Nurul memandangi coretan pulpen Alif di atas lembar demi lembar kertas buku catatannya. Begitu terencana, sistematis, dan penuh perhitungan. Nurul semakin merasa tak enak hati, ia semakin merasa bersalah. Ingin rasanya ia ungkapkan hal yang sebenarnya terjadi, saat itu juga mulutnya malah enggan untuk sekadar menghentikan pembicaraan Alif.
“Kamu lagi nggak enak badan de? Kok malah diam aja? Apa dari rencana-rencana yang udah mas buat nggak ada solusi ya untuk kamu?”
Suasan hening, Alif menghentikan pembicaraannya dan menyeruput kembali kopi pahitnya.
“Mas, kenapa kamu tempo hari nggak ngizinin aku untuk pamit?”
Pahit kopi yang baru saja Alif tenggak menjadi tiada rasa.
“Kok kamu malah kesitu lagi sih de? Kalau lagi ada masalah yang berat banget kasih tahu ke mas dan kita diskusikan sekalian ya.”
“Mas aku juga nggak tahu kenapa, tapi kalau kita terus-terusan kayak gini nanti kamu makin sakit.”
“Mas aku minta maaf ya.”“Maaf untuk apa de?”Terdengar samar suara Nurul di ujung telepon, suaranya lebih berat dan terisak. Sejak dua hari yang lalu saat Alif menemui orang tuanya, tiap percakapan selalu ada kata maaf yang terlontar dari Nurul.“De, udah berapa kali kamu bilang gitu. Udah dong, ya. Masa tiap hari nangis terus. Biarin dulu bapak sendiri, biarin bapak untuk punya waktu menimbang kondisi saat ini.”“Tapi mas, kenapa sih aku yang jadi korbannya? Kenapa aku yang harus ngikutin kemauan bapak terus-terusan?”“Husst, istigfar de.”Tangis Nurul semakin pecah. Alif tak pernah tenang jika kondisi Nurul demikian, ia mengganti mode panggilan suara menjadi video call.“Udah dong ya, kita udah sepakat kan kemarin. Apa pun yang terjadi, kita bakal cari jalan keluarnya bareng-bareng.”“Maaaass, padahal aku udah nurutin kemauan bapak. Dari d
“Ngikut kamu aja mas aku mah, kamu udah makan mas?”Entah memang sudah disetting saat Nurul bertanya atau memang sudah tidak bisa diajak bicara baik-baik, bunyi keroncongan perut Alif kali ini terdengar berulang kali.“Ya ampuuun mas, kamu laper banget ya?”Alif hanya diam sambil terus mengendarai motornya, laparnya mungkin masih bisa ditahan tapi rasa malunya membuat ia salah tingkah.“Kamu jangan-jangan pulang kerja langsung kesini ya mas?”Nurul terus mencecar.“Kalau nggak langsung berangkat nanti sampai sininya malam banget de.”“Kamu mah maaaassss.”Nurul mendekap erat Alif dari belakang, wajahnya ia benamkan di pundak Alif. Alif berbelok kanan di ring road Mandala ke arah Maja. Kondisi jalan yang berlubang membuatnya sangat berhati-hati, saat di lampu merah ia kembali bertanya pada Nurul. “Ke Cafe D’Lebak kamu mau de?”&ldq
Dua minggu setelah pertemuan di Cafe D’Lebak, sudah tidak ada lagi tangis dari Nurul tiap komunikasi dengan Alif. Alif telah berkali-kali meyakinkan bahwa mereka pasti bisa melewati tiap hal yang dihadapi, termasuk jika itu adalah kesulitan yang amat berat.****“Biar mas yang menenangkan badainya ya, kamu cukup percaya sama mas dan kita hadapi semuanya bersama.”****“Mas minggu depan aku mau ke luar kota, mau ke Surabaya.”“Ada acara apa de?”“Mba Sindi mau nikah, jadi aku sama teman-teman aku mau barengan ke sana.”“Kamu nggak apa-apa perginya?”“Aku udah baikan mas, kan kamu yang minta aku untuk selalu kuat. Aku juga capek nangis terus. Ya itung-itung sekalian ngerefresh pikiran aku mas.”“Hati-hati.”“Iya mas, kamu nggak mau ikutan?”“Nggak dulu deh, ini kan acara spesial sahabat kamu. Jadi kamu
Alif diam sesaat, ia mengatur napasnya. Alif baru tiba dari perjalanan selama empat jam dan langsung menjemput Nurul lalu kemudian mereka bicara serius di alun-alun Rangkasbitung.“Yaudah, kalau kamu udah baikan kabari mas ya.”“Aku nggak tahu sampai kapan mas, kamu nggak usah nunggu aku. Kamu juga kan masih banyak mimpi-mimpi yang ingin kamu capai, aku takut malah ngerusak mimpi kamu.”“Kamu yakin de?”“Aku nggak yakin sih mas, aku juga butuh waktu untuk ngebalikin suasana hati aku karena trauma masa lalu mas.”Ingin sekali rasanya Alif bertanya lagi, trauma dengan masa lalu yang mana yang dimaksud Nurul. Selama ini ia belum pernah bercerita mengenai traumanya. Ingin sekali Alif meyakinkan bahwa ia akan berusaha semaksimal mungkin membantu Nurul merasa baik dari traumanya. Namun, ia urungkan.“Yaudah, kamu baik-baik ya de. Jangan maksain diri kalau memang sekiranya nggak bisa kamu hadapa
Desember kali ini pun curah hujan begitu tinggi, angin kencang dan petir bersahutan. Kadang angin seperti sengaja mencari perhaian kepada petir dengan menerbangkan bagan di laut, kadang juga menumbangkan tiang listrik. Begitu pun petir, seolah tak mau kalah maka disambutnya tiap panggilan angin dengan gelagar yang menyisakan cahaya dan kilatan retak di langit, bahkan beberapa kali sempat ingin bertegur sapa dengan tanah.Alif menguatkan pegangannya, tak henti mulutnya komat kamit merepal doa dan zikir di dalam hatinya. Ombak di pinggir pantai Citereup setelah Tanjung Lesung tak menyapanya kali ini. Padahal Alif selalu memuji keindahan laut di selatan Banten.Laju motor yang dikendarai Alif bergeming, meski jarak pandang tidak lebih dari lima meter ia tetap melaju stabil dikecepatan 40km/jam. Rute berkelok dan beberapa lubang kecil di jalan Menes membuat Alif begitu waspada. Tapi, karena jalan begitu sepi maka jiwa salam satu aspalnya tetap membuatnya melaju.***
“Habisin dong mas.” Nurul mengambil satu sendok terkahir yang berisi potongan besar labu dan menyuapkannya ke Alif. “Naah kan habis.”Setelah kolak pemberian Nadia habis, Alif memegang gelas berisi teh dengan kedua tangnnya dengan maksud agar badannya hangat, alasan lainnya ia sengaja menunggu momen agar suasana hati Nurul membaik dan mau angkat bicara. Ia mengerti, keceriaan Nurul yang ia tunjukan saat makan kolak hanya keceriaan sesaat.“Mas, aku mau izin pamit.” Nurul mengulurkan tangan kanannya.“Kamu baik-baik aja kan de?”Alif tidak menyambut tangan Nurul, ia masih ingin Nurul menjelaskan semua hal yang ia tidak ketahui.“Maaaasss, sini tangan kamu. Aku izin mau pamit.”“Mas nggak ngizinin de, ada apa sebenarnya?”“Maasssss, tolong dong. Aku mau izin.” Tangisnya pecah, kepalanya kembali tertunduk, ia menutupinya dengan kedua tangannya.&ld
Langit di Sumur Ujung Kulon Banten masih berwarna abu-abu, menyembunyikan hujan yang sebenarnya siap terjun bebas dari pagi. Ombak di sepanjang pantai Sumur hingga Tanjung Lesung tak bersahabat.Alif berjalan kaki dari indekosnya yang terletak di dekat Masjid At Taubah Sumur ke pasar, ia berjalan hingga bertemu simpang tiga Sumur dan berbelok kanan ke arah Tanjung Lesung, letak Pasar Sumur sekitar 600m. Pagi itu nampak beberapa rombongan wisatawan sudah datang, kendaraan ber plat B mendominasi meskti ada beberapa diantaranya berplat F. Di saat akhir pekan wilayah Sumur Ujung Kulon kerap dikunjugi wisatawan dari Jabodetabek, ada yang ingin menikmati pesona pasir putih dan birunya Pantai Daplangu atau ada juga yang menyeberang ke Pulau Umang, Pulau Oar, atau pulau lainnya di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.Alif hendak membeli cumi bayi asin yang menjadi lauk favoritnya. Cumi dari Sumur ini terkenal memiliki rasa yang gurih dengan asin yang sedang. Jika di musim
“Mas, kalau aku banyak kekurangan disana sini, kamu sabar ya bimbing akunya. Aku nggak pandai dalam hal agama, aku nggak bisa masak, aku orangnya nggak punya rencana.”Alif menyandarkan bahunya di tembok kamar, memejamkan matanya dan mengingat perkataan Nurul yang pernah disampaikan kepadanya. Ia kemudian membuka binder yang berisi berbagai rencana hidupnya. Ia tatapi semua lembar demi lembar. Alif menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, ia rasakan betul tiap oksigen yang masuk ke dalam tubuhnya. Alif meminum teh pahitnya perlahan.Alif menuliskan kendala-kendala yang ia hadapi dari rencana yang telah ia buat dan memikirkan beberapa cara untuk menyelesaikannya lengkap dengan alternatifnya.Saat ini, ia tengah dihadapkan pada keraguan pak Handoko yang belum juga memberikan izin kepadanya untuk memberikan restu menikahi Nurul. Lalu, Alif menuliskan rencana-rencana yanng dapat ia komunikasikan kembali kepada pak Handoko hingga membuatnya y