Ketika situasi di luar sana benar-benar sudah terasa aman, Meri pun segera berlari ke arah yang berlawananan dari arah yang dituju oleh Buyung dan kawan-kawannya. Itu adalah jalan yang mana tadinya sudah ia lewati. Dengan kaki yang tidak beralas, Meri berlari dengan begitu kencang meninggalkan tempat itu.Saat itu, hari telah siang. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul satu. Ia baru saja tiba di tanah datar, melewati hamparan pepohonan rimbun yang tinggi menjulang. Tidak seperti yang sebelumnya, kini tempat itu tampak lebih cerah. Kabut tebal yang menyelimuti pepohonan telah lenyap. Hutan yang lebat itu seakan-akan memancarkan cahaya hijaunya yang begitu asri.Dengan tergesa-gesa ia melangkah membawa dirinya keluar dari tanah datar itu. Kecepatan larinya terlalu tinggi, sehingga membuatnya tak sanggup menahan diri ketika ia tiba-tiba berhadapan dengan medan jalan yang menurun tajam ke bawah sana. Pada waktu itu juga tubuhnya terbang ke bawah sana dan berguling-guli
Part 38Sindi terdiam di tempat duduknya. Ia masih tak percaya dengan semua cerita yang baru saja didengarnya tersebut. “Bagaimana mungkin? Jika benar demikian lalu mengapa mereka tidak menangkap kami bertiga sejak malam tadi?” Sindi membuka mata dan mulutnya. Kali ini nada pertanyaannya benar-benar terdengar begitu serius.“Benar, seharusnya mereka sudah menangkap kalian bertiga sejak malam tadi. Akan tetapi sepertinya mungkin mereka lengah dan menyangka kalian bertiga tidak akan pergi karena kalian tidak mengetahui sedikitpun mengenai hal tersebut. Dan pada akhirnya ternyata semua berjalan di luar dugaan mereka.”Sindi terhenyak mendengar cerita Pak Wawan. Tiba-tiba saja ia teringat dengan para psikopat gila yang menerornya beberapa bulan yang lalu. Mereka menangkapnya dan mengurungnya di dalam ruangan bawah tanah yang gelap. “Apakah mungkin mereka itulah orangnya?” Raut muka Sindi mulai berubah.
“Benar, kelompok putih itu adalah orang-orang kita. Mereka adalah orang-orang yang menentang pemuja setan yang dilaksanakan oleh Pak Karay dan para pengikutnya.” Pak Wawan memadukan kedua telapak tangannya dengan posisi badan yang bersandar di kursi. Suasana di rumah kayu itu pun kembali menjadi hening selama beberapa saat. Sindi terdiam, merasa paham dan juga puas dengan semua penjelasan yang didengarnya itu.“Apakah mereka itu adalah keluarga bapak?” tanya Sindi sambil menunjuk ke arah dapur dengan bibirnya. Pak Wawan pun menoleh ke arah dapur. “Benar, wanita yang mengenakkan baju hijau itu adalah istri saya, sementara dua orang wanita di sebelahnya itu adalah orang luar yang sama seperti kalian. Sekitar dua bulan yang lalu mereka berkunjung ke dasa ini bersama dengan enam orang teman mereka yang lain. Enam orang teman mereka sudah tertangkap oleh Pak Karay dan kaki tangannya. Tidak ada yang tahu apakah enam orang itu masih hidup dan ataukan su
Kondisi di dalam goa itu sungguh begitu gelap, mereka nyaris saja tak dapat melihat apa-pun. Untunglah salah satu dari mereka adalah seorang perokok, dia selalu membawa korek apinya kemana pun dia pergi. Ia menyalakan korek apinya itu di dalam goa tersebut, dan seketika itu juga seluruh ruangan pun langsung benderang. Dinding goa itu terbuat dari batu kapur yang putih. Dari atas langit-langitnya tampak ada beberapa tetesan air yang jatuh ke lantai. Lantai yang ada di dalam goa itu dipenuhi oleh air yang bercampur dengan lumpur. Buyung dan teman-temannya itu memeriksa semua sudut goa itu, mereka bahkan sampai berjalan ke ruangan belakang yang terletak di belakang dinding goa. Mereka tidak menemukan Meri di tempat itu. Akhirnya, mereka semua pun memutuskan untuk keluar dari tempat itu. Akan tetapi, sebelum mereka tiba di luar sana, tiba-tiba mereka menemukan sesuatu di lantai goa. Terlihat ada beberapa jejak kaki manusia yang terbenam di dalam lumpur. “Itu adalah jejak kaki wanita itu!
Selembar bekas sobekan kain yang berlumuran darah tergeletak di tanah. Hanya beberapa meter saja dari tempat itu, mereka juga menemukan sebuah kayu runcing yang berlumuran darah. “Ini adalah miliknya. Wanita itu pasti sedang terluka parah akibat kayu runcing ini yang menghujam dirinya” Buyung mengangkat kain dan kayu runcing yang berlumuran darah itu ke hadapan teman-temannya. “Dia pasti sudah tiba di jembatan gantung itu, ayo cepat! Kejar dia!” Buyung segera berlari mengejar Meri ke arah jembatan itu bersama dengan teman-temannya.Suara langkah kaki mereka yang berlari menerobos padang belukar yang tebal itu terdengar bagaikan sekumpulan binatang yang liar yan beringas. Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan menjadi patah dan hancur. Enam orang pria itu benar-benar mengerahkan semua kekuatan mereka untuk mengejar buruan mereka yang berusaha untuk meloloskan diri.Sekitar beberapa belas menit kemudian, akhirnya mereka pun tiba di dekat area parkiran. Tempat itu tampak begitu len
Meri berhasil melewati jembatan kayu itu meski harus berjuang dengan sekuat tenaga. Ia berlari memasuki hutan yang lebat. Sementara itu, di belakangnya ada Buyung yang baru saja tiba di pangkal jembatan. Ia segera menyeberangi jembatan kayu itu dengan berlari. Jembatan gantung itu pun bergoncang hebat. Jika pria itu tidak menyadarinya, maka dia pasti akan terlempar kebawah sana akibat goncangan yang semakin kencang. Namun beruntunglah lelaki itu menyadarinya, ia segera menurunkan laju kecepatannya itu untuk menyeimbangkan situasi. Dia mengganti gerakannya tersebut dengan cara berjalan cepat dan setengah berlari kecil ke hingga ujung jembatan. Setelah itu, satu per satu temannya yang lain juga menyusul dari belakang.Di sisi lain, Tadu teman Buyung yang menyeberang dengan motor trail itu masih berjuang keras agar mampu menerobos arus sungai batang merao yang masih cukup deras itu. Benar-benar di luar dugaannya, ternyata melewati arus sungai batang merao saat itu tidak semudah seper
Rumah kayu itu telah kosong. Di ruangan dapur, tampak bara api yang masih memerah dengan gumpalan asapnya yang memutih. Tungku batu dan kuali masih berada di sana. “Mereka pasti tidak jauh dari sini, ayo kejar mereka ke sana!” Pak Karay berseru dengan suaranya yang lantang. Dengan serta merta para warga yang menentang senjata lengkap itu pun langsung berhamburan mengikuti arah jari telunjuk sang kepala desa. Mereka berlari melewati lorong sempit yang diapit oleh dua tebing curam dari sisi kiri dan juga kanannya.Semakin jauh mereka berlari ke dalam sana, lorong yang pada mulanya selebar satu meter lebih itu kini perlahan-lahan menjadi semakin sempit dan susah untuk dilalui. Begitupun dengan kecepatan lari mereka yang menurun drastis. “BUM” sebongkah batu menghalangi kaki Pak Wawan. Beliaupun tersungkur ke tanah. Beruntunglah sindi punya reflek yang bagus, ia berhasil menghindarinya. Pak Wawan meringis kesakitan. Lutut dan sikunya tampak berdarah. Tidak mau menghambat perjalanan, bel
“Tidak mungkin!” Salah satu dari warga yang berdiri di tempat itu memegang kepalanya. Dia benar-benar tidak percaya, ternyata jalan yang sempit itu akan berakhir dengan sebuah kebuntuan. Apa kita salah jalan? Tadi di belakang sana aku melihat ada jalan lain. Ayo kita mundur. Setiap orang sibuk mengutarakan pendapatnya untuk mencari jalan keluar dari tempat itu.“Bagaimana ini? Aku tidak mau terjebak di tempat ini. Bagaimana jikalau nanti tebing-tebing ini runtuh lagi? Kita semua akan mati sia-sia di sini. Malam akan segera datang.” Para pria yang bersenjata tajam itu tampak begitu menghawatirkan nasib mereka. Mereka mengeluhkan tentang banyak hal di sana.Saat itu hari benar-benar sudah sore. Sekitar satu jam lagi, matahari akan segera lenyap dari dunia digantikan oleh malam yang gelap gulita. Pak Karay yang menenteng senjata api berseru dari belakang. “Panjat tebing itu dengan tali, CEPAT!” seruan itu membuat suara bising itu menjad