Part 12 Ia mulai melempar pandang ke luar sana, lalu memasang kedua telinganya itu dengan lebar untuk mendengarkan sesuatu. Mengapa suara yang indah itu belum juga terdengar bersenandung dengan lagunya yang sendu itu? Bukankah sejak dua malam yang lalu ia selal bernyanyi? Ataukah dia sudah tertidur pulas di rumahnya? Sindi masih penasaran melempar matanya ke dalam gelap di luar sana. Saat itu, jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul dua lewat dini hari. Perlahan-lahan suara hujan itu mulai melemah, hanya menyisakan rintik-rintik gerimis kecil yang jatuh menimpa atap. Tak lama berselang, suara yang indah itu pun mulai terdengar di ujung telinganya. Sindi yang tadinya sudah kembali ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya itu, sekarang ia kembali bangkit dan berdiri di balik jendela untuk mendengarkan nyanyian yang misterius tersebut. Nadanya benar-benar indah dan menyayat. Walaupun ia tidak mengerti dengan setiap kalimat yang dinyanyikan oleh sosok wanita yang misterius itu, namun
Sudah pukul sepuluh malam lewat tiga belas. Hujan deras masih berkecamuk hebat menyiram tanah dan hutan. Sindi mulai gelisah berada di tempat itu. Ia merasa kurang nyaman, karena di rumah Pak Muradi banyak sekali para pria yang menginap di sana. Jika di hitung, hanya dia dan istri Pak Muradi-lah yang dari kaum hawa, selebihnya adalah para pria. Beruntunglah tak lama kemudian hujan deras itu pun akhirnya mulai reda, yang tersisa hanyalah gerimis-gerimis kecil yang lembut menimpa atap. Sindi tidak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut, dia pun segera mengajak Buyung untuk pulang. “Malam sudah larut, sebaiknya kalian berdua hati-hati di jalan, ya. Kondisi jalan sedang tidak baik, licin karena basah oleh hujan” ujar istri Pak Muradi dari ambang pintu. Mereka berdua pun mengangguk dan segera pamit pergi dengan motor trail Buyung yang telah menyala. Perlahan-lahan motor trail Buyung mulai bergerak meninggalkan halaman rumah pak Muradi. Suaranya semakin pelan dan lenyap ke dalam malam ya
Wajah Sindi sudah mulai tampak sedikit tenang. Buk Tiah berlari kecil menuju pintu dan kemudian mengintip di balik jendela wajahnya tampak cemas, seakan-akan ada sesuatu yang mangancam dari luar sana. Tak lama kemudian, beliau pun segera kembali menuju kursi di ruangan tamu. Buyung mulai bercerita. Saat itu, hujan gerimis masih tedengar lembut bercucuran dari langit. Jam sudah menunjukkan hampir pukul dua belas dini hari. Sebuah lampu minyak menyala terang di atas meja, tak dapat dibayangkan jika tak ada cahaya lampu minyak tersebut, pastilah seluruh ruangan itu akan menjadi gelap gulita dan menakutkan. Sindi duduk di kursi dengan mata yang menganga menatap wajah Buyung, ia sudah tidak sabar lagi untuk mendengar Buyung memulai ceritanya. Sekitar empat puluh tahun yang lalu, ada sebuah rumah tua yang berdiri di tepi jalan dekat area pemakaman umum yang tadinya kita lewati. Rumah tersebut adalah rumah yang paling besar dan megah di antara rumah-rumah warga yang lain. Rumah itu adalah m
Bukan hanya sekedar membeli tanah, para pendatang baru itu juga membeli beberapa budak yang dipekerjakan oleh sang Depati di ladangnya. Mereka membeli sekitar dua puluh orang lebih para pekerja dari sang Depati, dan kemudian mempekerjakan mereka di ladang yang telah mereka beli tersebut. Syukurlah para pendatang itu adalah orang-orang yang baik, mereka meperlakukan para pekerja tersebut dengan baik. Mereka memberi mereka makan dan juga tempat tinggal yang layak. Selain itu, mereka juga memberi upah mereka dengan gaji yang setimpal dengan pekerjaan yang mereka lakukan.. Hari demi hari terus berlalu, akhirnya sang Depati yang lansia itu pun menutup usianya. Kekuasaan di desa Serampeh masih dipegang oleh anak-anaknya yang bengis dan juga kejam. Karena mereka tidak memberikan upah dan makanan yang layak kepada para pekerja mereka tersebut, beberapa para pekerja itu pun banyak yang sakit-sakitan dan tidak sanggup lagi untuk bekerja secara maksimal. Saat itulah sebuah bencana mulai berdata
“Kenapa kau pulang di malam yang selarut ini? Apa yang terjadi?” tanya Buyung pada Ole. Ole tidak langsung menjawabnya, ia segera menyelinap masuk ke dalam rumah tanpa bicara. “Mana mereka?” Tanya Sindi sambil mengernyitkan alis matanya. “Mereka berdua aku tinggalkan di dekat sungai, mobil tak bisa menyeberang, karena arus sungai Batang Merao yang meluap, sepertinya akan kembali surut hingga pagi besok.” Jawab Ole sambil mengelap rambutnya yang basah dengan handuk.“Apa? Meri dan Irma kau tinggalkan di sana? Di malam yang selarut ini? Di tengah hutan yang mencekam ini? Apa kau sudah gila, Ole!” Sindi marah dengan tatapan mata yang melotot pada Ole.“Ssstt.. Sindi... Pelankan nada suaramu..” Buk Tiah memegang lengan Sindi sambill menempelkan jari telunjuknya di bibir. Memberi isyarat agar Sindi segera menurunkan volume suaranya. Seakan baru tersadar, Sindi dengan buru-buru segera menutup mulutnya dengan tangan. “Kenapa kau meninggalkan mereka berdua di tempat itu? Mereka kan b
Tiga orang pria itu dengan sigap langsung menerobos masuk ke dalam halaman rumah Buk Tiah. Buyung segera bangun kemudian menahan dan menenangkan tiga orang pria itu beserta dengan para warga yang lain. “Mohon semuanya bersabar, karena setiap orang akan mendapatkan bagiannya masing-masing” Kata Buyung dengan setengah berteriak dalam bahasa daerah. Syukurlah sikap tiga orang pria yang beringas itu menjadi tenang kembali, begitupun halnya dengan para warga yang lain. Sindi mengelus dada sembari mengggelengkan kepalanya melihat sikap para warga yang terkesan cukup beringas.Terpal yang menutup semua barang-barang itu sudah disingkirkan oleh Ole. Sindi mulai mengeluarkan satu persatu barang-barang tersebut dari dalam keranjangnya. Terlihat banyak sekali jenis alat-alat perkakas yang berjajar di bak belakang, Sindi bahkan sudah terlihat macam orang yang sedang berjualan keliling di pasar raya. Parang, pisau, topi, cangkul, dan ada juga sepatu but yang panjang. Setelah semuanya dikeluarkan
Rasa kantuk mulai menyerang, sejak tadi pagi Meri belum juga beristirahat, akhirnya ia pun memutuskan untuk melupakan suara nyanyian wanita yang misterius itu dan beranjak menuju kasur gulungnya. Suara wanita itu masih terdengar bersenandung bersama dengan hembusan angin malam yang begitu lembut. Namun, perlahan-lahan suara nyanyian yang misterius itu pun lenyap ditelan oleh malam.Sesaat kemudian, tiba-tiba ia mendengar ada bunyi suara orang yang sedang berbicara di luar halaman rumah, sepertinya suara itu berasal dari arah jalan setapak. Selang beberapa saat kemudian, terdengar pula suara longlongan anjing yang aneh. Tercekik. Meri yang baru saja hendak memejamkan kedua matanya itu pun kembali bangun untuk mengintip dari balik celah-celah jendela kayu yang ada di kamar.Dalam samarnya cahaya rembulan malam, di luar sana terlihat ada sekitar lima orang pria yang sedang berdiri dan membincangkan tentang sesuatu dalam bahasa yang tidak ia pahami. Mereka bercakap-cakap dengan nada yan
Hari yang ke sembilan. Matahari terbit dengan cahaya terindahnya di ufuk Timur. Langit tampak bersih tanpa ada segumpal awan pun yang menutupinya. Sindi dan Irma baru saja keluar dari kamar mandi, sementara itu Meri masih juga meringkup di dalam selimutnya tanpa mau beranjak walau sedikitpun.“Ir, tolong bangunkan Meri, bilang sama dia sekarang jam udah hampir pukul delapan” kata Sindi pada Irma sembari memandangi cermin kecilnya untuk berdandang. Tanpa banyak bicara Irma pun segera melakukannya.“Meri.. Meriana.. Bangun! Hari sudah pagi, ini sudah hampir pukul delapan, AYO BANGUN!” Irma mengguncang tubuh Meri dengan tangannya.“Aduh.. Aku masih ngantuk.. Kalian berdua aja yang pergi, ya. Aku dirumah aja” Meri menggeliat malas dengan nada yang setengah kesal. Ia kembali menutupi wajahnya itu dengan selimut. “Ih gak mau, pokoknya kamu juga harus ikut, Meri. Ayo bangun.. BANGUN..!” Irma kembali membangunkan Meri dengan suara yang lebih nyaring. Tiba-tiba saja Meri langsung meloncat