“Andi, kau kalau tak kaya, pakai otak kau sikit. Kalau kau bunuh Sahrul, terus kau masuk penjara, anak dikau ni lahir tak ade ayah. Bebal betul jadi orang.” Emak datang mengambil dan melempar parang tajam yang aku bawa. Nora sudah bersembunyi di balik tubuh Sahrul. “Dia pun tak ada otak, menghina keluarga kita terus, Mak.” “Memang kita patut kena hina, Andi. Emak tak pandai urus kau. Dah umur 30, sholat pun tak pernah, kau dah macam kafir. Puasa tak peduli, zakat jangan tanya lagi kite miskin, orang macam kau ni besok, ada duit sikit pun dah nak kawin lagi banyak-banyak. Cuih!” Aku tidak mengerti kenapa emak malah menghinaku. Kawin banyak-banyak katanya, yang ada perempuan lain memandangku hina. “Nak Sahrul, pulanglah dari sini. Kalau tak penting sangat, tak usah datang kemari. Aku pandailah cari duit untuk bagi makan adik kau. Dah jangan datang hina kami lagi. Pergi! Pergi!” Emakku marah. “Memang saya nak pergi. Tak sudi di sini lama-lama. Nora, kalau ada ape pun cakap dengan Aba
Terus kenapa masih mempertahankan agama ini. Lebih baik hidup sepertiku yang bebas tanpa kewajiban. Kalau ujung-ujungnya sama saja masuk neraka, bukan? Kadang aku berpikir jadi lelaki itu enak. Sudah di dunia kuat di akhirat jelas masuk surga dan disambut bidadari yang cantik jelita. “Bang, tolong, Bang.” Panggilan Nora membuatku terkejut. Segera saja saku berlari. Emak memuntahkan kacang hijau yang disuapkan Nora. “Tolong apa?” Aku juga bingung. “Tolong pegang Emak sekejap ajee.” Nora sepertinya ke kamar dan dia membawa minyak yang aromanya hangat. Dia balurkan di dada dan punggung emakku. Beberapa saat kemudian emakku tertidur dengan tarikan napas sangat berat di dada. “Bang, keluar kejap.” Nora menarik tanganku. “Kenapa, Nora?” “Bawa Emak ke rumah sakit di seberang besok. Nora ikut,” ucapnya hati-hati. “Kau tahu Abang tak ade duit, kan?” Bukan aku tak mau, tapi ke mana aku harus meminjam? Namaku sudah telanjur buruk di depan orang lain. “Tahu.” “Jadi?” “Jual perhiasan Nor
Emak kami makamkan di kota seberang saja. Sebab untuk dibawa pulang kampung ternyata harus menyewa pompong yang sangat mahal. Bahkan uang hasil penjualan emas milik Nora saja tidak cukup karena telah dipotong biaya rumah sakit dan mengurus penguburan Emak. Sejenak aku terpekur di depan pusara emakku. Satu demi satu orang yang aku sayangi pergi. Mulai dari atuk yang katanya kalah bertarung dengan Haji Yunus, ayahku yang kena imbasnya sampai sakit, dan terakhir Emak. Tinggallah Nora dan anakku dalam kandungannya. Sepanjang perjalanan pulang kami hanya diam membisu. Nora memeluk tanganku dan bersandar di bahu. Pergi bertiga pulang berdua dalam waktu sehari semalam sangat menyakiti hatiku. Ditambah berpapasan pula lagi dengan Sahrul. “Ehm, Nora, Abang turut berduka cita, ye. Tak ape, namenya orang hidup dah sampai ajalnye.” Seharusnya dia bicara seperti itu padaku, tapi terserah. Aku tidak mau ribut karena hal-hal kecil. Nanti saja kalau ada masanya dia akan aku buat meminta ampun di b
“Bang, dah Shubuh?” Nora terbangun dengan mata yang belum terbuka. “Belum, kejap lagi.” Aku berbaring. Tulangku serasa lepas melihat wajah makhluk tadi. Untung saja jantungku tidak berhenti berdetak. “Bang, Nora rindu betul dengan Abang.” Aku paham apa maksudnya, tapi rasanya sudah tidak penasaran seperti dulu. Lagi pula apa dia tak lelah seharian di kota seberang mengurus banyak hal. “Besok aje, Nora, hari ini Abang penat betul.” Dia langsung cemberut dan tidur lagi. Terserah. Lalu Shubuh masuk tak lama setelah itu. Nora bangun, dan lekas Sholat. Aku melihat tata caranya beribadah di dekat jendela. Samar-samar aku lihat ada penampakan yang katanya peliharaan atuk dulu. Tapi dia langsung menjauh ketika mendengar Nora mengaji. “Bang, kita tak buat tahlilan untuk Emak?” tanya Nora sambil melipat telekungnya. “Nora, duit dari mane? Abang pakai duit Nora dah banyak.”“Paling tidak hari pertame sampai ketige, Bang, tujuan untuk orang tahu kalau Emak dah tak ade.” “Ade tak ade Emak,
“Bang Andi, nak ke mane?” Suara Nora terdengar dan Emak langsung menghilang. Istriku datang sambil membawa lampu minyak. Kenapa dia tak tidur saja sampai shubuh seperti biasa. Mengganggu saja. “Tak ade, tangkap ikan,” jawabku asal, kalau aku katakan sejujurnya bisa kena ceramah aku. “Cari ikan dalam hutan, Bang?” Nora tak percaya denganku. “Dah siap, dapat untuk makan besok.” Aku menyerahkan ikan ukuran sedang dalam ember pada Nora. Dia terlihat senang karena tak harus makan ikan asin lagi. Karena Emak sudah hilang, aku pun memutuskan pulang dengan istriku saja. Sampai di rumah Nora mengasapi ikan di atas bara api. Besok pagi biasanya sudah kering dan menghitam, dan akan awet selama beberapa hari. Setelahnya kami berdua tidur. Kembali Nora memelukku dan mengatakan rindu. Kasihan rasanya sejak menikah aku selalu mengabaikannya. Entah mengapa rasanya memang tidak terlalu menggebu seperti kami belum menikah dulu. Padahal aku yakin dia pasti tersiksa. Aku memenuhi permintaannya, t
“Bawak sini, biar aku adzankan keponakan aku.” Aku menoleh ke belakang ketika Sahrul muncul. “Dah, tak usah pikir perkare kite dulu. Bawak sini anak Nora, harus diadzankan, Andi.” Wajah Sahrul tak terlihat menghinaku. Dia betul-betul meminta anakku dengan baik. Demi kebersamaan dan keselamatan aku berikan anak kami pada pamannya. Dengan fasih Sahrul adzan. Tak terasa air mataku menetes begitu juga dengan dia. Sahrul sudah lebih dahulu menikah dari Nora tapi belum diberikan anak. Mungkin karena itu dia terharu. “Keponakan Pak Cik, jadi anak baik, ye.” Sahrul memberikan lagi bayi itu padaku. “Andi, titip salam dengan Nora. Ini dari aku untuk Nora dan anak die. Nora punya hak untuk menerimanya, kau tak boleh melarang.” Sahrul meninggalkan rumahku yang dulu dikatakan kandang kambing. Sesekali dia melihat ke belakang mungkin ingin bertemu adik kesayangannya. Mak dukun sudah selesai mengemas Nora. Dia ke belakang dan mencuci tangan serta bagian tubuh yagn terkena air ketuban katanya. Ada
Pagi harinya aku tidak pergi ke mana pun. Kata Mak Dukun, Nora harus benar-benar diperhatikan selama 40 hari dan kalau terjadi sesuatu aku harus segera mendatangi puskesmas terdekat. Ya semoga saja tidak ada apa-apa. Karena anak sangat sulit membawa ibu dan anak sekaligus ke kota seberang.Aku yang sudah biasa mengurus diri sendiri dari dulu tidak mengalami kesulitan ketika harus memenuhi kebutuhan Nora. Baru aku tahu ternyata ibu yang selepas melahirkan itu banyak sekali makannya. Ditambah Angga sangat kuat menyusu pada emaknya. Kalau begini berarti aku harus bekerja lebih giat lagi untuk mendapatkan uang. Kasihan juga Nora dan Angga kalau sampai menderita aku buat. Kesibukan menjadi ayah telah menyita sebagian waktu dan duniaku. Wajah polos Angga menimbulkan secercah harapan padaku. Bahwa anak ini harus lebih baik hidupnya daripada aku. Jika mungkin, biarkan saja dia merantau jauh dan tak usah tinggal di desa yang amat sunyi. Suara hantu memanggil-manggil dari dalam hutan selalu
“Kenape? Muke ditekuk je dari tadi?” tanyaku pada Nora yang pulang dengan raut wajah cemberut. Sudah tujuh hari Hajah Jamilah meninggal dunia. Masih belum hilang juga sedihnya, cengeng sekali. “Ayah, dah nikah lagi, Bang,” jawabnya, dan aku yang sedang membuang duri di daun pandan jadi terdiam. Baru tujuh hari, luar biasa, bagaimana kalau setahun, bisa mati jamuran Haji Yunus. “Dengan siape?” Aku tentu penasaran siapa mertuaku yang baru ini. “Dengan anak gadis dari desa seberang. Dah nikah tadi pagi, dah tinggal pulak di rumah tu.” Nora semakin cemberut. “Anak gadis, umur?” “Tak jauh sangat dari Nora, Bang. Nora malas datang tahlil malam ke 40, Bang, penat!” Jelas sekali Nora kecewa bukan main. Lagi pula kenapa harus gadis ingusan yang diambil jadi istri. Tak tahu diri, apa tidak ada janda yang seumuran dengan Haji Yunus? Ya, memang tidak elok rasanya kuburan istri belum kering suami menikah lagi. Tapi, bukankah aku jauh lebih buruk daripada Haji Yunus. Aku merusak anak gadisn