Para pelayat satu persatu meninggalkan area pemakaman. Beberapa kerabat memutuskan untuk tinggal beberapa menit. Banyak perempuan, utamanya rekan dari almarhumah berusaha menenangkan Anjani dengan memeluknya. Hal yang justru menambah deras air mata. David sudah kembali di sisi Andra, sekitar tiga meter dari tempat Anjani bersimpuh di pusara ibunya. Ia membersihkan ujung-ujung celana, masih tanpa alas kaki.
“Lu tunggu di mobil, Ndra,” pinta David sambil menyerahkan kunci mobilnya pada Andra. Andra tak menjawab, ia segera meninggalkan David.
Perlahan dan penuh keraguan David berjalan mendekati Anjani. Seorang kerabat, mungkin Kakak Anjani, orang yang melantunkan adzan tadi berusaha mengajak gadis itu untuk pulang. Namun Anjani menolaknya. David lalu maju dan mencoba meyakinkan pria itu bahwa dia nanti yang akan mengantar Anjani pulang.
“Kakak turut berduka cita, Jani,” bisik David menjajari Anjani. Gadis itu tak menjawab. Ia memandang sejen
“Sebenarnya apa yang Kakak inginkan?” tanya Anjani. Ia tarik jemarinya dari genggaman tangan David.“Dulu Kakak sempat berjanji pada diri sendiri untuk menjadi tempatmu bersandar, Jani,” bisik David. Ia tak ingin Andra mendengar apa yang ia katakan.“Walau Kakak sudah beristri?” tanya Anjani dengan volume suara yang sama.“Maafkan Kakak, Jani. Kakak tau ini salah. Kakak hanya mengikuti hati,” tutur David membela diri.“Kak, aku memang mencintaimu, masih ada sampai detik ini. Aku juga pernah bilang, aku nggak peduli Kakak balas atau tidak,” terang Anjani masih berbisik.“Ini nggak adil, Jani!”“Terus Kakak mau berlaku adil? Dengan menikahi Kak Adelia dan tetap memberi perhatian ke aku?” tegas Anjani. “Justru itu yang tidak adil, Kak!” tandasnya lagi.David tak berani menjawab. Berada di sisi gadis cantik ini sungguh membuatnya begitu tenang.
“Lu kenapa nggak mau nerima? Ini kan punya Lu?” tanya David. Tak ada lagi tawa di wajah Andra. Ia seperti menunjukkan kekesalan yang ia pendam selama ini pada David.“Kalo tu barang bikin hidup gue ribet kaya Lu sekarang, ya mending Lu pegang aja deh,” sahut Andra.“Wah, kacau ni anak! Gue buang aja kali ya?”“Udah gue bilang, kalo Lu udah siap kehilangan Adelia dan Anjani ya nggak apa. Pertanyaan gue, Lu siap nggak? Nggak kan? Enak kan direbutin dua cewek?” tandas Andra lagi. Ia memang memandang jalanan di depan dan kadang toko-toko yang berjajar di kanan dan kiri. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya tak ayal seperti ribuan jarum yang menusuk-nusuk hati.“Maksud Lu ini risikonya nyimpen Bulu Perindu?”“Iya dong, Lu bisa dapetin dua cewek atau lebih. Tapi risikonya hidup Lu bakal ribet! Apa lagi salah satunya udah Lu nikahin. Gue sih beruntung barang itu lepas dari gue.” A
Mobil sedan mewah yang dikendarai Rangga meluncur membelah jalan raya yang terik. Orang-orang yang dilewati biasanya akan berdecak kagum dengan tampilan mobil yang gagah dan sporty. Namun tidak dengan David. Ia fokus terus mengikuti mobil bercat hitam metalik itu. Meski memiliki spesifikasi mesin yang jauh berbeda, David tak mau ketinggalan jauh. Andra sampai berpegangan erat pada pegangan di atas jendela mobil.“Lah, ini bukannya jalan ke arah rumah Lu?” tanya Andra heran.“Iya, ngapain tu anak kemari?”David segera memberi jarak yang ia pikir tak mencurigakan. Mobil Rangga menyala lampu signnya, ia menepi. David dan Andra terus memperhatikan dari kejauhan. Seorang ojek online terlihat mendatangi mobil Rangga. Beberapa saat mereka tampak berbincang. Rangga menyerahkan sebuah kantung plastik kepada ojek tersebut.David mengkuti lagi mobil Rangga dan ojek online berjaket hijau itu. Mereka berdua benar-benar menuju
“Maafin aku, Del. Aku sempet tadi curiga kamu masih ada hubungan sama Rangga,” ujar David sambil tertunduk. Separuh emosinya sudah menguap setelah meninju dinding tadi.“Iya, Sayang ... aku justru curiga Papa lagi ngerencanain sesuatu sama Rangga,” ucap Adelia. Ia tepuk pundak suaminya mencoba menghabiskan emosi negatif yang tadi meledak-ledak.“Belum bisa dibilang gitu sih. Soalnya aku nggak tau pasti Papa dan Rangga emang ketemuan atau cuma nggak sengaja ketemu di sana.” David mencoba meredam kecurigaan istrinya. Ia tak ingin Adelia menjadi tak akur dengan papanya.“Kayanya aku harus tanya Mama deh.” Adelia menatap mata suaminya yang kini telah kembali seperti semula. “Soal ini biar aku yang urus. Aku sih yakin ada apa-apa dengan Mama dan Papa,” ujar Adelia. Ia lalu masuk meninggalkan David yang masih terus memandang dataran rendah di hadapannya.David teringat kembali kata-kata mertuanya. Jika
David dan Andra saling pandang. Tak ada kata yang terucap dari bibir mereka berdua. David bergidik, seketika daerah sekitar tengkuk dan belakang kepala menghangat. Andra menaikkan wajahnya, mencoba bertanya ada apa namun tanpa suara. David menaikkan pundaknya.“Gue jadi merinding, Ndra,” ujar David sambil memperhatikan sekeliling.“Jangan-jangan....” Andra mengikuti gerakan David mengitari seluruh bagian ruang tamu dengan matanya.“Apaan?”“Itu bulu nggak mau dibalikin ke gue!” seru Andra.“Ah, ada-ada aja Lu!”David yang penakut terus saja memperhatikan seluruh area ruang tamu. Area jendela yang berbatasan dengan halaman samping yang gelap. Bahkan tirai yang bergerak membuatnya waspada. Ia meletakkan kertas kosong itu di atas meja. Di sisi cangkir kopi yang baru seteguk ia minum.“Bapak-bapak....!”“Astagfirullah....” teriak Andra dan David ser
Pak Ruslan menyalakan rokoknya. Ia baru saja memesan makanan dan minuman. Waktu di jam tangannya menunjukkan pukul 14:47. Lelaki muda yang ia tunggu sudah memberikan kabar akan segera tiba via pesan singkat. Setelah pertemuan yang tak sengaja di ATM tempo hari, ia jadi menyimpan nomor mantan tunangan putrinya itu. Sesuatu yang hampir tak pernah ia lakukan. Bahkan nomor menantunya sendiri tak ia simpan.Seorang lelaki tampan dan berpakaian rapi muncul di pintu rumah makan. Ia melambaikan tangan pada Pak Ruslan yang membalasnya dengan senyum merekah. Rangga memesan makanan pada seorang pekerja dan berjalan ke arah Pak Ruslan.“Sehat, Om?” sapa Rangga sambil menyalami pria yang hampir menjadi mertuanya itu.“Sehat, Ngga. Kamu sehat? Orang tuamu sehat semua?” tanya Pak Ruslan.“Alhamdulillah, semua sehat, Om. Tante sehat, Om?” Rangga duduk di hadapan Pak Ruslan.“Ya, begitulah, Ngga. Sebelum Adelia menikah, ia
Pukul enam belas tiga puluh enam menit, terdengar suara pintu mobil ditutup. Adelia segera bangkit dan melongokkan kepala. Pandangannya menembus jendela kaca ruang tamu.“Itu Mama, Vid! Lho, Papa juga ikut,” seru Adelia. Ia segera berlari hendak membukakan pintu untuk orang tuanya.“Del!” teriak David.“Apa?” Adelia sedikit menoleh ke arah suaminya.“Inget, kamu lagi hamil. Jangan lari begitu!” tegur David sambil bangkit dari duduknya. Adelia meringis dan menepuk dahinya sendiri. Lalu berjalan pelan membuka pintu.“Assalamualaikum....” seru Pak Ruslan dan Bu Ratri kompak. Senyum kedua orang tua Adelia ini mengembang begitu lebar.“Walaikumsalam....” senyum Adelia tak kalah lebar. Ia berusaha membusungkan perutnya semaksimal mungkin. Lalu berjalan pelan menyambut orang tuanya. David lalu muncul dan merangkul istrinya. Bu Ratri begitu bahagia melihat pasangan suami istri i
“Kamu ini kenapa nggak langsung dibuang sih?” gerutu David.“Maaf, Sayang ... kalo malem aku takut lama-lama di kamar mandi,” sahut Adelia muram.Mereka berdua lalu kembali ke halaman belakang selepas mengunci pagar dan pintu utama. Wajah mereka segera berganti mode menjadi ceria setelah tadi sempat tegang dan kesal.“Oh iya, Vid. Papa ada join usaha sama teman, customer Papa sih sebenarnya. Kami bikin rumah makan baru. Semacam kafe kekinian gitu. Nah, hari ini grand opening. Kita dateng yuk?” ajak Pak Ruslan.“Wah, boleh juga, Pa. Kebetulan aku mau join juga sama teman, mau buka kedai kopi gitu. Mungkin bisa aku tanya-tanya nanti ke temen Papa,” sahut David antusias. Adelia menatap David dengan tatapan penuh tanya. Suaminya belum cerita apa pun perihal ini.“Abis isya kita berangkat ya?”“Siap!”Adelia mengerlingkan mata pada suaminya. Ia tersen