“Innalillahi wainna ilaihi rojiun ... Nenek ...!” Dunia Cahaya seketika runtuh saat melihat keadaan tubuh neneknya yang sudah tidak bernyawa. Kepergian Nenek Asih yang tiba-tiba seperti pukulan yang begitu dahsyat menerpa kehidupan Cahaya setelah keputusan perceraian yang dia terima sehari sebelumnya.“’Nenek! Kenapa Nenek pergi tinggalin Cahaya sendiri?” Tangisan Cahaya semakin pecah, membuat beberapa orang yang menyaksikan kejadian itu merasa iba. Termasuk dokter muda yang menangani pemeriksaan Nenek Asih yang bernama Farel Hendrawan. Pemuda yang baru bertugas beberapa bulan sebagai dokter umum di rumah sakit daerah Banyuwangi itu berjalan perlahan menghampiri Cahaya. “Yang sabar, Mbak. Ikhlaskan kepergian Nenek Asih agar beliau bisa pergi dengan tenang.” “Nggak bisa, Dok. Aya masih tidak bisa menerima hal ini terjadi. Bagaimana bisa nenek pergi tanpa sepatah kata pun. Sebelum pingsan, nenek cuman diam, nggak ada omongan apa pun sama Aya. Tapi, kenapa nenek malah pergi ninggalin
Alangkah terkejutnya Mbok Sri ketika mendapat kabar dari Maemunah tentang Nenek Asih yang meninggal kemarin dan saat ini masih di rumah sakit karena kondisi Cahaya tidak memungkinkan untuk segera pulang. “Ada apa, Mbok?” tanya Bu Salma yang berjalan menghampiri ART-nya. Wanita itu sudah sangat tidak sabar untuk bertemu sang putri tanpa dia sadari bahwa putrinya sedang mengalami kenyataan pahit dan saat ini terbaring lemah di rumah sakit. “Mbok, kenapa diem aja? Apa kata wanita tadi??” tanya Bu Salma lagi seraya menunjuk ke arah Maemunah yang sudah berjalan menjauhi mereka. “Nyah ....” Mbok Sri menoleh ke arah majikannya dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. “Nenek Asih meninggal, Nyah.” “Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun .... Yang bener, Mbok? Kapan meninggalnya Nenek Asih? Terus sekarang Cahaya ada di mana??” berondong Bu Salma dengan penuh kepanikan.Mbok Sri pun menjawab pertanyaan Bu Salma sesuai dengan apa yang disampaikan Maemunah tadi. Dengan serta merta, Bu Salma
“Pak Hasan, Bu Salma, untuk saat ini Aya belum bisa berpikir jernih. Aya cuman pengen Nenek dimakamkan dengan layak terlebih dahulu.” Cahaya berucap dengan memasang wajah bingung. Bagaimana tidak? Pasalnya, kejadian demi kejadian besar menghampiri gadis itu secara terus menerus. Mulai dari perceraiannya, kematian Nenek Asih yang mendadak, hingga kedatangan Bu Salma dan dr. Hasan dengan pengakuan mengejutkan dari mereka. Cahaya benar-benar tidak bisa berpikir dengan tenang sekarang. “Iya, Nak. Mama sama Papa paham,” balas Bu Salma dengan cepat. “Pa, Papa selesaikan administrasi rumah sakit, Pa. Biar jenazah Bu Asih bisa kita bawa pulang dan dimakamkan,” imbuhnya seraya menoleh ke arah dr. Hasan. dr. Hasan pun mengangguk paham dan segera keluar ruangan menuju ke arah di mana para penjaga administrasi bertugas. Di tengah-tengah perjalanan, langkah pria itu terhenti ketika seseorang memanggil namanya dari kejauhan. “dr. Hasan!” Seorang pemuda berjas putih setengah berlari menghampir
“Cahaya mau kan ngelanjutin sekolah?” tanya Bu Salma dengan memasang wajah penuh harap. “Kalau mau, nanti Papa akan daftarin sekolah kedokteran. Papa dan Mama pengen banget Cahaya jadi dokter sukses seperti Papa.”Medengar rencana sang ayah dan ibu untuk kakak perempuan mereka, Satrio dan Satria langsung menyahut, “Iya, Mbak. Kami setuju. Nanti kami pasti akan jaga Mbak Cahaya kalau ada yang macem-macem!” Ucapan dua adik kembarnya yang peredaaan usia di antara mereka hanya tertaut beberapa tahun itu mampu membuat Cahaya tersenyum bahagia. “ Memangnya kalian sudah semester berapa?” “Masih lama lulusnya, Mbak. seiktar dua tahunan lagi. Jadi ... kami bisa tiap hari jagain Mbak Cahaya nanti. Pokoknya, Mbak Cahaya nggak perlu sedih dan takut sendirian.” “Seneng banget yang punya kakak perempuan.” dr. Hasan menyahut menggoda dua putra kembarnya yang sedang antusias mengajak ngobrol Cahaya. “Ya iyalah, Pa. Kami beneran nggak nyangka ternyata selama ini kami punya kakak perempuan. Pasti
Malam berlalu dan hari pun berganti. Sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, pagi-pagi sekali Cahaya bersama dua adik laki-lakinya berangkat menuju kampus. Satria duduk di kursi pengemudi mobil mewah berwarna merah itu, sementara Satrio memilih duduk di kursi belakang dan mempersilakan kakak perempuannya untuk duduk di kursi depan, tepat di samping kursi pengemudi. “Mbak, Mbak tenang aja, ya. Nanti sampai kampus kami bakalan kasih tahu kelasnya. Terus, kalau ada yang macem-macem sama Mbak, Mbak tinggal telepon kami aja,” ucap Satria seraya menoleh ke arah Cahaya. “Memangnya siapa yang mau macam-macam sama gadis jelek kayak Mbak ini, Dek. Nggak mungkin ada.” Cahaya menjawab dengan ekspresi mencebik.“Kata siapa Mbak Cahaya jelek? Cantik, kok.” Satria tersenyum menggoda kakaknya. Satrio yang duduk di kursi belakang pun ikut berkomentar. “Emangnya siapa yang ngomong Mbak Cahaya jelek? Sini, Mbak kasih tahu aja sama kita. Kita bakalan bikin perhitungan sama dia!” Ucapan Satria dan
Pukul 19.00, waktu di mana janji temu Bu Salma dengan dokter sekaligus pemilik klinik kecantikan yang bernama Dokter Rossa sebentar lagi akan tiba. Setelah salat Magrib, Bu Salma mendatangi kamar Cahaya untuk memanggilnya agar mereka bisa segera berangkat. Berharap putrinya sudah siap, tetapi kenyataannya adalah Cahaya masih tertidur pulas dengan lampu kamar yang masih gelap semua. “Sayang, kamu masih tidur?” tanya Bu Salma sambil berjalan menuju sakelar lampu dan seketika ruang kamar bernuansa pastel itu berubah terang. Kemudian wanita itu mendekati putrinya yang terlihat mengerjapkan mata. “Ah, Mama ....” Cahaya terbangun dan segera berganti posisi menjadi duduk. Di kamar yang luas dan di atas ranjang busa tebal yang sangat empuk. Dalam sekejap, Cahaya yang semula hanya gadis desa yang hidup dengan penuh kesederhanaan, kini menjelma seperti putri kerajaan yang tinggal di negeri dongeng. “Capek banget kayaknya ya ... jadi ketiduran sampe malam,” balas Bu Salma seraya tersenyum.
“Masuklah! Gue antar lu pulang!” ucap Raka dengan wajah datar, tetapi terlihat sangat tulus. Dia tidak tega melihat teman satu kelasnya dari tadi berdiri sendiri sambil celingukan menunggu taxi.“Eh, Raka .... Enggak, enggak perlu. Aya nunggu taxi aja. Paling bentar lagi juga lewat.” Cahaya menolak tawaran Raka dengan halus. “Yakin enggak mau?” “Iya, enggak usah. Aya takut nanti malah ngerepotin kamu,” balas Cahaya lagi. Mendapat penolakan dari niat baiknya, Raka meniup napas cepat. “Oh, ya udah kalau enggak mau.” Tanpa menunggu jawaban dari Cahaya lagi, pemuda itu kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang meninggalkan Cahaya yang masih berdiri di pinggir jalan.Lama Cahaya menunggu dan akhirnya taxi pun datang. Sore ini Cahaya datang lebih lambat dari hari biasanya membuat Bu Salma sangat khawatir karena ketiga anaknya tak kunjung pulang dan ketiga-tiganya tidak bisa dihubungi. Handphone Satria dan Satrio memang sengaja dimatikan karena perintah dari dosen, sementara itu
“Cahaya, kita nggak perlu bertegur sapa lagi sama mereka. Apa kamu lupa bagaimana mereka merendahkanmu dan memperlakukanmu seperti babu?” Bu Salma menarik lengan Cahaya agar segera menjauh dari Adam dan ibunya.“Tapi, Ma ... gimanapun Aya pernah tinggal bersama mereka. Aya Cuma pengen menyapa mereka sebentar aja,” balas Cahaya dengan wajah tidak nyaman. Berharap sang ibu memahami apa yang ada di benaknya saat ini. Entah terbuat dari apa hati Cahaya yang pernah disakiti oleh dua orang itu dengan sedemikian rupa, tetapi dia sudah melupakan semuanya dan malah penasaran tentang kehidupan mantan suami dan mertuanya itu.“Tidak! Pokoknya Mama nggak rela kamu bertemu dengan mereka lagi!” Begitu sakit hati Bu Salma pada keluarga mantan suami putrinya, sehingga membuatnya bersikeras melarang Cahaya untuk menyapa mereka. Dan pada akhirnya Cahaya menuruti keinginan sang ibu. Dia dan ibunya kembali melanjutkan langkah menuju ke toko pakaian yang terletak di lantai atas. Toko pakaian ini adalah m
Bab EkstraSuara sirine ambulan mendengung sangat keras hingga terdengar sampai rumah Cahaya. Karena memang kejadian kecelakaan yang dialami Bu Lastri tidak jauh dari rumah Cahaya, sehingga kegaduhan yang terjadi bisa terdengar jelas oleh semua orang termasuk Cahaya.“Pa, ada apa rame-rame di depan?” tanya Cahaya dari arah dapur, karena setelah kepergian mantan ibu mertuanya beberapa menit yang lalu, gadis itu berniat menghidangkan makan siang untuk Farel dan ibunya. “Apa mungkin ada kecelakaan?” Dokter Hasan membalas dengan wajah penasaran.Begitu juga dengan Farel dan ibunya yang sama-sama mendengarkan kegaduhan di luar. Keduanya saling pandang dengan wajah penasaran atas apa yang mereka dengar. Dan di saat yang bersamaan, Bu Salma datang dengan memasang wajah panik. “Pa, Bu Lastri kecelakaan!” teriak ibu dari Cahaya itu dengan suara gemetar. “Ya Allah, Pa ... Mama liat sendiri mobil Bu Lastri nabrak pohon besar di pinggir jalan.” “Bu Lastri? Ibunya Adam?’’ Dokter Hasan begitu te
BAB 50The EndBu Lastri melepas kepergian Nadia dengan tangisan pilu. Wanita paruh baya itu tidak pernah menduga bahwa hidupnya akan berada di titik rendah ini. Karena keegoisannya ingin menjadikan Cahaya yang kini telah berubah menjadi kaya membuat putranya terpuruk dalam masalah di penjara. Bu Latri pun tidak pernah menduga bahwa keluarga Cahaya akan melaporkan perbuatan putranya yang mendekati Cahaya. Sebelumnya Adam memang ada bercerita tentang usahanya mendekati Cahaya, hingga terjadi perkelahian dengan dokter muda karena menolong Cahaya. Akan tetapi, Bu Lastri tidak pernah menduga bahwa Dokter hasan melaporkan perbuatan putranya ke kantor polisi. Dalam kebingungan, wanita paruh baya itu menuju ke kantor polisi sendirian. Bu Lastri ingin menemui putranya yang sedang kebingungan di penjara. Wanita paruh baya itu ingin memastikan keadaan Adam di jeruji besi yang menyesakkan dada. Di sepanjang perjalanan, air mata sudah tidak bisa dibendung lagi. Hati Bu Lastri sedang sangat gu
BAB 49Sebuah HukumanKarena melihat istri dari tersangka yang ditangani olehnya kebingungan, sang polisi yang membawa surat penangkapan itu pun segera mejawab, “Saudara Adam telah melakukan penyerangan dan perbuatan tidak menyenangkan kepada Saudari Cahaya. Di mana dia sekarang? Kami minta Anda dan suami bersikap kooperatif agar kasus ini bisa diselesaikan dengan cepat dan tenang.” “Apa? Suami saya melakukan kesalahan apa? Dan Cahaya?? Kenapa suami saya bermasalah dengan Cahaya??” tanya Nadia ingin memastikan alasan penangkapan suaminya.“Kalau mau jelas, nanti bisa kami terangkan di kantor. Sekarang, panggilkan suami Anda terlebih dahulu dengan cara yang baik, sebelum kami melakukan pemanggilan paksa!” jawab sang polisi yang lain dengan suara lantang, sehingga membuat Adam yang kebetulan berada di rumah segera ke luar karena mendengar suara bising yang mengganggu.Pria itu pun muncul dari balik pintu dan mendapati istrinya tengah memasang wajah bingung di hadapan dua polisi. “Ini a
BAB 48Sebuah Harapan“Apa Dokter Farel serius mau melamar Cahaya?” tanya Dokter Hasan pada Farel dengan memasang wajah penuh penasaran. Wajar, karena sebelumnya ayah dari Cahaya itu tidak pernah berpikir bahwa dokter muda kepercayaannya menaruh hati pada putrinya. Sebaliknya, yang di pikiran Dokter Hasan selama ini adalah Farel sudah memiliki kekasih dan calon istri sehingga pria itu sama sekali tidak pernah menyinggung perihal pasangan kepada Farel. Akan tetapi, tiba-tiba saja pemuda mapan itu datang bersama ibunya dan mengungkapkan niat baik untuk melamar Cahaya. Hal itu membuat Dokter tidak bisa berkata apa-apa selain bertanya seriuskah?Dengan penuh keyakinan, Farel pun mengangguk seraya menjawab, “Iya, Dok. Saya sangat serius. Ini buktinya saya bawa Ibu saya ke sini biar Dokter yakin.” Ucapan Farel yang terkesan melucu, tetapi dengan wajah serius membuat Dokter Hasan terkekeh. “Ini beneran enggak sih, Dok? Saya benar-benar masih kurang yakin ini.” Melihat reaksi ayah dari g
BAB 47Lamaran Kilat“Jadi, Abang nggak marah sama apa yang gua sampaikan ke Cahaya?”“Enggak, Dek. Abang malah berterima kasih sama kamu. Dan sesuai dengan permintaan Cahaya, setelah Abang bersaksi di kantor polisi, Abang akan langsung datang ke rumahnya untuk melamar.” “Seriusan, Abang mau melamar Cahaya??” Raka benar-benar tidak percaya jika kakaknya menyambut bahagia atas hasil dari apa yang dia ucapkan kepada Cahaya. Bukan hanya bahagia, tetapi Farel malah berniat melamar Cahaya dengan cepat.Bagi Farel, permintaan Cahaya untuk menghadap kepada orang tuanya langsung adalah bentuk dari penerimaan gadis itu. Karena jika Cahaya menolak, pastilah gadis itu akan menolaknya langsung tanpa menyuruhnya datang ke rumah dan mengatakannya langsung kepada orang tuanya.“Iya, Dek. Abang serius. Nanti Abang akan ajak kamu dan Ibu sekalian. Abang juga akan menyiapkan semuanya secara lengkap. Jadi, Abang akan datang ke rumah Cahaya dan melamarnya secara resmi.”“Melamar Cahaya secara resmi?” ta
BAB 46Pernyataan Cinta“Gua serius, Cahaya. Lu mau enggak jadi pacar Abang gua?” Raka bertanya pada Cahaya dengan wajah penuh keseriusan.Mendengar apa yang diucapkan Raka berhasil membuat jantung Cahaya berdegup semakin tak beraturan. “Raka, kamu jangan bercanda ya? Mana mungkin Dokter Farel suka sama Aya?”“Lu ini kenapa sih nggak percayaan banget ama gua? Gua nggak lagi becanda, Cahaya. Abang gua beneran suka sama lu.” “Bukannya Aya enggak percaya sama kamu, Raka. tapi kan ... Dokter Farel itu pemuda yang ... tampan, mapan, pastinya Dokter Farel udah punya calon istri kan?”Cahaya tidak memungkiri bahwa hatinya saat ini sedang berbunga-bunga atas ucapan dari Raka. Akan tetapi, dia berusaha keras untuk mencari pembenaran dari ucapan Raka tentang perasaan dokter muda yang mereka bicarakan.“Astagfirullah, Cahaya. Gua beneran serius!” Raka sampai kesal karena Cahaya tidak mempercayai ucapannya. “Lu tenang aja. Abang gua itu masih suci dan murni. Dia enggak pernah pacaran.”“Apa?! D
BAB 45Pelajaran untuk Mantan“Apa kita perlu laporkan Adam ke polisi, Pa?” tanya Bu Salma memberikan saran kepada sang suami.“Hmm ....” Dokter Hasan berpikir sejenak, kemudian kembali berucap, “Iya, Papa setuju. Kalau menurutmu gimana, Cahaya?” “Maksudnya Papa sama Mama mau memen jarakan Mas Adam?” Entah mengapa mendengar rencana dari orang tuanya yang akan mereka lakukan kepada Adam membuat Cahaya tiba-tiba merasa kasihan pada pria itu.“Iya, kita harus tegas supaya dia nggak bakalan ganggu kamu lagi,” jawab Dokter Hasan dengan penuh keyakinan. “Tapi, Pa ... Papa kan tahu sendiri kalau Mas Adam punya anak dan istri. Anaknya juga masih bayi. Kasihan kalau Mas Adam dipenjara, nanti siapa yang ngurus mereka?” “Cahaya ....” Bu Salma meraih tangan Cahaya dengan lembut dan membelainya. “Cahaya, dengerin Mama. Kita memang harus bersikap baik kepada orang. Tapi bukan berarti kita diam kalau ada orang yang berbuat tidak baik sama kita. Kamu masih ingat kan bagaimana perlakuan mereka dul
“Maksud Dokter apa?” tanya Cahaya dengan wajah serius. “Jangan bercanda kayak gitulah, Dok. Enggak lucu.” Detik ini, ketika Farel mendapat kesempatan duduk berdua dengan Cahaya, ingin sekali pemuda itu bersorak dan mengungkap isi hatinya. Akan tetapi, entah mengapa nyalinya tiba-tiba menciut. Keberanian untuk berterus terang dan menyatakan cintanya tidak sebesar nyalinya ketika menantang Adam beberapa menit yang lalu.Pemuda itu terkekeh. “Hehe, enggak lucu ya? Padahal itu sudah sangat lucu buat saya.” “Nggak lucu, Dokter.”“Hehehe.” Cahaya tertegun. Dia baru ingat bagaimana bisa dokter muda itu datang tepat di saat dia membutuhkan bantuan. Mengingat jarak rumah sakit tempat bekerja pemuda itu sangat jauh karena berbeda kota. “Dok, tadi kok bisa pas gitu? Bagaimana Dokter tahu kalau Aya sedang dalam masalah karena Mas Adam tadi? Kan rumah sakit tempat Dokter kerja jauh. Apa Dokter Farel pas kebetulan lewat aja atau bagaimana??” tanya Cahaya dengan memberondong pertanyaan demi pert
Setelah hampir 30 menit Cahaya akhirnya memantapkan hati untuk keluar. Sebenarnya dia sangat malas jika harus bertemu lagi dengan mantan suaminya itu, tetapi tidak mungkin juga dia tidak pulang hanya karena menghindari Adam yang saat ini sedang menunggunya di gerbang depan.Benar saja, dengan penuh sabar Adam menunggu Cahaya keluar sejak beberapa jam yang lalu. Setelah dilihatnya mobil mungil milik Cahaya yang perlahan berjalan menuju gerbang, Adam segera menyalakan mesin mobilnya untuk menghadang jalan Cahaya. Cahaya yang melihat kehadiran mobil Adam segera menghentikan mobilnya. Dengan perasaan kesal, wanita muda itu keluar dari mobil seraya memegang satu buket bunga di tangan. Cahaya akan mengembalikan buket itu kepada si pengirim. “Assalamualaikum, Cahaya.” Adam menyapa dengan meyunggingkan senyuman tanpa sedikit pun merasa malu atau merasa sungkan.Bruk!Cahaya melempar satu buket bunga tepat di bawah kaki Adam. “Ini! Ambil kembalikan! Karena aku nggak sudi menerima apa pun da