Beberapa hari kemudian, akhirnya tiba waktunya Rangga pulang ke kampung halamannya. Saat ini, dia sedang sibuk mengemas barang-barangnya, dibantu oleh Linggar dan Selena. Suasana terasa sedikit sendu, terutama bagi Selena, yang sedih karena sebentar lagi harus berpisah dengan Rangga.Mereka bertiga tengah memasukkan buku-buku sekolah Rangga ke dalam kardus. Selena lebih banyak diam, membuat Rangga merasa tidak nyaman melihat sahabatnya seperti itu. Inisiatif pun muncul dari Rangga untuk mencairkan suasana.Tanpa pikir panjang, dia mengambil penghapus dan melemparkannya ke arah Selena."Aduh!" Selena meringis kecil sambil memegangi kepalanya. "Sakit tahu!""Jangan ngelamun terus, nanti kerasukan lho," goda Rangga dengan tawa kecil di wajahnya.Selena memandang Rangga dengan ekspresi manyun. "Ish! Orang lagi sedih kita bakal pisah, eh malah ditimpuk pakai penghapus!""Kan ada Linggar. Dia bisa nemenin kamu," sahut Rangga, masih mencoba menghibur Selena.Selena menghela nafas panjang. "T
Linggar terkejut mendengar teriakan Selena, dia langsung melihat ke arahnya dengan cemas. Rangga yang sebelumnya tertidur di depan juga terbangun, terkejut mendengar nama dirinya dipanggil dengan suara panik oleh Selena."Selena, kenapa?" tanya Linggar dengan khawatir, sigap membuka botol air dan memberikannya pada Selena.Selena langsung meminum air itu dengan rakus, meneguk seluruhnya dalam sekali habis. Setelahnya, dia mengatur napas, berusaha menenangkan diri. Dengan lega, Selena sadar bahwa itu hanya mimpi. Namun, betapa anehnya mimpi yang datang begitu jelas di siang hari."Selena, kenapa? Kok kamu teriak manggil namaku?" tanya Rangga, kini berbalik ke belakang, penasaran."Nggak apa-apa, aku cuma mimpi aja tadi," jawab Selena, sambil memejamkan matanya, berusaha menenangkan diri dari kegelisahan yang melanda.Rangga terkekeh mendengar penjelasan Selena, ia mengira mungkin Selena merasa cemas karena perpisahan yang akan datang, hingga terbawa dalam mimpi."Kita masih bisa ketemu
Rangga membuka buah kelapa yang dia petik tadi dan membagikannya kepada Linggar, ibunya, dan dirinya sendiri. Linggar sangat menikmati rasanya, merasakan manis alami yang segar."Bude, di rumah bude banyak energi yang asing," tiba-tiba Selena berbicara, membuat ibunya Rangga dan Rangga tertegun."Maksudnya, nak?" tanya ibunya, terlihat bingung."Ada yang aneh sama rumah ini. Aku lihat banyak sekali monyet di sekitar rumah Bude, tapi bukan monyet asli," jawab Selena. Rangga langsung tersedak."Pelan-pelan, Ra," ujar ibunya, cemas."Selena, maksud kamu bukan monyet asli?" tanya Rangga, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar."Banyak monyet. Ada satu, dua, tiga, empat, lima, enam... (Selena menoleh ke sana kemari) ada sembilan monyet," jawab Selena, matanya bergerak cepat, seolah mencoba menangkap setiap gerakan di sekitar mereka.Seketika itu, Rangga merinding. Saat di atas pohon kelapa, dia memang melihat monyet aneh yang terus menatapnya, dan sekarang Selena mengungkapkan sesuat
Selena dan Linggar telah selesai makan dan melaksanakan sholat. Kini, mereka berada di ruang tamu bersama bibi dan Ustadz Sholeh yang datang berkunjung.Kedatangan Ustadz Sholeh bukan tanpa alasan. Ia baru saja membantu Selena memagari rumah setelah menemukan sebuah buhul, yang ternyata merupakan kiriman untuk mencelakai Selena. Tanpa ragu, Selena membakar buhul tersebut, bersikap tegar meski situasinya cukup mencekam.“Rupanya, bukan hanya saya yang merasa ada sesuatu yang janggal dengan ayahnya Rangga. Setelah diamati, dia memang telah melakukan hal-hal yang tidak seharusnya,” ujar Ustadz Sholeh sambil menghela nafas panjang.Selena menatapnya dengan cemas. “Jadi, yang ada di rumah Rangga itu bukan kiriman, Ustadz? Itu peliharaan ayah Rangga?” tanyanya.Ustadz Sholeh mengangguk, raut wajahnya menyiratkan keprihatinan. “Astaghfirullah…” gumam Selena pelan.“Kenapa Pakde sampai menempuh jalan itu? Ya Allah…” ucap Selena dengan mata berkaca-kaca. Kesedihannya terasa dalam; keluarga Ran
Selena dan Linggar melangkah perlahan menuju rumah ibunya Rangga. Ketika mereka masuk, terlihat wajah sang ibu tampak lemas dan pucat, seperti seseorang yang tengah memikul beban berat. Selena berusaha menjaga sikap. Ia tahu kebenaran tentang pakde tidak mudah disampaikan, namun ia harus memastikan satu hal: apakah ibunya Rangga sudah tahu atau belum.Tak lama, ibunya Rangga muncul dari dalam rumah dengan membawa nampan berisi minuman. Senyumnya samar, namun tetap ada kehangatan di sana. Ia meletakkan gelas-gelas itu di depan Selena dan Linggar, kemudian duduk di hadapan mereka."Minum dulu, Nak," ujarnya lembut, menyodorkan minuman itu."Terima kasih, bude," jawab Selena dan Linggar bersamaan, dengan nada sopan.Selena mencoba memulai pembicaraan, memilih kata dengan hati-hati. "Bude, kalau boleh tahu, sejak kapan pakde buka lapak buah?""Oh, sudah cukup lama," jawab ibunya Rangga sambil tersenyum tipis. "Sejak Rangga pindah ke Jakarta, pakde-mu mulai jualan buah di pasar."Selena me
Malam semakin larut, tetapi Selena masih terjaga. Ucapan Raja Monyet terus bergema di benaknya, mengusik ketenangannya. "Keluargamu bersekutu dengan iblis," katanya. Kata-kata itu seperti racun yang menyusup ke pikirannya."Bagaimana mungkin? Semua keluargaku sudah tiada..." gumam Selena sambil menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Ia menggigit bibir, mencoba meredam kekhawatiran yang menjalar. "Ataukah... apakah aku memiliki keluarga lain yang aku sendiri nggak tahu?"Berputar-putar di kamar tanpa arah, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh. Suara langkah berat terdengar dari atap rumahnya.Kriet!Selena terdiam, menengadah ke atas. Ia mengaktifkan kemampuan penglihatannya untuk melihat yang tak kasat mata. Di atap rumah, terlihat makhluk-makhluk mengerikan yang mencoba masuk. Tubuh mereka hitam legam, rambut panjang menjuntai seperti benang kusut. Mereka bertaring, dengan leher yang panjang menjulur seperti ular.Energi mereka begitu jahat, sangat negatif hingga membuat udar
Selena menangis begitu dia kembali ke alam nyata. Linggar yang melihatnya pun langsung merasa khawatir melihat Selena yang menangis terisak-isak, sesenggukan. Selena menoleh ke sana kemari, seolah mencari sesuatu. Dengan terburu-buru, ia bangkit dari duduknya dan mulai melihat ke luar melalui jendela-jendela yang ada. Melihatnya seperti itu, Linggar semakin khawatir dan mengikuti langkah Selena."Selena, kenapa?" tanya Linggar dengan cemas."Bunda..." gumam Selena pelan, dan Linggar terdiam, tak tahu harus bagaimana."Bunda?" gumam Linggar bingung, masih mencoba memahami keadaan Selena. Namun, Selena tak menjawab. Ia menutup wajahnya, menangis terisak-isak di dekat jendela. Tangisnya begitu dalam hingga membuat bibi yang semula tidur kembali terbangun."Nak Selena, kenapa? Mas?" tanya bibi, memandang Linggar dengan wajah khawatir. Linggar hanya menggelengkan kepala, tak tahu apa yang terjadi."Hiks... hiks... hiks..." Selena menangis dengan keras, sesenggukan, seakan seluruh beban di
Pagi itu, sekitar pukul tujuh, Rangga datang ke rumah Selena dengan wajah penuh kepanikan. Nafasnya terengah-engah, seolah telah berlari sejauh mungkin tanpa henti."Assalamu'alaikum!" sapanya terburu-buru, suaranya terdengar tergesa-gesa."Wa'alaikumussalam," jawab Selena dan Linggar serempak, keduanya saling melirik, bingung melihat Rangga yang tampak panik."Loh, Selena! Lehermu kenapa? Kok diperban?" tanyanya tanpa basa-basi, matanya melebar penuh kekhawatiran."Semalam ada tamu tak diundang nyusup ke rumah. Dia berhasil merasuki Bibi dan menyerangku. Tapi aku nggak apa-apa. Linggar sempat nolongin," jawab Selena santai, seolah kejadian itu bukan hal besar."Astaghfirullah, mereka bener-bener keterlaluan!" ujar Rangga, tangannya mengepal."Lalu, pagi-pagi begini kenapa kamu panik datang ke sini?" tanya Linggar sambil menatapnya tajam.Rangga menghela nafas panjang. "Astaghfirullah, hampir lupa! Selena, aku butuh bantuanmu. Tolong ibuku," ucapnya dengan nada penuh desakan."Bude? M
Selena sedang sarapan dengan ayah Nicholas, dan ayah Nicholas menceritakan pada Selena apa yang kemudian Pak Hasan lakukan pada Faaz. Faaz sudah berhasil diselamatkan hanya tinggal pembersihan saja, dan Selena senang mendengarnya."Alhamdulillah ketemu sama Om Hasan, dia orang yang tepat." Ujar Selena."lya, tapi papa lebih bangga sama kamu, karena kamu sudah berhasil menyelamatkan sukmanya Faaz. Om Hasan bilang, nanti siang akan melakukan pembersihan di rumah Faaz." Ujar ayah Nicholas."Siang ya, pa? Aku nggak bisa bantuin dong." Ujar Selena."Nggak apa-apa, nak.. nggak semua hal harus kamu yang lakuin." Ujar ayah Nicholas, akhirnya Selena mengangguk."Tapi semalem bener-bener serem pa, di alam sana itu bukan kayak alam astral yang biasanya, bukan alam kosong, tapi kayak kota Jakarta asli." Ujar Selena."Mungkin yang kamu lihat memang asli, cuma mereka tidak melihat kamu. Ada sebutannya dulu, orang jawa kuno menyebutnya itu adalah merogo sukmo" Ujar ayah Nicholas, Selena pun mengerny
Selena masuk kedalam kamar-kamar yang ada di ruangan itu, tapi Selena tak menemukan keberadaan Faaz, Selena terus memanggil Faaz, berharap akan ada sahutan. Dan saat itu Selena melihat nenek tua itu sedang muntah-muntah darah."Kak Faaz!" Panggil Selena dengan keras.Selena melihat Intan juga berubah menjadi mengerikan, Intan merangkak kesakitan, seluruh wajah nya berdarah-darah. Nenek tua itu tampak ngesot di lantai dan menuju ke sebuah pintu yang belum Selena masuki, Selena mengikutinya dan dia melihat Faaz."Kak Faaz!" Selena bergegas masuk dan langsung menghampiri Faaz yang sedang tak sadarkan diri."Kak Faaz! Bangun kak!" Selena menepuk Faaz tapi Faaz tetap tidak sadarkan diri."Kak Faaz, bangun ini Selena." Ujar Selena, dan saat itu Faaz membuka matanya."Kak, ayo kita pergi dari sini." Ujar Selena, dia menggandeng tangan Faaz tapi Faaz kebingungan."Kita dimana?" Tanya nya."Aku jelasin ntar, ayo sekarang kita pergi." Ujar Selena, dan menarik tangan Faaz.Faaz menutup mulut nya
Faaz duduk dan keheranan karena semua orang sedang mengaji, dan dia diletakkan di tengah seperti mayit. Tapi dari tatapan nya, Faaz terlihat seperti bukan Faaz.Ibunya hendak bangun dan menghampiri Faaz tapi dilarang oleh Selena."Jangan tante, tante harus tetap duduk." Ujar Selena."Kalian ngapain ngaji kayak gini!?" Faaz marah."Karena kami ingin mengeluarkan kamu, dari tubuh kak Faaz." Ujar Selena."Hei! Kamu pikir siapa kamu!? Suruh mereka berhenti!" Ujar Faaz, tapi tentu Selena tidak mendengarkan nya."Kamu nggak kenal dia, Fa? Dia Selena, bukan nya lo sering bahas dia?" Ujar Doni, dan Faaz tampak mengalami sakit kepala.'Selena?' Faaz seolah berpikir keras, siapa gerangan Selena yang dimaksud. "Kak Faaz nggak bakal inget, dia bukan dia karena di otak nya cuma dipenuhi oleh Intan." Ujar Selena, seketika Faaz menatap Selena."Mana pacar gue! Kalian apain pacar gue!" Faaz hendak menghampiri Selena tapi langkah nya terhenti karena dia seolah menabrak pembatas."Om, tante.. semuanya
Akhirnya pada sore harinya ketika kuliah berakhir, Doni langsung mencegah Faaz yang hendak keluar kelas. Faaz juga sudah mendapat panggilan dari ayah nya tapi Faaz menolak pulang dengan alasan dia ada tugas yang harus dikerjakan. "Fa, bokap lu nelpon gue, dia bilang minta lu pulang." Ujar Doni, Faaz menatap Doni dengan tatapan yang sangat dingin. "Lu yang minta, kan? Mau ngapain si lu!?" Ujar Faaz dan Doni sedikit tertegun. "Fa, lu tuh dalam bahaya dan kita semua sedang berusaha nyelamatin elu. Kita semua care sama nyawa lu jadi please pulang ya, Fa." Ujar Doni, Faaz hanya tersenyum dingin. "Nggak! Jangan ikut campur urusan gue, jangan deket-deket gue, jangan ganggu gue, lu paham!?" Ujar Faaz dengan penuh penekanan. Faaz hendak melangkah pergi tapi Doni akhirnya melakukan hal nekat. "BUGH!!" "UKH!" Doni memukul kepala Faaz sampai pingsan. "Sorry, Fa. Kalo nggak gini, lu nggak slamet." Ujar Doni, lalu menyeret tubuh Faaz. Selena sedang berjalan menuju ke kelas Faaz dan
Selena tiba di universitas dengan langkah cepat. Kini, ia sudah bersama Linggar. Matanya langsung menangkap sosok Doni di kejauhan, dan tanpa ragu, ia menghampirinya sambil membawa sebotol air putih di tangannya, air yang telah didoakan."Kak..." panggil Selena lembut.Doni mengangguk tanpa banyak bicara, menerima air itu dengan ekspresi tenang. Tanpa menunggu lama, Selena berbalik dan melangkah masuk ke dalam kelasnya bersama Linggar.Sementara itu, Doni juga berjalan menuju kelasnya. Begitu masuk, ia melihat Faaz duduk sambil memegangi kepalanya. Raut wajahnya tampak kesakitan."Lu kenapa, Fa?" Doni bertanya dengan nada khawatir.Faaz menghela napas berat. "Nggak tahu kenapa… kepala gue sakit banget."Tanpa berpikir panjang, Doni mengulurkan botol air yang baru saja diberikan Selena. "Nih, minum dulu."Faaz, yang tengah kesakitan, langsung meneguknya tanpa curiga sedikit pun. Seteguk, dua teguk… Air itu mengalir melewati tenggorokannya, memberikan sensasi dingin yang aneh.Doni mena
Kenzi dan Selena menaiki eskalator menuju lantai tempat Kenzo dirawat. Sepanjang perjalanan, Kenzi terus menunduk, seolah tak ingin dunia melihat luka yang menggores hatinya. Rasa sakit yang selama ini ia pendam, kini mengalir begitu dalam, membanjiri pikirannya.Sesampainya di depan kamar Kenzo, Kenzi mengambil nafas dalam sebelum mendorong pintu. Begitu masuk, ia langsung disambut pemandangan ibunya yang tengah menangis dalam pelukan sang ayah."Kenzi!" seru ibunya dengan suara bergetar. "Kenzi sayang… maafin Mama, Nak."Dengan cepat, ia bangkit dan langsung memeluk putranya erat, seakan takut kehilangan lagi.Sayang… Ibunya baru saja memanggilnya dengan kata itu. Sesuatu yang selama ini tak pernah ia dengar."Kenzi… maafin Mama," lanjutnya, suaranya terisak. "Mama nggak tau kalau selama ini kamu udah melakukan banyak hal buat kami."Tapi Kenzi hanya diam. Bibirnya melengkung dalam senyuman tipis, tapi hatinya tetap terasa hampa. Tak ada kebahagiaan yang menyeruak, tak ada kehangata
Selena duduk bersama kedua orang tua Kenzo serta saudara kembarnya, Kenzi. Ia telah menyampaikan semua yang dikatakan Kenzo, tanpa ada yang ditutupi. Kini, keheningan menyelimuti ruangan. Ibunya terdiam sesaat sebelum akhirnya membuka suara."Tapi tetap saja, dia itu bawa sial sejak lahir," ucapnya dingin.Kenzi menunduk. Tatapannya kosong, tapi hatinya penuh luka yang selama ini tak pernah sembuh.Selena menghela napas, mencoba tetap tenang meski dadanya bergejolak. "Tante, nggak ada satu anak pun yang bisa memilih dari rahim siapa dia dilahirkan. Lahirnya seorang anak itu anugerah, rezeki. Itu titipan Allah untuk Tante dan Om." Ucapannya lembut, penuh pemahaman, namun tegas.Kenzi menahan napas, matanya berkaca-kaca. Sementara itu, sang ayah menatap Kenzi dengan ekspresi sulit diartikan."Kenzi bukan pembawa sial," lanjut Selena, suaranya sedikit bergetar. "Cap yang Tante kasih ke dia itu doa dari Tante sendiri. Kenapa bisa Tante sebenci itu sama anak kandung Tante? Anak yang Tante
Selena berdiri di dalam ruangan rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Matanya terpejam, tubuhnya sedikit gemetar, dan kedua tangannya terangkat seolah sedang menarik sesuatu yang tak terlihat. Bagi orang biasa, ia mungkin tampak seperti sedang melakukan gerakan aneh seperti seseorang yang kesurupan atau berhalusinasi. Tapi di dunia astral, sesuatu yang mengerikan sedang terjadi.Asap hitam pekat merayap keluar dari punggungnya, menggeliat liar seperti makhluk hidup. Selena menggenggam asap itu dengan erat, memaksanya untuk berkumpul di telapak tangannya. Tiba-tiba, asap itu mulai membentuk sosok.Sebuah wajah mengerikan muncul, seorang perempuan dengan mata cekung yang bersinar merah, mulut sobek hingga ke telinga, dan deretan gigi runcing yang meneteskan cairan hitam pekat."Khhk! Khhhk! Lepas!!!" jerit sosok itu, tubuhnya menggeliat kesakitan dalam genggaman Selena.Tapi Selena tetap kuat. Ini bukan pertama kalinya dia menghadapi sesuatu seperti ini."Siapa yang mengirimmu?" tanyanya,
Saat jam istirahat tiba, akhirnya Selena mengizinkan sosok bernama Roy untuk berbicara. Wajah hantu itu dipenuhi kecemasan, matanya memohon dengan putus asa."Tolongin dia, Selena."Selena menatapnya lekat. Ia sudah tahu kekhawatiran Roy. Sudah sejak lama ia menyadari bahwa Faaz berada dalam bahaya besar."Iya, aku tahu," ujar Selena, suaranya tenang tapi tegas. "Tapi ini nggak mudah."Selena menarik napas, menatap lurus ke arah Roy yang kini menunduk. "Masalahnya, apa yang ada di belakang Intan itu bukan sekadar sosok biasa. Intan jelas-jelas sudah melakukan perjanjian sama setan."Ucapan itu membuat udara di sekitar mereka terasa lebih dingin. Roy mengepalkan tangannya."Selain Kak Roy, siapa teman Kak Faaz yang paling dekat sama dia?" tanya Selena."Doni! Kamu ingat wakil ketua BEM, kan?" jawab Roy cepat.Selena mengangguk. "Oke, aku bakal minta bantuan Kak Doni. Semoga dia gampang diajak ngomong."Setelah itu, Selena kembali ke alam nyata. Begitu kesadarannya kembali, ia langsung