Beranda / Thriller / Bus Penyelamat / PART 16 : Sungai Batang Merao

Share

PART 16 : Sungai Batang Merao

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-04 20:28:46

“Kenapa kau pulang di malam yang selarut ini? Apa yang terjadi?” tanya Buyung pada Ole. Ole tidak langsung menjawabnya, ia segera menyelinap masuk ke dalam rumah tanpa bicara.

“Mana mereka?” Tanya Sindi sambil mengernyitkan alis matanya.

“Mereka berdua aku tinggalkan di dekat sungai, mobil tak bisa menyeberang, karena arus sungai Batang Merao yang meluap, sepertinya akan kembali surut hingga pagi besok.” Jawab Ole sambil mengelap rambutnya yang basah dengan handuk.

“Apa? Meri dan Irma kau tinggalkan di sana? Di malam yang selarut ini? Di tengah hutan yang mencekam ini? Apa kau sudah gila, Ole!” Sindi marah dengan tatapan mata yang melotot pada Ole.

“Ssstt.. Sindi... Pelankan nada suaramu..” Buk Tiah memegang lengan Sindi sambill menempelkan jari telunjuknya di bibir. Memberi isyarat agar Sindi segera menurunkan volume suaranya. Seakan baru tersadar, Sindi dengan buru-buru segera menutup mulutnya dengan tangan.

“Kenapa kau meninggalkan mereka berdua di tempat itu? Mereka kan b
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Bus Penyelamat   PART 17 : Sleep Walking

    Tiga orang pria itu dengan sigap langsung menerobos masuk ke dalam halaman rumah Buk Tiah. Buyung segera bangun kemudian menahan dan menenangkan tiga orang pria itu beserta dengan para warga yang lain. “Mohon semuanya bersabar, karena setiap orang akan mendapatkan bagiannya masing-masing” Kata Buyung dengan setengah berteriak dalam bahasa daerah. Syukurlah sikap tiga orang pria yang beringas itu menjadi tenang kembali, begitupun halnya dengan para warga yang lain. Sindi mengelus dada sembari mengggelengkan kepalanya melihat sikap para warga yang terkesan cukup beringas.Terpal yang menutup semua barang-barang itu sudah disingkirkan oleh Ole. Sindi mulai mengeluarkan satu persatu barang-barang tersebut dari dalam keranjangnya. Terlihat banyak sekali jenis alat-alat perkakas yang berjajar di bak belakang, Sindi bahkan sudah terlihat macam orang yang sedang berjualan keliling di pasar raya. Parang, pisau, topi, cangkul, dan ada juga sepatu but yang panjang. Setelah semuanya dikeluarkan

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-05
  • Bus Penyelamat   Part 18 : Ritual Purnama

    Rasa kantuk mulai menyerang, sejak tadi pagi Meri belum juga beristirahat, akhirnya ia pun memutuskan untuk melupakan suara nyanyian wanita yang misterius itu dan beranjak menuju kasur gulungnya. Suara wanita itu masih terdengar bersenandung bersama dengan hembusan angin malam yang begitu lembut. Namun, perlahan-lahan suara nyanyian yang misterius itu pun lenyap ditelan oleh malam.Sesaat kemudian, tiba-tiba ia mendengar ada bunyi suara orang yang sedang berbicara di luar halaman rumah, sepertinya suara itu berasal dari arah jalan setapak. Selang beberapa saat kemudian, terdengar pula suara longlongan anjing yang aneh. Tercekik. Meri yang baru saja hendak memejamkan kedua matanya itu pun kembali bangun untuk mengintip dari balik celah-celah jendela kayu yang ada di kamar.Dalam samarnya cahaya rembulan malam, di luar sana terlihat ada sekitar lima orang pria yang sedang berdiri dan membincangkan tentang sesuatu dalam bahasa yang tidak ia pahami. Mereka bercakap-cakap dengan nada yan

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-06
  • Bus Penyelamat   Part 19 : Kalung Sakti

    Hari yang ke sembilan. Matahari terbit dengan cahaya terindahnya di ufuk Timur. Langit tampak bersih tanpa ada segumpal awan pun yang menutupinya. Sindi dan Irma baru saja keluar dari kamar mandi, sementara itu Meri masih juga meringkup di dalam selimutnya tanpa mau beranjak walau sedikitpun.“Ir, tolong bangunkan Meri, bilang sama dia sekarang jam udah hampir pukul delapan” kata Sindi pada Irma sembari memandangi cermin kecilnya untuk berdandang. Tanpa banyak bicara Irma pun segera melakukannya.“Meri.. Meriana.. Bangun! Hari sudah pagi, ini sudah hampir pukul delapan, AYO BANGUN!” Irma mengguncang tubuh Meri dengan tangannya.“Aduh.. Aku masih ngantuk.. Kalian berdua aja yang pergi, ya. Aku dirumah aja” Meri menggeliat malas dengan nada yang setengah kesal. Ia kembali menutupi wajahnya itu dengan selimut. “Ih gak mau, pokoknya kamu juga harus ikut, Meri. Ayo bangun.. BANGUN..!” Irma kembali membangunkan Meri dengan suara yang lebih nyaring. Tiba-tiba saja Meri langsung meloncat

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-06
  • Bus Penyelamat   Part 20 : Dilema

    Pria tinggi besar itu berjalan di depan Sindi dan kemudian masuk ke dalam kamar yang tadinya dimasuki oleh Nenek tua itu, ekpresi wajahnya tampak begitu datar. Ketika melewati Sindi, ia sedikitpun tidak meliriknya. “Siapa itu?” tanya Sindi kepada sang penerjemah. “Itu adalah adik ku yang paling bungsu” jawabnya dengan nada yang santai. Belum sempat Sindi kembali membuka mulutnya untuk menanyai pria tersebut, sosok pria tinggi besar itu kembali muncul dari dalam kamar sembari membawa beberapa buah-buahan yang ia letakkan di dalam piring. Ia berjalan menghampiri Sindi dan kemudian menghidangkan makanan tersebut dengan sikap yang ramah sambil tersenyum. Kepala Sindi mulai berputar-putar. Ia bingung, bingung karena tidak menyangka pria yang mengejarnya dua malam yang lalu dengan parang panjang itu ternyata adalah seorang pria yang ramah dan baik. Ia terus menawari Sindi dan menyuruhnya untuk segera mengambil makanan-makanan tersebut. Sindi pun akhirnya memaksakan dirinya tersenyum untuk m

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-08
  • Bus Penyelamat   Part 21 : Air Setan

    Apa yang telah mereka katakan kepada kalian, tadi?” tanya Buyung pada Sindi. Sindi hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan, “Gak ada apa-apa, mereka hanya memberikan kami buah-buahan yang mereka petik dari ladang mereka. Kami tidak mengerti ucapan Nenek tua itu, dia berbicara menggunakan bahasa yang tidak kami pahami.” Jawab Sindi sambil berusaha untuk menghilangkan rasa keraguannya atas jawabannya tersebut. Setelah itu, mereka pun segera kembali menuju rumah penginapan.Hari telah sore. Suara petir mulai terdengar bergemuruh di langit, awan hitam tampak bergumpal dan berlapis-lapis menutupi angkasa. Senja di sore itu tampak memudar, sinarnya tertahan oleh gulungan mendung yang gelap. Sepertinya hujan deras akan segera turun menyiram desa tersebut.Meri duduk di balkon rumah sambil meneguk secangkir kopi hangat. Jauh matanya memandang, rintik-rintik hujan mulai jatuh menimpa atap rumah dan tanah. Kejadian yang terjadi di malam tadi terus menerus mengusik pikirannya, sehingga memb

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-12
  • Bus Penyelamat   Part 22 : Ritual

    Hujan semakin deras di luar sana bersama hembusan angin yang cukup kencang. Matahari baru saja tenggelam, hari perlahan-lahan mulai berubah menjadi gelap. Malam telah tiba. Hawa dingin semakin menyerbu dan mengamuk, sehingga mereka bertiga pun memutuskan untuk beranjak masuk ke dalam rumah sebagai dalih untuk menghindari Buyung.Waktu berlalu dengan begitu cepat. Rasanya baru saja ia berada di rumah Nenek Tua itu, padahal waktu sudah berjam-jam berlalu. Perkataan Nenek tua itu benar-benar membuat kepala Sindi menjadi pusing, wajah dan suaranya terus membayangi benaknya. Kini malam sudah begitu larut, jam di tangannya telah menunjukkan pukul sebelas malam lewat. Kedua orang temannya itu bahkan juga sudah hanyut di dalam tidur mereka.Angin malam terdengar cukup ribut di luar sana, membuat ranting-ranting pohon beringin yang ada di seberang jalan menjadi berisik. Pelan sekali, dalam samar-samar suara wanita yang misterius itu mulai terdengar bersenandung. Menurut cerita Buyung, wanita

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Bus Penyelamat   Part 23 : Keanehan

    Saat itu jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul dua pagi. Malam yang begitu gelap di luar sana beberapa jam yang lalu itu kini perlahan-lahan mulai berubah menjadi terang bercahaya. Awan hitam yang menutupi langit kini sepertinya telah berhasil diusir pergi oleh Buyung dan teman-teman penyihir nya yang lain. Malam itu adalah malam bulan purnama yang ke empat belas.Meri dan Sindi masih tampak gelisah di dalam kamar mereka, sementara itu teman mereka Irma malah tertidur pulas tanpa mengetahui apapun. Acara ritual berdarah itu kini telah berakhir, para pria yang kejam itu sudah bubar dari dari jalanan di depan rumah. Syukurlah di malam itu Buyung dan Ole tidak tidur di rumah tersebut, mereka berdua ikut pergi bersama dengan rombongan teman-teman mereka yang misterius itu ke suatu tempat. Entahlah, Meri dan Sindi tidak mengetahuinya secara pasti kemanakah mereka semua pergi.“Meri, apa kau ingat dengan ucapan Nenek tua di ladang manggis siang tadi?” Tanya Sindi pada Meri dengan nada yan

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-30
  • Bus Penyelamat   Part 24 : Sebuah Cerita dari Tanjo

    “Selamat pagi adik-adik semuanya, apakah gerangan yang membuat kalian datang ke tempat ini? Apakah ada suatu hal yang bisa saya bantu?” tanya sang penerjemah. Dia mempersilahkan Sindi dan dua orang temannya itu duduk di kursi kayu yang melingkar di ruangan tamu rumahnya. Setelah itu, kemudian muncullah Nenek tua dari dalam kamarnya. Beliau juga ikut duduk di hadapan mereka. “Maaf jika kedatangan kami yang mendadak ini sedikit membuat Paman dan keluarga menjadi kaget.” Sindi membenahi tempat duduknya. Pria yang bernama Tanjo itu hanya tersernyum kecil sembari menganggukkan kepalanya. Menyimak. “Jadi, maksud kedatangan kami kesini hari ini ialah untuk meminta bantuan kepada Paman Tanjo untuk menemani kami mewawancarai para warga di desa ini, karena di pagi ini Buyung dan Ole tidak muncul sama sekali, entah kemana pergi mereka, kami tidak tahu” Sindi mengutarakan maksud dari kedatangannya. Meri juga turut mengangguk kecil sambil tersenyum mengiyakan perkataan Sindi. “Owh begitu, tentu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-01

Bab terbaru

  • Bus Penyelamat   Part 100 : Pulang

    Setelah sekian jauh berlari mendaki bukit, tiba-tiba datanglah helikopter yang kemudian menembaki mereka dari atas. Pak Karay yang sudah begitu lelah, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memberikan perlawanan. Ia memerintahkan semua anak buahnya untuk menembaki helikopter tersebut. Namun belum berhasil mengenai helikopter tersebut, mereka semua sudah terlebih dahulu dihujani tembakan dari atas sana. Sehingga membuat Pak Karay dan beberapa anak buahnya itu pun bertekuk lutut. Sebagian mereka ada yang tewas, dan sebagiannya lagi menyerahkan diri, termasuk dengan Pak Karay yang juga menyerahkan diri. Di sisi lain, Rameng dan Darkis masih terus berlari tanpa henti bersama dengan sebagian anak buah Pak Karay yang masih tersisa. Mereka juga terus memberikan perlawanan jika ada Polisi yang berusaha mendekat untuk menyerang mereka. Saat itu, jumlah mereka diperkirakan hanya tersisa belasan orang. Waktu terus berlalu. Hari sudah mulai memasuki sore. Sudah lebih dari empat jam sejak operasi

  • Bus Penyelamat   Part 99 : Suara Gemuruh Dari Langit

    “Sekarang adalah giliranmu lagi, wahai gadis kecil yang malang, hahahaha!” Rameng menyeringai jahat sembari meraih kedua tangan Sindi dengan kasar. Sindi yang keras kepala itu pun langsung memberontak untuk memberikan perlawanan. Meski kesempatan hidupnya itu sudah berada di ujung kuku, namun semangat juangnya sungguh luar biasa. Akan tetapi tak lama kemudian, Sindi pun terpaksa menyerah ketika Rameng menghantam kepalanya dengan sebalok kayu. Penglihatannya seketika langsung redup, ia tak sadarkan diri. Rameng dan Darkis berhasil menggantung tubuh kedua wanita itu ke tiang penggantungan dengan mudah. Eksekusi mati pun akan segera dimulai.“Sekarang adalah giliranmu, manis” Pak Karay memainkan bibir Dewi dengan telunjuknya. Kau tak perlu takut, sebelum tubuhmu menjadi mayat, aku ingin bersenang-senang dulu denganmu sebentar. Hahaha...” Pak Karay tertawa kegirangan. Tak bisa dipungkiri, Dewi memang punya tubuh yang begitu indah.Buah dadanya yang maha besar itu terlihat kokoh dan padat,

  • Bus Penyelamat   Part 98 : Tiang Penggantungan

    “Dewi.. Hikkss.. Hikkss... Apa yang akan mereka lakukan? Apakah kita akan segera mati?” Tanya Ani dengan terisak-isak. Sepertinya dia sudah mengetahuinya. Dewi tidak menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya meneteskan air matanya dengan penuh kesedihan.“Apa yang kalian tangisi wahai anjing-anjing yang malang? Sudahlah, inilah akhir dari riwayat hidup kalian. Anggap saja kalian terlahir ke dunia ini hanya sekedar untuk menjadi binatang pengorbanan kami! Hahahaha.. Hukk hukk” Pak Karay bahkan sampai terbatuk saat menghembuskan asap cerutunya.“Bajingan kau, Karay!” Mati kau bajingan tengik!” Pak Hendri mengutuk pria itu.“Waw waw, luar biasa sekali. Lihatlah si bajingan yang malang ini, biji matanya bahkan sudah terlepas, tapi dia masih punya nyali dan kekuatan untuk mengancamku. Aku akui, kau memang luar biasa, Hendri! Hahaha..” Pak Karay bertepuk tangan sambil tertawa.“Muradi! Bolehkah aku meminjam pisau kecilmu yang tajam itu? Karena pisauku sudah hilang dan mungkin terjatuh di suat

  • Bus Penyelamat   Part 97 : Menguras Darah

    “Rupa-rupanya kau ingin mempermainkanku, hah? RASAKAN INI!” Pak Karay menghantam kepala Hendri dengan tinjunya. Pria itu langsung terkulai dengan tubuh yang terselentang. Seakan masih belum puas, Pak Karay bahkan kambali menaiki tubuh pria malang itu dan menghajarnya berulang-ulang kali.“Ukkkhhh... Ukkhh” Hendri meringis kesakitan. Nafasnya ngos-ngosan.“Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuh mereka walau sehelai rambut pun!” cecar pria itu sembari bangun dari tubuh Hendri. Pria itu kini bahkan sudah tak mampu untuk bernafas dengan baik, apalagi untuk memprovokasi Pak Karay? Dia benar-benar sudah tidak berdaya.Tulang hidung Hendri benar-benar sudah hancur. Mulutnya telah sobek, dan hanya menyisakan beberapa biji gigi saja. Mata kirinya yang tadi bengkak kini bahkan telah pecah, sehingga membuat biji matanya itu menggantung keluar. Pria malang itu benar-benar babak belur dan nyaris mati.“Jangan sangka aku menghentikan pukulanku hanya karena aku merasa kasihan denganmu, akan te

  • Bus Penyelamat   Part 96 : Penyanyi Misterius Yang Sebenarnya

    “Apa katamu? Kamu pikir kami akan percaya kepadamu yang kini bahkan tidak bisa mengenal wajah putramu sendiri” Pak Karay menendang kepala Tanjo ke hadapan wanita tersebut. Terlihatlah wajah Tanjo yang begitu pucat dengan darah yang memenuhi pangkal lehernya.Nenek tua itu tiba-tiba saja memejamkan kedua matanya. Sementara itu, Sindi, Meri, dan Dewi yang terikat di tiang penggantungan hanya bisa melihatnya dengan tatapan bodoh tanpa mengetahui sedikitpun maksud dari itu semua. Nenek tua itu kembali meracau, kali ini dengan suara yang melengking.Oh Tidak! Apakah selama ini suara nyanyian misterius yang hampir selalu dia dengan di setiap malam selama berada di rumah Buk Tiah itu adalah suara Nenek tua itu? Bagaiamana mungkin wanita yang setua itu masih memiliki suara yang sangat indah dan merdu? Meri dan Sindi saling tatap menatap satu sama lain. Takjub setelah mengetahui sosok sebenarnya di balik suara nyanyian misterius yang seringkali menghibur mereka di beberapa malam yang lalu.“Oh

  • Bus Penyelamat   Part 95 : Nenek Sihir

    “Hey! Hey! Siapa yang suruh kau tidur begitu? Ayo bangun!” Pak Dunto menyiram seember air ke wajah Sindi yang pada saat itu nyaris saja tak sadarkan diri. Lebih baik pingsan dan tidak merasakan apapun, karena dalam keadaan sadar semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Ia sudah tidak sanggup lagi menunggu, dan ingin semuanya segera berakhir.Pria itu mencekik lehernya, dan kemudian mendudukkannya di roda bus. Setelah itu, dia juga melakukan hal yang sama kepada Meri. Dua orang sahabat itu tersandar di dinding bus dalam keadaan yang begitu lemah. Sudah dua hari mereka bahkan belum mengganjal perut mereka.Dari kejauhan, tiba-tiba muncullah Ole bersama dengan dua orang temannya. Dia sedang menyeret tubuh seseorang. OH TIDAK! Sindi dan Meri menjerit. Semoga saja orang yang mereka bawa itu bukanlah Irma.Pak Karay dan kawan-kawannya memandang ke arah yang sama, melihat Buyung dan dua orang temannya yang terus mendekat sembari menyeret tubuh seorang.“Siapa ini? Apakah kau sudah berhasil m

  • Bus Penyelamat   Part 94 : Menjadi Korban Amukan Warga

    “Hey, lihat! Sang penyelamat kita sudah kembali datang..” Pria paruh baya yang menenteng senjata itu menghampiri Rameng. Dua orang pria yang bertubuh kekar itu saling berpelukan dan bertukar senyum satu sama lain.“Hahaha, aku sudah menduganya, bahwa polisi korup itu tidak akan bisa menangkapmu.” Pria itu masih berdecak kagum akan kehadiran Rameng. Bagaimana tidak? Ia berhasil lolos dari kepungan para polisi. Bagaimana cara dia melakukannya? Entahlah, itulah yang ingin ditanyai oleh Pak Karay padanya.“Ayo ceritakan, bagaimana kau bisa lolos dari kepungan para polisi yang korup itu? Apakah mereka menembakmu?” Pak Karay melipat kedua tangannya di dada.“Hahaha, tentu saja. Tapi Ninek (dewa) menolongku. Dia datang tepat waku saat salah satu dari mereka hampir saja menemukanku. Aku bersembunyi di dalam rumput berduri, sehingga mereka tidak dapat melihatku. Aku dapat melihat dan mendengar dengan telingaku, mereka menembak beberapa orang dari keluargaku tanpa belas kasih sedikitpun.” Ramen

  • Bus Penyelamat   Part 93 : Kawan Lama

    Tak lama kemudian, dari atas bukit, tiba-tiba muncullah sebuah bus tua yang melaju dalam kecepatan normal. Melihat kemunculan bus tua itu, Pak Murad yang duduk santai di kursi kayu bahkan langsung terbangun pada saat itu Juga. Pria itu segera membenahi kacamata emasnya untuk memperbaiki penglihatannya. Terbitlah segaris senyum kecil di wajahnya.Bus tua itu berhenti tepat di tengah-tengah halaman desa. Suara knalpotnya yang bising perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya benar-benar lenyap ketika sang sopir memutar kuncinya. Tak lama kemudian, turunlah beberapa orang pria dari dalam sana.Tangannya yang sibuk memotong tali-tali itu pun langsung terhenti, bahkan pisau itu pun juga terjatuh ke lantai. Dewi shock melihat beberapa orang pria yang baru saja keluar dari dalam bus tua itu. Yang paling membuatnya kaget adalah sosok pria yang yang mengenakkan perban di tangan kanannya. Rameng, pria itulah yang telah menipu mereka berdua saat itu.Waktu itu Rameng datang ke kantor mereka, dia me

  • Bus Penyelamat   Part 92 : Tertangkap

    “Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari

DMCA.com Protection Status