justru melambuhkan asa kepada seseorang yang tidak mungkin bisa menyamb
Jacob sempat mencuri pandang tatkala melihat interaksi yang terjadi antara adiknya dan juga kekasihnya, Julia. Suatu keadaan di mana sebelum-sebelumnya, dia tak pernah melihat keduanya berinteraksi dengan benar. Dan ini adalah yang pertama kalinya. Jacob pun kembali mengalihkan perhatiannya kepada hal lain, tetapi meskipun begitu, seulas senyum lebar terlukis jelas di wajah tampannya. Pria itu merasa sangat bahagia, ketika melihat adiknya Javier, yang dulu tak menyukai hubungan yang terjalin antara dirinya dan Julia, kini sudah mulai menunjukkan lampu hijau terhadap hubungannya dengan sang gadis bersurai cokelat itu. Bohong jika Jacob tak merasa bangga terhadap kemajuan yang ditunjukkan oleh adiknya, Javier. Dia tentu merasa bangga terhadap apa yang adiknya lakukan. Berdasarkan inisiatifnya sendiri, Javier pun mencoba menjalin komunikasi dan hubungan yang baik dengan Julia. Gadis yang dulu pernah mereka culik dan mereka sekap d