Saat itu jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul dua pagi. Malam yang begitu gelap di luar sana beberapa jam yang lalu itu kini perlahan-lahan mulai berubah menjadi terang bercahaya. Awan hitam yang menutupi langit kini sepertinya telah berhasil diusir pergi oleh Buyung dan teman-teman penyihir nya yang lain. Malam itu adalah malam bulan purnama yang ke empat belas.Meri dan Sindi masih tampak gelisah di dalam kamar mereka, sementara itu teman mereka Irma malah tertidur pulas tanpa mengetahui apapun. Acara ritual berdarah itu kini telah berakhir, para pria yang kejam itu sudah bubar dari dari jalanan di depan rumah. Syukurlah di malam itu Buyung dan Ole tidak tidur di rumah tersebut, mereka berdua ikut pergi bersama dengan rombongan teman-teman mereka yang misterius itu ke suatu tempat. Entahlah, Meri dan Sindi tidak mengetahuinya secara pasti kemanakah mereka semua pergi.“Meri, apa kau ingat dengan ucapan Nenek tua di ladang manggis siang tadi?” Tanya Sindi pada Meri dengan nada yan
“Selamat pagi adik-adik semuanya, apakah gerangan yang membuat kalian datang ke tempat ini? Apakah ada suatu hal yang bisa saya bantu?” tanya sang penerjemah. Dia mempersilahkan Sindi dan dua orang temannya itu duduk di kursi kayu yang melingkar di ruangan tamu rumahnya. Setelah itu, kemudian muncullah Nenek tua dari dalam kamarnya. Beliau juga ikut duduk di hadapan mereka. “Maaf jika kedatangan kami yang mendadak ini sedikit membuat Paman dan keluarga menjadi kaget.” Sindi membenahi tempat duduknya. Pria yang bernama Tanjo itu hanya tersernyum kecil sembari menganggukkan kepalanya. Menyimak. “Jadi, maksud kedatangan kami kesini hari ini ialah untuk meminta bantuan kepada Paman Tanjo untuk menemani kami mewawancarai para warga di desa ini, karena di pagi ini Buyung dan Ole tidak muncul sama sekali, entah kemana pergi mereka, kami tidak tahu” Sindi mengutarakan maksud dari kedatangannya. Meri juga turut mengangguk kecil sambil tersenyum mengiyakan perkataan Sindi. “Owh begitu, tentu
“Begini, dengarkan aku dulu, sebenarnya aku dan Meri sedang mencari cara untuk memberitahumu, karena kami takut apa yang kami katakan nantinya itu akan membuatmu menjadi kaget, sehingga membuat penyakitmu itu menjadi kambuh, itulah yang membuat kami berdua memutuskan untuk menutupinya darimu dan menunggu waktu yang tepat untuk memberitahumu. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk membuka semuanya, karena keadaan sudah mulai terasa tidak aman. Sekali lagi kami berdua ingin meminta maaf kepadamu, kami tidak punya maksud lain sedikit pun.” Meri meletakkan tangannya di atas paha Irma, ia sedang berusaha untuk membujuknya. Syukurlah Irma segera memahami situasi.“Paman, selain dari buku ini, apakah Paman juga punya barang bukti lain seperti foto misalnya?” Meri menaikkan alis matanya. Paman Tanjo hanya menjawabnya dengan gelengan kecil. Tidak ada.“Baiklah, begini, Paman. Kami punya sebuah rencana.” Sekali lagi Sindi membenahi posisi duduknya. Tatap matanya tampak begitu dalam dan serius, se
Sindi terdiam seribu bahasa tanpa kuasa untuk berkutik walau sedikit pun. Ternyata suara yang menyeramkan itu keluar dari mulut Buk Tiah. Ia tak pernah menyangka wanita yang biasanya sangat ramah dan selalu menyajikan makanan siang dan malam untuk mereka itu ternyata punya sisi lain yang sangat menakutkan. “Anu.. Iya, buk, iya... Kami terpaksa meminta bantuan Pak Tanjo untuk menemani kami mewawancarai beberapa warga, karena Buyung dan Ole tidak ada, jadi kami pun memutuskan untuk meminta bantuannya” dengan setengah gugup Sindi memberikan jawaban. Dari raut wajahnya itu, terlihat jelas bahwa ia sedang gemetar dan teramat gugup. Tanpa sepatah kata pun, wanita itu kemudian segera minggat dari mulut pintu di lantai dua. Masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Saat itu Sindi dan dua orang temannya tidak tahu harus berbuat apa, mereka bertiga terlihat bagaikan orang asing yang ditolak bertamu oleh tuan rumah. Terusir. “Ssst... Jangan dihiraukan. Buk Tiah sedang ada masala
Waktu terasa berputar dengan begitu pelan. Angin malam di luar sana masih berdesis meniupi daun-daunan yang rimbun. Pintu depan terus berdendang digedor-gedor oleh Buk Tiah yang sepertinya sudah tidak sabaran lagi ingin segera masuk ke dalam rumah. Tidak mau berlama-lama dan menimbulkan masalah yang baru, Sindi pun segera membukannya. “Huuuuhhhhhff” Suara angin malam yang bertiup masuk ke dalam ruangan. Tidak ada siapapun yang berada di luar sana. Balkon depan tampak kosong. Halaman depan juga lengang. Sekujur bulu kuduk Sindi langsung berdiri tegak. Ia segera kambali masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Sebelum ia menutup pintu, tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang aneh. Ternyata kayu jemuran di balkon rumah sudah terlepas dari talinya, sehingga membuatnya terhuyung-huyung ditiup oleh angin dan kemudian menghantam pintu depan. Ternyata kayu itulah yang menggedor-gedor pintu rumah sejak tadi. Sindi menarik nafas yang dalam setelah mengetahui hal tersebut. Setelah itu ia pun se
“Oh tidak, di mana kamu, Irma!” Meri benar-benar panik. Berbagai dugaan pun mulai berdatangan menghujam kepala mereka. Apakah dia telah diculik oleh kaum pemuja setan yang kejam itu? Jangan-jangan Irma telah dibunuh oleh mereka untuk dijadikan tumbal dan penyubur tanaman? Dua orang sekawan itu benar-benar diselimuti oleh rasa takut yang begitu luar biasa.“Oh tidak, dia pasti sleep walking lagi. Ini semua adalah gara-gara kejadian yang terjadi menimpa kita di siang tadi, dia tidak bisa mengalami hal-hal yang menegangkan seperti itu” Sindi mencemaskan temannya. Mereka berdua masih berada di balkon rumah sambil mengarahkan cahaya senter ke arah jalan dan juga halaman rumah. Irma benar-benar sudah lenyap.“Kenakkan pakaianmu, cepat! Ayo kita cari dia keluar sana” Meri berlari menuju kamar untuk mengambil jacketnya. Sindi juga menyusul dari belakang. Setelah itu, mereka berdua segera keluar dari rumah itu untuk mencari Irma yang telah menghilang entah kemana.Saat itu jarum jam sudah men
“Hey, lihat itu..” Meri memberitahu para warga yang lain tentang sosok yang dilihatnya tersebut. Saat itu juga, satu dua tetes hujan mulai berjatuhan dari langit. Sangat cepat, dalam bebrapa detik kemudian hujan rintik-rintik itu pun telah berubah menjadi hujan yang begitu deras. Ayah Rame dan para warga yang lain segera berlarian menuju sebuah atap rumah kosong untuk berteduh di bawahnya.Saat Meri kembali menoleh ke ujung jalan, ternyata sosok yang berdiri di balik gelap itu telah lenyap entah kemana. Tiba-tiba salah satu dari tetangga Ayah Rame yang berdiri di posisi paling ujung sana berjalan mendekati Sindi dan kemudian menanyakan sesuatu dalam bahasa mereka. Setelah itu, Rame kemudian segera menerjemahkan ucapan dari pria tersebut. Pria itu bertanya mengenai warna baju yang dikenakkan Irma. Sindi pun kemudian memberitahu mereka, bahwa Irma mengenakkan baju kaos yang berwarna hitam. Pria itu pun tampak sedikit mengeluh setelah mendengar penjelasan dari Rame. Tampaknya mencari ses
Lantai ruangan itu telah berlumpur, bahkan beberapa rumput liar pun juga sudah banyak yang tumbuh di dalamnya. Aroma busuk semakin menyeruak tajam. Pandangan mereka tertuju pada tumpukan daun-daun layu yang terletak di sudut ruangan. Sepertinya ada sesuatu di bawahnya, begitu simpul mereka. Semakin dekat mereka dengan tumpukan daun-daun tersebut, aroma busuk pun menjadi semakin kuat menyeruak. Itu adalah bau bangkai yang sudah dipenuhi oleh belatung, begitulah perkiraan mereka. Bahkan saat itu Meri sampai muntah-muntah karena sudah tidak tahan lagi mencium aroma busuk tersebut.Ketika Sindi menyingkirkan daun-daun layu itu dengan ujung bilah kayu yang ada ditangannya, terlihatlah bangkai seekor babi yang telah membusuk dan dipenuhi oleh kerumunan para belatung. “Buuuaak” Sindi langsung muntah seketika. Mereka berdua segera berlari meninggalkan ruangan kamar itu menuju ruangan tamu.“Kenapa bangkai babi itu bisa ada di sana? Siapakah yang telah menutupinya dengan daun-daun itu?” Dengan