Sindi terburu-buru mengganti bajunya dan mengambil beberapa barang-barang yang penting lainnya, ia bersiap-siap untuk melarikan diri ke rumah Paman Tanjo. Tidak mau berlama-lam berada di rumah itu, ia segera melompat ke luar lewat pintu belakang. Tanpa pikir panjang, ia pun memutuskan untuk menerobos padang belukar yang setinggi satu meter lebih itu dengan sepatu gunungnya. Berlari.
Di depan halaman rumah saat itu Buk Tiah dan puluhan orang warga yang lain baru saja pulang dari lokasi pencarian Irma. Di tengah-tengah kerumunan itu, terlihat asap putih yang bergumpal-gumpal memenuhi sekitarnya. Asap putih itu bukanlah asap sembarangan, itu adalah asap yang berasal dari kemenyang-kemenyang pilihan. Tampaknya mereka semua benar-benar telah mengerahkan segala upaya untuk menemukan Irma, termasuk pun dengan memanggil para arwah dan leluhur mereka.
Di belakang kerumunan itu, ada belasan orang pria yang sedang memikul beberapa peti mati yang berwarna hitam. Mereka mengaraknya
Perlahan-lahan kakinya melangkah menuju ke arah depan dekat semak-semak yang setinggi perut orang dewasa itu. Ia sungguh begitu yakin suara misterius itu berasal dari arah sana. Dalam jarak tujuh meter kemudian, dia pun berhenti untuk mengamati tempat itu dengan lebih teliti lagi. Namun lagi-lagi tidak ada yang terlihat sama sekali. Seluruh area perbukitan dekat sana tampak begitu lengang. Sindi menjadi bingung dan juga takut. Ia memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu.“Hey, Sindi! Kamu mau ke mana?” Lagi-lagi suara itu terdengar memanggilnya. Ia yang baru saja hendak pergi meninggalkan tempat itu langsung kembali menolehkan wajahnya ke arah sumber suara itu. Saat itulah ia melihat sosok seorang pria dewasa yang berada dalam jarak 20 meter di sisi kirinya. Ternyata pria itu adalah Pak Wawan.“Ayo sini, ikut aku, CEPAT!” seru Pak Wawan dengan setengah berbisik. Setelah itu ia segera memutar tubuhnya dan bersiap-siap untuk pergi. Tanpa pikir panjang, Sindi pun langsung b
Suara mereka terdengar jelas di luar sana. Enam orang pria itu berhenti tepat di sekitaran batu-batu besar di depan goa. Meri memberanikan dirinya untuk mengintip dari celah-celah dauh-daunan yang menutup pintu goa tersebut, saat itu ia melihat enam orang pria yang memegang senjata tajam sedang berkumpul dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Jarak mereka dengan pintu hanya terpaut sekitar dua puluh meter.Meri sungguh begitu takut melihat keberadaan mereka, ia pun memutuskan untuk mundur dari sana menuju ruangan belakang menjauhi pintu goa itu. Di ruangan belakang tersebut, hampir tak ada cahaya matahari yang masuk. Tempat itu benar-benar gelap, ia bahkan nyaris tak bisa melihat apa pun yang ada di dalam sana.Lantai goa di ruangan belakang penuh dengan air dan lumpur, sehingga membuat kakinya menjadi lengket dan basah. Ia bersembunyi di balik dinding goa yang sedikit menjulur ke tengah ruangan. Di situlah ia meringkup untuk menunggu para pemuja setan itu pergi.*******Pak Wawan
Ketika situasi di luar sana benar-benar sudah terasa aman, Meri pun segera berlari ke arah yang berlawananan dari arah yang dituju oleh Buyung dan kawan-kawannya. Itu adalah jalan yang mana tadinya sudah ia lewati. Dengan kaki yang tidak beralas, Meri berlari dengan begitu kencang meninggalkan tempat itu.Saat itu, hari telah siang. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul satu. Ia baru saja tiba di tanah datar, melewati hamparan pepohonan rimbun yang tinggi menjulang. Tidak seperti yang sebelumnya, kini tempat itu tampak lebih cerah. Kabut tebal yang menyelimuti pepohonan telah lenyap. Hutan yang lebat itu seakan-akan memancarkan cahaya hijaunya yang begitu asri.Dengan tergesa-gesa ia melangkah membawa dirinya keluar dari tanah datar itu. Kecepatan larinya terlalu tinggi, sehingga membuatnya tak sanggup menahan diri ketika ia tiba-tiba berhadapan dengan medan jalan yang menurun tajam ke bawah sana. Pada waktu itu juga tubuhnya terbang ke bawah sana dan berguling-guli
Part 38Sindi terdiam di tempat duduknya. Ia masih tak percaya dengan semua cerita yang baru saja didengarnya tersebut. “Bagaimana mungkin? Jika benar demikian lalu mengapa mereka tidak menangkap kami bertiga sejak malam tadi?” Sindi membuka mata dan mulutnya. Kali ini nada pertanyaannya benar-benar terdengar begitu serius.“Benar, seharusnya mereka sudah menangkap kalian bertiga sejak malam tadi. Akan tetapi sepertinya mungkin mereka lengah dan menyangka kalian bertiga tidak akan pergi karena kalian tidak mengetahui sedikitpun mengenai hal tersebut. Dan pada akhirnya ternyata semua berjalan di luar dugaan mereka.”Sindi terhenyak mendengar cerita Pak Wawan. Tiba-tiba saja ia teringat dengan para psikopat gila yang menerornya beberapa bulan yang lalu. Mereka menangkapnya dan mengurungnya di dalam ruangan bawah tanah yang gelap. “Apakah mungkin mereka itulah orangnya?” Raut muka Sindi mulai berubah.
“Benar, kelompok putih itu adalah orang-orang kita. Mereka adalah orang-orang yang menentang pemuja setan yang dilaksanakan oleh Pak Karay dan para pengikutnya.” Pak Wawan memadukan kedua telapak tangannya dengan posisi badan yang bersandar di kursi. Suasana di rumah kayu itu pun kembali menjadi hening selama beberapa saat. Sindi terdiam, merasa paham dan juga puas dengan semua penjelasan yang didengarnya itu.“Apakah mereka itu adalah keluarga bapak?” tanya Sindi sambil menunjuk ke arah dapur dengan bibirnya. Pak Wawan pun menoleh ke arah dapur. “Benar, wanita yang mengenakkan baju hijau itu adalah istri saya, sementara dua orang wanita di sebelahnya itu adalah orang luar yang sama seperti kalian. Sekitar dua bulan yang lalu mereka berkunjung ke dasa ini bersama dengan enam orang teman mereka yang lain. Enam orang teman mereka sudah tertangkap oleh Pak Karay dan kaki tangannya. Tidak ada yang tahu apakah enam orang itu masih hidup dan ataukan su
Kondisi di dalam goa itu sungguh begitu gelap, mereka nyaris saja tak dapat melihat apa-pun. Untunglah salah satu dari mereka adalah seorang perokok, dia selalu membawa korek apinya kemana pun dia pergi. Ia menyalakan korek apinya itu di dalam goa tersebut, dan seketika itu juga seluruh ruangan pun langsung benderang. Dinding goa itu terbuat dari batu kapur yang putih. Dari atas langit-langitnya tampak ada beberapa tetesan air yang jatuh ke lantai. Lantai yang ada di dalam goa itu dipenuhi oleh air yang bercampur dengan lumpur. Buyung dan teman-temannya itu memeriksa semua sudut goa itu, mereka bahkan sampai berjalan ke ruangan belakang yang terletak di belakang dinding goa. Mereka tidak menemukan Meri di tempat itu. Akhirnya, mereka semua pun memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Akan tetapi, sebelum mereka tiba di luar sana, tiba-tiba mereka menemukan sesuatu di lantai goa. Terlihat ada beberapa jejak kaki manusia yang terbenam di dalam lumpur. “Itu adalah jejak kaki wanita itu!
Selembar bekas sobekan kain yang berlumuran darah tergeletak di tanah. Hanya beberapa meter saja dari tempat itu, mereka juga menemukan sebuah kayu runcing yang berlumuran darah. “Ini adalah miliknya. Wanita itu pasti sedang terluka parah akibat kayu runcing ini yang menghujam dirinya” Buyung mengangkat kain dan kayu runcing yang berlumuran darah itu ke hadapan teman-temannya. “Dia pasti sudah tiba di jembatan gantung itu, ayo cepat! Kejar dia!” Buyung segera berlari mengejar Meri ke arah jembatan itu bersama dengan teman-temannya.Suara langkah kaki mereka yang berlari menerobos padang belukar yang tebal itu terdengar bagaikan sekumpulan binatang yang liar yan beringas. Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan menjadi patah dan hancur. Enam orang pria itu benar-benar mengerahkan semua kekuatan mereka untuk mengejar buruan mereka yang berusaha untuk meloloskan diri.Sekitar beberapa belas menit kemudian, akhirnya mereka pun tiba di dekat area parkiran. Tempat itu tampak begitu len
Meri berhasil melewati jembatan kayu itu meski harus berjuang dengan sekuat tenaga. Ia berlari memasuki hutan yang lebat. Sementara itu, di belakangnya ada Buyung yang baru saja tiba di pangkal jembatan. Ia segera menyeberangi jembatan kayu itu dengan berlari. Jembatan gantung itu pun bergoncang hebat. Jika pria itu tidak menyadarinya, maka dia pasti akan terlempar kebawah sana akibat goncangan yang semakin kencang. Namun beruntunglah lelaki itu menyadarinya, ia segera menurunkan laju kecepatannya itu untuk menyeimbangkan situasi. Dia mengganti gerakannya tersebut dengan cara berjalan cepat dan setengah berlari kecil ke hingga ujung jembatan. Setelah itu, satu per satu temannya yang lain juga menyusul dari belakang.Di sisi lain, Tadu teman Buyung yang menyeberang dengan motor trail itu masih berjuang keras agar mampu menerobos arus sungai batang merao yang masih cukup deras itu. Benar-benar di luar dugaannya, ternyata melewati arus sungai batang merao saat itu tidak semudah seper