“Lu kenapa nggak mau nerima? Ini kan punya Lu?” tanya David. Tak ada lagi tawa di wajah Andra. Ia seperti menunjukkan kekesalan yang ia pendam selama ini pada David.
“Kalo tu barang bikin hidup gue ribet kaya Lu sekarang, ya mending Lu pegang aja deh,” sahut Andra.
“Wah, kacau ni anak! Gue buang aja kali ya?”
“Udah gue bilang, kalo Lu udah siap kehilangan Adelia dan Anjani ya nggak apa. Pertanyaan gue, Lu siap nggak? Nggak kan? Enak kan direbutin dua cewek?” tandas Andra lagi. Ia memang memandang jalanan di depan dan kadang toko-toko yang berjajar di kanan dan kiri. Tapi kata-kata yang keluar dari mulutnya tak ayal seperti ribuan jarum yang menusuk-nusuk hati.
“Maksud Lu ini risikonya nyimpen Bulu Perindu?”
“Iya dong, Lu bisa dapetin dua cewek atau lebih. Tapi risikonya hidup Lu bakal ribet! Apa lagi salah satunya udah Lu nikahin. Gue sih beruntung barang itu lepas dari gue.” A
Mobil sedan mewah yang dikendarai Rangga meluncur membelah jalan raya yang terik. Orang-orang yang dilewati biasanya akan berdecak kagum dengan tampilan mobil yang gagah dan sporty. Namun tidak dengan David. Ia fokus terus mengikuti mobil bercat hitam metalik itu. Meski memiliki spesifikasi mesin yang jauh berbeda, David tak mau ketinggalan jauh. Andra sampai berpegangan erat pada pegangan di atas jendela mobil.“Lah, ini bukannya jalan ke arah rumah Lu?” tanya Andra heran.“Iya, ngapain tu anak kemari?”David segera memberi jarak yang ia pikir tak mencurigakan. Mobil Rangga menyala lampu signnya, ia menepi. David dan Andra terus memperhatikan dari kejauhan. Seorang ojek online terlihat mendatangi mobil Rangga. Beberapa saat mereka tampak berbincang. Rangga menyerahkan sebuah kantung plastik kepada ojek tersebut.David mengkuti lagi mobil Rangga dan ojek online berjaket hijau itu. Mereka berdua benar-benar menuju
“Maafin aku, Del. Aku sempet tadi curiga kamu masih ada hubungan sama Rangga,” ujar David sambil tertunduk. Separuh emosinya sudah menguap setelah meninju dinding tadi.“Iya, Sayang ... aku justru curiga Papa lagi ngerencanain sesuatu sama Rangga,” ucap Adelia. Ia tepuk pundak suaminya mencoba menghabiskan emosi negatif yang tadi meledak-ledak.“Belum bisa dibilang gitu sih. Soalnya aku nggak tau pasti Papa dan Rangga emang ketemuan atau cuma nggak sengaja ketemu di sana.” David mencoba meredam kecurigaan istrinya. Ia tak ingin Adelia menjadi tak akur dengan papanya.“Kayanya aku harus tanya Mama deh.” Adelia menatap mata suaminya yang kini telah kembali seperti semula. “Soal ini biar aku yang urus. Aku sih yakin ada apa-apa dengan Mama dan Papa,” ujar Adelia. Ia lalu masuk meninggalkan David yang masih terus memandang dataran rendah di hadapannya.David teringat kembali kata-kata mertuanya. Jika
David dan Andra saling pandang. Tak ada kata yang terucap dari bibir mereka berdua. David bergidik, seketika daerah sekitar tengkuk dan belakang kepala menghangat. Andra menaikkan wajahnya, mencoba bertanya ada apa namun tanpa suara. David menaikkan pundaknya.“Gue jadi merinding, Ndra,” ujar David sambil memperhatikan sekeliling.“Jangan-jangan....” Andra mengikuti gerakan David mengitari seluruh bagian ruang tamu dengan matanya.“Apaan?”“Itu bulu nggak mau dibalikin ke gue!” seru Andra.“Ah, ada-ada aja Lu!”David yang penakut terus saja memperhatikan seluruh area ruang tamu. Area jendela yang berbatasan dengan halaman samping yang gelap. Bahkan tirai yang bergerak membuatnya waspada. Ia meletakkan kertas kosong itu di atas meja. Di sisi cangkir kopi yang baru seteguk ia minum.“Bapak-bapak....!”“Astagfirullah....” teriak Andra dan David ser
Pak Ruslan menyalakan rokoknya. Ia baru saja memesan makanan dan minuman. Waktu di jam tangannya menunjukkan pukul 14:47. Lelaki muda yang ia tunggu sudah memberikan kabar akan segera tiba via pesan singkat. Setelah pertemuan yang tak sengaja di ATM tempo hari, ia jadi menyimpan nomor mantan tunangan putrinya itu. Sesuatu yang hampir tak pernah ia lakukan. Bahkan nomor menantunya sendiri tak ia simpan.Seorang lelaki tampan dan berpakaian rapi muncul di pintu rumah makan. Ia melambaikan tangan pada Pak Ruslan yang membalasnya dengan senyum merekah. Rangga memesan makanan pada seorang pekerja dan berjalan ke arah Pak Ruslan.“Sehat, Om?” sapa Rangga sambil menyalami pria yang hampir menjadi mertuanya itu.“Sehat, Ngga. Kamu sehat? Orang tuamu sehat semua?” tanya Pak Ruslan.“Alhamdulillah, semua sehat, Om. Tante sehat, Om?” Rangga duduk di hadapan Pak Ruslan.“Ya, begitulah, Ngga. Sebelum Adelia menikah, ia
Pukul enam belas tiga puluh enam menit, terdengar suara pintu mobil ditutup. Adelia segera bangkit dan melongokkan kepala. Pandangannya menembus jendela kaca ruang tamu.“Itu Mama, Vid! Lho, Papa juga ikut,” seru Adelia. Ia segera berlari hendak membukakan pintu untuk orang tuanya.“Del!” teriak David.“Apa?” Adelia sedikit menoleh ke arah suaminya.“Inget, kamu lagi hamil. Jangan lari begitu!” tegur David sambil bangkit dari duduknya. Adelia meringis dan menepuk dahinya sendiri. Lalu berjalan pelan membuka pintu.“Assalamualaikum....” seru Pak Ruslan dan Bu Ratri kompak. Senyum kedua orang tua Adelia ini mengembang begitu lebar.“Walaikumsalam....” senyum Adelia tak kalah lebar. Ia berusaha membusungkan perutnya semaksimal mungkin. Lalu berjalan pelan menyambut orang tuanya. David lalu muncul dan merangkul istrinya. Bu Ratri begitu bahagia melihat pasangan suami istri i
“Kamu ini kenapa nggak langsung dibuang sih?” gerutu David.“Maaf, Sayang ... kalo malem aku takut lama-lama di kamar mandi,” sahut Adelia muram.Mereka berdua lalu kembali ke halaman belakang selepas mengunci pagar dan pintu utama. Wajah mereka segera berganti mode menjadi ceria setelah tadi sempat tegang dan kesal.“Oh iya, Vid. Papa ada join usaha sama teman, customer Papa sih sebenarnya. Kami bikin rumah makan baru. Semacam kafe kekinian gitu. Nah, hari ini grand opening. Kita dateng yuk?” ajak Pak Ruslan.“Wah, boleh juga, Pa. Kebetulan aku mau join juga sama teman, mau buka kedai kopi gitu. Mungkin bisa aku tanya-tanya nanti ke temen Papa,” sahut David antusias. Adelia menatap David dengan tatapan penuh tanya. Suaminya belum cerita apa pun perihal ini.“Abis isya kita berangkat ya?”“Siap!”Adelia mengerlingkan mata pada suaminya. Ia tersen
David dan Adelia sampai di tempatnya tadi. Pak Ruslan dan Bu Ratri memandang kedatangan mereka dengan tatapan penuh tanya. David melihat Papa Mertuanya dengan penuh curiga. Memang benar tadi yang dilihatnya. Pak Ruslan baru saja kembali, tampak dari napasnya yang belum teratur.“Gimana, Vid? Del?” tanya Bu Ratri. Raut wajahnya penuh kecemasan.“Ya nggak gimana-gimana, Ma. Cuma diminta sampel urin aja. Hasilnya nanti di kasih tau katanya,” jelas Adelia. Ia lalu duduk di kursinya semula, begitu juga David.“Papa udah bicara sama si Don, kalo begini caranya pengunjung pasti bubar, tuh lihat! Tadi padahal rame banget,” gerutu Pak Ruslan.David dan Adelia hanya saling pandang. Kata-kata Pak Ruslan sudah mereka prediksi sebelumnya. Dalam hati pasangan suami istri ini sungguh tak tenang, apalagi Adelia. Ia memang duduk dan bergelayutan pada suaminya, namun benaknya sangat takut apabila benar Papanya dalang dibalik peristiwa in
“Vid, masih di sekolah?” tanya Adelia lewat sambungan telepon. Sudah pukul tiga sore dan suaminya belum pulang. Kegiatan belajar mengajar seharusnya sudah selesai sejam lalu.“Ini baru jalan dari sekolah, Del. Tadi ada murid yang kena cairan asam, jadi aku antar dulu ke puskesmas terdekat. Sorry nggak ngabarin,” jawab David sambil menjepit gawai diantara telinga dan pundak kirinya.David tak pernah menghitung sudah berapa kali ia berbohong pada Adelia demi bertemu sekedar berkomunikasi dengan gadis yang tengah sibuk di belakangnya ini. Janjinya untuk membantu Anjani menyulap rumah peninggalan orang tuanya menjadi kedai kopi harus terlaksana. Ia pun rela menginvestasikan tabungan yang rencananya akan dijadikan uang muka membeli rumah pada usaha yang akan Anjani kembangkan.Sudah satu jam ia berada di sini. Di sisi gadis yang hari ini terlihat tak memiliki perasaan lebih padanya. Pipi gadis berkacamata ini tak lagi merona saat Davi
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa?”Jemari David bergetar. Gawainya terlepas dan meluncur jatuh ke lantai pondok sebelum jatuh ke rumput. Kedua netra David mengembun, bibirnya ingin segera berkata-kata namun ada sesuatu yang mengganjal di dada. Bu Maryam mengernyitkan kening. Jantungnya berdegup kencang, sama seperti milik David.“Ada apa, Vid?” tanya Bu Maryam setelah mengambil gawai David dan meletakkan di lantai pondok. Panggilan dari Bu Ratri masih tersambung, namun ia biarkan saja. Ia tak sudi untuk berbincang dengan keluarga itu. Perlahan David menoleh ke arah ibunya. Air matanya sudah menggantung di pelupuk mata.“Adelia, Bu,” ucap David dengan suara bergetar.“Kenapa dengan anak itu?” Bu Maryam mulai mencemaskan kondisi yang terjadi pada putranya.“Adelia hamil, Bu, anakku....”Bu Maryam terperangah. Mulutnya terbuka, ia tutup separuh dengan jemarinya. Ia pikirkan cucunya di masa depan. Belum juga lahir
Halaman rumah Pak Ahmad sudah berdiri tiga plong tenda dengan hiasan kain berwarna marun dan emas. Beberapa ratus kursi plastik menumpuk di sudut teras. Pekerja dekorasi sibuk mondar-mandir menurunkan alat-alat yang akan digunakan untuk memperindah tempat resepsi pernikahan, utamanya pelaminan. Para wanita sudah sibuk mempersiapkan makanan untuk pengajian nanti malam dan akad nikah esok pagi.Meski berencana menggelar acara dengan sederhana, demi rasa tak enak yang tinggi kepada tetangga satu desa, akhirnya persiapan acara besok lebih dari batas sederhana versi David dan keluarganya. Beberapa penyedia perlengkapan acara seperti dekorasi pelaminan dan musik justru diberikan oleh tetangga tanpa memasang tarif.David baru saja selesai memberikan pagar sederhana pada kebunnya. Sekedar pembatas agar orang-orang tak bisa sesuka hati masuk ke dalam sumber mata pencahariannya itu. Saiful, Indra, Zul dan Shinta sudah ia minta untuk libur selama tiga hari. Namun mereka
Perempuan cantik dengan senyum penuh bahagia tercetak dan terpajang rapi dalam pigura di atas nakas. Tempat tidur empuk itu tak juga membuat nyaman penghuninya. Terbaring di atasnya seorang perempuan yang tampak kurus, sesekali bibir pucatnya melenguh mengindikasikan ada sakit yang ia rasa namun tak mampu ia utarakan. Kadang dari kelopak matanya yang cekung mengalir air mata yang jika dibiarkan akan masuk ke dalam lubang telinga.Ruang perawatan VVIP di sebuah rumah sakit ternama ini sudah Adelia tinggali lebih dari seminggu. Bu Ratri sengaja membawa foto dan beberapa barang kesayangan putrinya agar Adelia merasa seperti di kamar sendiri. Tidak ada kemajuan berarti selama Adelia di rawat. Selang infus yang tertancap di lengan kirinya itu lah yang sedikit mampu membuatnya terlihat lebih baik dari seharusnya.Tak ada keinginan dari Adelia untuk mencoba menyelamatkan hidupnya. Dulu ia berbohong kepada orang tua David tentang kondisi mamanya yang mengkhawatirkan. Kini hal
Seperangkat alat sholat dan sejumlah uang kuno untuk mengenapi nominasi angka hari kelahiran Seruni sudah David dapatkan. Gadis manis dengan sepasang gingsul itu akhirnya menyebutkan mas kawin yang diminta. Meski sebenarnya ia sudah merasa cukup dengan cincin pemberian Bu Maryam yang historis itu. Jika bukan karena desakan David, mungkin Seruni memiliki mas kawin yang sama dengan Adelia.Lusa, pernikahan kedua David akan digelar. Meski tak mengadakan resepsi besar, tetangga di Desa Air Tenang sudah membicarakannya sejak mereka melangsungkan lamaran. Mayoritas dari mereka menyayangkan rencana acara yang hanya digelar sederhana. Tak banyak yang tahu David sudah pernah melangsungkan pernikahan sebelumnya.David melangkah ringan memasuki rumah dengan membawa barang-barang yang diminta Seruni. Satu jam lagi ia akan menjemput calon istrinya itu yang sejak pagi ia tinggalkan di salon bersama dengan Laras. Ia ingin Seruni terlihat spesial di hari pernikahannya. Lagi, gadis itu
Kini giliran David yang tak banyak bicara. Sepanjang jalan sampai kembali ke rumah yang hanya berjarak lima belas menit, kata yang keluar dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. Ia malas setengah mati dengan perilaku Seruni yang terus menerus larut dalam masa lalu. Bahkan ketika David sudah berusaha keras untuk melupakan. Dan Seruni tahu itu. Namun masa lalu David seperti menjadi prioritasnya.Mobil yang David kendarai sudah berhenti di halaman rumah orang tuanya sekaligus Wisata Edukasi Hidroponik miliknya. Lelaki itu memutar kontak mobil ke kiri dan segera keluar dari mobil. Ia ingin segera merebahkan diri di kasur busa single yang kempis namun terasa nyaman. Ruang tengah itu kini sudah menjadi kamar pribadinya. Langkahnya gontai, cermin dari aktivitas padatnya hari ini.Seruni berdiri mematung di sisi kiri mobil bercat putih itu. Tatapannya berubah ke bawah setelah punggung calon suaminya menghilang di balik pintu. Merutuk pada diri sendiri sudah ia lakuka
Long Macchiato, dua kata itu begitu membekas di telinga Seruni. Kata yang diucapkan Anjani dengan penuh kegembiraan di sorot matanya. David amat menggemarinya, mengapa Seruni sampai sekarang tak tahu? Sudah sejak siang setelah rombongan SMP 19 Trimarga pulang, gadis itu segera meramban internet guna mencari arti kata Long Macchiato. Varian kopi double expresso dengan steamed milk. Dari balik tirai kamar David yang selalu ia tempati ini, Seruni bisa melihat calon suaminya tengah mengawasi dua orang pekerjanya yang tengah memuat beberapa kantung besar hasil panen sore ini. Biasanya David akan mengantarkannya sendiri ke rekannya di Kotamadya yang bersedia menampung untuk dijual ke swalayan. “Apakah saat mengantar sendiri seperti ini Daud bertemu Anjani? Menikmati Long Macchiato buatan gadis itu sambil berbincang akrab,” batin Seruni. Gadis berambut gelombang sebahu yang selalu ia tutupi dengan jilbab itu mengusap kasar wajahnya. Mengapa ia begi