Suara mereka terdengar jelas di luar sana. Enam orang pria itu berhenti tepat di sekitaran batu-batu besar di depan goa. Meri memberanikan dirinya untuk mengintip dari celah-celah dauh-daunan yang menutup pintu goa tersebut, saat itu ia melihat enam orang pria yang memegang senjata tajam sedang berkumpul dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Jarak mereka dengan pintu hanya terpaut sekitar dua puluh meter.Meri sungguh begitu takut melihat keberadaan mereka, ia pun memutuskan untuk mundur dari sana menuju ruangan belakang menjauhi pintu goa itu. Di ruangan belakang tersebut, hampir tak ada cahaya matahari yang masuk. Tempat itu benar-benar gelap, ia bahkan nyaris tak bisa melihat apa pun yang ada di dalam sana.Lantai goa di ruangan belakang penuh dengan air dan lumpur, sehingga membuat kakinya menjadi lengket dan basah. Ia bersembunyi di balik dinding goa yang sedikit menjulur ke tengah ruangan. Di situlah ia meringkup untuk menunggu para pemuja setan itu pergi.*******Pak Wawan
Ketika situasi di luar sana benar-benar sudah terasa aman, Meri pun segera berlari ke arah yang berlawananan dari arah yang dituju oleh Buyung dan kawan-kawannya. Itu adalah jalan yang mana tadinya sudah ia lewati. Dengan kaki yang tidak beralas, Meri berlari dengan begitu kencang meninggalkan tempat itu.Saat itu, hari telah siang. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul satu. Ia baru saja tiba di tanah datar, melewati hamparan pepohonan rimbun yang tinggi menjulang. Tidak seperti yang sebelumnya, kini tempat itu tampak lebih cerah. Kabut tebal yang menyelimuti pepohonan telah lenyap. Hutan yang lebat itu seakan-akan memancarkan cahaya hijaunya yang begitu asri.Dengan tergesa-gesa ia melangkah membawa dirinya keluar dari tanah datar itu. Kecepatan larinya terlalu tinggi, sehingga membuatnya tak sanggup menahan diri ketika ia tiba-tiba berhadapan dengan medan jalan yang menurun tajam ke bawah sana. Pada waktu itu juga tubuhnya terbang ke bawah sana dan berguling-guli
Part 38Sindi terdiam di tempat duduknya. Ia masih tak percaya dengan semua cerita yang baru saja didengarnya tersebut. “Bagaimana mungkin? Jika benar demikian lalu mengapa mereka tidak menangkap kami bertiga sejak malam tadi?” Sindi membuka mata dan mulutnya. Kali ini nada pertanyaannya benar-benar terdengar begitu serius.“Benar, seharusnya mereka sudah menangkap kalian bertiga sejak malam tadi. Akan tetapi sepertinya mungkin mereka lengah dan menyangka kalian bertiga tidak akan pergi karena kalian tidak mengetahui sedikitpun mengenai hal tersebut. Dan pada akhirnya ternyata semua berjalan di luar dugaan mereka.”Sindi terhenyak mendengar cerita Pak Wawan. Tiba-tiba saja ia teringat dengan para psikopat gila yang menerornya beberapa bulan yang lalu. Mereka menangkapnya dan mengurungnya di dalam ruangan bawah tanah yang gelap. “Apakah mungkin mereka itulah orangnya?” Raut muka Sindi mulai berubah.
“Benar, kelompok putih itu adalah orang-orang kita. Mereka adalah orang-orang yang menentang pemuja setan yang dilaksanakan oleh Pak Karay dan para pengikutnya.” Pak Wawan memadukan kedua telapak tangannya dengan posisi badan yang bersandar di kursi. Suasana di rumah kayu itu pun kembali menjadi hening selama beberapa saat. Sindi terdiam, merasa paham dan juga puas dengan semua penjelasan yang didengarnya itu.“Apakah mereka itu adalah keluarga bapak?” tanya Sindi sambil menunjuk ke arah dapur dengan bibirnya. Pak Wawan pun menoleh ke arah dapur. “Benar, wanita yang mengenakkan baju hijau itu adalah istri saya, sementara dua orang wanita di sebelahnya itu adalah orang luar yang sama seperti kalian. Sekitar dua bulan yang lalu mereka berkunjung ke dasa ini bersama dengan enam orang teman mereka yang lain. Enam orang teman mereka sudah tertangkap oleh Pak Karay dan kaki tangannya. Tidak ada yang tahu apakah enam orang itu masih hidup dan ataukan su
Kondisi di dalam goa itu sungguh begitu gelap, mereka nyaris saja tak dapat melihat apa-pun. Untunglah salah satu dari mereka adalah seorang perokok, dia selalu membawa korek apinya kemana pun dia pergi. Ia menyalakan korek apinya itu di dalam goa tersebut, dan seketika itu juga seluruh ruangan pun langsung benderang. Dinding goa itu terbuat dari batu kapur yang putih. Dari atas langit-langitnya tampak ada beberapa tetesan air yang jatuh ke lantai. Lantai yang ada di dalam goa itu dipenuhi oleh air yang bercampur dengan lumpur. Buyung dan teman-temannya itu memeriksa semua sudut goa itu, mereka bahkan sampai berjalan ke ruangan belakang yang terletak di belakang dinding goa. Mereka tidak menemukan Meri di tempat itu. Akhirnya, mereka semua pun memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Akan tetapi, sebelum mereka tiba di luar sana, tiba-tiba mereka menemukan sesuatu di lantai goa. Terlihat ada beberapa jejak kaki manusia yang terbenam di dalam lumpur. “Itu adalah jejak kaki wanita itu!
Selembar bekas sobekan kain yang berlumuran darah tergeletak di tanah. Hanya beberapa meter saja dari tempat itu, mereka juga menemukan sebuah kayu runcing yang berlumuran darah. “Ini adalah miliknya. Wanita itu pasti sedang terluka parah akibat kayu runcing ini yang menghujam dirinya” Buyung mengangkat kain dan kayu runcing yang berlumuran darah itu ke hadapan teman-temannya. “Dia pasti sudah tiba di jembatan gantung itu, ayo cepat! Kejar dia!” Buyung segera berlari mengejar Meri ke arah jembatan itu bersama dengan teman-temannya.Suara langkah kaki mereka yang berlari menerobos padang belukar yang tebal itu terdengar bagaikan sekumpulan binatang yang liar yan beringas. Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan menjadi patah dan hancur. Enam orang pria itu benar-benar mengerahkan semua kekuatan mereka untuk mengejar buruan mereka yang berusaha untuk meloloskan diri.Sekitar beberapa belas menit kemudian, akhirnya mereka pun tiba di dekat area parkiran. Tempat itu tampak begitu len
Meri berhasil melewati jembatan kayu itu meski harus berjuang dengan sekuat tenaga. Ia berlari memasuki hutan yang lebat. Sementara itu, di belakangnya ada Buyung yang baru saja tiba di pangkal jembatan. Ia segera menyeberangi jembatan kayu itu dengan berlari. Jembatan gantung itu pun bergoncang hebat. Jika pria itu tidak menyadarinya, maka dia pasti akan terlempar kebawah sana akibat goncangan yang semakin kencang. Namun beruntunglah lelaki itu menyadarinya, ia segera menurunkan laju kecepatannya itu untuk menyeimbangkan situasi. Dia mengganti gerakannya tersebut dengan cara berjalan cepat dan setengah berlari kecil ke hingga ujung jembatan. Setelah itu, satu per satu temannya yang lain juga menyusul dari belakang.Di sisi lain, Tadu teman Buyung yang menyeberang dengan motor trail itu masih berjuang keras agar mampu menerobos arus sungai batang merao yang masih cukup deras itu. Benar-benar di luar dugaannya, ternyata melewati arus sungai batang merao saat itu tidak semudah seper
Rumah kayu itu telah kosong. Di ruangan dapur, tampak bara api yang masih memerah dengan gumpalan asapnya yang memutih. Tungku batu dan kuali masih berada di sana. “Mereka pasti tidak jauh dari sini, ayo kejar mereka ke sana!” Pak Karay berseru dengan suaranya yang lantang. Dengan serta merta para warga yang menentang senjata lengkap itu pun langsung berhamburan mengikuti arah jari telunjuk sang kepala desa. Mereka berlari melewati lorong sempit yang diapit oleh dua tebing curam dari sisi kiri dan juga kanannya.Semakin jauh mereka berlari ke dalam sana, lorong yang pada mulanya selebar satu meter lebih itu kini perlahan-lahan menjadi semakin sempit dan susah untuk dilalui. Begitupun dengan kecepatan lari mereka yang menurun drastis. “BUM” sebongkah batu menghalangi kaki Pak Wawan. Beliaupun tersungkur ke tanah. Beruntunglah sindi punya reflek yang bagus, ia berhasil menghindarinya. Pak Wawan meringis kesakitan. Lutut dan sikunya tampak berdarah. Tidak mau menghambat perjalanan, bel
Setelah sekian jauh berlari mendaki bukit, tiba-tiba datanglah helikopter yang kemudian menembaki mereka dari atas. Pak Karay yang sudah begitu lelah, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memberikan perlawanan. Ia memerintahkan semua anak buahnya untuk menembaki helikopter tersebut. Namun belum berhasil mengenai helikopter tersebut, mereka semua sudah terlebih dahulu dihujani tembakan dari atas sana. Sehingga membuat Pak Karay dan beberapa anak buahnya itu pun bertekuk lutut. Sebagian mereka ada yang tewas, dan sebagiannya lagi menyerahkan diri, termasuk dengan Pak Karay yang juga menyerahkan diri. Di sisi lain, Rameng dan Darkis masih terus berlari tanpa henti bersama dengan sebagian anak buah Pak Karay yang masih tersisa. Mereka juga terus memberikan perlawanan jika ada Polisi yang berusaha mendekat untuk menyerang mereka. Saat itu, jumlah mereka diperkirakan hanya tersisa belasan orang. Waktu terus berlalu. Hari sudah mulai memasuki sore. Sudah lebih dari empat jam sejak operasi
“Sekarang adalah giliranmu lagi, wahai gadis kecil yang malang, hahahaha!” Rameng menyeringai jahat sembari meraih kedua tangan Sindi dengan kasar. Sindi yang keras kepala itu pun langsung memberontak untuk memberikan perlawanan. Meski kesempatan hidupnya itu sudah berada di ujung kuku, namun semangat juangnya sungguh luar biasa. Akan tetapi tak lama kemudian, Sindi pun terpaksa menyerah ketika Rameng menghantam kepalanya dengan sebalok kayu. Penglihatannya seketika langsung redup, ia tak sadarkan diri. Rameng dan Darkis berhasil menggantung tubuh kedua wanita itu ke tiang penggantungan dengan mudah. Eksekusi mati pun akan segera dimulai.“Sekarang adalah giliranmu, manis” Pak Karay memainkan bibir Dewi dengan telunjuknya. Kau tak perlu takut, sebelum tubuhmu menjadi mayat, aku ingin bersenang-senang dulu denganmu sebentar. Hahaha...” Pak Karay tertawa kegirangan. Tak bisa dipungkiri, Dewi memang punya tubuh yang begitu indah.Buah dadanya yang maha besar itu terlihat kokoh dan padat,
“Dewi.. Hikkss.. Hikkss... Apa yang akan mereka lakukan? Apakah kita akan segera mati?” Tanya Ani dengan terisak-isak. Sepertinya dia sudah mengetahuinya. Dewi tidak menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya meneteskan air matanya dengan penuh kesedihan.“Apa yang kalian tangisi wahai anjing-anjing yang malang? Sudahlah, inilah akhir dari riwayat hidup kalian. Anggap saja kalian terlahir ke dunia ini hanya sekedar untuk menjadi binatang pengorbanan kami! Hahahaha.. Hukk hukk” Pak Karay bahkan sampai terbatuk saat menghembuskan asap cerutunya.“Bajingan kau, Karay!” Mati kau bajingan tengik!” Pak Hendri mengutuk pria itu.“Waw waw, luar biasa sekali. Lihatlah si bajingan yang malang ini, biji matanya bahkan sudah terlepas, tapi dia masih punya nyali dan kekuatan untuk mengancamku. Aku akui, kau memang luar biasa, Hendri! Hahaha..” Pak Karay bertepuk tangan sambil tertawa.“Muradi! Bolehkah aku meminjam pisau kecilmu yang tajam itu? Karena pisauku sudah hilang dan mungkin terjatuh di suat
“Rupa-rupanya kau ingin mempermainkanku, hah? RASAKAN INI!” Pak Karay menghantam kepala Hendri dengan tinjunya. Pria itu langsung terkulai dengan tubuh yang terselentang. Seakan masih belum puas, Pak Karay bahkan kambali menaiki tubuh pria malang itu dan menghajarnya berulang-ulang kali.“Ukkkhhh... Ukkhh” Hendri meringis kesakitan. Nafasnya ngos-ngosan.“Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuh mereka walau sehelai rambut pun!” cecar pria itu sembari bangun dari tubuh Hendri. Pria itu kini bahkan sudah tak mampu untuk bernafas dengan baik, apalagi untuk memprovokasi Pak Karay? Dia benar-benar sudah tidak berdaya.Tulang hidung Hendri benar-benar sudah hancur. Mulutnya telah sobek, dan hanya menyisakan beberapa biji gigi saja. Mata kirinya yang tadi bengkak kini bahkan telah pecah, sehingga membuat biji matanya itu menggantung keluar. Pria malang itu benar-benar babak belur dan nyaris mati.“Jangan sangka aku menghentikan pukulanku hanya karena aku merasa kasihan denganmu, akan te
“Apa katamu? Kamu pikir kami akan percaya kepadamu yang kini bahkan tidak bisa mengenal wajah putramu sendiri” Pak Karay menendang kepala Tanjo ke hadapan wanita tersebut. Terlihatlah wajah Tanjo yang begitu pucat dengan darah yang memenuhi pangkal lehernya.Nenek tua itu tiba-tiba saja memejamkan kedua matanya. Sementara itu, Sindi, Meri, dan Dewi yang terikat di tiang penggantungan hanya bisa melihatnya dengan tatapan bodoh tanpa mengetahui sedikitpun maksud dari itu semua. Nenek tua itu kembali meracau, kali ini dengan suara yang melengking.Oh Tidak! Apakah selama ini suara nyanyian misterius yang hampir selalu dia dengan di setiap malam selama berada di rumah Buk Tiah itu adalah suara Nenek tua itu? Bagaiamana mungkin wanita yang setua itu masih memiliki suara yang sangat indah dan merdu? Meri dan Sindi saling tatap menatap satu sama lain. Takjub setelah mengetahui sosok sebenarnya di balik suara nyanyian misterius yang seringkali menghibur mereka di beberapa malam yang lalu.“Oh
“Hey! Hey! Siapa yang suruh kau tidur begitu? Ayo bangun!” Pak Dunto menyiram seember air ke wajah Sindi yang pada saat itu nyaris saja tak sadarkan diri. Lebih baik pingsan dan tidak merasakan apapun, karena dalam keadaan sadar semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Ia sudah tidak sanggup lagi menunggu, dan ingin semuanya segera berakhir.Pria itu mencekik lehernya, dan kemudian mendudukkannya di roda bus. Setelah itu, dia juga melakukan hal yang sama kepada Meri. Dua orang sahabat itu tersandar di dinding bus dalam keadaan yang begitu lemah. Sudah dua hari mereka bahkan belum mengganjal perut mereka.Dari kejauhan, tiba-tiba muncullah Ole bersama dengan dua orang temannya. Dia sedang menyeret tubuh seseorang. OH TIDAK! Sindi dan Meri menjerit. Semoga saja orang yang mereka bawa itu bukanlah Irma.Pak Karay dan kawan-kawannya memandang ke arah yang sama, melihat Buyung dan dua orang temannya yang terus mendekat sembari menyeret tubuh seorang.“Siapa ini? Apakah kau sudah berhasil m
“Hey, lihat! Sang penyelamat kita sudah kembali datang..” Pria paruh baya yang menenteng senjata itu menghampiri Rameng. Dua orang pria yang bertubuh kekar itu saling berpelukan dan bertukar senyum satu sama lain.“Hahaha, aku sudah menduganya, bahwa polisi korup itu tidak akan bisa menangkapmu.” Pria itu masih berdecak kagum akan kehadiran Rameng. Bagaimana tidak? Ia berhasil lolos dari kepungan para polisi. Bagaimana cara dia melakukannya? Entahlah, itulah yang ingin ditanyai oleh Pak Karay padanya.“Ayo ceritakan, bagaimana kau bisa lolos dari kepungan para polisi yang korup itu? Apakah mereka menembakmu?” Pak Karay melipat kedua tangannya di dada.“Hahaha, tentu saja. Tapi Ninek (dewa) menolongku. Dia datang tepat waku saat salah satu dari mereka hampir saja menemukanku. Aku bersembunyi di dalam rumput berduri, sehingga mereka tidak dapat melihatku. Aku dapat melihat dan mendengar dengan telingaku, mereka menembak beberapa orang dari keluargaku tanpa belas kasih sedikitpun.” Ramen
Tak lama kemudian, dari atas bukit, tiba-tiba muncullah sebuah bus tua yang melaju dalam kecepatan normal. Melihat kemunculan bus tua itu, Pak Murad yang duduk santai di kursi kayu bahkan langsung terbangun pada saat itu Juga. Pria itu segera membenahi kacamata emasnya untuk memperbaiki penglihatannya. Terbitlah segaris senyum kecil di wajahnya.Bus tua itu berhenti tepat di tengah-tengah halaman desa. Suara knalpotnya yang bising perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya benar-benar lenyap ketika sang sopir memutar kuncinya. Tak lama kemudian, turunlah beberapa orang pria dari dalam sana.Tangannya yang sibuk memotong tali-tali itu pun langsung terhenti, bahkan pisau itu pun juga terjatuh ke lantai. Dewi shock melihat beberapa orang pria yang baru saja keluar dari dalam bus tua itu. Yang paling membuatnya kaget adalah sosok pria yang yang mengenakkan perban di tangan kanannya. Rameng, pria itulah yang telah menipu mereka berdua saat itu.Waktu itu Rameng datang ke kantor mereka, dia me
“Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari