"Kak, saya pengen ke toilet," ucapku pelan."Ok, kamar kecilnya bagian sana!" Bryan menunjuk ke samping kiri. "Setelah selesai, kamu tunggu aku di dekat resepsionis sana. Jangan bepergian ke mana pun! Ntar, hilang lagi," lanjutnya menegaskan. Aku tersenyum simpul mendengar Bryan yang terkesan posesif padaku, seolah-olah seorang kekasih yang takut kehilangan pasangannya. "Siap, Bos!" Aku bergaya hormat pada perintah Bryan. Kaki ini kuayunkan menuju ke ruangan dokter kecantikan itu. Ketika hendak menyentuh kenop pintunya, terdengar suara seseorang dari dalam mendekati pintu. Aku sontak berbalik dan duduk di bangku yang berjejer rapi di sisi kiri. Mengambil koran yang kebetulan tergeletak di situ dan menutupi wajahku. "Nyonya Seila, tunggu saya di ruang perawatan aja, yah. Saya masih ada sedikit yang perlu diurus dulu!""Baik, Dok!"Aku mengintip sedikit dari balik koran, terlihat wanita paruh baya yang berbibir merah merona itu mengangguk ke dokter berwajah glowing di hadapannya. Wa
Sinar mentari menyapa bumi. Menelusuk lewat kaca bening yang tidak tertutup tirainya. Membuat tidur terganggu kala merasakan hangatnya menyapa wajahku. Aku menggeliat, berbalik membelakangi sinar mentari tersebut. Rasanya mataku baru saja terpejam. Semalaman aku dipusingkan oleh kasus berbelit Kak Naila. Aku bingung. Jika Bryan pelakunya, tetapi kenapa setiap aku dekat dengannya, selalu saja merasakan kenyamanan. Dia memperlakukanku sopan sebagai wanita, membuat jiwa tentram ketika berada di sampingnya. Tidak seperti Zhafran. Aku selalu merasa terancam dengan sikap agresif yang ia miliki. Selalu suka main terobos tanpa aba-aba. Membuat jiwaku terancam dengan tatapan elang yang selalu ia layangkan setiap saat. Jangan lupakan tampang dingin yang selalu ia tampilkan. Membuat sosoknya laksana bajingan berkelas. 'Tok, tok, tok!'Bunyi ketukan pintu memaksaku untuk bangkit dari ranjang. Aku memaksa bangun, walaupun ranjang masih t
"Haha, kamu diajak ke salon, seperti mau dimasukin ke penjara aja reaksinya!" Bryan tergelak membuat pesonanya makin terlihat manis. "Ya, abisnya Kakak tiba-tiba aja mau ajakin saya ke salon. Saya jelek banget, yah, Kak?" tanyaku sambil memanyunkan bibir bawah. "Enggak, kok, kamu cantik. Cantik banget malah!" Tangan kekar Bryan terulur, mencubit pelan pipi tembemku. Lantas, beralih menyelipkan helai rambutku ke belakang telinga. Aku menatapnya lekat, sedangkan Bryan menatapku dengan intens tanpa berkedip. Dia berhasil membuatku tenggelam dalam netra cokelatnya itu. "Hehe, Kak Bryan bisa aja nge-gombalnya." Gegas aku memalingkan muka. Kembali bermain-main dengan air. Mengalihkan perasaan baper dengan sikap Bryan yang manis. Tidak bisa dipungkiri, petugas kepolisian berwajah teduh itu selalu membuatku nyaman, aman, dan tentram ketika berada di sampingnya. Hatiku pun selalu menyejuk dengan semua sikapnya. "Sebentar m
Berdiri di hadapan, seorang gadis berambut cokelat panjang dengan gaun biru ber-ekeror tanpa lengan. Bagian atas gaun-nya begitu rendah, hingga memamerkan belahan dadanya yang mulus. "Sialan!" umpatnya pasca bersenggolan sembari memegang lengannya yang polos. Matanya membulat kala tahu bersenggolan denganku. Dia beralih memandang pria di sampingku. Seketika saja tatapannya menajam, menatap kami bergantian. Terlebih lagi ketika melihat tanganku yang dikaitkan ke lengannya Bryan. "Oh ... jadi, karena cewek kriminal ini, kamu menolak tawaranku buat jadi partner-mu di acara malam ini? Hah!" Suara cemprengnya memekik. Dia menatap Bryan kesal, begitu pun juga kepadaku. Tangannya terkepal erat. "Aku sudah terlebih dahulu janji bakalan datang sama Nilfan, Din." Bryan menepuk punggung tanganku yang dikaitkan di lengannya sambil tersenyum manis. Jika diperhatikan, sepertinya Bryan ingin menjadikanku alat untuk bisa menjauhi wanita ya
"To ... loong!" Tubuhku tercebur di kolam yang sangat dingin, menutupi seluruh kepalaku. Tangan meraih-raih ke atas disertai kaki yang mendendang-nendang berusaha mencari pijakkan. Namun, hanya sia-sia. Kakiku melayang di bawah sana. "Too---"Aku beberapa kali meminum air kolam. Terlihat di atas sana, orang-orang hanya menatapku layaknya sebuah tontonan. Wajah Diana menyeringai puas melihatku yang tidak bisa berenang. Air kembali menutup seluruh kepalaku. Tiba-tiba terdengar suara tercebur di kolam. Lantas, aku merasakan ada yang memeluk pinggangku, mengangkat tubuh ini. "Uhuk, uhuk!" Spontan aku langsung melingkarkan kedua lengan dengan erat di leher sang penyelamat. Tatapanku bertemu dengan netra cokelat petugas kepolisian berwajah teduh itu. Aku meletakkan dagu di bahu Bryan, memeluknya sangat erat. Terlihat di bibir kolam, Zhafran berdiri sembari memandang ke arah kami dengan jas tuksedo di tangannya.
"Apalagi kalau dengan penampilan lo yang menggoda kayak gini," ucap Zhafran terdengar sensual. Dia melirikku sekilas sambil tersenyum smirk. Lantas, kembali fokus menatap pahaku dengan jakun naik turun. Tangan Zhafran terulur, perlahan menuju ke pahaku yang terbuka dan masih basah akibat jatuh di kolam tadi. "Zhafran, jangan berani-beraninya! Saya akan membunuhmu kalau sampai menyentuhku!" geramku mengancamnya, merasa was-was melihat tangan Zhafran yang sedang menuju ke pahaku yang tidak tertutupi kain. Aku memepetkan kaki di pintu mobil. "Bagaimana caranya? Hmmm ...." Dia kembali melirikku dengan tatapan nanar. Tangannya berhenti sejenak, sekitar dua senti lagi dari pahaku. "Tangan lo aja terikat erat di situ." Zhafran melanjutkan tangannya, makin mendekat dengan pahaku. "Zhafran ... jauhkan tanganmu dari saya!" geramku kala merasakan ujung jemari Zhafran mulai menyentuh pahaku. Tatapan nyalang kulemparkan padanya. Namun,
"Zhafran, apa yang kamu lakukan?" tanyaku kesal saat Zhafran mendorong bahu ini. Mataku membulat melihat Zhafran yang berbalik menutup pintu apartemen. "Gue mau nginap di sini," ucapnya sambil membuka kancing kemejanya. "Enggak boleh! Sana pulang!" Aku menatap waspada. Zhafran melepaskan kemejanya dan terus melangkah maju mendekat, sedangkan aku terus mundur menghindarinya. "Kenapa? Hm!" Zhafran malah melemparkan kemejanya yang berbau maskulin itu ke wajahku. "Zhafraan!" Aku mengempaskan kemejanya ke sembarang arah. "Kenapa gue enggak boleh nginap di sini? Hmm!" "Ya, pokoknya enggak boleh! Saya enggak suka!" tandasku menatapnya tajam. "Iya, alasannya apa?" Dia mendekat. Aku kembali mundur lagi. Tiba-tiba saja, betisku membentur sofa. Membuat bokongku mendarat keras di sofa. Ketika hendak bangkit, Zhafran malah ikutan menjatuhkan tubuhnya di atasku. Dia menahan tubuhnya dengan ked
Baik mataku maupun Zhafran, sama-sama melebar. Aku meneguk saliva dengan susah payah, sedangkan pria berandalan itu menajamkan tatapannya. Rahang Zhafran mengeras serta tangannya terkepal erat hingga bergetar. ["Halo, Nilfan! Kamu baik-baik aja, Nak?"] Suara Ibu mengalihkan keteganganku pasca melemparkan bantal ke piring Zhafran. "Ah, iya, enggak apa-apa, kok, Bu. Itu ... cuman suara kucing, iya, ada kucing jatuhin piring tadi." Aku menjawab sambil gelagapan. Melihat tampang Zhafran yang sedang menahan emosi, membuat hawa ruangan ini menjadi dingin dan horor. Aku seperti berada di rumah hantu. Kembali kuteguk saliva beberapa kali, sambil memaksakan senyum kepada Zhafran dan menggerakan bibir mengucapkan, 'maaf'. Berharap sang pria yang sedang emosi gara-gara kujatuhkan nasi gorengnya itu, tidak akan marah saat panggilanku dengan Ibu sedang berlangsung. Aku tidak mau Ibu mendengarku bermasalah di kota. Takut menambah kecemasannya
Aku menatap langit-langit kamar tanpa berkedip. Sekarang sudah dini hari, tetapi mataku takkunjung tertidur. Pikiranku terngiang-ngiang dengan perkataan yang terlontar beberapa jam yang lalu. “Saya maunya sama kamu, Zhafran. Nggak mau sama yang lain!”Ucapan itu spontan keluar, tidak lupa juga aku memeluk lengannya. Sontak saja hal itu mengundang tawa Bryan dan yang lainnya. Rasanya sangat memalukan saat Zhafran mengatakan aku ‘cewek agresif’. Setelah kejadian itu, aku kabur ke kamar. Namun, beberapa menit kemudian, kembali lagi ke ruang tamu untuk memberikan bantal juga selimut pada kedua saudara itu, tentunya tampa berani menatap wajah Zhafran. Angel dan Kesya kuajak tidur bersama di kamarku. Sementara Bryan dan Zhafran tidur di ruang tengah. Aku meminta mereka untuk menginap saja, sebab tidak ada penginapan di dekat kampungku ini. Dengkuran Kesya membuyarkan lamunanku. Aku memunggunginya, memilih memeluk Angel. Kuharap, m
Ibu berjalan pelan sambil memandang lekat kedua pemuda yang sebagai anggota kepolisian itu. Tangan Ibu perlahan terangkat ke udara, aku pikir Ibu akan menampar Bryan, tetapi ternyata dia mendaratkan telapak tangannya di bahu sang polisi itu.“Terima kasih, Nak. Kalian begitu baik.” Sebuah usapan kecil, Ibu berikan di pundak yang tegap itu. Aku mengembuskan napas lega. Sepertinya Ibu telah paham dengan semua yang terjadi. Beberapa hari yang lalu saat membantunya memasak di dapur, aku menceritakan garis besar selama kehidupanku di kota. Aku juga bercerita tentang Zhafran dan Bryan yang selalu membantuku dari masalah. Aku juga bercerita bahwa yang menghamili Kak Naila adalah Pak Burhan---ayah tiri kedua pemuda anggota polisi tersebut. Waktu aku bercerita hari itu, Ibu tidak merespon apa pun. Aku maklum, mungkin Ibu masih marah atau entahlah. Tapi malam ini, aku perhatikan kemarahan Ibu sudah sirna semua. Syukurlah. “Nilfan!”Aku tersentak
Iblis itu, dia yang mengakibatkan tewas dan hancurnya hidup Kak Naila ada di sini. Dia muncul dari balik pintu dengan senyuman sinis yang menjijikkan. Bersama Jaki dan beberapa pria bertubuh tegap khas seorang bouncer. “Apa kabar, Nilfan?” Pak Burhan mendekat. Sementara anak buah Jaki menutup pintu. Aku menelan ludah susah payah, takut mereka sampai menyakiti Ibu. Pandangan ini menoleh ke Angel, hatiku terasa diremas mengetahui para iblis ini dia yang membawanya. Pantasan saja dia meminta alamat rumahku tempo hari. “Maafin gue, Nil. Ketika kami nyari pekerjaan di mall-mall, kami ditangkap sama anak buah Jaki. Mereka nyandra Kesya.” Lirihnya menatapku dengan mata basah. “Gue nggak ada pilihan lain buat nyelametin hidup Kesya.”Aku termenung mendengar penjelasannya. “Terus, sekarang gimana keadaan Kesya?” tanyaku turut prihatin. “Dia sekarang disekap di gudang klub.” Angel menatapku dengan mata basah. Terjawab sudah keanehan y
Pekikan Erlin yang sebab kupelintir tangannya, mengundang beberapa pasang mata untuk melihat. Teman-teman Erlin hanya meringis melihat ketua geng mereka memerah wajahnya menahan rasa sakit yang kuberikan.“Kalau kamu berani bicara sembarangan lagi soal ibuku, saya patahkan tangan kurusmu ini!” Aku menyentak tangan Erlin, membuat wanita itu terempas menubruk para teman-temannya.Seorang ibu-ibu datang mendekat dengan mata mendelik tajam, dia ibunya Erlin. “Heh, Nilfan! Kamu baru pulang kampung, udah bikin ulah aja. Apa itu yang kamu pelajari selama di kota?!” Ucapan ibu itu disahuti beberapa orang tua lainnya. “Iya.” Aku menyahut santai, lalu membuang pandangan. Tidak ada gunanya meladeni mereka semua. Keadaan ibu jauh lebih penting sekarang. **“Asalamualaikum.” Aku mengetuk pintu rumah. Lantas, menerobos masuk. Andy sudah mengirimkan pesan sebelumnya, bahwa rumah ibu tidak dikunci. Andy menungguku pulang d
Hari sudah menjelang malam, bunyi azan berkumandang merdu dari masjid sekitar. Aku memutuskan untuk menghadap sang Maha Pencipta terlebih dahulu, baru melanjutkan perjalanan ke apartemen Bryan. Setelah berpikir sejenak tadi, aku memutuskan untuk meminta perlindungan pada kepolisian saja, dan masih akan tetap berada di kota. Bekerja dan membayar utang-utangku. "Kalian nggak mau ikut sholat, Kes, El?" Aku menatap kedua sahabatku yang hanya berdiri jauh dari bangunan masjid. Sesekali Kesya menarik rok mininya agar menutupi paha putihnya. Dia terlihat risi datang ke tempat seperti ini dengan pakaian seksinya. "Nggak usah, lain kali aja kami, Nil." Angel menyahut, lalu menarik pergelangan tangan Kesya pergi duduk di warung bakso di seberang jalan.Aku mengembuskan napas panjang. Tidak apa, nanti aku akan usaha membujuk mereka untuk salat. Maklum, pasti mereka malu untuk menghadap Sang Maha Pencipta, seperti aku kemarin. Segera aku melaksan
"Sialan!" Pak Sopir yang memakai kemeja biru itu mengumpat. Dia kesusahan untuk mengendalikan laju mobilnya. Sementara kami bertiga yang duduk di kursi penumpang, saling pandang ketakutan. Menyadari mobil siapa yang menyerempet taksi ini. Mobil Jaki. "Jalan terus, Pak. Mereka itu para perampok!" Angel mendesak sambil menepuk cepat bahu Pak Sopir. Aku menoleh ke belakang, terlihat di kejauhan sana beberapa kendaraan bermotor juga datang mendekat. Astaga … seaksi inikah nasibku sekarang? Harus kabur seperti seorang buronan. "Stop! Woy, stop!" Kaca mobil dipukul-pukul oleh salah satu pengendara bermotor. "Mereka tau dari mana sih, kalau kita ada di mobil ini?" Kesya sangat panik. "Kemungkinan besar sedari kita ninggalin klub malam tadi, mereka semua udah ngikutin kita." Angel menjawab sambil mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya. Sebuah botol parfum. Lantas, menurunkan kaca mobil dan menyemprotkannya ke pengendara
Kilau mentari perlahan-lahan datang menembus kaca bening di samping kamar ini. Aku memilih untuk mencuci muka yang kusut. Tidurku semalam sangatlah tidak nyenyak. Semalaman aku berpikir bagaimana caranya agar mengembalikan uang Nyonya Arelia. Ingin melaporkan Zhafran-lah yang menabrak Ibu dulu, tapi aku tidak punya kemampuan untuk hal itu. Entahlah, kasihan juga sedikit segan. Zhafran sudah sangat banyak menolongku dari penjahat. Mana mungkin aku akan melaporkan dia. Ketika keluar dari kamar mandi, aku sedikit tertegun ketika melihat wanita paruh baya berpakaian sederhana datang ke kamar rawatku. Bi Inah. Dia datang kemari sepagi ini. Apakah sang Nyonya Besar itu tidak melarang? "Nilfan, bagaimana keadaanmu?" Bi Inah langsung memegang lenganku, memapah diri ini seperti aku pincang saja. Padahal hanya keningku yang tercedera, dan sekarang sudah lumayan membaik. "Alhamdulillah, baik, Bi." Aku mengangguk, lalu duduk di ranjang rumah sakit.
Aroma antibiotik begitu menyengat menggelitik indra penciuman. Alisku mengernyit, ketika pandangan ini dipenuhi dengan ruangan bernuansa putih. Tangan meraba kening yang terasa memberat. Keningku dalam keadaan terbalut. Pandangan ini mengedar ke sekeliling. Ruangan ini seperti … rumah sakit. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang begitu empuk. Untuk sesaat, kepalaku terasa berat. Namun, lambat laun, kepala ini terasa ringan. "Astaga, bajuku!" Aku menyilangkan tangan di dada. Bajuku yang basah kuyup akibat terjebur ke laut tadi, telah digantikan dengan baju rumah sakit. "Pasti para suster yang menggantinya," gumamku mencoba bepikir positif. Pasalnya, pikiranku kembali dikuasai oleh pria berandalan itu. Jangan sampai dia lagi yang mengganti bajuku. Aku menjatuhkan kaki ke lantai. Begitu dingin, terlebih aku yang tidak memakai alas apa pun. Ruangan ini begitu sepi. Tidak ada satu orang pun di sini. Sempat berharap tadi, Zhafran akan men
Terdengar sesuatu tercebur ke dalam air. Sambil menahan napas yang hampir habis, aku memaksa melihat hal tersebut. Seorang pria bermata elang segera berenang menghampiriku. Dia meraih tanganku yang yang hampir jatuh ke dasar laut. Meraih dan mendekapku. Lantas, mendekatkan bibirnya. Menyalurkan udara kepadaku. Mata ini sontak saja membulat mendapat serangan dadakan itu. Berpikir, Zhafran masih saja sempat-sempatnya modus dalam situasi seperti saat ini. Namun, sesaat setelahnya aku bersyukur dia ternyata datang menyelamatkanku. Dia kembali menjadi pahlawan untukku. Zhafran melepaskan bibir ini dan aku kembali berusaha menahan napas. Lantas, Zhafran segera menarik tubuhku naik ke atas. "Uhuk, uhuk, uhuk!" Aku terbatuk-batuk keras sambil memeluk erat leher Zhafran. Rasanya tenggorokan dan hidungku memerih. Belum juga rasa perih yang ada di keningku usai dihantam dinding kapal tadi. "Lo mau buat gue tiada apa?" dengkus Zhafran berusaha m