“Karena kau tak tahu diri, Andi. Sudah kita ini miskin, sukai saja gadis yang biasa-biasa, Nak. Kenapa harus Nora?” Emakku tak kalah mendebat. Hari ini kami bukan seperti ibu dan anak. “Mak, sudahlah. Sudah terjadi.” Aku tak sampai hati membuat emakku bersedih lebih dalam. “Tak bisa, Nak, tak bisa. Kau jangan lari dari tanggung jawab. Jangan selepas kau hamili anak orang kau pergi. Emak tak ridho, tak masuk surga kau karena durhaka. Paham tak kau?” “Saya tak pernah percaya surga dan neraka, Mak.” “Terserah kau saja, Andi. Emak akan ke rumah Haji Yunus malam ini juga. Emak akan minta maaf karena melahirkan dan membesarkan anak tolol macam kau.” “Untuk apa Mak ke sana? Haji Yunus menolak tadi saat saya ingin bertanggung jawab atas kehamilan Nora.” “Emak akan tetap pergi.” Emakku membuka telekung lusuhnya. Beliau berganti dengan kain dan baju panjang serta selendang. Emak jalan kaki tanpa alas di malam gelap dan harus sampai ke rumah Pak Haji Yunus. Aku pun ikut dari belakang. Tak
Malam ini juga aku dinikahkan oleh Sahrul selaku wali dari Nora Syafitri. Sebelum memulai akad nikah serba mendadak bahkan tanpa hidangan satu piring nasi pun. Aku diminta mengucap kalimat syahadat oleh salah seorang ustad. Apa gunanya? Ada atau tidaknya kalimat syahadat aku akan tetap hidup mencari uang sendirian. Tidak hanya itu saja, ada dua saksi datang menyaksikan pernikahan kami. Nora sama sekali tidak berias pun berinai. Dengan baju yang melekat di badannya serta selendang lusuh pemberian emakku saja dia duduk diam menanti ijab dan qabul bergantian diikrarkan. Nora terlihat pasrah, dia tak punya tempat bergantung selain aku. Aku sudah berhasil membuat Haji Yunus sakit hati. Aku terbata-bata mengucapkan dua kalimat syahadat di usia hampir kepala tiga. Kapan terakhir kali aku sholat? Entahlah, aku tidak tahu pasti. Yang jelas emakku hampir bosan mengingatkanku yang bebal. Andai sholat bisa membuatku kaya, akan aku lakukan. Tapi tidak, kan, aku masih bersusah payah bahkan demi
Selesai mandi Nora berwudhu. Gila, padahal air sangat dingin dan dia tahan begitu saja. Nora ingin naik ke rumah panggung kami yang hampir reot. Aku ingin memegang tangannya tapi dicegah. “Jangan, Bang. Nora ada wudhu, nanti batal,” katanya. Oh, begitu ternyata. Aneh sekali, padahal dia rela saja aku sentuh di dekat pohon besar. Saat sudah wudhu malah tidak mau.Dia membuka lemari kayuku yang reot dimakan rayap. Lalu dia tutup. Ya, bajunya tidak ada di sana, dan dia pakai yang tadi malam saja. Setelahnya gadis lugu yang rambutnya panjang serta dijalin dua terus menunaikan ibadah wajib yang telah bertahun-tahun lamanya aku tinggalkan. Kusyu sekali tanpa terganggu dengan suara batuk emakku. “Abang tak sholat?” tanyanya ketika melipat telekung lusuh milik emakku. “Tak, malas! Tak ada gunanya sholat bagi Abang.” Dia diam saja, karena takut denganku, terlihat dari matanya yang langsung berubah cara pandangnya. Mungkin Nora terkejut. Kalau dia mau terima silakan, kalau tidak juga kena
“Andi, kau kalau tak kaya, pakai otak kau sikit. Kalau kau bunuh Sahrul, terus kau masuk penjara, anak dikau ni lahir tak ade ayah. Bebal betul jadi orang.” Emak datang mengambil dan melempar parang tajam yang aku bawa. Nora sudah bersembunyi di balik tubuh Sahrul. “Dia pun tak ada otak, menghina keluarga kita terus, Mak.” “Memang kita patut kena hina, Andi. Emak tak pandai urus kau. Dah umur 30, sholat pun tak pernah, kau dah macam kafir. Puasa tak peduli, zakat jangan tanya lagi kite miskin, orang macam kau ni besok, ada duit sikit pun dah nak kawin lagi banyak-banyak. Cuih!” Aku tidak mengerti kenapa emak malah menghinaku. Kawin banyak-banyak katanya, yang ada perempuan lain memandangku hina. “Nak Sahrul, pulanglah dari sini. Kalau tak penting sangat, tak usah datang kemari. Aku pandailah cari duit untuk bagi makan adik kau. Dah jangan datang hina kami lagi. Pergi! Pergi!” Emakku marah. “Memang saya nak pergi. Tak sudi di sini lama-lama. Nora, kalau ada ape pun cakap dengan Aba
Terus kenapa masih mempertahankan agama ini. Lebih baik hidup sepertiku yang bebas tanpa kewajiban. Kalau ujung-ujungnya sama saja masuk neraka, bukan? Kadang aku berpikir jadi lelaki itu enak. Sudah di dunia kuat di akhirat jelas masuk surga dan disambut bidadari yang cantik jelita. “Bang, tolong, Bang.” Panggilan Nora membuatku terkejut. Segera saja saku berlari. Emak memuntahkan kacang hijau yang disuapkan Nora. “Tolong apa?” Aku juga bingung. “Tolong pegang Emak sekejap ajee.” Nora sepertinya ke kamar dan dia membawa minyak yang aromanya hangat. Dia balurkan di dada dan punggung emakku. Beberapa saat kemudian emakku tertidur dengan tarikan napas sangat berat di dada. “Bang, keluar kejap.” Nora menarik tanganku. “Kenapa, Nora?” “Bawa Emak ke rumah sakit di seberang besok. Nora ikut,” ucapnya hati-hati. “Kau tahu Abang tak ade duit, kan?” Bukan aku tak mau, tapi ke mana aku harus meminjam? Namaku sudah telanjur buruk di depan orang lain. “Tahu.” “Jadi?” “Jual perhiasan Nor
Emak kami makamkan di kota seberang saja. Sebab untuk dibawa pulang kampung ternyata harus menyewa pompong yang sangat mahal. Bahkan uang hasil penjualan emas milik Nora saja tidak cukup karena telah dipotong biaya rumah sakit dan mengurus penguburan Emak. Sejenak aku terpekur di depan pusara emakku. Satu demi satu orang yang aku sayangi pergi. Mulai dari atuk yang katanya kalah bertarung dengan Haji Yunus, ayahku yang kena imbasnya sampai sakit, dan terakhir Emak. Tinggallah Nora dan anakku dalam kandungannya. Sepanjang perjalanan pulang kami hanya diam membisu. Nora memeluk tanganku dan bersandar di bahu. Pergi bertiga pulang berdua dalam waktu sehari semalam sangat menyakiti hatiku. Ditambah berpapasan pula lagi dengan Sahrul. “Ehm, Nora, Abang turut berduka cita, ye. Tak ape, namenya orang hidup dah sampai ajalnye.” Seharusnya dia bicara seperti itu padaku, tapi terserah. Aku tidak mau ribut karena hal-hal kecil. Nanti saja kalau ada masanya dia akan aku buat meminta ampun di b
“Bang, dah Shubuh?” Nora terbangun dengan mata yang belum terbuka. “Belum, kejap lagi.” Aku berbaring. Tulangku serasa lepas melihat wajah makhluk tadi. Untung saja jantungku tidak berhenti berdetak. “Bang, Nora rindu betul dengan Abang.” Aku paham apa maksudnya, tapi rasanya sudah tidak penasaran seperti dulu. Lagi pula apa dia tak lelah seharian di kota seberang mengurus banyak hal. “Besok aje, Nora, hari ini Abang penat betul.” Dia langsung cemberut dan tidur lagi. Terserah. Lalu Shubuh masuk tak lama setelah itu. Nora bangun, dan lekas Sholat. Aku melihat tata caranya beribadah di dekat jendela. Samar-samar aku lihat ada penampakan yang katanya peliharaan atuk dulu. Tapi dia langsung menjauh ketika mendengar Nora mengaji. “Bang, kita tak buat tahlilan untuk Emak?” tanya Nora sambil melipat telekungnya. “Nora, duit dari mane? Abang pakai duit Nora dah banyak.”“Paling tidak hari pertame sampai ketige, Bang, tujuan untuk orang tahu kalau Emak dah tak ade.” “Ade tak ade Emak,
“Bang Andi, nak ke mane?” Suara Nora terdengar dan Emak langsung menghilang. Istriku datang sambil membawa lampu minyak. Kenapa dia tak tidur saja sampai shubuh seperti biasa. Mengganggu saja. “Tak ade, tangkap ikan,” jawabku asal, kalau aku katakan sejujurnya bisa kena ceramah aku. “Cari ikan dalam hutan, Bang?” Nora tak percaya denganku. “Dah siap, dapat untuk makan besok.” Aku menyerahkan ikan ukuran sedang dalam ember pada Nora. Dia terlihat senang karena tak harus makan ikan asin lagi. Karena Emak sudah hilang, aku pun memutuskan pulang dengan istriku saja. Sampai di rumah Nora mengasapi ikan di atas bara api. Besok pagi biasanya sudah kering dan menghitam, dan akan awet selama beberapa hari. Setelahnya kami berdua tidur. Kembali Nora memelukku dan mengatakan rindu. Kasihan rasanya sejak menikah aku selalu mengabaikannya. Entah mengapa rasanya memang tidak terlalu menggebu seperti kami belum menikah dulu. Padahal aku yakin dia pasti tersiksa. Aku memenuhi permintaannya, t