“Hey, lihat itu..” Meri memberitahu para warga yang lain tentang sosok yang dilihatnya tersebut. Saat itu juga, satu dua tetes hujan mulai berjatuhan dari langit. Sangat cepat, dalam bebrapa detik kemudian hujan rintik-rintik itu pun telah berubah menjadi hujan yang begitu deras. Ayah Rame dan para warga yang lain segera berlarian menuju sebuah atap rumah kosong untuk berteduh di bawahnya.Saat Meri kembali menoleh ke ujung jalan, ternyata sosok yang berdiri di balik gelap itu telah lenyap entah kemana. Tiba-tiba salah satu dari tetangga Ayah Rame yang berdiri di posisi paling ujung sana berjalan mendekati Sindi dan kemudian menanyakan sesuatu dalam bahasa mereka. Setelah itu, Rame kemudian segera menerjemahkan ucapan dari pria tersebut. Pria itu bertanya mengenai warna baju yang dikenakkan Irma. Sindi pun kemudian memberitahu mereka, bahwa Irma mengenakkan baju kaos yang berwarna hitam. Pria itu pun tampak sedikit mengeluh setelah mendengar penjelasan dari Rame. Tampaknya mencari ses
Lantai ruangan itu telah berlumpur, bahkan beberapa rumput liar pun juga sudah banyak yang tumbuh di dalamnya. Aroma busuk semakin menyeruak tajam. Pandangan mereka tertuju pada tumpukan daun-daun layu yang terletak di sudut ruangan. Sepertinya ada sesuatu di bawahnya, begitu simpul mereka. Semakin dekat mereka dengan tumpukan daun-daun tersebut, aroma busuk pun menjadi semakin kuat menyeruak. Itu adalah bau bangkai yang sudah dipenuhi oleh belatung, begitulah perkiraan mereka. Bahkan saat itu Meri sampai muntah-muntah karena sudah tidak tahan lagi mencium aroma busuk tersebut.Ketika Sindi menyingkirkan daun-daun layu itu dengan ujung bilah kayu yang ada ditangannya, terlihatlah bangkai seekor babi yang telah membusuk dan dipenuhi oleh kerumunan para belatung. “Buuuaak” Sindi langsung muntah seketika. Mereka berdua segera berlari meninggalkan ruangan kamar itu menuju ruangan tamu.“Kenapa bangkai babi itu bisa ada di sana? Siapakah yang telah menutupinya dengan daun-daun itu?” Dengan
“Cepat!” Seru Meri dari arah depan sembari terus berlari dengan senter hp nya yang kecil itu. Sindi pun segera menambah kecepatan larinya. Dengan tunggang langgang mereka berdua berlari melewati jalan setapak yang licin itu dalam kecepatan yang penuh. Meski beberapa kali tergelincir dan jatuh ke tanah, namun secepat itu pula mereka kembali bangun dan terus berlari sejauh-jauhnya meninggalkan rumah tersebut. Setelah terasa cukup jauh dari tempat itu, mereka pun akhirnya berhenti di tepi jalan untuk mengatur nafas. Sau dua tiga pohon manggis yang rindang berjajar di tepi jalan. “Suara apa itu? Keras sekali” Tanya Meri dengan kerongkongan yang setengah tercekik. Nafasnya ngos-ngosan. Ia tampak masih begitu shock atas kejadian yang baru saja terjadi menimpa mereka. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya itu pada sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan sambil menekan pinggangnya untuk mengatur nafas. “Huhh, entahlah, aku juga tidak tahu” Sindi menggelengkan kepalanya. Ia juga tampak kelelahan
Pagi sudah tiba. Sang matahari terbit dengan cahaya terindahnya di ufuk timur. Satu dua burung-burung mulai terdengar berkicau riang dari atas pepohonan, seakan tak peduli dengan kondisi Meri dan Sindi yang pada saat itu masih juga dilanda badai yang dahsyat.Sudah lebih dari setengah jam waktu berlalu, satu dua warga mulai berdatangan dan kemudian berkumpul di depan rumah Buk Tiah, termasuk juga dengan Pak Karay sang Kepala desa. Saat jalan dan halaman depan rumah Buk Tiah sudah ramai dipenuhi oleh para warga yang terus berdatangan, maka Buyung pun segera maju ke tengah-tengah mereka untuk memberikan sebuah pengumuman. Dia berdiri dan kemudian berbicara dalam bahasa setempat dengan sesekali memainkan tangannya. Meri dan Sindi hanya duduk dalam keadaan lesu melihatnya dari atas balkon rumah sambil berharap emoga teman mereka itu dalam keadaan baik-baik saja. Pak Karay menemui mereka berdua ke atas balkon, beliau menyuruh mereka berdua untuk beristirahat dan menyuruh mereka untuk tidak
Saat itu jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Suasana desa Serampeh masih tampak begitu lengang. Sepertinya hampir dari semua masyarakat yang ada di sini sedang sibuk mencari Irma yang masih belum juga ditemukan. “Lihat itu!” Meri mengarahkan mulut dan telunjuknya ke halaman rumah. Di sana terlihat sebuah motor trail yang terparkir rapi di halaman rumah. Itu adalah motor trail milik Buyung. “Bagaiamana jika aku menggunakan motor trail tersebut untuk mempersingkat waktu?” Meri menaikkan alis matanya sembari menatap wajah Sindi. Sindi kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh temannya itu. Sedikit pun ia tak pernah terlintas untuk membajak motor Buyung untuk melarikan diri dari desa tersebut. “Jangan khawatir, aku bisa membawanya, kok” lanjut Meri lagi untuk meyakinkan temannya. “bukan itu yang aku takutkan, akan tetapi bagaimanakah caranya aku menjelaskan semua ini pada Buyung jika kau membawa motor trailnya pergi? Semua rencana kita pasti akan terbongkar oleh mereka” Sin
Meri memacu sepeda motor nya itu dengan begitu kencang melewati jalan raya desa Serampeh yang berlumpur hebat akibat diterpa oleh hujan deras tadi malam. Suara motor trail itu mengaung-ngaung melewati medan yang berliku-liku dan juga menanjak. Meski sempat beberapa kali tergelincir dan hampir keluar dari jalur utama, namun Meri tetap teguh menggenggam stan motor itu dengan begitu kuat. Sekitar beberapa menit lagi berkendara, maka ia akan segera bertemu dengan sungai batang merao yang seringkali meluap akibat hujan yang deras.Di sisi lain, Buyung dan kawan-kawannya itu juga tak mau kalah. Mereka dengan begitu gagah berani melewati medan jalan yang licin itu tanpa sedikitpun mau mengendurkan tali gas motor mereka. Suara-suara motor itu terdengar sungguh begitu ribut memadati jalan dan hutan. Lumpur dan sisa air hujan yang tergenang di jalan pun beterbangan disapu oleh roda-roda motor trail mereka yang telah diikat dengan rantai-rantai motor.Sekitar dua kilometer di dep
Sindi terburu-buru mengganti bajunya dan mengambil beberapa barang-barang yang penting lainnya, ia bersiap-siap untuk melarikan diri ke rumah Paman Tanjo. Tidak mau berlama-lam berada di rumah itu, ia segera melompat ke luar lewat pintu belakang. Tanpa pikir panjang, ia pun memutuskan untuk menerobos padang belukar yang setinggi satu meter lebih itu dengan sepatu gunungnya. Berlari.Di depan halaman rumah saat itu Buk Tiah dan puluhan orang warga yang lain baru saja pulang dari lokasi pencarian Irma. Di tengah-tengah kerumunan itu, terlihat asap putih yang bergumpal-gumpal memenuhi sekitarnya. Asap putih itu bukanlah asap sembarangan, itu adalah asap yang berasal dari kemenyang-kemenyang pilihan. Tampaknya mereka semua benar-benar telah mengerahkan segala upaya untuk menemukan Irma, termasuk pun dengan memanggil para arwah dan leluhur mereka.Di belakang kerumunan itu, ada belasan orang pria yang sedang memikul beberapa peti mati yang berwarna hitam. Mereka mengaraknya
Perlahan-lahan kakinya melangkah menuju ke arah depan dekat semak-semak yang setinggi perut orang dewasa itu. Ia sungguh begitu yakin suara misterius itu berasal dari arah sana. Dalam jarak tujuh meter kemudian, dia pun berhenti untuk mengamati tempat itu dengan lebih teliti lagi. Namun lagi-lagi tidak ada yang terlihat sama sekali. Seluruh area perbukitan dekat sana tampak begitu lengang. Sindi menjadi bingung dan juga takut. Ia memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu.“Hey, Sindi! Kamu mau ke mana?” Lagi-lagi suara itu terdengar memanggilnya. Ia yang baru saja hendak pergi meninggalkan tempat itu langsung kembali menolehkan wajahnya ke arah sumber suara itu. Saat itulah ia melihat sosok seorang pria dewasa yang berada dalam jarak 20 meter di sisi kirinya. Ternyata pria itu adalah Pak Wawan.“Ayo sini, ikut aku, CEPAT!” seru Pak Wawan dengan setengah berbisik. Setelah itu ia segera memutar tubuhnya dan bersiap-siap untuk pergi. Tanpa pikir panjang, Sindi pun langsung b