Belum sempat kakinya beranjak dari depan ruangan itu, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu dari atas langit-langit ruangan. "Ya Tuhan!" Ia menjerit di dalam hati. Dua tubuh manusia tanpa kepala digantung dengan tali. Darahnya menetes seperti air yang keluar dari kain jemuran. Aroma busuk menyeruak tajam ke dalam rongga hidungnya. Beberapa tengkorak kepala manusia terlihat menggantung di dinding. Kepala sapi dan babi tergelatak begitu saja di lantai yang berlumuran darah. Di dalam ruangan itu banyak sekali kandang-kandang besi yang sepertinya mereka gunakan untuk mengurung para korban mereka sebelum disembelih. Benar, ada beberapa ekor babi yang terlihat meringkup di dalam kandang-kandang tersebut. Sindi ketakutan. Ia segera pergi meninggalkan tempat tersebut.
Di depan sana, ia bertemu lagi dengan sebuah persimpangan lorong. Ruangan bawah tanah itu sungguh begitu luas. Sepertinya ruangan ini adalah peninggalan dari penjajah jepang. Beberapa langkah kakinya masuk ke dalam loroEmpat orang pria itu menggotong tubuhnya. Meri menjerit dan memberontak berusaha untuk melepaskan diri. Suaranya terdengar histeris memadati lorong yang kumuh itu. Akan tetapi semuanya sia-sia, mereka terus menyeret tubuhnya dan membawanya menuju ke sebuah ruangan yang terletak di lantai bawah. Ketika mereka tiba di depan mulut pintu ruangan tersebut, seketika itu juga aroma busuk langsung menyeruak menusuk ke dalam hidungnya. Sungguh menjijikkan. Tempat itu penuh dengan bangkai-bangkai yang telah membusuk. Tulang-belulang berserakan. Darah merah tersebar di mana-mana melumuri lantai ruangan. Di dalam ruangan tersebut, terdapat banyak sekali kandang-kandang besi yang sengaja dibuat untuk menampung para mangsa mereka sebelum disembelih. Terlihat beberapa ekor babi hutan yang telah mati dan sebagiannya lagi ada juga yang sedang terkurung di balik jeruji. Mereka memasukkan Meri ke dalam salah satu kandang besi tersebut, dan kemudian meninggalkannya begitu saja di te
Beberapa saat kemudian, datanglah beberapa dari keluarganya yang lain. Orangtuanya, kakaknya dan mungkin juga adalah pamannya. Mereka sungguh kaget dan histeris ketika mendapati anak kecil mereka itu terkapar di lantai berlumuran darah. Anak tersebut tewas seketika. Mereka semua pun menjadi sungguh begitu marah dan murka.Meri terus berlari ke dalam ladang karet yang begitu luas untuk menyelamatkan dirinya. Tidak peduli kemanakah ia akan pergi, ia hanya berusaha untuk menjauh sejauh-jauhnya dari tempat yang terkutuk itu. Ia terus berlari menembus belukar demi belukar, duri demi duri, hingga akhirnya tubuhnya pun terjerembab ke dalam sebuah parit yang berisikan lumpur. Ia menjerit kesakitan.Sungguh beruntung. Jika sejengkal lagi tubuhnya itu jatuh ke sebelah kanan, maka perutnya akan berlubang oleh kayu-kayu runcing yang tertanam di dalam sana. Itu adalah perangkap yang dipasang oleh para psikopat itu untuk menjerat mangsanya. Dengan sisa-sisa tenaganya yang masih
Hampir saja ia terjatuh ke lantai. Jantungnya berdegup seakan ingin meledak. Suara itu? Bukankah dia adalah sopir bus yang menyeramkan itu? Bagaimana mungkin dia bisa selamat dari sergapan para polisi yang bersenjata lengkap? Sindi menekan dadanya dengan raut muka cemas. Rasa takut mulai menyerang. Seakan masih tak percaya dengan kejadian yang baru terjadi, ia pun segera berlari untuk mengunci pintu rumah kontrakan nya. Lalu berdiri sambil membelakanginya dengan wajah yang pucat. Keringat dingin mengucur di pelipis matanya. Ia masih ingat betul bagaimana ngerinya pria gila itu saat memburunya di ladang karet satu bulan yang lalu. Ia berlari membawa pedang yang tajam menyusuri rerumputan di kebun karet. Andai kata saat itu jika dia berhasil menemukan Meri dan Sindi yang mengumpat, pasti ia akan memenggal kepala mereka tanpa belas kasih. Pria itu benar-benar adalah manusia yang kejam dan tidak punya hati nurani.Tiba-tiba teleponnya kembali berdering di kamar. "Krriiing... Kriiingg...
PART 8Sindi segera berlari menuju pintu rumah dengan tergesa-gesa. Ia menggedor-gedor pintu rumah tetangganya itu dengan begitu keras."TOLONG! TOLONG! BUKA PINTUNYA, KAK WIRA!" tangannya mengetuk kakinya menendang sambil berteriak histeris.Kak Wira adalah tetangganya. Beliau adalah ibu seorang anak. Usianya hanya terpaut lima tahun lebih tua. Jika hari libur kuliah tiba, ia sering berkunjung ke rumah itu untuk bermain dengan Sifa anak kak Wira yang baru saja berusia genap tiga tahun. Di rumah itu, kak Wira tinggal dengan suaminya, orangtuanya, dan juga adiknya.Setelah lama berteriak memanggil Kak Wira yang tak juga menyahut dari dalam, Sindi pun tak punya pilihan. Ia kemudian mendobrak pintu itu dengan sekuat tenaga, akhirnya pintu itu pun terbuka. Ia segera berlari memasuki rumah tersebut seperti orang yang kesurupan setan. Ia bahkan tak mengucapkan salam, sungguh pada waktu itu Sindi benar-benar tidak seperti biasanya yang sopan dan bertata krama. Malam itu, ia mendadak berubah
Sindi terhenyak mendengar suara ketukan itu. Rencana awal untuk menelepon pacarnya langsung sirna. Suara ketukan misterius itu kembali terdengar nyaring dari balik pintu rumahnya. Dengan setengah berjinjit Sindi melangkah penuh waspada menuju ruangan depan. Ia bersembunyi di balik tirai jendela untuk mengintip keluar sana. Nafasnya terengah-engah. Jantungnya terasa berdebar. Entah mengapa kedua kakinya terasa lemas. Dengan ragu-ragu, ia mengintip ke segala arah yang ada di luar sana. Suara ketukan misterius itu tiba-tiba saja lenyap. Namun Sindi masih juga tidak berani untuk beranjak dari tempat itu.Krrinnngg.. kriingg.. ponselnya kembali berdering nyaring. Sindi hampir melompat karena terperanjat. Ponsel itu hampir jatuh saat ia ingin menutupi speakernya dengan tangan dan menolak panggilan tersebut. Namun, tiba-tiba saja matanya menyala-nyala ketika melihat layar ponselnya. Ia dengan cepat segera menjawab telepon itu."Sindi.. buka pintunya.. aku mau masuk.." suara itu terdengar se
PART 10 Sinar matahari pagi tampak menyilaukan dari balik jendela. Tak terasa malam berlalu dengan begitu cepat. Suara burung yang berkicau mulai terdengar ribut riuh menghiasi hari. Sindi baru saja terbangun dari tidurnya. Sepertinya, di pagi itu ia sedikit kesiangan dari pada yang biasanya. Setelah bersiap-siap, dia pun segera keluar rumah untuk memulai pekerjaannya. Di balkon rumah, Buyung dan Ole sudah menunggu dengan menu sarapan pagi dan secangkir kopi hangat. Setelah mengganjal perut dengan sarapan pagi yang seadanya, mereka bertiga pun segera berangkat menemui para petani yang sedang menggarap ladang mereka di kebun.Sindi sengaja membelikan beberapa oleh-oleh dari kota sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Barang-barang tersebut seperti pisau, parang, cangkul, dan juga topi. Hari itu pekerjaan mereka adalah membagi-bagikan oleh-oleh tersebut kepada puluhan orang petani setempat bagi mereka yang benar-benar membutuhkannya. Hal tersebut dia lakukan agar proses pendekatan
Setelah cukup lama berbincang-bincang, akhirnya Buyung memberitahu Sindi tentang kronologinya. Ternyata orang-orang ini marah karena mereka tidak mendapatkan bagian atas oleh-oleh yang telah Sindi bagikan di hari kemarin. Menurut mereka, Sindi tidak adil dan tidak membagikannya sama rata kepada para warga yang ada di sana. Hari ini mereka datang untuk menagih bagian untuk mereka. Wajah Sindi yang tadinya tampak berseri dengan senyuman manis, seketika itu langsung terlipat. Ia menjadi bingung dan sedikit takut melihat sikap para warga tersebut yang tampak cukup beringas. Sindi memanggil Ole, dan kemudian berbisik kepadanya. Ia menyuruh orang-orang ini tenang, dan berjanji akan membagi-bagikan hadiah kepada mereka dalam waktu tiga hari ke depan. Ia juga butuh waktu untuk pergi membelinya ke Kota Raya, karena di desa tersebut tidak ada toko yang menjualnya. Ole pun mengangguk, dan segera menyampaikan hal tersebut kepada para warga. Syukurlah, setelah Ole dan Buyung menerangkan pada merek
Part 12 Ia mulai melempar pandang ke luar sana, lalu memasang kedua telinganya itu dengan lebar untuk mendengarkan sesuatu. Mengapa suara yang indah itu belum juga terdengar bersenandung dengan lagunya yang sendu itu? Bukankah sejak dua malam yang lalu ia selal bernyanyi? Ataukah dia sudah tertidur pulas di rumahnya? Sindi masih penasaran melempar matanya ke dalam gelap di luar sana. Saat itu, jarum jam di tangannya sudah menunjukkan pukul dua lewat dini hari. Perlahan-lahan suara hujan itu mulai melemah, hanya menyisakan rintik-rintik gerimis kecil yang jatuh menimpa atap. Tak lama berselang, suara yang indah itu pun mulai terdengar di ujung telinganya. Sindi yang tadinya sudah kembali ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya itu, sekarang ia kembali bangkit dan berdiri di balik jendela untuk mendengarkan nyanyian yang misterius tersebut. Nadanya benar-benar indah dan menyayat. Walaupun ia tidak mengerti dengan setiap kalimat yang dinyanyikan oleh sosok wanita yang misterius itu, namun
Setelah sekian jauh berlari mendaki bukit, tiba-tiba datanglah helikopter yang kemudian menembaki mereka dari atas. Pak Karay yang sudah begitu lelah, akhirnya memutuskan untuk berhenti dan memberikan perlawanan. Ia memerintahkan semua anak buahnya untuk menembaki helikopter tersebut. Namun belum berhasil mengenai helikopter tersebut, mereka semua sudah terlebih dahulu dihujani tembakan dari atas sana. Sehingga membuat Pak Karay dan beberapa anak buahnya itu pun bertekuk lutut. Sebagian mereka ada yang tewas, dan sebagiannya lagi menyerahkan diri, termasuk dengan Pak Karay yang juga menyerahkan diri. Di sisi lain, Rameng dan Darkis masih terus berlari tanpa henti bersama dengan sebagian anak buah Pak Karay yang masih tersisa. Mereka juga terus memberikan perlawanan jika ada Polisi yang berusaha mendekat untuk menyerang mereka. Saat itu, jumlah mereka diperkirakan hanya tersisa belasan orang. Waktu terus berlalu. Hari sudah mulai memasuki sore. Sudah lebih dari empat jam sejak operasi
“Sekarang adalah giliranmu lagi, wahai gadis kecil yang malang, hahahaha!” Rameng menyeringai jahat sembari meraih kedua tangan Sindi dengan kasar. Sindi yang keras kepala itu pun langsung memberontak untuk memberikan perlawanan. Meski kesempatan hidupnya itu sudah berada di ujung kuku, namun semangat juangnya sungguh luar biasa. Akan tetapi tak lama kemudian, Sindi pun terpaksa menyerah ketika Rameng menghantam kepalanya dengan sebalok kayu. Penglihatannya seketika langsung redup, ia tak sadarkan diri. Rameng dan Darkis berhasil menggantung tubuh kedua wanita itu ke tiang penggantungan dengan mudah. Eksekusi mati pun akan segera dimulai.“Sekarang adalah giliranmu, manis” Pak Karay memainkan bibir Dewi dengan telunjuknya. Kau tak perlu takut, sebelum tubuhmu menjadi mayat, aku ingin bersenang-senang dulu denganmu sebentar. Hahaha...” Pak Karay tertawa kegirangan. Tak bisa dipungkiri, Dewi memang punya tubuh yang begitu indah.Buah dadanya yang maha besar itu terlihat kokoh dan padat,
“Dewi.. Hikkss.. Hikkss... Apa yang akan mereka lakukan? Apakah kita akan segera mati?” Tanya Ani dengan terisak-isak. Sepertinya dia sudah mengetahuinya. Dewi tidak menjawab pertanyaan tersebut, dia hanya meneteskan air matanya dengan penuh kesedihan.“Apa yang kalian tangisi wahai anjing-anjing yang malang? Sudahlah, inilah akhir dari riwayat hidup kalian. Anggap saja kalian terlahir ke dunia ini hanya sekedar untuk menjadi binatang pengorbanan kami! Hahahaha.. Hukk hukk” Pak Karay bahkan sampai terbatuk saat menghembuskan asap cerutunya.“Bajingan kau, Karay!” Mati kau bajingan tengik!” Pak Hendri mengutuk pria itu.“Waw waw, luar biasa sekali. Lihatlah si bajingan yang malang ini, biji matanya bahkan sudah terlepas, tapi dia masih punya nyali dan kekuatan untuk mengancamku. Aku akui, kau memang luar biasa, Hendri! Hahaha..” Pak Karay bertepuk tangan sambil tertawa.“Muradi! Bolehkah aku meminjam pisau kecilmu yang tajam itu? Karena pisauku sudah hilang dan mungkin terjatuh di suat
“Rupa-rupanya kau ingin mempermainkanku, hah? RASAKAN INI!” Pak Karay menghantam kepala Hendri dengan tinjunya. Pria itu langsung terkulai dengan tubuh yang terselentang. Seakan masih belum puas, Pak Karay bahkan kambali menaiki tubuh pria malang itu dan menghajarnya berulang-ulang kali.“Ukkkhhh... Ukkhh” Hendri meringis kesakitan. Nafasnya ngos-ngosan.“Aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuh mereka walau sehelai rambut pun!” cecar pria itu sembari bangun dari tubuh Hendri. Pria itu kini bahkan sudah tak mampu untuk bernafas dengan baik, apalagi untuk memprovokasi Pak Karay? Dia benar-benar sudah tidak berdaya.Tulang hidung Hendri benar-benar sudah hancur. Mulutnya telah sobek, dan hanya menyisakan beberapa biji gigi saja. Mata kirinya yang tadi bengkak kini bahkan telah pecah, sehingga membuat biji matanya itu menggantung keluar. Pria malang itu benar-benar babak belur dan nyaris mati.“Jangan sangka aku menghentikan pukulanku hanya karena aku merasa kasihan denganmu, akan te
“Apa katamu? Kamu pikir kami akan percaya kepadamu yang kini bahkan tidak bisa mengenal wajah putramu sendiri” Pak Karay menendang kepala Tanjo ke hadapan wanita tersebut. Terlihatlah wajah Tanjo yang begitu pucat dengan darah yang memenuhi pangkal lehernya.Nenek tua itu tiba-tiba saja memejamkan kedua matanya. Sementara itu, Sindi, Meri, dan Dewi yang terikat di tiang penggantungan hanya bisa melihatnya dengan tatapan bodoh tanpa mengetahui sedikitpun maksud dari itu semua. Nenek tua itu kembali meracau, kali ini dengan suara yang melengking.Oh Tidak! Apakah selama ini suara nyanyian misterius yang hampir selalu dia dengan di setiap malam selama berada di rumah Buk Tiah itu adalah suara Nenek tua itu? Bagaiamana mungkin wanita yang setua itu masih memiliki suara yang sangat indah dan merdu? Meri dan Sindi saling tatap menatap satu sama lain. Takjub setelah mengetahui sosok sebenarnya di balik suara nyanyian misterius yang seringkali menghibur mereka di beberapa malam yang lalu.“Oh
“Hey! Hey! Siapa yang suruh kau tidur begitu? Ayo bangun!” Pak Dunto menyiram seember air ke wajah Sindi yang pada saat itu nyaris saja tak sadarkan diri. Lebih baik pingsan dan tidak merasakan apapun, karena dalam keadaan sadar semuanya terasa jauh lebih menyakitkan. Ia sudah tidak sanggup lagi menunggu, dan ingin semuanya segera berakhir.Pria itu mencekik lehernya, dan kemudian mendudukkannya di roda bus. Setelah itu, dia juga melakukan hal yang sama kepada Meri. Dua orang sahabat itu tersandar di dinding bus dalam keadaan yang begitu lemah. Sudah dua hari mereka bahkan belum mengganjal perut mereka.Dari kejauhan, tiba-tiba muncullah Ole bersama dengan dua orang temannya. Dia sedang menyeret tubuh seseorang. OH TIDAK! Sindi dan Meri menjerit. Semoga saja orang yang mereka bawa itu bukanlah Irma.Pak Karay dan kawan-kawannya memandang ke arah yang sama, melihat Buyung dan dua orang temannya yang terus mendekat sembari menyeret tubuh seorang.“Siapa ini? Apakah kau sudah berhasil m
“Hey, lihat! Sang penyelamat kita sudah kembali datang..” Pria paruh baya yang menenteng senjata itu menghampiri Rameng. Dua orang pria yang bertubuh kekar itu saling berpelukan dan bertukar senyum satu sama lain.“Hahaha, aku sudah menduganya, bahwa polisi korup itu tidak akan bisa menangkapmu.” Pria itu masih berdecak kagum akan kehadiran Rameng. Bagaimana tidak? Ia berhasil lolos dari kepungan para polisi. Bagaimana cara dia melakukannya? Entahlah, itulah yang ingin ditanyai oleh Pak Karay padanya.“Ayo ceritakan, bagaimana kau bisa lolos dari kepungan para polisi yang korup itu? Apakah mereka menembakmu?” Pak Karay melipat kedua tangannya di dada.“Hahaha, tentu saja. Tapi Ninek (dewa) menolongku. Dia datang tepat waku saat salah satu dari mereka hampir saja menemukanku. Aku bersembunyi di dalam rumput berduri, sehingga mereka tidak dapat melihatku. Aku dapat melihat dan mendengar dengan telingaku, mereka menembak beberapa orang dari keluargaku tanpa belas kasih sedikitpun.” Ramen
Tak lama kemudian, dari atas bukit, tiba-tiba muncullah sebuah bus tua yang melaju dalam kecepatan normal. Melihat kemunculan bus tua itu, Pak Murad yang duduk santai di kursi kayu bahkan langsung terbangun pada saat itu Juga. Pria itu segera membenahi kacamata emasnya untuk memperbaiki penglihatannya. Terbitlah segaris senyum kecil di wajahnya.Bus tua itu berhenti tepat di tengah-tengah halaman desa. Suara knalpotnya yang bising perlahan-lahan memelan sebelum akhirnya benar-benar lenyap ketika sang sopir memutar kuncinya. Tak lama kemudian, turunlah beberapa orang pria dari dalam sana.Tangannya yang sibuk memotong tali-tali itu pun langsung terhenti, bahkan pisau itu pun juga terjatuh ke lantai. Dewi shock melihat beberapa orang pria yang baru saja keluar dari dalam bus tua itu. Yang paling membuatnya kaget adalah sosok pria yang yang mengenakkan perban di tangan kanannya. Rameng, pria itulah yang telah menipu mereka berdua saat itu.Waktu itu Rameng datang ke kantor mereka, dia me
“Jangan takut! Pria itu sebenarnya sudah tidak punya amunisi lagi untuk menembak kalian. Aku yakin, dia hanya menggertak kita!” Pak Dunto bangun dari tanah. Ia mulai berjalan mendekati pria tersebut. Ia bahkan tidak gentar walau sedikitpun.Belasan orang anak buahnya yang bertiarap di tanah saat itu benar-benar kaget dan juga cemas. Pria itu bahkan berjalan santai tanpa menunjukkan rasa takutnya walau sedikitpun. Bagaimana jika dugaan Pak Dunto salah? Dan ternyata si penyusup itu masih punya puluhan butir peluru? Maka semuanya akan tamat. Pak Dunto akan tewas.“HAHAHA, AYO TEMBAK! MENGAPA KAU DIAM SAJA SEPERTI ITU? AYO TEMBAK!” Pak Dunto menantang si penyusup tersebut. Ia bahkan membusungkan dadanya ke depan menyuruh si penyusup itu menembaknya.Melihat gertakan tersebut, wajah si penyusup pun mulai berubah. Ia tahu betul bahwa saat ini pengaruhnya sudah mulai hancur. Akan tetapi, bagaimana mungkin si pria itu bisa tahu bahwa amunisi senjatanya telah habis? Ia harus segera keluar dari