Home / Thriller / Bus Penyelamat / PART 3 : Berlari

Share

PART 3 : Berlari

last update Last Updated: 2022-04-25 21:07:02

Ternyata di balik meja itu, ada sebuah hal yang tersembunyi. Terdapat sebuah tangga dari semen yang mengarah turun ke bawah sana. Pria itu memberi isyarat dengan tangannya, "Ayo, ikuti aku" kata pria tersebut sembari mengambil langkah. Dia lantas mulai berjalan menurun ke bawah sana dengan membawa sebuah lampu minyak. Sindi yang tidak punya pilihan pun segera menurut. Dia sedikit berlari karena takut ketinggalan jauh di belakang.

Benar sekali, ternyata itu adalah sebuah ruangan bawah tanah yang tersembunyi. Tangga itu berakhir dan bertemu dengan sebuah lorong yang panjang. Dinding-dinding lorong itu terbuat dari semen. Lorong itu mengarah lurus ke ujung sana. Seakan tak berujung.

Tidak ada cahaya penerang lain yang terlihat selain dari cahaya lampu minyak yang sedikit redup. Ruangan itu gelap. Suasana begitu mencekam. Hawa terasa panas dan pengap. Tidak ada yang terdengar selain dari pada suara dentuman langkah kaki mereka yang berjalan menerobos lorong gelap yang seakan tiada berujung. Pria itu terus mengarah ke depan sana, memimpin perjalanan.

Sekitar lima menit kemudian, terlihat ada sebuah persimpangan jalan. Kiri dan kanan. Pria itu kemudian berbelok ke arah kanan mengikuti lorong gelap yang membentang panjang ke ujung sana. Beberapa menit berjalan, lorong gelap itu pun berakhir dengan sebuah tangga semen yang mengarah ke bawah. Sepertinya ada sebuah ruangan yang tersembunyi di bawah sana.

Berbagai rasa mulai datang menghujamnya. Aura di tempat itu benar-benar menakutkan. Dinding-dinding semen yang telah retak, dipenuhi oleh akar-akar pepohonan yang tumbuh dari atas sana membuat kesan horor menjadi semakin tajam. Sindi mulai merinding.

"Pak, kita mau kemana?" Tanya Sindi dengan penuh curiga. Suaranya bahkan terdengar gemetar.

"Ikut saja, nanti kau akan tahu sendiri" balas pria tersebut dari arah depan. Tanpa menoleh dan terus melangkah. Sindi menjadi curiga dan takut. Dia segera berlari kembali menuju lantai atas dengan penerang cahaya dari ponselnya. Pria itu lantas berlari ke belakang dan mengejarnya sambil memekik dan mengutuk.

"HEEEYY! BERHENTI! DASAR PEMABUK!" Seru pria itu sambil terus berlari mengejar Sindi dari belakang. Saat ia mengintip ke belakang, pria misterius itu terlihat sudah semakin dekat dengannya. Dengan kaki yang pincang itu, Sindi berusaha untuk mendaki satu per satu takah anak tangga yang mengarah naik ke lantai dua.

Jantungnya berdebar. Kedua lututnya bergoncang hebat. Sindi ketakutan mendengar suara teriakan pria itu, seakan-akan memenuhi seisi lorong ruangan tersebut. Ia segera melompat dan berusaha untuk menaiki satu dua takah anak tangga yang mengarah naik ke lantai dua. Kakinya terasa begitu berat. Darah mulai mengalir keluar dari celah-celah lukanya yang masih basah. Sindi terus berusaha dengan sekuat tenaga untuk menopang tubuhnya itu agar sampai di lantai dua. Ia bahkan sampai merangkak dengan menggunakan kedua tangannya.

Tinggal satu langkah lagi, tiba-tiba ia melihat ada cahaya terang yang terpancar dari ujung lorong lantai dua tersebut. Saat ia melongakkan kepalanya ke atas sana, terlihatlah ada belasan orang yang berjalan menggunakan lampu-lampu minyak. "YA TUHAAN..!" Sindi menjerit. Ternyata oang-orang itu adalah para penumpang yang menyeramkan di dalam bus tadi. Pria yang mengenakkan baju hitam itu berada di posisi paling depan. Sindi langsung berputar mundur dan turun kembali ke lantai bawah.

Saat ia berpaling ke belakang, tiba-tiba saja pria itu sudah berada di depannya. Ia memukul kepala Sindi dengan sebilah balok kayu. Sindi pun terjatuh dan tidak berdaya lagi untuk berlari. Pria itu langsung menggotong tubuhnya yang penuh darah itu menuju lantai bawah dan membawanya berjalan hingga ke ujung lorong.

Penglihatannya berubah menjadi remang dan buram. Darahnya terus bercucuran membasahi lantai. Dari kejauhan, terlihat para penumpang yang misterius itu berjalan jauh di belakang sana menyusul mereka dengan perlahan-lahan. Sindi tak sadarkan diri. Dia pingsan.

Kepalanya terasa sakit. Ia tak bisa melihat dengan jelas. Sekelilingnya masih tampak buram. Namun semua itu tidak berlangsung lama, perlahan-lahan semuanya kembali membaik. Ia sungguh begitu kaget, ternyata saat itu dia berada di dalam sebuah penjara besi yang penuh darah. Bau busuk tercium di mana-mana. Sisa-sisa tulang manusia dan para binatang tergeletak di dalam parit kecil yang berada di tepi ruangan. Sepertinya, ruangan itu adalah tempat pembantaian yang sungguh begitu sadis.

"TOO..LONNGG.. TOO..LOONGG!" Sindi berteriak ketakutan. Ia menjerit menangis dengan histeris di ruangan tersebut sambil menggedor-gedor pintu jeruji itu dengan sekuat tenaga. Akan tetapi semuanya sia-sia. Pintu besi tersebut dikunci dengan rantai dan gembok yang kuat.

Di saat yang sama, terdengarlah bunyi suara pijakan kaki seseorang yang berjalan mendekat dari luar ruangan. Suara langkahnya begitu pelan dan lambat. Dekat dan semakin dekat. Sindi bahkan sampai mundur ke belakang hingga punggungnya pun tersorok ke dinding penjara. Ia membisu menatap sisi lorong luar penjara dengan mata yang menganga. Terbelalak. Tidak ada yang terlihat. Bahkan suara itu pun juga sudah lenyap.

Sindi mencoba untuk menenangkan diri. Ia berdiri mengatur nafasnya yang terus berderu kencang. Ngos-ngosan. Setelah itu, mulailah ia berjalan dengan kaki terjinjit menuju pintu penjara. Ia kemudian mendongak keluar untuk memeriksa situasi. Tidak ada satu pun orang yang berada di tempat itu. Sindi mulai berpikir. Dia berpikir untuk mencari cara agar bisa keluar dari tempat itu dengan selamat.

Ketika ia sibuk memutar otaknya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara yang aneh. Suara itu terdengar begitu pelan sekali. "Tooo..loong.."

Sindi segera menoleh ke segala arah untuk mencari sumber suara tersebut, akan tetapi dia tidak menemukannya.

"Too..loonngg.." suara itu kembali terdengar. Sindi pun kembali memasang telinganya untuk mencari sumber suara tersebut. "Iya, suara itu berasal dari sana," gumamnya dalam hati. Ia pun segera mengintip ke belakang sana untuk mencari tahu apakah gerangan yang sedang terjadi di sana? Dan ternyata ada sebuah pemandangan yang begitu mengerikan.

Sindi menjerit di dalam hatinya. Ia tak habis pikir dengan apa yang dilihatnya tersebut. Pria itu terikat dan digantung dengan posisi yang terbalik. Tangan kirinya sudah putus. Darah merah terus menerus keluar dan menetes membasahi lantai. Pria itu menatap Sindi dengan lemah. Tak berdaya lagi untuk berkata-kata. Sindi shock. Ternyata pria itu adalah korban kecelakaan yang dilihatnya dalam berita tadi malam. Pria malang itu benar-benar sedang sekarat.

"BUM..!" Terdengar suara lantang pintu yang dibanting. Sindi segera beranjak dari tempat itu dan kembali berbaring di tanah. Dia berpura-pura pingsan di lantai. Pria misterius itu datang membawa sebilah parang. Lalu berhenti sejenak di depan pintu jeruji besi itu menatap Sindi yang masih terbaring.

Pria itu kini mulai beranjak ke ruangan sebelah tempat di mana pria malang tadi dikurung. Terdengarlah bunyi gemercingan kunci besi yang dibawanya. Sepertinya pria itu sedang berusaha untuk membukakan pintu jeruji besi ruangan sebelah dengan kunci-kunci yang ada di tangannya. Tak lama kemudian, terdengarlah bunyi pintu jeruji besi itu terbuka. Pria malang yang ada di ruangan itu seketika lansung menjerit ketakutan. Suaranya begitu histeris.

"Aaaaa.... Tooo..looonnngg.." jeritannya semakin keras memenuhi ruangan di bawah tanah.

"Aaaakkkhhhh..." Suara teriakan itu pun berakhir dengan sebuah rintihan pedih. Menyakitkan. Setelah itu, tubuh pria malang tersebut pun tidak bergeming lagi. Sindi segera bangun dan kembali mengintip dari lubang kecil. Dia shock. Pria malang itu tewas mengenaskan dengan kepala yang terlepas dari lehernya. Darah merah bercucuran memenuhi lantai.

Psikopat yang kejam itu mulai memotong-motong tubuh pria malang tersebut. Lalu memasukkan potongan-potongan itu ke dalam sebuah keranjang. Ia mengeluarkan hati, jantung, usus, dan semua isi perutnya lalu dia masukkan ke dalam keranjang tersebut. Sindi tak sanggup melihatnya. Dia menjerit ketakutan.

Mendengar suara jeritan tersebut, psikopat itu langsung mengehentikan pekerjaannya. Ia lantas bergegas keluar dari ruangan itu membawa sebilah golok untuk mendatangi Sindi yang berada di ruangan sebelah. Sindi pun semakin histeris.

"Jangan bunuh aku.. tolong.. aku mohon.." Sindi berlutut kepada pria itu dan menangis sejadi-jadinya. Ia sungguh ketakutan. Namun pria itu tak bersuara sedikit pun. Ia hanya terpaku diam menatap Sindi tanpa ekspresi. Wajahnya benar-benar misterius dan menakutkan.

"Aku mohon, paaak... Tolong jangan bunuh aku..." Sindi masih menangis di kaki pria tersebut. Memohon agar dia tidak membunuhnya.

Tak lama kemudian, tiba-tiba saja pria tersebut keluar dari tempat itu dan mengunci pintu jeruji itu dengan gembok. Setelah itu, ia segera bergegas pergi membawa keranjang yang berdarah itu menyusuri lorong dengan lampu minyak yang dibawanya. Suara langkah kakinya terdengar nyaring memenuhi ruangan. Semakin lama semakin pelan. Hingga akhirnya, suasana pun kembali menjadi hening dan sunyi.

Melihat peluang tersebut, Sindi pun tak mau menyia-nyiakan nya. Ia segera bangun dan menyalakan ponselnya untuk mencari sesuatu yang ada di dalam ruangan tersebut. Sial sekali, ternyata dia tidak menemukan apapun. Waktu Sindi semakin menipis. Tidak lama lagi, para kanibal yang sadis itu pasti akan kembali untuk menyembelihnya dan memasukkan potongan-potongan tubuhnya itu kedalam keranjang untuk dimasak. Sindi pun semakin panik. Dia tidak ingin mati ditempat kotor itu tanpa makam dan tanpa diketahui oleh siapapun. Dia tidak rela membiarkan tubuhnya menjadi santapan empuk bagi para kanibal yang gila itu.

Meski rasa takut terus menghimpitnya, namun Sindi tidak mau menyerah. Ia kembali berputar-putar di ruangan itu mengandalkan cahaya ponselnya yang hampir padam tersebut dan memeriksa semuanya dengan penuh teliti. Dia membuka matanya lebar-lebar, pelan-pelan dia menyapu ruangan itu. Sekali lagi, dia tidak menemukan apapun. Lantai ruangan itu penuh dengan debu-debu dan sebagian lumpur.

Ketika ia hendak berputar ke belakang, tiba-tiba saja ada yang terasa mengganjal kakinya. Dia segera meraba benda tersebut untuk mencari tahu apakah gerangan yang sedang mengganggu langkahnya tersebut. Sungguh tak diduga, ternyata benda itu adalah sisa dari potongan tulang kaki manusia. Tulang itu terkubur di dalam tanah. Sindi pun merinding. Jantungnya semakin meledak. Keringatnya mengucur deras dari kepala hingga wajahnya.

Tidak ada pilihan lain, Sindi pun memutuskan untuk menggalinya dengan kedua tangan. Tidak lama kemudian, akhirnya ia pun berhasil mengeluarkan benda tersebut dari tempatnya. Sindi langsung menggali lantai penjara itu dengan tulang tersebut. Ia mengais-ngais tanah itu dengan kedua tangannya, lalu terburu-buru kembali menggalinya dengan sekuat tenaga. Perlahan-lahan, lantai penjara itu pun mulai berlubang.

Waktu berlalu dengan begitu cepat. Udara di ruangan bawah tanah itu terasa begitu pengap dan panas. Keringatnya bercucuran deras, nafasnya sudah semakin menderu. Ngos-ngosan, akan tetapi lubang itu baru saja sejengkal di bawah tanah. Tiba-tiba dari ujung lorong sana, terdengarlah suara langkah kaki para gerombolan kanibal yang sedang mendekat. Sindi semakin mempercepat galiannya itu dengan seluruh kekuatan yang masih dimilikinya. Lubang itu pun kini telah hampir mendekati tiga jengkal.

Ia segera telungkup dan memasukkan kepalanya ke dalam lubang tersebut. Lalu mulai mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga. Perlahan-lahan tubuhnya mulai bergerak masuk. Mulai dari menggeser kepala, punggung, dan juga pinggangnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya itu berhenti ketika bokongnya menyentuh lubang tersebut. Dia tersangkut dan tak bisa bergerak untuk maju.

Cahaya lampu obor dan lampu minyak dari para pria gila itu sudah terlihat menyeruap di ujung lorong. Jarak mereka hanya terpaut sekitar seratus meter. Sindi menjadi kaget dan juga panik. Ia kembali mendorong tubuhnya itu dengan sekuat tenaga, menekan dengan kedua kakinya dan juga menarik dengan kedua tangannya. Sssset. Dia berhasil keluar dari ruangan tersebut setelah menurunkan sepatu dan celana jeansnya hingga paha. Ia langsung bangun dan berlari ke ujung lorong gelap itu tanpa cahaya dan juga alas kaki. Dia berlari menembus gelap.

Para gerombolan itu terus berjalan mendekat dan menuju ruangan tersebut tanpa curiga sedikitpun. Saat mereka tiba di depan ruangan itu, mereka sungguh begitu kaget. Ternyata mangsa mereka telah lenyap. Ruangan itu telah kosong. Yang ada hanyalah debu-debu dan lubang bekas galian yang tercecer di lantai. Para kanibal yang sadis itu menjadi murka. Mereka segera berlari ke ujung lorong untuk mengejar jejak kaki Sindi yang berlumuran darah. Mereka berlari dengan begitu cepat. Membabi buta.

Sindi panik. Ia tak tahu harus kemana lagi bersembunyi, ia seakan tidak punya tujuan.

Satu-satunya yang ada di dalam pikirannya pada saat itu adalah bagaimanakah caranya agar ia bisa keluar dari ruangan itu secepatnya. Tak ada cahaya, kedua matanya seakan-akan telah buta. Ia tak mau mengeluarkan ponselnya, karena itu berpotensi dapat membuat para kanibal itu menemukannya dengan cepat. Ia memutuskan untuk terus berjalan melewati lorong demi lorong yang penuh persimpangan itu, meski belum jelas apakah jalan itu akan membawanya keluar dan ataukah akan menjebaknya di tempat itu selamanya? Sindi tidak tahu.

Suara teriakan para kanibal itu terdengar memenuhi ruangan. Mereka sungguh begitu murka. Lorong demi lorong mereka telusuri, namun jejak kaki Sindi belum juga ditemukan. Mereka berpencar dalam beberapa kelompok. Berteriak dan memukul dinding-dinding lorong.

Sindi ketakutan. Para kanibal yang sadis itu semakin dekat di belakangnya. Mereka hanya terpaut satu belokan. Ssst. Tangannya menyentuh angin. Sepertinya dinding lorong itu terputus, ia tak bisa merabanya. Itu adalah persimpangan. Sindi segera kembali meraih dinding itu dan berbelok ke sebelah kiri.

Tidak begitu jauh di depan sana, ada lagi sebuah persimpangan. Sindi memutuskan untuk berbelok lagi ke sebelah kanan. Sekitar 15 meter di depan sana, ia melihat ada sebuah cahaya kecil yang sepertinya terpancar dari dalam sebuah ruangan. Ia pun berniat untuk mundur ke belakang. Belum sempat ia menunaikan niatnya itu, suara para kanibal itu sudah terdengar risih dari arah sana. Cahaya lampu minyak mereka terlihat semakin dekat. Sindi tak punya pilihan, ia terpaksa melanjutkan langkahnya ke arah sana. Melewati ruangan yang bercahaya tersebut.

Saat ia tiba di depan ruangan itu, ia pun merapatkan tubuhnya di dinding agar para kanibal itu tak melihat bayangan tubuhnya dari ujung lorong yang ada di belakang sana. Tak lama kemudian, lewatlah mereka. Beruntung, mereka tidak berbelok ke arah Sindi. Mereka berjalan lurus ke depan sana.

Sindi merasa lega. Ia kembali melanjutkan perjalanannya, namun sebelum itu ia terlebih dahulu mengintip ke dalam ruangan itu untuk memastikan semuanya. Syukurlah semuanya aman. Ruangan itu tampak kosong. Ia pun segera berlari.

Related chapters

  • Bus Penyelamat   PART 4 : LORONG GELAP

    Belum sempat kakinya beranjak dari depan ruangan itu, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu dari atas langit-langit ruangan. "Ya Tuhan!" Ia menjerit di dalam hati. Dua tubuh manusia tanpa kepala digantung dengan tali. Darahnya menetes seperti air yang keluar dari kain jemuran. Aroma busuk menyeruak tajam ke dalam rongga hidungnya. Beberapa tengkorak kepala manusia terlihat menggantung di dinding. Kepala sapi dan babi tergelatak begitu saja di lantai yang berlumuran darah. Di dalam ruangan itu banyak sekali kandang-kandang besi yang sepertinya mereka gunakan untuk mengurung para korban mereka sebelum disembelih. Benar, ada beberapa ekor babi yang terlihat meringkup di dalam kandang-kandang tersebut. Sindi ketakutan. Ia segera pergi meninggalkan tempat tersebut.Di depan sana, ia bertemu lagi dengan sebuah persimpangan lorong. Ruangan bawah tanah itu sungguh begitu luas. Sepertinya ruangan ini adalah peninggalan dari penjajah jepang. Beberapa langkah kakinya masuk ke dalam loro

    Last Updated : 2022-04-26
  • Bus Penyelamat   PART 5 : Anak yang berteriak

    Empat orang pria itu menggotong tubuhnya. Meri menjerit dan memberontak berusaha untuk melepaskan diri. Suaranya terdengar histeris memadati lorong yang kumuh itu. Akan tetapi semuanya sia-sia, mereka terus menyeret tubuhnya dan membawanya menuju ke sebuah ruangan yang terletak di lantai bawah. Ketika mereka tiba di depan mulut pintu ruangan tersebut, seketika itu juga aroma busuk langsung menyeruak menusuk ke dalam hidungnya. Sungguh menjijikkan. Tempat itu penuh dengan bangkai-bangkai yang telah membusuk. Tulang-belulang berserakan. Darah merah tersebar di mana-mana melumuri lantai ruangan. Di dalam ruangan tersebut, terdapat banyak sekali kandang-kandang besi yang sengaja dibuat untuk menampung para mangsa mereka sebelum disembelih. Terlihat beberapa ekor babi hutan yang telah mati dan sebagiannya lagi ada juga yang sedang terkurung di balik jeruji. Mereka memasukkan Meri ke dalam salah satu kandang besi tersebut, dan kemudian meninggalkannya begitu saja di te

    Last Updated : 2022-04-28
  • Bus Penyelamat   PART 6 : Pertemuan yang tak terduga

    Beberapa saat kemudian, datanglah beberapa dari keluarganya yang lain. Orangtuanya, kakaknya dan mungkin juga adalah pamannya. Mereka sungguh kaget dan histeris ketika mendapati anak kecil mereka itu terkapar di lantai berlumuran darah. Anak tersebut tewas seketika. Mereka semua pun menjadi sungguh begitu marah dan murka.Meri terus berlari ke dalam ladang karet yang begitu luas untuk menyelamatkan dirinya. Tidak peduli kemanakah ia akan pergi, ia hanya berusaha untuk menjauh sejauh-jauhnya dari tempat yang terkutuk itu. Ia terus berlari menembus belukar demi belukar, duri demi duri, hingga akhirnya tubuhnya pun terjerembab ke dalam sebuah parit yang berisikan lumpur. Ia menjerit kesakitan.Sungguh beruntung. Jika sejengkal lagi tubuhnya itu jatuh ke sebelah kanan, maka perutnya akan berlubang oleh kayu-kayu runcing yang tertanam di dalam sana. Itu adalah perangkap yang dipasang oleh para psikopat itu untuk menjerat mangsanya. Dengan sisa-sisa tenaganya yang masih

    Last Updated : 2022-04-29
  • Bus Penyelamat   PART 7 : Nomor Tidak Diketahui

    Hampir saja ia terjatuh ke lantai. Jantungnya berdegup seakan ingin meledak. Suara itu? Bukankah dia adalah sopir bus yang menyeramkan itu? Bagaimana mungkin dia bisa selamat dari sergapan para polisi yang bersenjata lengkap? Sindi menekan dadanya dengan raut muka cemas. Rasa takut mulai menyerang. Seakan masih tak percaya dengan kejadian yang baru terjadi, ia pun segera berlari untuk mengunci pintu rumah kontrakan nya. Lalu berdiri sambil membelakanginya dengan wajah yang pucat. Keringat dingin mengucur di pelipis matanya. Ia masih ingat betul bagaimana ngerinya pria gila itu saat memburunya di ladang karet satu bulan yang lalu. Ia berlari membawa pedang yang tajam menyusuri rerumputan di kebun karet. Andai kata saat itu jika dia berhasil menemukan Meri dan Sindi yang mengumpat, pasti ia akan memenggal kepala mereka tanpa belas kasih. Pria itu benar-benar adalah manusia yang kejam dan tidak punya hati nurani.Tiba-tiba teleponnya kembali berdering di kamar. "Krriiing... Kriiingg...

    Last Updated : 2022-04-30
  • Bus Penyelamat   Part 8 : Memanjat Tembok

    PART 8Sindi segera berlari menuju pintu rumah dengan tergesa-gesa. Ia menggedor-gedor pintu rumah tetangganya itu dengan begitu keras."TOLONG! TOLONG! BUKA PINTUNYA, KAK WIRA!" tangannya mengetuk kakinya menendang sambil berteriak histeris.Kak Wira adalah tetangganya. Beliau adalah ibu seorang anak. Usianya hanya terpaut lima tahun lebih tua. Jika hari libur kuliah tiba, ia sering berkunjung ke rumah itu untuk bermain dengan Sifa anak kak Wira yang baru saja berusia genap tiga tahun. Di rumah itu, kak Wira tinggal dengan suaminya, orangtuanya, dan juga adiknya.Setelah lama berteriak memanggil Kak Wira yang tak juga menyahut dari dalam, Sindi pun tak punya pilihan. Ia kemudian mendobrak pintu itu dengan sekuat tenaga, akhirnya pintu itu pun terbuka. Ia segera berlari memasuki rumah tersebut seperti orang yang kesurupan setan. Ia bahkan tak mengucapkan salam, sungguh pada waktu itu Sindi benar-benar tidak seperti biasanya yang sopan dan bertata krama. Malam itu, ia mendadak berubah

    Last Updated : 2022-05-02
  • Bus Penyelamat   PART 9 : Desa terpencil

    Sindi terhenyak mendengar suara ketukan itu. Rencana awal untuk menelepon pacarnya langsung sirna. Suara ketukan misterius itu kembali terdengar nyaring dari balik pintu rumahnya. Dengan setengah berjinjit Sindi melangkah penuh waspada menuju ruangan depan. Ia bersembunyi di balik tirai jendela untuk mengintip keluar sana. Nafasnya terengah-engah. Jantungnya terasa berdebar. Entah mengapa kedua kakinya terasa lemas. Dengan ragu-ragu, ia mengintip ke segala arah yang ada di luar sana. Suara ketukan misterius itu tiba-tiba saja lenyap. Namun Sindi masih juga tidak berani untuk beranjak dari tempat itu.Krrinnngg.. kriingg.. ponselnya kembali berdering nyaring. Sindi hampir melompat karena terperanjat. Ponsel itu hampir jatuh saat ia ingin menutupi speakernya dengan tangan dan menolak panggilan tersebut. Namun, tiba-tiba saja matanya menyala-nyala ketika melihat layar ponselnya. Ia dengan cepat segera menjawab telepon itu."Sindi.. buka pintunya.. aku mau masuk.." suara itu terdengar se

    Last Updated : 2022-05-06
  • Bus Penyelamat   PART 10 : Tanah Yang Suram

    PART 10 Sinar matahari pagi tampak menyilaukan dari balik jendela. Tak terasa malam berlalu dengan begitu cepat. Suara burung yang berkicau mulai terdengar ribut riuh menghiasi hari. Sindi baru saja terbangun dari tidurnya. Sepertinya, di pagi itu ia sedikit kesiangan dari pada yang biasanya. Setelah bersiap-siap, dia pun segera keluar rumah untuk memulai pekerjaannya. Di balkon rumah, Buyung dan Ole sudah menunggu dengan menu sarapan pagi dan secangkir kopi hangat. Setelah mengganjal perut dengan sarapan pagi yang seadanya, mereka bertiga pun segera berangkat menemui para petani yang sedang menggarap ladang mereka di kebun.Sindi sengaja membelikan beberapa oleh-oleh dari kota sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Barang-barang tersebut seperti pisau, parang, cangkul, dan juga topi. Hari itu pekerjaan mereka adalah membagi-bagikan oleh-oleh tersebut kepada puluhan orang petani setempat bagi mereka yang benar-benar membutuhkannya. Hal tersebut dia lakukan agar proses pendekatan

    Last Updated : 2022-05-10
  • Bus Penyelamat   Part 11 : Penyubur Tanaman

    Setelah cukup lama berbincang-bincang, akhirnya Buyung memberitahu Sindi tentang kronologinya. Ternyata orang-orang ini marah karena mereka tidak mendapatkan bagian atas oleh-oleh yang telah Sindi bagikan di hari kemarin. Menurut mereka, Sindi tidak adil dan tidak membagikannya sama rata kepada para warga yang ada di sana. Hari ini mereka datang untuk menagih bagian untuk mereka. Wajah Sindi yang tadinya tampak berseri dengan senyuman manis, seketika itu langsung terlipat. Ia menjadi bingung dan sedikit takut melihat sikap para warga tersebut yang tampak cukup beringas. Sindi memanggil Ole, dan kemudian berbisik kepadanya. Ia menyuruh orang-orang ini tenang, dan berjanji akan membagi-bagikan hadiah kepada mereka dalam waktu tiga hari ke depan. Ia juga butuh waktu untuk pergi membelinya ke Kota Raya, karena di desa tersebut tidak ada toko yang menjualnya. Ole pun mengangguk, dan segera menyampaikan hal tersebut kepada para warga. Syukurlah, setelah Ole dan Buyung menerangkan pada merek

    Last Updated : 2022-05-25

Latest chapter

  • Bus Penyelamat   Part 100 : Pulang

    Setelah sekian jauh berlari mendaki bukit, tiba-tiba datanglah helikopter yang kemudian menembaki mereka dari atas. Pak Karay yang sudah begitu lelah, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memberikan perlawanan. Ia memerintahkan semua anak buahnya untuk menembaki helikopter tersebut. Namun belum berhasil mengenai helikopter tersebut, mereka semua sudah terlebih dahulu dihujani tembakan dari atas sana. Sehingga membuat Pak Karay dan beberapa anak buahnya itu pun bertekuk lutut. Sebagian mereka ada yang tewas, dan sebagiannya lagi menyerahkan diri, termasuk dengan Pak Karay yang juga menyerahkan diri. Di sisi lain, Rameng dan Darkis masih terus berlari tanpa henti bersama dengan sebagian anak buah Pak Karay yang masih tersisa. Mereka juga terus memberikan perlawanan jika ada Polisi yang berusaha mendekat untuk menyerang mereka. Saat itu, jumlah mereka diperkirakan hanya tersisa belasan orang. Waktu terus berlalu. Hari sudah mulai memasuki sore. Sudah lebih dari empat jam sejak operasi

  • Bus Penyelamat   Part 99 : Suara Gemuruh Dari Langit

    “Sekarang adalah giliranmu lagi, wahai gadis kecil yang malang, hahahaha!” Rameng menyeringai jahat sembari meraih kedua tangan Sindi dengan kasar. Sindi yang keras kepala itu pun langsung memberontak untuk memberikan perlawanan. Meski kesempatan hidupnya itu sudah berada di ujung kuku, namun semangat juangnya sungguh luar biasa. Akan tetapi tak lama kemudian, Sindi pun terpaksa menyerah ketika Rameng menghantam kepalanya dengan sebalok kayu. Penglihatannya seketika langsung redup, ia tak sadarkan diri. Rameng dan Darkis berhasil menggantung tubuh kedua wanita itu ke tiang penggantungan dengan mudah. Eksekusi mati pun akan segera dimulai.“Sekarang adalah giliranmu, manis” Pak Karay memainkan bibir Dewi dengan telunjuknya. Kau tak perlu takut, sebelum tubuhmu menjadi mayat, aku ingin bersenang-senang dulu denganmu sebentar. Hahaha...” Pak Karay tertawa kegirangan. Tak bisa dipungkiri, Dewi memang punya tubuh yang begitu indah.Buah dadanya yang maha besar itu terlihat kokoh dan padat,

  • Bus Penyelamat   Part 98 : Tiang Penggantungan

    “Dewi.. Hikkss.. Hikkss... Apa yang akan mereka lakukan? Apakah kita akan segera mati?” Tanya Ani dengan terisak-isak. Sepertinya dia sudah mengetahuinya. Dewi tidak menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya meneteskan air matanya dengan penuh kesedihan.“Apa yang kalian tangisi wahai anjing-anjing yang malang? Sudahlah, inilah akhir dari riwayat hidup kalian. Anggap saja kalian terlahir ke dunia ini hanya sekedar untuk menjadi binatang pengorbanan kami! Hahahaha.. Hukk hukk” Pak Karay bahkan sampai terbatuk saat menghembuskan asap cerutunya.“Bajingan kau, Karay!” Mati kau bajingan tengik!” Pak Hendri mengutuk pria itu.“Waw waw, luar biasa sekali. Lihatlah si bajingan yang malang ini, biji matanya bahkan sudah terlepas, tapi dia masih punya nyali dan kekuatan untuk mengancamku. Aku akui, kau memang luar biasa, Hendri! Hahaha..” Pak Karay bertepuk tangan sambil tertawa.“Muradi! Bolehkah aku meminjam pisau kecilmu yang tajam itu? Karena pisauku sudah hilang dan mungkin terjatuh di suat

  • Bus Penyelamat   Part 97 : Menguras Darah

    “Rupa-rupanya kau ingin mempermainkanku, hah? RASAKAN INI!” Pak Karay menghantam kepala Hendri dengan tinjunya. Pria itu langsung terkulai dengan tubuh yang terselentang. Seakan masih belum puas, Pak Karay bahkan kambali menaiki tubuh pria malang itu dan menghajarnya berulang-ulang kali.“Ukkkhhh... Ukkhh” Hendri meringis kesakitan. Nafasnya ngos-ngosan.“Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuh mereka walau sehelai rambut pun!” cecar pria itu sembari bangun dari tubuh Hendri. Pria itu kini bahkan sudah tak mampu untuk bernafas dengan baik, apalagi untuk memprovokasi Pak Karay? Dia benar-benar sudah tidak berdaya.Tulang hidung Hendri benar-benar sudah hancur. Mulutnya telah sobek, dan hanya menyisakan beberapa biji gigi saja. Mata kirinya yang tadi bengkak kini bahkan telah pecah, sehingga membuat biji matanya itu menggantung keluar. Pria malang itu benar-benar babak belur dan nyaris mati.“Jangan sangka aku menghentikan pukulanku hanya karena aku merasa kasihan denganmu, akan te

  • Bus Penyelamat   Part 96 : Penyanyi Misterius Yang Sebenarnya

    “Apa katamu? Kamu pikir kami akan percaya kepadamu yang kini bahkan tidak bisa mengenal wajah putramu sendiri” Pak Karay menendang kepala Tanjo ke hadapan wanita tersebut. Terlihatlah wajah Tanjo yang begitu pucat dengan darah yang memenuhi pangkal lehernya.Nenek tua itu tiba-tiba saja memejamkan kedua matanya. Sementara itu, Sindi, Meri, dan Dewi yang terikat di tiang penggantungan hanya bisa melihatnya dengan tatapan bodoh tanpa mengetahui sedikitpun maksud dari itu semua. Nenek tua itu kembali meracau, kali ini dengan suara yang melengking.Oh Tidak! Apakah selama ini suara nyanyian misterius yang hampir selalu dia dengan di setiap malam selama berada di rumah Buk Tiah itu adalah suara Nenek tua itu? Bagaiamana mungkin wanita yang setua itu masih memiliki suara yang sangat indah dan merdu? Meri dan Sindi saling tatap menatap satu sama lain. Takjub setelah mengetahui sosok sebenarnya di balik suara nyanyian misterius yang seringkali menghibur mereka di beberapa malam yang lalu.“Oh

  • Bus Penyelamat   Part 95 : Nenek Sihir

    “Hey! Hey! Siapa yang suruh kau tidur begitu? Ayo bangun!” Pak Dunto menyiram seember air ke wajah Sindi yang pada saat itu nyaris saja tak sadarkan diri. Lebih baik pingsan dan tidak merasakan apapun, karena dalam keadaan sadar semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Ia sudah tidak sanggup lagi menunggu, dan ingin semuanya segera berakhir.Pria itu mencekik lehernya, dan kemudian mendudukkannya di roda bus. Setelah itu, dia juga melakukan hal yang sama kepada Meri. Dua orang sahabat itu tersandar di dinding bus dalam keadaan yang begitu lemah. Sudah dua hari mereka bahkan belum mengganjal perut mereka.Dari kejauhan, tiba-tiba muncullah Ole bersama dengan dua orang temannya. Dia sedang menyeret tubuh seseorang. OH TIDAK! Sindi dan Meri menjerit. Semoga saja orang yang mereka bawa itu bukanlah Irma.Pak Karay dan kawan-kawannya memandang ke arah yang sama, melihat Buyung dan dua orang temannya yang terus mendekat sembari menyeret tubuh seorang.“Siapa ini? Apakah kau sudah berhasil m

  • Bus Penyelamat   Part 94 : Menjadi Korban Amukan Warga

    “Hey, lihat! Sang penyelamat kita sudah kembali datang..” Pria paruh baya yang menenteng senjata itu menghampiri Rameng. Dua orang pria yang bertubuh kekar itu saling berpelukan dan bertukar senyum satu sama lain.“Hahaha, aku sudah menduganya, bahwa polisi korup itu tidak akan bisa menangkapmu.” Pria itu masih berdecak kagum akan kehadiran Rameng. Bagaimana tidak? Ia berhasil lolos dari kepungan para polisi. Bagaimana cara dia melakukannya? Entahlah, itulah yang ingin ditanyai oleh Pak Karay padanya.“Ayo ceritakan, bagaimana kau bisa lolos dari kepungan para polisi yang korup itu? Apakah mereka menembakmu?” Pak Karay melipat kedua tangannya di dada.“Hahaha, tentu saja. Tapi Ninek (dewa) menolongku. Dia datang tepat waku saat salah satu dari mereka hampir saja menemukanku. Aku bersembunyi di dalam rumput berduri, sehingga mereka tidak dapat melihatku. Aku dapat melihat dan mendengar dengan telingaku, mereka menembak beberapa orang dari keluargaku tanpa belas kasih sedikitpun.” Ramen

  • Bus Penyelamat   Part 93 : Kawan Lama

    Tak lama kemudian, dari atas bukit, tiba-tiba muncullah sebuah bus tua yang melaju dalam kecepatan normal. Melihat kemunculan bus tua itu, Pak Murad yang duduk santai di kursi kayu bahkan langsung terbangun pada saat itu Juga. Pria itu segera membenahi kacamata emasnya untuk memperbaiki penglihatannya. Terbitlah segaris senyum kecil di wajahnya.Bus tua itu berhenti tepat di tengah-tengah halaman desa. Suara knalpotnya yang bising perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya benar-benar lenyap ketika sang sopir memutar kuncinya. Tak lama kemudian, turunlah beberapa orang pria dari dalam sana.Tangannya yang sibuk memotong tali-tali itu pun langsung terhenti, bahkan pisau itu pun juga terjatuh ke lantai. Dewi shock melihat beberapa orang pria yang baru saja keluar dari dalam bus tua itu. Yang paling membuatnya kaget adalah sosok pria yang yang mengenakkan perban di tangan kanannya. Rameng, pria itulah yang telah menipu mereka berdua saat itu.Waktu itu Rameng datang ke kantor mereka, dia me

  • Bus Penyelamat   Part 92 : Tertangkap

    “Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari

DMCA.com Protection Status