Selena dibawa ke klinik ayah Nicholas setelah Ryan segera menghubunginya begitu Selena kehilangan kesadaran. Mendengar kabar bahwa Selena sempat berhenti bernafas, ayah Nicholas langsung meninggalkan kliniknya, yang kebetulan sedang tidak terlalu sibuk, dan bergegas menuju pemakaman.Kini Selena sudah berada di klinik tersebut, yang lebih dekat dari lokasi pemakaman daripada rumah mereka. Tubuhnya kini terbaring dengan infus terpasang. Ternyata, Selena terlalu kelelahan hingga tubuhnya tumbang tanpa ia sadari."Iya, Bang. Aku lupa... Hehe," ujar Selena, mencoba bercanda sambil tersenyum kecil saat berbicara dengan Nicholas melalui panggilan video. Ayahnya sebelumnya telah memberi tahu Nicholas bahwa Selena nyaris "dibawa" ke alam astral."Abang serius, Dek. Lain kali kalau merasa tubuhmu nggak sehat, jangan dipaksa, ya. Untung kamu kembali. Gimana kalau..." suara Nicholas terdengar serak, menahan emosi yang nyaris meledak.Selena tersenyum lemah, namun matanya memancarkan rasa bersala
Setelah semua selesai, Selena, Linggar, dan Rangga akhirnya meninggalkan klinik ayah Nicholas. Ayah Nicholas tidak ikut pulang karena masih harus menyelesaikan pekerjaannya dan pergi ke rumah sakit. Sebelum mereka berpisah, ia menitipkan Selena pada Rangga dan Linggar.Dalam perjalanan pulang, Selena memecah keheningan. "Li, kok bisa kepikiran manggil aki, padahal lu nggak tau apa yang gue alamin di dalam sana?" tanyanya sambil menoleh ke Linggar.Linggar terkejut. "Kok lu tau gue manggil aki?" tanyanya balik, matanya membelalak heran.Selena tersenyum tipis. "Gue bisa ngerasain," jawabnya singkat, seolah hal itu adalah sesuatu yang biasa.Linggar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Nggak tau juga, gue cuma... keinget aja tiba-tiba. Saking paniknya liat lu nggak nafas, gue refleks manggil aki," ujarnya dengan nada serius, meski matanya menyiratkan rasa lega."Untung banget aki dateng. Makasih ya, Li," ucap Selena dengan tulus.Linggar hanya tersenyum kecil, tapi senyum itu penuh ma
Justin tengah mengemas pakaian-pakaiannya, memasukkannya dengan rapi ke dalam koper. Setelah selesai, ia berdiri dan melangkah keluar dari kamar yang penuh kenangan itu. Sadar akan keberuntungannya memiliki teman sebaik Nicholas, Justin merasa dirinya lah yang bodoh.Dengan langkah pelan, Justin berdiri di depan Nicholas, yang masih mematung dengan wajah dinginnya. Nicholas berdiri dekat meja dapur, menyilangkan tangan di depan dada, menatap Justin dengan tatapan yang sulit diartikan."Nic, maafin gue ya... Gue sadar gue temen yang nggak baik buat lu. Gue selalu bikin onar, selalu bikin elu repot. Gue minta maaf banget..." suara Justin terdengar penuh penyesalan."Udah tau kesalahan lu di mana!?" tanya Nicholas dengan nada ketus, mata Nicholas tajam menatapnya. Justin hanya bisa mengangguk perlahan."Gue bodoh, Nic... Gue gampang banget dimanfaatin sama Allee. Harusnya gue sadar kalau itu cuma akal-akalannya dia. Gue terlalu remehkan semuanya..." Justin menunduk, penuh rasa bersalah.
Semua anak sudah berkumpul di bandara dan kini mulai memasuki pesawat satu per satu. Mereka mencari tempat duduk sesuai tiket masing-masing. Tak disangka, Selena, Rangga, dan Linggar duduk dalam satu barisan yang sama, Selena di tengah diapit oleh keduanya.Melihat itu, Linggar dan Rangga bersorak kegirangan. Mereka bahkan melakukan tos tangan dengan kompak, sesuatu yang jarang terjadi.“Idih, tumben banget kalian akur,” ucap Selena sambil tersenyum. Biasanya, Linggar dan Rangga seperti kucing dan tikus yang tak pernah berhenti saling mengusik.Linggar hanya bisa menggaruk kepalanya sambil berusaha berdalih. “Ya kan… udah mau lulus. Bentar lagi nggak bakal ketemu dia lagi.”“Dih, mulai songongnya,” balas Rangga, melirik Linggar tajam. Namun Linggar pura-pura mengalihkan pandangannya ke luar jendela.Selena tersenyum hangat. “Aku senang deh lihat kalian akur gini. Berasa banget kekeluargaannya.”Perkataan Selena membuat Linggar dan Rangga saling melirik. Kata “kekeluargaan” yang diucap
Semua anak berkumpul di restoran hotel untuk makan malam. Selena duduk di meja bersama Linggar, Rangga, dan Citra. Sore tadi, gangguan dari sosok yang mengerjainya membuat Selena memutuskan untuk kembali membuka mata batinnya.Setelah makan malam, suasana semakin meriah. Para siswa mengadakan pool party di kolam renang utama hotel untuk menghilangkan kebosanan. Tidak ada minuman beralkohol di sana, hanya soda, jus, milkshake, dan minuman lain yang aman. Beberapa anak terlihat berenang sambil tertawa riang, ditemani alunan musik yang membuat malam terasa hidup.“Lompat! Lompat! Lompat!” sorak-sorai anak-anak bergema di udara, menciptakan keriuhan penuh kesenangan.Namun, Selena hanya duduk di meja, menolak ikut ke kolam. Ia memandang sekeliling dengan mata batinnya yang kini kembali terbuka. Dan apa yang dilihatnya membuat bulu kuduknya meremang. Energi di tempat ini jauh lebih menyeramkan dibandingkan saat ia pertama kali tiba.“Hotel ini keren banget, ya. Tiap kamar ada kolam renangn
Keesokan harinya, semua anak sudah berkumpul di restoran sesuai dengan yang diperintahkan oleh guru. Mereka menikmati sarapan sambil bercanda dan berbagi cerita tentang pengalaman tidur mereka di kamar masing-masing."Nyenyak banget gue tidur, maklum sih abis renang malam-malam," ujar seorang siswa dengan penuh semangat."Badan gue pegel, njir. Kayak abis digebukin, salah bantal apa ya?" keluh siswa lainnya sambil mengusap lehernya.Selena hanya mendengarkan, matanya melirik ke sekeliling hotel, mengamati setiap sudut dengan cermat. Dia merasa ada yang tidak beres, dan instingnya terus mengarah pada karyawan lama hotel yang tidak terlihat di mana pun. Dia sangat ingin bertanya, tapi sepertinya tidak ada satupun yang bisa memberinya jawaban.Tiba-tiba, seorang pria keluar dari arah dapur restoran. Dari pakaian dan cara berbicaranya yang sedang menegur karyawan, Selena bisa memastikan bahwa pria itu adalah bos atau pemilik hotel yang baru. Namun, dia tidak mengenal sosok itu sama sekali
Selena hendak keluar, namun tangan nya dicekal oleh pemilik hotel itu. Selena pun menatap tangan yang menahan pergerakannya dengan ekspresi terkejut.Sementara itu, di luar ruangan, Linggar dan Rangga tampak cemas."Maaf, Pak, teman saya sudah mencariku," ujar Selena dengan nada hati-hati."Iya, maaf. Tapi, apa kamu nggak bisa cabut dulu kerisnya?" tanya pemilik hotel itu, mencoba menahan Selena lebih lama."Selena! Kamu di dalam!?" panggil Linggar khawatir."Iya, Li," jawab Selena singkat.Linggar merasa tak nyaman dengan atmosfer di sana, suasana yang mengingatkannya pada saat ia diteror oleh ratu siluman ular di rumahnya.Selena tak peduli lagi dengan pemilik hotel itu. Dengan cepat, ia membuka kunci pintu dan melangkah keluar."Selena, kamu..." Linggar terkejut."Ayo, kita pergi dari sini," kata Selena, dengan cepat menarik tangan Linggar dan Rangga, lalu berlari.Namun, arah larinya berbeda dengan jalan yang mereka tempuh saat datang. Linggar dan Rangga saling berpandangan bingun
Selena sudah berada di kamarnya saat ini. Namun, matanya sulit terpejam. Tidur siang yang terlalu lama hingga pukul tujuh malam tadi membuat rasa kantuk enggan kembali. Dia hanya bisa berbaring telentang di ranjang, pikirannya melayang pada kejadian aneh yang baru saja dilihatnya, asap yang melayang di belakang tubuh Rangga."Kalau itu nyata, apa berarti nyawa Rangga sedang terancam?" batinnya gelisah.Tapi logikanya segera membantah."Mungkin aku salah lihat. Buktinya tadi nggak ada lagi asap itu," gumamnya, mencoba menenangkan diri.Saat pikirannya sibuk bergumul, hidungnya tiba-tiba menangkap bau anyir yang menyengat. Bau itu memaksa Selena untuk bangun dari ranjang dan mencari asal sumbernya. Dengan langkah hati-hati, dia berusaha menelusuri jejak aroma tak wajar itu.Hingga akhirnya, dia menemukannya.Di sudut ruangan, berdiri sesosok perempuan bergaun putih. Sosok itu menunjukkan tubuhnya yang penuh luka, dengan darah mengalir membasahi kain putih yang ia kenakan."Kamu kenapa?"
Sepupu Linggar sudah sadar, dan kini mereka semua berada di dalam mobil. Seharusnya mereka segera pergi dari rumah itu, tapi Selena masih berat meninggalkan dua anak kecil yang dilihatnya di dalam.Di luar, Linggar sibuk bertanya kepada warga sekitar tentang rumah kosong itu. Salah satu yang bersedia berbicara adalah seorang tukang kebun yang tinggal di sebelahnya."Setelah tahun 2011, pemilik rumah ini pergi entah ke mana. Tiba-tiba aja kosong. Beberapa bulan kemudian, ada plang ‘Rumah Dijual’ dipasang," ujar si tukang kebun.Linggar mengangguk, mendengarkan dengan saksama."Setiap malam ada suara-suara aneh," lanjut pria itu. "Kadang suara perempuan teriak, kadang kayak orang berantem sambil banting-banting barang. Padahal nggak ada yang tinggal di situ. Pernah juga ada maling yang masuk, malah dia sendiri yang teriak minta tolong. Katanya lihat kuntilanak!"Linggar merinding. "Jadi rumah ini memang angker, ya, Pak?" tanyanya.Tukang kebun itu mengangguk mantap. "Angker banget. Stra
Selena tiba di sebuah perumahan yang tampak sepi, bayangan pohon menari-nari di bawah cahaya lampu jalan yang redup. Di depan sebuah rumah kosong, Linggar sudah menunggu dengan wajah tegang. Begitu melihat mobil Selena berhenti, ia langsung berlari menghampiri, nafasnya tersengal."Selena, tolongin sepupuku!" serunya panik.Selena turun dari mobil, ekspresinya berubah tajam. "Dimana dia? Jangan bilang kamu tinggalin dia sendirian!?""Enggak! Abangnya ada di atas, jagain dia," jawab Linggar cepat. Tanpa banyak bicara, mereka segera masuk ke dalam rumah, langkah kaki mereka menggema di lorong gelap menuju lantai atas.Begitu mencapai lantai dua, suara teriakan menggema dari dalam salah satu kamar. Selena merasakan hawa yang begitu berat, seakan udara di ruangan itu lebih padat dari biasanya."Deon!" Linggar menerobos masuk, melihat sepupunya yang tengah mengamuk.Di tengah ruangan yang berantakan, Deon meronta-ronta, tubuhnya dipeluk erat oleh kakaknya yang sudah kelelahan menahannya. M
KEESOKAN HARINYASelena duduk di meja belajarnya, pena menari di atas halaman sebuah buku bersampul biru muda, buku diary miliknya. Senyum manis menghiasi wajahnya, membuat siapapun yang melihatnya tahu betapa bahagianya ia saat ini.Dari sudut ruangan, ibunya memperhatikan putrinya dengan penuh kasih. Kebahagiaan Selena seolah menular padanya.“Apa yang bikin kamu bahagia, sayang?” suara lembut ibunya menyapa.Selena tersentak, hampir lupa bahwa ibunya tak bisa ia sentuh lagi. Refleks, ia hampir saja memeluk sosok yang begitu dirindukannya."Hmm, sepertinya Bunda tahu," lanjut ibunya dengan senyum penuh arti. "Anak Bunda lagi kasmaran, ya?"Selena tersipu. “Hehe... Bunda.”"Menurut Bunda, Bang Nicholas gimana?" tanyanya, ragu-ragu tapi penuh harap."Nicholas?" sang ibu tersenyum. "Dia anak yang baik. Saleh, sopan santun, dan penyayang."Selena semakin tersenyum malu-malu. Pipinya bersemu merah."Bunda, Selena udah jadi pacarnya Bang Nicholas," bisiknya dengan nada bahagia.Ya, pacarn
Nicholas menuangkan air ke dalam gelas, lalu mengambil obat untuk Selena. Tapi sejak tadi, senyum di wajahnya tak kunjung hilang. Berkali-kali ia berdehem, berusaha menetralisir kegugupannya."Ehem!" deheman kecil itu terdengar lagi. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ketakutannya ternyata tak menjadi kenyataan."Astaghfirullah…" gumamnya, masih tak percaya.Siapa sangka, saat ia mengajak ayahnya bicara di ruang kerja, reaksinya justru di luar dugaan. Ia mengira akan dimarahi, atau setidaknya mendapat teguran keras. Namun yang terjadi malah sebaliknya, ayahnya ikut bahagia.[Flashback Nicholas, On..]Setelah Nicholas mengungkapkan perasaannya pada ayahnya, lelaki paruh baya itu terkejut bukan kepalang."Astaghfirullah, Abang! Akhirnya!" seru ayahnya, nyaris bersorak.Nicholas mengernyit. Ia sudah siap menghadapi kemarahan, atau paling buruk, tamparan. Tapi senyum lebar malah menghiasi wajah ayahnya."Papa nggak marah?" tanyanya ragu."Marah? Enggak lah! Papa malah seneng. Pap
Selena terbangun dengan mata yang tajam, menyapu sekeliling dengan cepat. Suara itu masih menggema di telinganya, dan saat ia menoleh, sebuah sosok berdiri di kejauhan, tersenyum sinis dengan tatapan penuh tipu daya.Makhluk itu bukan sembarang sosok, ia adalah penghasut, yang senang mengajak manusia yang tengah terpuruk dalam masalah untuk mengakhiri hidupnya. Biasanya, ia berbisik pelan di telinga, merayap masuk ke dalam pikiran, dan perlahan menguasai tubuh manusia hingga mereka tak sadar melakukan tindakan yang tak seharusnya.'Ayo, mati... Ikutlah aku.'"Kamu menghasutku?" Selena menatap tajam.'Lihat, dia di sini. Kamu nggak mau ikut dengan dia?' Sosok itu berubah rupa menjadi Raka, wajah yang dikenal Selena.Selena merasa perih di hati, namun ia tahu itu bukan Raka. Dengan cepat, Selena membaca doa, dan sosok itu menghilang begitu saja. Ia bukanlah jenis makhluk yang dikirimkan, melainkan jiwa yang pernah terperangkap dalam keputusasaan hingga memilih jalan tragis, lalu berusah
Selena melangkah mendekati Sagara, langkahnya mantap, tetapi ada ketegangan yang tak bisa disembunyikan dari sorot matanya. Kini, ia berdiri tepat di hadapan Sagara dan menatapnya dalam-dalam."Mbak Marry... Aku akan mengizinkan Mbak masuk ke dalam tubuhku. Katakan sendiri apa yang ingin Mbak sampaikan ke Bang Sagara... Tapi jangan melewati batas," ujar Selena dengan suara tegas.Sejak tadi, sosok Marry terus berusaha meraih Sagara, tangannya yang tak kasat mata berkali-kali ingin memeluk lelaki itu.Linggar segera berdiri di belakang Selena, bersiap berjaga. Nicholas yang menyaksikan kejadian itu ikut maju, menepuk pundak Linggar."Gue aja," katanya.Linggar menatap Nicholas sejenak, lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya melepaskan Selena. Begitu Marry masuk ke tubuhnya, Selena tersentak. Tubuhnya bergetar, lalu air matanya tumpah tanpa bisa dibendung."Mas Sagara..." suara lirih itu keluar dari bibirnya, tetapi itu bukan lagi suara Selena. Itu suara Marry.Tubuhnya bergerak, tangann
Selena dan Nicholas sedang dalam perjalanan. Biasanya, Selena tak pernah kehabisan cerita, tapi kali ini ia hanya diam, menatap keluar jendela. Nicholas pun tak banyak bicara, pikirannya tampak jauh, seakan ada sesuatu yang membebani.Selena mencoba bersikap biasa, namun sejak mereka keluar dari rumah, suasana hati Nicholas terasa berbeda. Akhirnya, ia memilih memperhatikan jalanan, mengamati manusia dan yang bukan manusia. Sosok-sosok yang seharusnya tak terlihat oleh orang biasa berlalu-lalang di antara mereka, seolah masih hidup.Nicholas melirik Selena yang terus menatap ke luar. Tiba-tiba, ia menepikan mobil di dekat sebuah danau buatan yang sedang ramai dengan orang-orang. Selena menoleh, heran.“Kita mau turun di sini, Bang?” tanyanya.“Iya. Di sini ada festival jajanan. Kamu pasti betah,” jawab Nicholas dengan senyum tipis.Selena tertawa kecil. “Hehe, tau aja aku tukang jajan. Ya udah, yuk!”Ia melepas sabuk pengaman dan hendak turun, tapi Nicholas menahan tangannya.“Dek,” p
Nicholas tiba di rumah, tetapi bayangan Selena tak tampak di mana pun. Ia bertanya pada bibi di rumah, dan mereka mengatakan bahwa Selena sedang berkeliling dengan sepedanya. Tanpa banyak berpikir, Nicholas langsung menuju kamarnya untuk mandi.Namun, baru beberapa anak tangga ia tapaki, suara roda sepeda yang memasuki halaman membuatnya berhenti. Sebuah senyum tersungging di wajahnya, lalu ia berbalik dan turun kembali.Di depan matanya, Selena berdiri dengan napas tersengal, meneguk air dari botolnya dengan rakus."Astaghfirullah, capek banget," gumamnya sambil mengelap keringat di pelipisnya.Tiba-tiba, sebuah handuk kecil jatuh di atas kepalanya. Selena mendongak, dan di sana, Nicholas berdiri dengan senyum khasnya."Abang? Abang udah pulang?" tanyanya, terkejut."Hm, ada seseorang yang di-chat tapi balesnya jutek. Jadi abang pulang aja," sahut Nicholas santai.Selena mengerutkan kening. "Hm? Temen abang?"Nicholas terkekeh. Gadis ini memang tidak pernah peka.Tanpa berkata apa-ap
Selena kini duduk sendiri di kamarnya. Malam semakin larut, namun tidur seakan menjauh dari matanya. Pikirannya terus terjaga, terperangkap dalam kejadian yang membuatnya merasa sangat memalukan tadi."Bisa-bisanya aku pingsan, coba. Apa jangan-jangan aku beneran sakit jantung ya?" gumam Selena pelan, merasa cemas dengan perasaan yang tak biasa ia alami.Setelah sadar, Selena berkata bahwa dia merasa kelelahan agar Nicholas dan ayahnya meninggalkan kamarnya, sebab dia terlalu gugup untuk menghadapi kenyataan. Namun, kini, meski kamar terasa begitu sunyi, tidur tetap tak bisa menyapa matanya. Ia terus berguling, mencari posisi nyaman, tapi tetap tak berhasil.Akhirnya, Selena bangkit dan duduk di meja belajarnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka laptop dan mulai mencari arti dari gejala yang sedang ia rasakan. Ia takut jika itu adalah gejala penyakit jantung sungguhan, padahal usianya masih muda dan seharusnya tidak ada masalah seperti itu. Namun, setelah membaca hasilnya