Bukan hanya sekedar membeli tanah, para pendatang baru itu juga membeli beberapa budak yang dipekerjakan oleh sang Depati di ladangnya. Mereka membeli sekitar dua puluh orang lebih para pekerja dari sang Depati, dan kemudian mempekerjakan mereka di ladang yang telah mereka beli tersebut. Syukurlah para pendatang itu adalah orang-orang yang baik, mereka meperlakukan para pekerja tersebut dengan baik. Mereka memberi mereka makan dan juga tempat tinggal yang layak. Selain itu, mereka juga memberi upah mereka dengan gaji yang setimpal dengan pekerjaan yang mereka lakukan.. Hari demi hari terus berlalu, akhirnya sang Depati yang lansia itu pun menutup usianya. Kekuasaan di desa Serampeh masih dipegang oleh anak-anaknya yang bengis dan juga kejam. Karena mereka tidak memberikan upah dan makanan yang layak kepada para pekerja mereka tersebut, beberapa para pekerja itu pun banyak yang sakit-sakitan dan tidak sanggup lagi untuk bekerja secara maksimal. Saat itulah sebuah bencana mulai berdata
“Kenapa kau pulang di malam yang selarut ini? Apa yang terjadi?” tanya Buyung pada Ole. Ole tidak langsung menjawabnya, ia segera menyelinap masuk ke dalam rumah tanpa bicara. “Mana mereka?” Tanya Sindi sambil mengernyitkan alis matanya. “Mereka berdua aku tinggalkan di dekat sungai, mobil tak bisa menyeberang, karena arus sungai Batang Merao yang meluap, sepertinya akan kembali surut hingga pagi besok.” Jawab Ole sambil mengelap rambutnya yang basah dengan handuk.“Apa? Meri dan Irma kau tinggalkan di sana? Di malam yang selarut ini? Di tengah hutan yang mencekam ini? Apa kau sudah gila, Ole!” Sindi marah dengan tatapan mata yang melotot pada Ole.“Ssstt.. Sindi... Pelankan nada suaramu..” Buk Tiah memegang lengan Sindi sambill menempelkan jari telunjuknya di bibir. Memberi isyarat agar Sindi segera menurunkan volume suaranya. Seakan baru tersadar, Sindi dengan buru-buru segera menutup mulutnya dengan tangan. “Kenapa kau meninggalkan mereka berdua di tempat itu? Mereka kan b
Tiga orang pria itu dengan sigap langsung menerobos masuk ke dalam halaman rumah Buk Tiah. Buyung segera bangun kemudian menahan dan menenangkan tiga orang pria itu beserta dengan para warga yang lain. “Mohon semuanya bersabar, karena setiap orang akan mendapatkan bagiannya masing-masing” Kata Buyung dengan setengah berteriak dalam bahasa daerah. Syukurlah sikap tiga orang pria yang beringas itu menjadi tenang kembali, begitupun halnya dengan para warga yang lain. Sindi mengelus dada sembari mengggelengkan kepalanya melihat sikap para warga yang terkesan cukup beringas.Terpal yang menutup semua barang-barang itu sudah disingkirkan oleh Ole. Sindi mulai mengeluarkan satu persatu barang-barang tersebut dari dalam keranjangnya. Terlihat banyak sekali jenis alat-alat perkakas yang berjajar di bak belakang, Sindi bahkan sudah terlihat macam orang yang sedang berjualan keliling di pasar raya. Parang, pisau, topi, cangkul, dan ada juga sepatu but yang panjang. Setelah semuanya dikeluarkan
Rasa kantuk mulai menyerang, sejak tadi pagi Meri belum juga beristirahat, akhirnya ia pun memutuskan untuk melupakan suara nyanyian wanita yang misterius itu dan beranjak menuju kasur gulungnya. Suara wanita itu masih terdengar bersenandung bersama dengan hembusan angin malam yang begitu lembut. Namun, perlahan-lahan suara nyanyian yang misterius itu pun lenyap ditelan oleh malam.Sesaat kemudian, tiba-tiba ia mendengar ada bunyi suara orang yang sedang berbicara di luar halaman rumah, sepertinya suara itu berasal dari arah jalan setapak. Selang beberapa saat kemudian, terdengar pula suara longlongan anjing yang aneh. Tercekik. Meri yang baru saja hendak memejamkan kedua matanya itu pun kembali bangun untuk mengintip dari balik celah-celah jendela kayu yang ada di kamar.Dalam samarnya cahaya rembulan malam, di luar sana terlihat ada sekitar lima orang pria yang sedang berdiri dan membincangkan tentang sesuatu dalam bahasa yang tidak ia pahami. Mereka bercakap-cakap dengan nada yan
Hari yang ke sembilan. Matahari terbit dengan cahaya terindahnya di ufuk Timur. Langit tampak bersih tanpa ada segumpal awan pun yang menutupinya. Sindi dan Irma baru saja keluar dari kamar mandi, sementara itu Meri masih juga meringkup di dalam selimutnya tanpa mau beranjak walau sedikitpun.“Ir, tolong bangunkan Meri, bilang sama dia sekarang jam udah hampir pukul delapan” kata Sindi pada Irma sembari memandangi cermin kecilnya untuk berdandang. Tanpa banyak bicara Irma pun segera melakukannya.“Meri.. Meriana.. Bangun! Hari sudah pagi, ini sudah hampir pukul delapan, AYO BANGUN!” Irma mengguncang tubuh Meri dengan tangannya.“Aduh.. Aku masih ngantuk.. Kalian berdua aja yang pergi, ya. Aku dirumah aja” Meri menggeliat malas dengan nada yang setengah kesal. Ia kembali menutupi wajahnya itu dengan selimut. “Ih gak mau, pokoknya kamu juga harus ikut, Meri. Ayo bangun.. BANGUN..!” Irma kembali membangunkan Meri dengan suara yang lebih nyaring. Tiba-tiba saja Meri langsung meloncat
Pria tinggi besar itu berjalan di depan Sindi dan kemudian masuk ke dalam kamar yang tadinya dimasuki oleh Nenek tua itu, ekpresi wajahnya tampak begitu datar. Ketika melewati Sindi, ia sedikitpun tidak meliriknya. “Siapa itu?” tanya Sindi kepada sang penerjemah. “Itu adalah adik ku yang paling bungsu” jawabnya dengan nada yang santai. Belum sempat Sindi kembali membuka mulutnya untuk menanyai pria tersebut, sosok pria tinggi besar itu kembali muncul dari dalam kamar sembari membawa beberapa buah-buahan yang ia letakkan di dalam piring. Ia berjalan menghampiri Sindi dan kemudian menghidangkan makanan tersebut dengan sikap yang ramah sambil tersenyum. Kepala Sindi mulai berputar-putar. Ia bingung, bingung karena tidak menyangka pria yang mengejarnya dua malam yang lalu dengan parang panjang itu ternyata adalah seorang pria yang ramah dan baik. Ia terus menawari Sindi dan menyuruhnya untuk segera mengambil makanan-makanan tersebut. Sindi pun akhirnya memaksakan dirinya tersenyum untuk m
Apa yang telah mereka katakan kepada kalian, tadi?” tanya Buyung pada Sindi. Sindi hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan, “Gak ada apa-apa, mereka hanya memberikan kami buah-buahan yang mereka petik dari ladang mereka. Kami tidak mengerti ucapan Nenek tua itu, dia berbicara menggunakan bahasa yang tidak kami pahami.” Jawab Sindi sambil berusaha untuk menghilangkan rasa keraguannya atas jawabannya tersebut. Setelah itu, mereka pun segera kembali menuju rumah penginapan.Hari telah sore. Suara petir mulai terdengar bergemuruh di langit, awan hitam tampak bergumpal dan berlapis-lapis menutupi angkasa. Senja di sore itu tampak memudar, sinarnya tertahan oleh gulungan mendung yang gelap. Sepertinya hujan deras akan segera turun menyiram desa tersebut.Meri duduk di balkon rumah sambil meneguk secangkir kopi hangat. Jauh matanya memandang, rintik-rintik hujan mulai jatuh menimpa atap rumah dan tanah. Kejadian yang terjadi di malam tadi terus menerus mengusik pikirannya, sehingga memb
Hujan semakin deras di luar sana bersama hembusan angin yang cukup kencang. Matahari baru saja tenggelam, hari perlahan-lahan mulai berubah menjadi gelap. Malam telah tiba. Hawa dingin semakin menyerbu dan mengamuk, sehingga mereka bertiga pun memutuskan untuk beranjak masuk ke dalam rumah sebagai dalih untuk menghindari Buyung.Waktu berlalu dengan begitu cepat. Rasanya baru saja ia berada di rumah Nenek Tua itu, padahal waktu sudah berjam-jam berlalu. Perkataan Nenek tua itu benar-benar membuat kepala Sindi menjadi pusing, wajah dan suaranya terus membayangi benaknya. Kini malam sudah begitu larut, jam di tangannya telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat. Kedua orang temannya itu bahkan juga sudah hanyut di dalam tidur mereka.Angin malam terdengar cukup ribut di luar sana, membuat ranting-ranting pohon beringin yang ada di seberang jalan menjadi berisik. Pelan sekali, dalam samar-samar suara wanita yang misterius itu mulai terdengar bersenandung. Menurut cerita Buyung, wanita