Pagi sudah tiba. Sang matahari terbit dengan cahaya terindahnya di ufuk timur. Satu dua burung-burung mulai terdengar berkicau riang dari atas pepohonan, seakan tak peduli dengan kondisi Meri dan Sindi yang pada saat itu masih juga dilanda badai yang dahsyat.Sudah lebih dari setengah jam waktu berlalu, satu dua warga mulai berdatangan dan kemudian berkumpul di depan rumah Buk Tiah, termasuk juga dengan Pak Karay sang Kepala desa. Saat jalan dan halaman depan rumah Buk Tiah sudah ramai dipenuhi oleh para warga yang terus berdatangan, maka Buyung pun segera maju ke tengah-tengah mereka untuk memberikan sebuah pengumuman. Dia berdiri dan kemudian berbicara dalam bahasa setempat dengan sesekali memainkan tangannya. Meri dan Sindi hanya duduk dalam keadaan lesu melihatnya dari atas balkon rumah sambil berharap emoga teman mereka itu dalam keadaan baik-baik saja. Pak Karay menemui mereka berdua ke atas balkon, beliau menyuruh mereka berdua untuk beristirahat dan menyuruh mereka untuk tidak
Saat itu jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Suasana desa Serampeh masih tampak begitu lengang. Sepertinya hampir dari semua masyarakat yang ada di sini sedang sibuk mencari Irma yang masih belum juga ditemukan. “Lihat itu!” Meri mengarahkan mulut dan telunjuknya ke halaman rumah. Di sana terlihat sebuah motor trail yang terparkir rapi di halaman rumah. Itu adalah motor trail milik Buyung. “Bagaiamana jika aku menggunakan motor trail tersebut untuk mempersingkat waktu?” Meri menaikkan alis matanya sembari menatap wajah Sindi. Sindi kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh temannya itu. Sedikit pun ia tak pernah terlintas untuk membajak motor Buyung untuk melarikan diri dari desa tersebut. “Jangan khawatir, aku bisa membawanya, kok” lanjut Meri lagi untuk meyakinkan temannya. “bukan itu yang aku takutkan, akan tetapi bagaimanakah caranya aku menjelaskan semua ini pada Buyung jika kau membawa motor trailnya pergi? Semua rencana kita pasti akan terbongkar oleh mereka” Sin
Meri memacu sepeda motor nya itu dengan begitu kencang melewati jalan raya desa Serampeh yang berlumpur hebat akibat diterpa oleh hujan deras tadi malam. Suara motor trail itu mengaung-ngaung melewati medan yang berliku-liku dan juga menanjak. Meski sempat beberapa kali tergelincir dan hampir keluar dari jalur utama, namun Meri tetap teguh menggenggam stan motor itu dengan begitu kuat. Sekitar beberapa menit lagi berkendara, maka ia akan segera bertemu dengan sungai batang merao yang seringkali meluap akibat hujan yang deras.Di sisi lain, Buyung dan kawan-kawannya itu juga tak mau kalah. Mereka dengan begitu gagah berani melewati medan jalan yang licin itu tanpa sedikitpun mau mengendurkan tali gas motor mereka. Suara-suara motor itu terdengar sungguh begitu ribut memadati jalan dan hutan. Lumpur dan sisa air hujan yang tergenang di jalan pun beterbangan disapu oleh roda-roda motor trail mereka yang telah diikat dengan rantai-rantai motor.Sekitar dua kilometer di dep
Sindi terburu-buru mengganti bajunya dan mengambil beberapa barang-barang yang penting lainnya, ia bersiap-siap untuk melarikan diri ke rumah Paman Tanjo. Tidak mau berlama-lam berada di rumah itu, ia segera melompat ke luar lewat pintu belakang. Tanpa pikir panjang, ia pun memutuskan untuk menerobos padang belukar yang setinggi satu meter lebih itu dengan sepatu gunungnya. Berlari.Di depan halaman rumah saat itu Buk Tiah dan puluhan orang warga yang lain baru saja pulang dari lokasi pencarian Irma. Di tengah-tengah kerumunan itu, terlihat asap putih yang bergumpal-gumpal memenuhi sekitarnya. Asap putih itu bukanlah asap sembarangan, itu adalah asap yang berasal dari kemenyang-kemenyang pilihan. Tampaknya mereka semua benar-benar telah mengerahkan segala upaya untuk menemukan Irma, termasuk pun dengan memanggil para arwah dan leluhur mereka.Di belakang kerumunan itu, ada belasan orang pria yang sedang memikul beberapa peti mati yang berwarna hitam. Mereka mengaraknya
Perlahan-lahan kakinya melangkah menuju ke arah depan dekat semak-semak yang setinggi perut orang dewasa itu. Ia sungguh begitu yakin suara misterius itu berasal dari arah sana. Dalam jarak tujuh meter kemudian, dia pun berhenti untuk mengamati tempat itu dengan lebih teliti lagi. Namun lagi-lagi tidak ada yang terlihat sama sekali. Seluruh area perbukitan dekat sana tampak begitu lengang. Sindi menjadi bingung dan juga takut. Ia memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu.“Hey, Sindi! Kamu mau ke mana?” Lagi-lagi suara itu terdengar memanggilnya. Ia yang baru saja hendak pergi meninggalkan tempat itu langsung kembali menolehkan wajahnya ke arah sumber suara itu. Saat itulah ia melihat sosok seorang pria dewasa yang berada dalam jarak 20 meter di sisi kirinya. Ternyata pria itu adalah Pak Wawan.“Ayo sini, ikut aku, CEPAT!” seru Pak Wawan dengan setengah berbisik. Setelah itu ia segera memutar tubuhnya dan bersiap-siap untuk pergi. Tanpa pikir panjang, Sindi pun langsung b
Suara mereka terdengar jelas di luar sana. Enam orang pria itu berhenti tepat di sekitaran batu-batu besar di depan goa. Meri memberanikan dirinya untuk mengintip dari celah-celah dauh-daunan yang menutup pintu goa tersebut, saat itu ia melihat enam orang pria yang memegang senjata tajam sedang berkumpul dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Jarak mereka dengan pintu hanya terpaut sekitar dua puluh meter.Meri sungguh begitu takut melihat keberadaan mereka, ia pun memutuskan untuk mundur dari sana menuju ruangan belakang menjauhi pintu goa itu. Di ruangan belakang tersebut, hampir tak ada cahaya matahari yang masuk. Tempat itu benar-benar gelap, ia bahkan nyaris tak bisa melihat apa pun yang ada di dalam sana.Lantai goa di ruangan belakang penuh dengan air dan lumpur, sehingga membuat kakinya menjadi lengket dan basah. Ia bersembunyi di balik dinding goa yang sedikit menjulur ke tengah ruangan. Di situlah ia meringkup untuk menunggu para pemuja setan itu pergi.*******Pak Wawan
Ketika situasi di luar sana benar-benar sudah terasa aman, Meri pun segera berlari ke arah yang berlawananan dari arah yang dituju oleh Buyung dan kawan-kawannya. Itu adalah jalan yang mana tadinya sudah ia lewati. Dengan kaki yang tidak beralas, Meri berlari dengan begitu kencang meninggalkan tempat itu.Saat itu, hari telah siang. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul satu. Ia baru saja tiba di tanah datar, melewati hamparan pepohonan rimbun yang tinggi menjulang. Tidak seperti yang sebelumnya, kini tempat itu tampak lebih cerah. Kabut tebal yang menyelimuti pepohonan telah lenyap. Hutan yang lebat itu seakan-akan memancarkan cahaya hijaunya yang begitu asri.Dengan tergesa-gesa ia melangkah membawa dirinya keluar dari tanah datar itu. Kecepatan larinya terlalu tinggi, sehingga membuatnya tak sanggup menahan diri ketika ia tiba-tiba berhadapan dengan medan jalan yang menurun tajam ke bawah sana. Pada waktu itu juga tubuhnya terbang ke bawah sana dan berguling-guli
Part 38Sindi terdiam di tempat duduknya. Ia masih tak percaya dengan semua cerita yang baru saja didengarnya tersebut. “Bagaimana mungkin? Jika benar demikian lalu mengapa mereka tidak menangkap kami bertiga sejak malam tadi?” Sindi membuka mata dan mulutnya. Kali ini nada pertanyaannya benar-benar terdengar begitu serius.“Benar, seharusnya mereka sudah menangkap kalian bertiga sejak malam tadi. Akan tetapi sepertinya mungkin mereka lengah dan menyangka kalian bertiga tidak akan pergi karena kalian tidak mengetahui sedikitpun mengenai hal tersebut. Dan pada akhirnya ternyata semua berjalan di luar dugaan mereka.”Sindi terhenyak mendengar cerita Pak Wawan. Tiba-tiba saja ia teringat dengan para psikopat gila yang menerornya beberapa bulan yang lalu. Mereka menangkapnya dan mengurungnya di dalam ruangan bawah tanah yang gelap. “Apakah mungkin mereka itulah orangnya?” Raut muka Sindi mulai berubah.